Gereja Katolik di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 66: Baris 66:
Kardinal pertama di Indonesia adalah [[Justinus Kardinal Darmojuwono]] diangkat pada tanggal [[29 Juni]] [[1967]]. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia.
Kardinal pertama di Indonesia adalah [[Justinus Kardinal Darmojuwono]] diangkat pada tanggal [[29 Juni]] [[1967]]. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia.


=== Era Kudeta ===
=== Era Orde Baru ===
Banyak korban jiwa pada masa epilog pasca pemberontakan yang gagal dari [[Partai Komunis Indonesia]] pada 1965. Gereja Katolik dengan kerja keras berusaha mengerem kekejaman yang terjadi di mana-mana. Dengan semangat kasih ditegaskan bahwa yang hasrus dimusi adalah ideologi yang jahat, bukan orangnya. Sambil mengobati luka-luka batin umat Katolik didorong untuk ikut aktif dalam proses pembangunan negara dari situasi yang porak poranda. Kegagalan panen di mana-mana menyebabkan wabah kelaparan dan penyakit berjangkit. Gereja mengulurkan tangan dengan membagikan sumbangan pangan dan obat-obatan dari sesama umat Katolik luar negeri. Inflasi yang melejit tinggi nyaris melumpuhkan perekonomian. Gereja ikut serta mengembangkan koperasi dan menggalakkan semangat menabung.
Pada tahun 1965 setelah peristiwa [[G 30 S]] oleh [[Partai Komunis Indonesia]], pembersihan dilakukan antara komunis Indonesia dan yang diduga komunis, terutama di Jawa dan Bali. Ratusan ribu dan mungkin jutaan warga sipil tewas dalam kekacauan berikutnya oleh tentara dan warga.<ref>Di Jawa Tengah pembunuhan massal dilakukan oleh banyak tentara sementara di Jawa Timur pembunuhan massal juga dilakukan oleh orang asing. Robert Cribb (2000:170).</ref> Komunisme dikaitkan dengan ateisme dan sejak itu setiap warga negara Indonesia diharapkan untuk mengadopsi salah satu dari lima agama resmi yang didukung oleh negara.<ref name="Heuken-107">Adolf Heuken (2005:107)</ref>

Ungkapan kasih dan perhatian umat Katolik itu mendapat tanggapan positif dari rakyat kebanyakan. Banyak orang belajar agama Katolik dan memberikan diri dibaptis. Jumlah umat menjadi berlipat ganda.


Gereja Katolik serta agama-agama lain mengalami pertumbuhan yang sangat besar terutama di daerah yang dihuni oleh sejumlah besar suku Tionghoa dan etnis Jawa. Sebagai contoh pada tahun 2000 di Jakarta saja, ada 301.084 umat Katolik ketika tahun 1960, hanya ada 26.955. Ini merupakan peningkatan 11 faktor sementara seluruh penduduk hampir tiga kali lipat dari 2.800.000 ke 8.347.000.<ref name="Heuken-107"/>
Gereja Katolik serta agama-agama lain mengalami pertumbuhan yang sangat besar terutama di daerah yang dihuni oleh sejumlah besar suku Tionghoa dan etnis Jawa. Sebagai contoh pada tahun 2000 di Jakarta saja, ada 301.084 umat Katolik ketika tahun 1960, hanya ada 26.955. Ini merupakan peningkatan 11 faktor sementara seluruh penduduk hampir tiga kali lipat dari 2.800.000 ke 8.347.000.<ref name="Heuken-107"/>

Revisi per 3 Januari 2011 10.52

Gereja Katolik di Indonesia dalam artikel ini adalah Gereja Katolik yang menggunakan Ritus Latin (Ritus Barat) di Indonesia, di mana Katolik adalah salah satu dari agama-agama yang diakui oleh negara. Gereja Katolik di Indonesia dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis dalam upaya mereka mencari kepulauan rempah-rempah pada abad ke-16.

Sejarah Gereja Katolik di Indonesia

Era Portugis

Pada awal abad ke 16 semangat petualangan menjelajah samudera dan mencari sumber rempah-rempah di kalangan bangsa Portugis yang beragama Katolik membawa mereka hingga ke Malaka. Kontak agama Katolik dengan bumi nusantara merembet dari pangkalan Portugis di Malaka ke pulau-pulau lain melalui pelabuhan-pelabuhan utama yang disinggahi kapal-kapal dagang Portugis, misalnya: Banda (1511), Ternate (1513), Sunda Kelapa (1522), Panarukan (1528). Di Indonesia, orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (di Halmahera, Maluku Utara) yang dibaptis seorang awam pedagang Portugis, Gonzalo Veloso, bersama sebagian besar warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil. Peristiwa itu menjadi titik tolak peringatan 450 tahun Gereja Katolik di Indonesia pada 1984. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. P. Simon Faz OFM membaptis lebih dari 5000 orang sekitar tahun 1534 di Halmahera. Salah seorang misionaris besar yang berkunjung di Indonesia adalah Santo Fransiskus Xaverius, salah seorang pendiri Serikat Yesus (SJ) yang antara tahun 1546 sampai 1547 meneguhkan iman umat Katolik di pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.

Era VOC

Kedatangan dan kekuatan militer Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619 - 1799 akhirnya merebut monopoli perdagangan rempah-rempah dari bangsa Portugis dan praktis menegakkan hegemoni politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak melakukan kegiatan misi dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh VOC yaitu Flores dan Timor.

Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda. Banyak umat Katolik yang kemudian diprotestankan saat itu, seperti yang terjadi dengan komunitas-komunitas Katolik di Amboina.

Imam-imam Katolik diancam hukuman mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah kekuasaan VOC. Pada 1924, Pastor Egidius d'Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan Misa Kudus di penjara.

Pastor A. de Rhodes, seorang Yesuit Perancis, pencipta huruf abjad Vietnam, dijatuhi hukuman berupa menyaksikan pembakaran salibnya dan alat-alat ibadat Katolik lainnya di bawah tiang gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor A. de Rhodes diusir (1646).

Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria, terpaksa meninggalkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh pejabat-pejabat VOC, akibat bantuan yang ia berikan kepada beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Ia pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam pada 1737.

Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat diliputi perang dahsyat antara Perancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Perancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedaulatannya. Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Pada tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar. Utang-utang dan hak-hak VOC diambil alih oleh Kerajaan Belanda.

Era Hindia-Belanda

Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Louis, seorang Katolik, kerabat Napoleon Bonaparte, membawa pengaruh yang cukup positif. Semangat Revolusi Perancis "liberte, egalite, fraternite" (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) merembes ke kalangan pemerintahan Belanda. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Hal itu terbawa ke bumi nusantara yang kemudian disebut Hindia-Belanda. Pada tanggal 8 Mei 1807, Paus Pius VII, pimpinan Gereja Katolik Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mengaktifkan kembali karya misi di Hindia Belanda dan mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-18110 (lihat: Sejarah Gereja Katedral Jakarta)

Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi Prefek Apostolik pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.

Setelah Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) walaupun kebebasan beragama kemudian diberlakukan, namun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Hal itu karena pergantian kekuasaan di Belanda setelah kekalahan Napoleon pada 1815, yang mengangkat Willem I menjadi raja Belanda. Selain itu misi di Hindia-Belanda kekurangan tenaga. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Dengan kerja keras, Prefektur Apostolik Batavia dinaikkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik pada 20 September 1842. Situasi berangsur-angsur membaik setelah perundingan berangsur-angsur dengan pihak pemerintah pada tahun 1847. Pada tahun 1889 ada 50 orang imam di Indonesia sejak misi di Hindia Belanda diserahkan kepada Serikat Yesus (SY). Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.

Persekolahan Van Lith dan Pembagian Kerja Ordo-ordo Misionaris

Misi Katolik di daerah ini diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896. Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah Romo dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Sehingga pada tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono.

Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaalschool di tahun 1900 dan Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di tahun 1904. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan.

Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Berawal babak baru dengan pembagian kerja di antara Ordo-ordo misionaris. Setiap ordo mendatangkan tenaga misionarisnya. Paus Leo XIII mendirikan Prefektur Apostolik baru di Maluku dan sekitarnya, dan menyerahkan pembinaannya kepada imam-imam Misionaris Hati Kudus (MSC) pada 22 Desember 1902. Tiga tahun kemudian, pada 1905 Paus Pius X membentuk Prefektur Apostolik Kalimantan dan pelayanannya diserahkan kepada Ordo Kapusin (OFMCap). Sumatera menyusul menjadi Prefektur Apostolik pada tahun 1911 dan diserahkan kepada Ordo Kapusin juga. Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil didirikan pada 1913 dan diserahkan kepada Serikat Sabda Allah (SVD). Prefektur Apostolik Celebes berdiri pada tahun 1919 dan diserahkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC).

Selanjutnya di Jawa sendiri perkembangan besar terjadi dengan pembagian tugas baru. Pada 1923 imam-imam Ordo Karmel (O.Carm) diberi tugas membina daerah misi Malang, Suatu Prefektur Apostolik didirikan pada tahun 1927 di Malang. Surabaya diserahkan kepada imam-imam Lazaris (C.M.) pada tahun 1923 dan berkembang menjadi Prefektur Apostolik pada 1928. Imam-imam misionaris Hati Kudus (MSC) juga mengembangkan Purwokerto di Jawa Tengah, dan suatu Prefektur Apostolik didirikan di Purwokerto pada tahun 1932. Bersamaan dengan itu Bandung menjadi Prefektur Apostolik setelah diserahkan dan dibina oleh Ordo Salib Suci (OSC). Semarang dijadikan Vikariat Apostolik pada tahun 1940.

Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranata, SJ.

Era Perjuangan Kemerdekaan

Para pemimpin kawasan misi, yaitu para waligereja, yang telah berbagi tugas berhubungan dengan baik satu sama lain, dengan diketuai oleh Vikaris Apostolik Batavia (Jakarta). Mereka berkumpul dan mengadakan sidang Waligereja yang pertama pada 1924 di Jakarta. Mereka membagi-bagi tenaga guru 10 orang ke Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Sumatra. Seminari di Jawa akan menerima siswa dari mana saja, tetapi disepakati untuk mendirikan satu seminari baru di Flores. Disepakati untuk menyusun Katekismus Hindia Belanda guna pengajaran agama di sekolah-sekolah.

Sidang Waligereja kedua juga diadakan di Jakarta pada tahun 1925. Disetujui pendirian berbagai surat kabar berbahasa Melayu dan daerah. Sidang ketiga dilaksanakan di Muntilan, Jawa Tengah. Disetujui untuk mendirikan Kantor Pusat Misi di Jakarta, dan dibahas rencana Undang-undang perkawinan sipil untuk umat Kristen. Sidang keempat diselenggarakan di Girisonta, Ungaran, Jawa tengah pada 1934. Dianjurkan penggunaan nama Indonesia menggantikan Hindia-Belanda. Sidang kelima juga berlangsung di Girisonta pada tahun 1939 menegaskan kesatuan tindakan para Waligereja. Semua sidang itu menjadi cikal bakal kegiatan Majelis Agung Waligereja Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Konferensi Waligereja Indonesia atau KWI.

Seminari Tinggi Yogyakarta didirikan pada tahun 1939. Albertus Soegijapranata menjadi Vikaris Apostolik (Uskup di tanah misi) Indonesia yang pertama, ditahbiskan pada tahun 1940 untuk Vikariat Apostolik Semarang.

Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menguasai Indonesia sampai tahun 1945. Tenaga imam, burder, suster yang berkebangsaan Belanda ditangkap dan ditahan. Gereja dilayani oleh tenaga-tenaga pribumi yang jumlahnya sangat terbatas. Gereja Katolik tetap bertahan sebagai Gereja dalam diaspora.

Mgr. Soegijapranata (Semarang) bersama Uskup Willekens SJ (Jakarta) menghadap penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus Jakarta dapat berjalan terus.

Banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti Adisucipto, Agustinus (1947), dan Ignatius Slamet Riyadi (1945).

Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Hal itu tidak disetujui Belanda yang berusaha keras untuk kembali menguasai bumi Nusantara. Terjadilah konflik mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda (dan Sekutu). Para misionaris berkebangsaan Belanda dibebaskan dan boleh bekerja kembali.

Tanggal 20 Desember 1948 Romo Sandjaja terbunuh bersama Frater Hermanus Bouwens, SJ di dusun Kembaran dekat Muntilan, ketika penyerangan pasukan Belanda ke Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Romo Sandjaja dikenal sebagai martir pribumi dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia.

Era Demokrasi Terpimpin

Setelah mundurnya kekuatan Belanda dari Indonesia pada 1949, umat Katolik yang berpartisipasi sejak awal dalam mengawal kemerdekaan Indonesia menyelenggarakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pada bulan Desember di Jogjakarta. Pertemuan ini bagaikan prototip Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) sekarang. Diputuskan untuk melebur partai-partai umat Katolik yang bersifat kedaerahan menjadi satu Partai Katolik yang bersifat nasional. Niat itu terlaksana di Semarang pada tahun 1950. Partai Katolik mengikuti Pemilihan Umum 1955 untuk DPR dan Konstituante dengan perolehan kursi yang melebihi kuota umat Katolik. itu berarti partai ini mendapat kepercayaan besar rakyat Indonesia, bukan hanya umat Katolik.

Hubungan dengan Pemerintah Indonesia pada mulanya berjalan baik. Tetapi ketika pengaruh komunisme semakin besar (dengan semangat materialisme dan ateismenya yang ditentang oleh Paus Leo XIII sejak Ensiklik Rerum Novarum, 1891) umat Katolik agak renggang dengan Pemerintah. Dengan tegas Mgr Soegijopranoto menyatakan kepada Presiden Soekarno bahwa "umat Katolik akan bekerja sama dengan Pemerintah asalkan kebebasan beragama dijamin dan rakyat Indonesia dipimpin terlepas dari materialisme dan sikap ateis."

Para Waligereja melakukan sidang pada tahun 1955 di Surabaya dan secara resmi menggunakan nama MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia). Dalam sidang ditekankan agar semua pemimpin umat Katolik menyesuaikan diri dengan cita rasa kebangsaan Indonesia di segala bidang, mulai dari bidang pendidikan.

Sidang selanjutnya pada tahun 1960 di Girisonta membahas kemungkinan pendirian hirarki mandiri Gereja Katolik di Indonesia. Menanggapi harapan sidang ini, pada 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII dengan konstitusi apostolik Quod Christus mendirikan hirarki Gereja katolik di Indonesia. Ini berarti Indonesia bukan tanah misi lagi, tetapi Gereja muda. Semua Prefektur Apostolik dan Vikariat Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan, dipimpin Uskup masing-masing. Keuskupan-keuskupan yang berdekatan dihimpun menjadi suatu Provinsi Gerejani, dan salah satu Keuskupan ditunjuk menjadi metropolit pusat himpunan sebagai Keuskupan Agung. Ada 6 Keuskupan Agung dan 20 Keuskupan yang disebut Keuskupan Sufragan.

Selanjutnya para Uskup Indonesia mengikuti Konsili Vatikan II di Vatikan yang berlangsung 1962-1965, dengan hati was-was karena situasi dalam negeri Indonesia yang semakin panas bergolak, penuh dengan pemberontakan. Pemerintahan menjurus kepada pemerintahan diktator. Presiden Soekarno tumbang pada tahun 1965 setelah kegagalan pemberontakan komunis. Mulailah periode Orde Baru di Indonesia. Gereja pun mengalami banyak pembaruan karena keputusan-keputusan Konsili Vatikan II. Bahasa Indonesia digunakan dalam liturgi menggantikan bahasa Latin. Umat awam diberi kesempatan berperan serta di berbagai hal dalam kegiatan pastoral Gereja.

Kardinal pertama di Indonesia adalah Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia.

Era Orde Baru

Banyak korban jiwa pada masa epilog pasca pemberontakan yang gagal dari Partai Komunis Indonesia pada 1965. Gereja Katolik dengan kerja keras berusaha mengerem kekejaman yang terjadi di mana-mana. Dengan semangat kasih ditegaskan bahwa yang hasrus dimusi adalah ideologi yang jahat, bukan orangnya. Sambil mengobati luka-luka batin umat Katolik didorong untuk ikut aktif dalam proses pembangunan negara dari situasi yang porak poranda. Kegagalan panen di mana-mana menyebabkan wabah kelaparan dan penyakit berjangkit. Gereja mengulurkan tangan dengan membagikan sumbangan pangan dan obat-obatan dari sesama umat Katolik luar negeri. Inflasi yang melejit tinggi nyaris melumpuhkan perekonomian. Gereja ikut serta mengembangkan koperasi dan menggalakkan semangat menabung.

Ungkapan kasih dan perhatian umat Katolik itu mendapat tanggapan positif dari rakyat kebanyakan. Banyak orang belajar agama Katolik dan memberikan diri dibaptis. Jumlah umat menjadi berlipat ganda.

Gereja Katolik serta agama-agama lain mengalami pertumbuhan yang sangat besar terutama di daerah yang dihuni oleh sejumlah besar suku Tionghoa dan etnis Jawa. Sebagai contoh pada tahun 2000 di Jakarta saja, ada 301.084 umat Katolik ketika tahun 1960, hanya ada 26.955. Ini merupakan peningkatan 11 faktor sementara seluruh penduduk hampir tiga kali lipat dari 2.800.000 ke 8.347.000.[1]

Peningkatan dramatis jumlah umat Katolik pada khususnya dan orang Kristen pada umumnya telah menyebabkan permusuhan dan tuduhan 'Pengkristenan'.[2]

Pada tahun 1990-an dan mulai tahun 2000 juga ditandai dengan kekerasan terhadap umat Katolik pada khususnya dan Kristen pada umumnya. Namun mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang juga seorang pemimpin Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah memberikan kontribusi oleh beberapa penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari beberapa kalangan.

Demografi

Pusat Biro Statistik Indonesia (PBSI) melakukan sensus setiap 10 tahun. Data terbaru yang tersedia, dari tahun 2000, menarik tanggapan 201.241.999 survei, PBSI memperkirakan bahwa sensus terjawab oleh 4.600.000 orang. Laporan PBSI menunjukkan bahwa 88,22 persen (210 juta pada tahun 2004) populasi label Islam sendiri, Protestan 5,87 persen, 3,05 persen Katolik, Hindu 1,81 persen, Budha 0,84 persen, dan 0,2 persen "lain," termasuk agama adat tradisional, lain dengan kelompok Kristen dan Yudaisme. Komposisi agama negeri ini tetap merupakan isu politik yang dibebankan, dan beberapa orang Kristen, Hindu, dan anggota agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tidak adil oleh kaum non-Muslim.

Pranala Luar

Referensi

Buku

  • Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia. London: Curzon Press, Singapore: New Asian Library (2000) ISBN 981-04-2771-9
  • Adolf Heuken, 'Archdiocese of Jakarta - a Growing Local Church (1950-2000)' in Een vakkracht in het Koninkrijk. Kerk- en zendingshistorie opstellen onder redactie van dr. Chr.G.F. de Jong (2005:104-114) ISBN 90-5829-611-3
  • Leopold Maria van Rijckevorsel S.J., Pastoor F. van Lith S.J. : de stichter van de missie in Midden-Java, 1863-1926. Nijmegen: Stichting St.Claverbond (1952)
  • Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942 : a documented history. Leiden:KITLV Press ISBN 90-6718-141-2
  • Karel Steenbrink, 'A Catholic Sadrach: the contested conversions of Madrais adherents in West Java between 1960-2000' in Een vakkracht in het Koninkrijk. Kerk- en zendingshistorie opstellen onder redactie van dr. Chr.G.F. de Jong (2005:286-307) ISBN 90-5829-611-3

Catatan kaki

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Heuken-107
  2. ^ Sebagai contoh pada tahun 1989 ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Yogyakarta, ia menerima surat penuh dengan tuduhan tersebut. Surat itu ditulis oleh Moh. Natsir, K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid, dan H.M. Rasyidi. Mereka adalah pemimpin Muslim terkemuka pada waktu itu. Panji Masyarakat 31-10-1989. Informasi ini dikutip dari Adolf Heuken (2005:107)

Pranala luar