Kerajaan Haru: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kikintarigan (bicara | kontrib)
Kikintarigan (bicara | kontrib)
Baris 21: Baris 21:
Pada abad ke-15 ''Sejarah Dinasti Ming'' menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana [[Cheng Ho]]. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan [[Kesultanan Malaka]] sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam ''Suma Oriental'' maupun dalam [[Sejarah Melayu]].
Pada abad ke-15 ''Sejarah Dinasti Ming'' menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana [[Cheng Ho]]. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan [[Kesultanan Malaka]] sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam ''Suma Oriental'' maupun dalam [[Sejarah Melayu]].


Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, [[Portugal]] yang pada [[1511]] menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke [[Bintan]]. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan [[Mahmud Syah dari Malaka|Sultan Mahmud Syah]] menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya [[Kesultanan Aceh|Aceh]] yang mulai menanjak.<ref name = melayuonline1 /> Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada [[Kesultanan Johor|Johor]] (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.<ref name = melayuonline1 />
Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, [[Portugal]] yang pada [[1511]] menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke [[Bintan]]. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan [[Mahmud Syah dari Malaka|Sultan Mahmud Syah]] menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya [[Kesultanan Aceh|Aceh]] yang mulai menanjak.<ref name = melayuonline1 /> Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru [[Sultan Ali Boncar]] <ref> http://delitua.blogspot.com/2010/12/delitua-1292-m-1642-m-691-h-1051-h.html </ref> terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada [[Kesultanan Johor|Johor]] (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.<ref name = melayuonline1 />


Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh ''Hikayat Aceh'' dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh ''Hikayat Aceh'' dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.

Revisi per 31 Juli 2011 15.37

Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama [1] sebagai salah satu kerajaan yang pernah menjadi taklukan Majapahit. Sedangkan dalam Suma Oriental [2] disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.

Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang.

Lokasi Kerajaan Haru

Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru.[3] Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). [4]

Sejarah

Dalam perjalanan Marco Polo di tahun 1292 Kerajaan Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya 8 (delapan) kerajaan di Pulau Sumatera yang seluruh penduduknya penyembah berhala. Kunjungan ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara pelabuhan Islam pertama. Beberapa kerajaan yang disebutkan Ferlec (Perlak), Fansur (Barus),Basman (Peusangan), Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie). Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan. [5]

Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Nagarakretagama menyebut Haru sebagai salah satu negara bawahan Majapahit.

Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13[4]. Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires[3]. Sementara peduduknya masih belum semua memeluk Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (Afonso de Albuquerque?) (Commentarios, 1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru.[6] Juga dalam catatan Mendes Pinto (1539), dinyatakan adanya masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme.[7] Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.[8]

Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo. [4]

Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.

Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak.[3] Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru Sultan Ali Boncar [9] terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.[3]

Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.

Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru.[10] Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli.

Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang di tahun 1723. [11]

Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya . Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.

Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96) [4].

Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India. [12].Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar. [3]. Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan.[12]

Haru memakai adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya, dan unsur-unsur adat non-Melayu (Batak/Karo) masih ada. [3]

Rujukan

  1. ^ Robson, S. O., (1995), Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca, ed. and trans., Leiden:KITLV Press.
  2. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  3. ^ a b c d e f A Note on Aru and Kota Cina (Part 1)
  4. ^ a b c d Kota Rantang dan Hubungannya Dengan Kerajaan Aru[pranala nonaktif], salinan di http://pussisunimed.wordpress.com/2010/06/26/kota-rantang-dan-hubungannya-dengan-kerajaan-aru/
  5. ^ Reid, Anthony (Penyusun),(2010). "Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka". Komunitas Bambu
  6. ^ Munoz, P.M. (2009) "Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia". Mitra Abadi
  7. ^ Pinto (1645) dalam Perret, D.(2010), Kolonialisme dan Etnisitas". KPG
  8. ^ Perret, D (2010)Kolonialisme dan Etnisitas". KPG
  9. ^ http://delitua.blogspot.com/2010/12/delitua-1292-m-1642-m-691-h-1051-h.html
  10. ^ Lombard. 2008. "Kerajaan Aceh". Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). KPG
  11. ^ http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/article/119-Adat-Kontrak-Sosial-Antara-Raja-Dan-Rakyat-Kesultanan-Serdang
  12. ^ a b A Note on Aru and Kota Cina (Part 2)