Suku Banjar: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membatalkan revisi 3512470 oleh 110.137.127.130 (Bicara)
←Membatalkan revisi 3512496 oleh Ezagren (Bicara)
Baris 111: Baris 111:
[[Berkas:Masjid-Kampung-Banjar-Semarang.jpg|thumb|200px|Masjid Kampung Banjar Semarang]]
[[Berkas:Masjid-Kampung-Banjar-Semarang.jpg|thumb|200px|Masjid Kampung Banjar Semarang]]
[[Berkas:Kampung-Banjar-Semarang.jpg|thumb|200px| Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara]]
[[Berkas:Kampung-Banjar-Semarang.jpg|thumb|200px| Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara]]
Suku Banjar di [[Jawa Tengah]] hanya berkisar 10.000 jiwa, jadi tidak sebanyak di [[Jambi]], [[Riau]] dan [[Sumatera Utara]]. Suku Banjar terutama bermukim di [[Kota Semarang]] dan [[Kota Surakarta]].<ref>Kuntowijoyo, ''Pengantar Ilmu Sejarah'', PT Bentang Pustaka, Hlm. 140, ISBN 979-3062-59-2</ref> Di Semarang suku Banjar (dahulu) kebanyakan bermukim di Kampung Banjar di Kelurahan [[Dadapsari, Semarang Utara, Semarang]]. Dahulu kampung ini merupakan wilayah kelurahan [[Banjarsari (Semarang)|Banjarsari]], Kecamatan Semarang Tengah yang telah dilikuidasi karenanya adanya penataan wilayah administrasif kota Semarang. Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan kampung Melayu (Eks Kelurahan Mlayu Darat yang telah dilikuidasi). Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan suku lainnya seperti [[suku Arab-Indonesia]], [[Gujarat]], [[Melayu]], [[suku Bugis|Bugis]] dan [[suku Jawa]] setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini , mereka mendirikan rumah panggung ([[rumah Banjar|rumah ba-anjung]]) seperti di daerah asalnya, tetapi sayang kebayakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.
Suku Banjar di [[Jawa Tengah]] hanya berkisar 10.000 jiwa, jadi tidak sebanyak di [[Jambi]], [[Riau]] dan [[Sumatera Utara]]. Suku Banjar terutama bermukim di [[Kota Semarang]] dan [[Kota Surakarta]]. Di Semarang suku Banjar (dahulu) kebanyakan bermukim di Kampung Banjar di Kelurahan [[Dadapsari, Semarang Utara, Semarang]]. Dahulu kampung ini merupakan wilayah kelurahan [[Banjarsari (Semarang)|Banjarsari]], Kecamatan Semarang Tengah yang telah dilikuidasi karenanya adanya penataan wilayah administrasif kota Semarang. Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan kampung Melayu (Eks Kelurahan Mlayu Darat yang telah dilikuidasi). Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan suku lainnya seperti [[suku Arab-Indonesia]], [[Gujarat]], [[Melayu]], [[suku Bugis|Bugis]] dan [[suku Jawa]] setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini , mereka mendirikan rumah panggung ([[rumah Banjar|rumah ba-anjung]]) seperti di daerah asalnya, tetapi sayang kebayakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.


Sedangkan di Surakarta suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan [[Martapura]], [[Kabupaten Banjar]]. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat [[Bupati]] [[Pemalang]] dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua ''Ikatan Keluarga Kalimantan'' ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari [[Kalimantan Barat]]. Di samping itu ada pula ''Ikatan Keluarga Banjar'' di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari [[Barabai]].
Sedangkan di Surakarta suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan [[Martapura]], [[Kabupaten Banjar]]. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat [[Bupati]] [[Pemalang]] dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua ''Ikatan Keluarga Kalimantan'' ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari [[Kalimantan Barat]]. Di samping itu ada pula ''Ikatan Keluarga Banjar'' di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari [[Barabai]].

Revisi per 17 Agustus 2010 08.02

Suku Banjar
Urang Banjar
Berkas:FamousBanjar.jpg
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia (sensus 2000)3,500,000[1]
        Kalimantan Selatan2,271,586
        Kalimantan Tengah435,758
        Kalimantan Timur340,381
        Riau179,380
        Sumatera Utara111,886
Bahasa
Banjar, Indonesia, dan Melayu
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Melayu, Kutai, Jawa, Dayak (Bukit, Bakumpai, Ngaju, Maanyan, Lawangan)
Sketsa seorang pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 (koleksi Museum Lambung Mangkurat).

Sukubangsa Banjar [2] adalah suku bangsa yang menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, dan sejak abad ke-17 mulai menempati sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur terutama kawasan dataran dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut.

Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yaitu wilayah inti dari Kesultanan Banjar meliputi DAS Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura dan DAS Tabanio.[butuh rujukan] Sungai Barito bagian hilir merupakan pusatnya suku Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), suku bangsa Banjar adalah suku asli sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, kecuali di Kabupaten Kotabaru.

Sejarah

Suku bangsa Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,-setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan-terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Banjar Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin (dan Martapura). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.[3]

Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.[butuh rujukan]

Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah : Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu unsur pembentuk Suku Suluk.[butuh rujukan]

Banjar Pahuluan

Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meskipun kelompok Suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya.[3]

Banjar Batang Banyu

Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah.Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.[3]

Banjar Kuala

Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan, bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, yang seperti halnya dengan dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.[3]


Berbeda dengan pendapat Alfani Daud, yang menyatakan bahwa inti suku Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya,[3]maka pendapat Idwar Saleh justru lebih menekankan bahwa penduduk asli suku Dayak adalah inti suku Banjar yang kemudian bercampur membentuk kesatuan politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya).

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.[4]

Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.[5]

Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks. [6]

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.[3]

Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal[7].

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Suku Banjar terbagi 3 subetnis berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:

  1. Banjar Pahuluan adalah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok)
  2. Banjar Batang Banyu adalah campuran Melayu, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai ciri kelompok)
  3. Banjar Kuala adalah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maanyan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok)

Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.

Berdasarkan sensus 1930, suku Banjar di Kalimantan Selatan terdapat di Kota Banjarmasin (89,19%), Afdeeling Banjarmasin tidak termasuk Kota Banjarmasin (94,05%), Afdeeling Hulu Sungai (93,75%), kota Kotabaru (69,45%), Pulau Laut tidak termasuk kota Kotabaru (48,96%), wilayah Tanah Bumbu (56,74%).[8]

Suku Banjar di berbagai daerah

Berkas:Penyebaran Suku bangsa Banjar.png
Penyebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah.

Kalimantan Timur

Suku Banjar (Banjar Samarinda) di Kalimantan Timur sering disebut juga suku Melayu, merupakan 15 % dari populasi penduduk. Suku Banjar terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Kutai, maupun suku Dayak setempat. Beberapa kecamatan yang terdapat banyak suku Banjarnya misalnya Kecamatan Kenohan, Kutai Kartanegara dan Jempang, Kutai Barat, Samarinda Barat, Samarinda Timur (Samarinda), Balikpapan, Tarakan dan di muara sungai Kelay, Berau. Menurut sensus 1930, suku Banjar terdapat di Kota Balikpapan (31,56%), Samarinda (54,93%), wilayah Kutai bagian Timur tidak termasuk Samarinda (33,09%), Tanjung Selor Kota (35,70%).

Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565 yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (ayahanda Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan (versi lainnya dari Kerajaan Bagalong di Kelua, Tabalong) yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Pasir, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).

Kalimantan Tengah

Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut Banjar-Melayu Pantai atau Banjar-Dayak, maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalteng. Komposisi etnis berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%), Maanyan (2,80%) dan tidak diketahui besar jumlah suku Melayu. Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo berjumlah 619.402 terdiri suku Dayak (63,49%), suku Banjar (5,95%), suku Melayu (26,64%), suku Jawa (2,51%), Bugis (1,09%) dan sisanya suku lainnya yang tidak disebutkan.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa suku Banjar yang ada sekarang di Kalimantan Tengah merupakan asimilasi suku Banjar dengan suku Melayu (Kotawaringin) yang menempati pesisir barat Kalimantan Tengah. Suku Banjar terutama menempati pesisir timur Kalimantan Tengah, misalnya menurut sensus 1930, penduduk Kota Kuala Kapuas 50,28% merupakan suku Banjar. Gabungan suku Banjar dan Melayu pada tahun 1930 mencapai 32,59% yang berarti ada penurunan prosentasenya pada tahun 2000. Hal ini disebabkan karena peningkatan suku lain seperti suku Jawa dan Madura melalui migrasi. [9] Pada tahun 1930 tersebut di Kalimantan Selatan juga terdapat 2.765 jiwa suku Melayu yaitu di Banjarmasin 1.512 jiwa dan kota Tanjung 1.253 jiwa. Suku Melayu tersebut diduga juga telah melebur ke dalam suku Banjar.

Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.

Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.

Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibukota Kerajaan Negara Daha), kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.

Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.

Jawa Tengah

Berkas:Masjid-Kampung-Banjar-Semarang.jpg
Masjid Kampung Banjar Semarang
Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara

Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa, jadi tidak sebanyak di Jambi, Riau dan Sumatera Utara. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta. Di Semarang suku Banjar (dahulu) kebanyakan bermukim di Kampung Banjar di Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang. Dahulu kampung ini merupakan wilayah kelurahan Banjarsari, Kecamatan Semarang Tengah yang telah dilikuidasi karenanya adanya penataan wilayah administrasif kota Semarang. Migrasi suku Banjar ke kota Semarang kira-kira pada akhir abad ke-19 dan bermukim di sebelah barat kali Semarang berdekatan dengan kampung Melayu (Eks Kelurahan Mlayu Darat yang telah dilikuidasi). Di wilayah ini suku Banjar membaur dengan suku lainnya seperti suku Arab-Indonesia, Gujarat, Melayu, Bugis dan suku Jawa setempat. Keunikan suku Banjar di kampung ini , mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) seperti di daerah asalnya, tetapi sayang kebayakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut.

Sedangkan di Surakarta suku Banjar kebanyakan bermukim di Kampung Jayengan. Suku Banjar di Surakarta memiliki yayasan Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura. Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai.

Sulawesi Utara


Sumatera dan Malaysia

Pada tahun 1931, suku Banjar di Malaya berjumlah 45.433, sedangkan di Sumatera berjumlah 77.838, belakangan suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera (Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak/Paluh Kurau, Pantai Cermin, Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar. Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi hukuman mati. Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar. Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan Belanda.

Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa, raja Indragiri sebelum raja yang terakhir. Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura yang menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.

Sistem kekerabatan

Waring
Sanggah
Datu
Kai (kakek) + Nini (nenek)
Abah (ayah) + Uma (ibu)
Kakak < ULUN > Ading
Anak
Cucu
Buyut
Intah/Muning

Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.

Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman) dan Makacil (bibi), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara datu.

Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
 · minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
 · pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
 · mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
 · mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
 · sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
 · mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
 · kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
 · sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
 · maruai (isteri sama isteri bersaudara)
 · ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
 · panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
 · pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
 · badangsanak (saudara kandung)

Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.

Islam Banjar

Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri (Tim Haeda, 2009:3). Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.

Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Menurut Alfani Daud (1997), ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar. Menurut Tim Haeda (2009), di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.

Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.

Bahasa

Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Banyak kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa Melayu, maupun Bahasa Jawa.

Kebudayaan

Rumah Banjar

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.

Tradisi lisan

Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa[10]. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar[10].

Teater

Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup[11].

Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri)[11].

Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.

Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena didalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan[11].

Musik

Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[12]

Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.[13]

Tarian

Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.

Populasi

Suku Banjar merupakan suku ke-8 terbanyak di Indonesia Menurut sensus BPS tahun 2000 populasi suku Banjar diperkirakan sebagai berikut:

Menurut situs "Joshua Project" jumlah suku Banjar adalah

Populasi Suku Banjar di Kalimantan Selatan

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Banjar di Kalimantan Selatan berjumlah 2.271.586 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :

Orang Banjar Hulu Sungai yang bertutur Bahasa Banjar (Hulu) terdapat pada 6 kabupaten (Banua Enam) yaitu :

Tokoh-tokoh Banjar (Rumpun Banjar)

Lihat pula

Literatur

  • Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).
  • J.J. Rass, Hikajat Bandjar:A Study in Malay Histiography, (The Hague : Martinus Nijhoff), 1968
  • Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil, Djakarta:Penerbit Endang, 1957.
  • Idwar Saleh, Sejarah bandjarmasin:Selajang Pandang Mengenai Bnagkitnja Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuh Belas. Bandung: Balai Pendidikan Guru. 1958
  • Rumah Tradisional Banjar: Rumah Bubungan Tinggi, Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1984
  • M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  • Jurnal Kebudayaan:KANDIL, Melintas Tradisi, Edisi 6, Tahun II, Agustus-Oktober, 2004 ISSN: 1693-3206
  • Arthum Artha, Naskah Kitab Undang Undang Sultan Adam 1825, Banjarmasin: Penerbit Murya Artha, 1988
  • Tim Haeda, Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius, (Banjarmasin: Lekstur, 2009)
  • Francisco O. Javines, Our march of death and people power from Mactan to EDSA: in articles and poems, Rex Bookstore, Inc., 1992, ISBN 971-23-0834-0, 9789712308345 (orang Banjar di Filipina)
  • M.c. Halili, Philippine history, Rex Bookstore, Inc., 2004, ISBN 971-23-3934-3, 9789712339349
  • Patrice Levang, Ayo ke tanah sabrang: transmigrasi di Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, ISBN 979-9100-03-8, 9789799100030

Referensi

  1. ^ Leo Suryadinata; Evi Nurvidya Arifin; Aris Ananta. (2003). Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9812302123. 
  2. ^ Banjar of Indonesia
  3. ^ a b c d e f (Indonesia) Alfani Daud, Islam & masyarakat Banjar: diskripsi dan analisa kebudayaan Banjar, RajaGrafindo Persada, 1997, ISBN 979-421-599-6, 9789794215999
  4. ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh; Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad ke-19, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Selatan, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru 1986.
  5. ^ Idwar Saleh, makalah Perang Banjar 1859-1865, [[1991
  6. ^ Tim Haeda dalam Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius, 2009
  7. ^ Irfan Noor, "Islam dan Universum simbolik Urang Banjar"
  8. ^ Volkstelling 1930, V:27
  9. ^ (Indonesia) Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia: demografi-politik pasca-Soeharto, Yayasan Obor Indonesia, 2007, ISBN 9797990834, 9789797990831
  10. ^ a b Kompas Online - Gusti Jamhar Akbar, Tokoh Seni Lamut
  11. ^ a b c Viva Borneo - Mamanda, Seni Pementasan Pulau Kalimantan
  12. ^ Musik Panting Banjar
  13. ^ Musik Kentung Banjar

Pranala luar