Pekojan, Tambora, Jakarta Barat: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HarisX (bicara | kontrib)
HarisX (bicara | kontrib)
Baris 23: Baris 23:
Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem [[passen stelsel]] dan [[wijken stelsel]]. Bukan saja menempatkan mereka dalam ghetto-ghetto, tapi juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah. Sistem macam ini juga terjadi di [[Kampung Ampel]], [[Surabaya]], dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di [[Nusantara]].
Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem [[passen stelsel]] dan [[wijken stelsel]]. Bukan saja menempatkan mereka dalam ghetto-ghetto, tapi juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah. Sistem macam ini juga terjadi di [[Kampung Ampel]], [[Surabaya]], dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di [[Nusantara]].


Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di [[Batavia]]. Dari tempat inilah mereka kemudian menyebar ke [[Krukut]] dan [[Sawah Besar]] ([[Jakarta Barat]]); [[Jatipetamburan]], [[Tanah Abang]], dan [[Kwitang ]]([[Jakarta Pusat]]); [[Jatinegara]] dan [[Cawang]] ([[Jakarta Timur]]).
Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di [[Batavia]]. Dari tempat inilah mereka kemudian menyebar ke Krukut dan [[Sawah Besar]] ([[Jakarta Barat]]); Jati petamburan, [[Tanah Abang]], dan Kwitang ([[Jakarta Pusat]]); [[Jatinegara]] dan [[Cawang]] ([[Jakarta Timur]]).


=== Jamiatul Kheir ===
=== Jamiatul Kheir ===

Revisi per 25 Oktober 2009 10.46

Pekojan
Negara Indonesia
ProvinsiJakarta
KotaJakarta Barat
KecamatanTambora
Kodepos
11240
Kode Kemendagri31.73.04.1009
Kode BPS3174050011
Luas-km2.
Jumlah penduduk-
Kepadatan-

Pekojan adalah salah satu kelurahan di kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Indonesia.

Sejarah

Kampung Arab

Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Daerah pekojan pada era kolonial Belanda dikenal sebagai kampung Arab. Namun kini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa.

Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab. Kala itu, para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) ini diwajibkan lebih dulu tinggal di sini. Baru dari Pekojan mereka menyebar ke berbagai kota dan daerah.

Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem passen stelsel dan wijken stelsel. Bukan saja menempatkan mereka dalam ghetto-ghetto, tapi juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah. Sistem macam ini juga terjadi di Kampung Ampel, Surabaya, dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di Nusantara.

Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di Batavia. Dari tempat inilah mereka kemudian menyebar ke Krukut dan Sawah Besar (Jakarta Barat); Jati petamburan, Tanah Abang, dan Kwitang (Jakarta Pusat); Jatinegara dan Cawang (Jakarta Timur).

Jamiatul Kheir

Di Pekojan, pada awal abad ke-20 (1901), berdiri organisasi pendidikan Islam, Jamiatul Kheir, yang dibangun dua bersaudara Shahab, Ali dan Idrus, di samping Muhammad Al-Mashur dan Syekh Basandid. Menurut buku Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, perkumpulan ini menghasilkan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri SI). Jamiatul Kheir mendatangkan Syeikh Ahmad Surkati dari Sudan yang kemudian mendirikan Perguruan Islam Al-Irsyad.

Jamiatul Kheir banyak mendatangkan surat kabar dan majalah dari Timur Tengah. Ia ikut menyebarkan gerakan Pan Islam yang dicetuskan Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan punya hubungan korespondensi dengan surat kabar dan majalah di Timur Tengah. Dengan demikian negara-negara tersebut mendapatkan informasi mengenai Indonesia, termasuk kekejaman Belanda. Snock Hurgronye dengan berang menuding Jamiatul Kheir membahayakan Belanda.

Tempat-tempat kegiatan Islam yang masih tersisa di Pekojan akan ditinjau dalam wisata kota tua hari ini (Ahad 25/8). Acara ini akan diikuti sekitar 100 orang dari kalangan mahasiswa, sejarawan, dan pers.

Tempat-tempat bersejarah

Peninggalan muslim India

Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab, Pekojan merupakan tempat tinggal warga Koja (Muslim India). Sampai kini, masih terdapat Gang Koja --yang telah berganti nama jadi Jl Pengukiran II. Di sini terdapat sebuah masjid kuno Al-Anshsor yang dibangun pada 1648 oleh para Muslim India.

Tidak sampai satu kilometer dari tempat ini, masih di Kelurahan Pekojan, terdapat Masjid Kampung Baru yang dibangun pertengahan abad ke-18. Warga Muslim India yang telah menyebar di Jakarta, setiap Lebaran shalat Id di masjid ini. Sambil bernostalgia mengenang para leluhurnya yang tinggal di kawasan ini.

Peninggalan warga keturunan arab

Di Pekojan, sekalipun kini tidak tepat lagi disebut kampung Arab, peninggalan orang Arab ratusan tahun lalu banyak. Misalnya Masjid Langgar Tinggi, dibangun abad ke-18. Masjid ini telah diperluas oleh Syeikh Said Naum, seorang kapiten Arab. Ia memiliki beberapa kapal niaga dan tanah luas di Tanah Abang yang sebagian diwakafkan untuk pekuburan. Pekuburan ini oleh Ali Sadikin dibongkar dan di atasnya dibangun rumah susun.

Masjid Langgar Tinggi di Pekojan

Di dekat Masjid Langgar Tinggi terdapat Jembatan Kambing. Dinamakan demikian karena sebelum binatang dibawa ke pejagalan (kini Jl Pejagalan), kambing melewati jembatan di Kali Angke ini. Para pedagang di sini sudah berdagang turun-menurun sejak 200 tahun lalu.

Di depan pejagalan terdapat Masjid An-Nawier, tempat ibadah terbesar di Pekojan. Menurut Abdullah Zaidan, masjid ini diperluas pada 1920-an oleh Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. Ia seorang kaya raya, dan tempat kediamannya diabadikan menjadi Jl Alaydrus, di sebelah kiri Jl Hayam Wuruk. Ia juga banyak memasok senjata untuk para pejuang Aceh pada Perang Aceh (1873-1903).

Masih di kawasan Pekojan, terdapat Masjid Zawiah yang dulu merupakan surau kecil. Masjid ini dibangun Habib Ahmad bin Hamzah Alatas, guru dari Habib Abdullah bin Muhsin Alatas, yang kemudian memimpin pengajian dan majelis taklim di Empang, Bogor. Beberapa rumah arsitektur Moor (sebutan Muslim India dan Timur Tengah), masih terdapat di sini.

Pranala luar