Pitis Palembang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 36: Baris 36:
Produksi pitis Palembang cenderung terbatas sebelum tahun 1710, tetapi surplus timah berkat pasokan tambang Bangka membuat produksinya meningkat tajam. Pitis dicetak dengan cara yang mirip dengan koin Tiongkok: timah cair dituang ke dalam cetakan yang menjadikan berpuluh-puluh koin tersambung dalam satu dahan, bentuk yang kerap dijuluki sebagai "pohon uang." Tiap keping koin dipatahkan dari dahan kemudian diasah hingga koin berbentuk bulat, meski bekas patahan yang membuat koin tidak bulat sempurna kerap terlihat dalam pitis Palembang. Terakhir, koin dicap agar memuat tulisan yang sesuai.{{sfn|Mitchiner|2013|pp=32, 35}}{{sfn|Robinson|2015|pp=1}}
Produksi pitis Palembang cenderung terbatas sebelum tahun 1710, tetapi surplus timah berkat pasokan tambang Bangka membuat produksinya meningkat tajam. Pitis dicetak dengan cara yang mirip dengan koin Tiongkok: timah cair dituang ke dalam cetakan yang menjadikan berpuluh-puluh koin tersambung dalam satu dahan, bentuk yang kerap dijuluki sebagai "pohon uang." Tiap keping koin dipatahkan dari dahan kemudian diasah hingga koin berbentuk bulat, meski bekas patahan yang membuat koin tidak bulat sempurna kerap terlihat dalam pitis Palembang. Terakhir, koin dicap agar memuat tulisan yang sesuai.{{sfn|Mitchiner|2013|pp=32, 35}}{{sfn|Robinson|2015|pp=1}}


Selama masa edar pitis Palembang, pemalsuan koin menjadi industri besar sehingga koin resmi yang dikeluarkan oleh sultan tidak memegang porsi utama dari total koin yang beredar di Palembang. Terdapat laporan akan adanya hukuman berat bagi pemalsu,{{sfn|Millies|1871|pp=110}} namun koin palsu relatif mudah dibuat oleh siapapun yang memiliki akses ke pasokan timah Palembang pada masa surplus. Pengguna pitis juga diduga tidak akan memeriksa tiap koin dengan telaten mengingat pitis seringkali ditransaksikan dalam [[Pitis Palembang#Nilai tukar|kumpulan berjumlah besar]]. Membedakan pitis resmi dan palsu cenderung sulit dilakukan pada sejumlah kasus. Koin dengan bentuk atau tulisan yang sangat terdistorsi kemungkinan besar palsu, namun berbagai aspek pitis resmi seperti bentuk, ukuran, berat, dan tulisan juga seringkali tidak konsisten akibat pengawasan mutu yang longgar.{{sfn|Mitchiner|2013|pp=34, 35, 39}}{{sfn|Robinson|2015|pp=1}}
Selama masa edar pitis Palembang, pemalsuan koin menjadi industri besar sehingga koin resmi yang dikeluarkan oleh sultan tidak memegang porsi utama dari total koin yang beredar di Palembang. Terdapat laporan akan adanya hukuman berat bagi pemalsu,{{sfn|Millies|1871|pp=110}} namun koin palsu relatif mudah dibuat oleh siapapun yang memiliki akses ke pasokan timah Palembang pada masa surplus. Pengguna pitis juga diduga tidak akan memeriksa tiap koin dengan telaten mengingat pitis seringkali ditransaksikan dalam [[Pitis Palembang#Nilai tukar|kumpulan berjumlah besar]]. Pada sejumlah kasus, membedakan pitis resmi dan palsu cenderung sulit. Koin dengan bentuk atau tulisan yang sangat terdistorsi kemungkinan besar palsu, namun berbagai aspek pitis resmi seperti bentuk, ukuran, berat, dan tulisan juga seringkali tidak konsisten akibat pengawasan mutu yang longgar.{{sfn|Mitchiner|2013|pp=34, 35, 39}}{{sfn|Robinson|2015|pp=1}}


== Jenis ==
== Jenis ==

Revisi per 11 Januari 2022 04.58

Pitis Palembang
ڤيتس ڤلمبڠ
Beberapa koin pitis Palembang
Denominasi
Supersatuan
 250kupat
 500cucuk
Demografi
Tanggal peluncuran1600-an
PenggunaKesultanan Palembang

Pitis Palembang (dikenal juga sebagai picis) adalah mata uang yang dikeluarkan oleh Kesultanan Palembang pada dasawarsa 1600-an hingga tahun 1825 ketika wilayah Kesultanan Palembang diambil alih oleh pemerintahan Hindia Belanda.[1] Mata uang ini terdiri dari koin-koin timah bernilai rendah yang umum ditukarkan dalam jumlah besar. Koin-koin tersebut memiliki beragam variasi dan mutu yang seringkali tidak konsisten, sehingga rentan dipalsukan sepanjang masa edarnya.

Sejarah

Suasana kota Palembang sekitar tahun 1659.

Kesultanan Palembang mulai bangkit sebagai kerajaan tersendiri mengikuti surutnya pamor Kesultanan Demak setelah kematian Sultan Trenggana pada tahun 1546. Antara dasawarsa 1560-an dan 1620-an, Palembang turut ambil andil dalam perdagangan dua komoditas penting masa itu: lada dan timah.[2] Berkat perdagangan, koin dari berbagai kerajaan beredar di Palembang, di antaranya koin Banten, Demak, Siak, Kampar, dan Jambi, ditambah pula dengan koin Tiongkok yang telah lama beredar di Nusantara dan imitasi setempat. Seri koin paling awal yang dihasilkan oleh Palembang berasal dari periode ini, yakni imitasi koin Tiongkok dengan kata "sultan" yang ditulis secara fonetis menggunakan hanzi menjadi shǐdān (史丹), diproduksi antara tahun 1600 dan 1658. Seri ini diikuti oleh koin dengan abjad Jawi yang bertuliskan 'alamat Sulṭan (علامت سلطان), diproduksi antara tahun 1658 dan 1710.[3][4] Kedua seri koin tersebut dibuat dari bahan timah, mengikuti tren penggunaan uang timah di Nusantara sejak abad ke-15.[5] Pada paruh kedua abad ke 17, monopoli Kompeni Hindia Belanda (VOC) akan lada dan timah mulai meningkat. Monopoli ini berpengaruh buruk pada jaringan perdagangan serta ekonomi kerajaan-kerajaan lokal. Koin-koin lokal pun menjadi langka di Palembang, kecuali koin yang dicetak di Palembang sendiri.[6]

Sekitar 1710, cadangan bijih timah ditemukan di Pulau Bangka, yang pada masa itu merupakan bagian dari Kesultanan Palembang.[7][8] Penemuan ini menghasilkan surplus timah yang diperdagangkan dalam bentuk batangan oleh Palembang serta dijadikan bahan untuk uang berdenominasi rendah dalam jumlah besar. Uang keluaran Palembang pada abad ke 18 terdiri dari dua seri koin yang terpisah. Seri pertama adalah koin-koin kecil keluaran sultan dengan tulisan Arab Jawi,[9] sedangkan seri kedua adalah koin-koin bergaya Tionghoa dengan ukuran lebih besar dan tulisan Hanzi.[10] Koin bergaya Tionghoa dicetak untuk komunitas penambang Tionghoa di Bangka dan umum dianggap hanya berlaku di Bangka. Meskipun demikian koin Tionghoa tampaknya juga dicetak di Kota Palembang sehingga memungkinkan kedua seri koin beredar dan diterima di dalam wilayah inti Palembang.[11] Bersamaan dengan pitis keluarannya sendiri, duit VOC dan dolar Spanyol yang mulai beredar pada dasawarsa awal 1700-an juga digunakan di Palembang.[12][11]

Pada tahun 1812, kesultanan Palembang kehilangan sumber timah akibat direbutnya Pulau Bangka oleh Inggris. Hak milik Bangka kemudian diserahkan kepada Belanda dengan menukar hak milik wilayah Cochin, India berdasarkan hasil Perjanjian Inggris-Belanda 1814. Bangka sepenuhnya berada di bawah kendali Belanda pada tahun 1816.[13] Sekitar tahun 1820, Sultan Mahmud Badaruddin II memimpin pemberontakan melawan Belanda dan dikalahkan oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada tahun 1821. Belanda melengserkan kekuasaan Mahmud dan mengasingkannya ke Ternate pada tahun yang sama. Pada tahun 1825, wilayah Palembang sepenuhnya diserap di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Pitis Palembang yang memiliki angka cetak paling muda berasal dari tahun 1804, dan dapat diduga bahwa produksi pitis Palembang telah berhenti sesampainya tahun 1825.[14]

Pembuatan

Produksi pitis Palembang cenderung terbatas sebelum tahun 1710, tetapi surplus timah berkat pasokan tambang Bangka membuat produksinya meningkat tajam. Pitis dicetak dengan cara yang mirip dengan koin Tiongkok: timah cair dituang ke dalam cetakan yang menjadikan berpuluh-puluh koin tersambung dalam satu dahan, bentuk yang kerap dijuluki sebagai "pohon uang." Tiap keping koin dipatahkan dari dahan kemudian diasah hingga koin berbentuk bulat, meski bekas patahan yang membuat koin tidak bulat sempurna kerap terlihat dalam pitis Palembang. Terakhir, koin dicap agar memuat tulisan yang sesuai.[15][16]

Selama masa edar pitis Palembang, pemalsuan koin menjadi industri besar sehingga koin resmi yang dikeluarkan oleh sultan tidak memegang porsi utama dari total koin yang beredar di Palembang. Terdapat laporan akan adanya hukuman berat bagi pemalsu,[17] namun koin palsu relatif mudah dibuat oleh siapapun yang memiliki akses ke pasokan timah Palembang pada masa surplus. Pengguna pitis juga diduga tidak akan memeriksa tiap koin dengan telaten mengingat pitis seringkali ditransaksikan dalam kumpulan berjumlah besar. Pada sejumlah kasus, membedakan pitis resmi dan palsu cenderung sulit. Koin dengan bentuk atau tulisan yang sangat terdistorsi kemungkinan besar palsu, namun berbagai aspek pitis resmi seperti bentuk, ukuran, berat, dan tulisan juga seringkali tidak konsisten akibat pengawasan mutu yang longgar.[18][16]

Jenis

Seluruh mata uang pitis Palembang terdiri dari uang logam campuran timah-timbal, kecuali satu jenis yang memiliki versi tembaga. Tiap jenis memiliki tulisan di satu sisi, sementara sisi sebaliknya polos. Kebanyakan koin memiliki kata في بلد ڤلمبڠ fi bilad Palembang ('di negeri Palembang') yang ditulis menggunakan abjad Jawi, dan sebagian menyertakan tahun cetak dalam Kalender Hijriah. Koin dapat dibagi ke dalam dua jenis berdasarkan bentuknya: koin tanpa lubang yang disebut pitis buntu serta koin dengan lubang (termasuk koin Tionghoa) yang disebut pitis teboh.[19] Dengan mengabaikan varian, sebagian pitis Palembang yang diketahui pernah dihasilkan oleh kesultanan Palembang dapat dilihat sebagaimana berikut:[20][21][9][22][23]

Pitis buntu

Tulisan Tahun produksi Gambar Sultan yang berkuasa
Jawi Alih aksara Hijriah Masehi
ڤلمبڠ ? ? Palembang[a] (sekitar 1750[b] atau 1812–1816[c])
السلطان في بلد ڤلمبڠ ؁١١٩٣ al-Sulṭan fi bilad Palembang sanat 1193 1193 1779/1780 Muhammad Bahauddin (1776–1803)

Pitis teboh

Tulisan Tahun produksi Gambar Sultan yang berkuasa
Jawi/Hanzi Alih aksara Hijriah Masehi
史丹利寶 shǐdān lìbǎo (sekitar 1600–1658)
علامت سلطان 'alamat Sulṭan (sekitar 1658–1710)
ضرب في بلد ڤلمبڠ دار السلام ḍarb fi bilad Palembang dar al-salam (sekitar 1710–1778)
علامت في بلد ڤلمبڠ دار السلام ؁١١٦٢ 'alamat fi bilad Palembang dar al-salam sanat 1162 1162 1749/1750 Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724–1757)
هذا فلوس في بلد ڤلمبڠ ؁١١٩٨ hadza fulus fi bilad Palembang sanat 1198[d] 1198 1783/1784 Muhammad Bahauddin (1776–1803)
السلطان في بلد ڤلمبڠ ؁ al-Sulṭan fi bilad Palembang sanat (tahun) 1200–1204 1785–1789/1790 Muhammad Bahauddin (1776–1803)
مصروف في بلد ڤلمبڠ ١٢١٩ maṣruf fi bilad Palembang 1219 1219 1804/1805 Mahmud Badaruddin II (1804–1813, 1818–1821)

Nilai tukar

Pitis merupakan mata uang bernilai rendah yang perlu dikumpulkan dalam jumlah besar agar dapat ditukar dengan mata uang bernilai lebih tinggi seperti duit VOC dan dolar Spanyol. Buntu dan teboh cenderung memiliki nilai yang setara dan hanya dibedakan dari satuan kumpulannya. Pitis buntu dikumpulkan dalam pak yang dibungkus daun. Satu pak dengan isi 250 keping dikenal sebagai kupat (كوفات) dengan nilai satu kejer, setara dengan 20 keping duit VOC atau ⅟16 dolar Spanyol. Pitis teboh dikumpulkan dengan sebilah rotan atau tali, mirip dengan uang kepeng Tiongkok. Seutas tali dengan isi 500 keping dikenal sebagai cucuk (چوچق) dengan nilai satu tali, setara dengan dua kejer. Satuan dan nilai tukar untuk pitis Palembang terdokumentasi sebagaimana berikut:[19][27]

Pitis Palembang Duit VOC Dolar Spanyol
Satuan Padanan Jumlah keping
ريال real 2 jampel 4.000 320 1
جمفل jampel 2 suku 2.000 160 ½
سوكو suku 2 tali 1.000 80 ¼
تالي tali 2 kejer (1 cucuk) 500 40
كجر kejer (1 kupat atau ½ cucuk) 250 20 ⅟16
- - (½ kupat atau ¼ cucuk) 125 10 ⅟32

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Tulisan yang terstilisasi dalam koin ini sulit dibaca. Beberapa penulis yang mengulas koin ini hanya setuju di bagian "Palembang."[24][25][23]
  2. ^ Berdasarkan Robinson (2015).
  3. ^ Berdasarkan Mitchiner (2013:43)
  4. ^ Ini adalah satu-satunya pitis Palembang yang diketahui memiliki versi tembaga.[26]

Rujukan

  1. ^ Hall 1968, hlm. 576.
  2. ^ Hall 1968, hlm. 277-279.
  3. ^ Yih 2010, hlm. 27-31.
  4. ^ Yih 2011, hlm. 32-35.
  5. ^ Aelst 1995, hlm. 369-370.
  6. ^ Mitchiner 2013, hlm. 31-32.
  7. ^ Millies 1871, hlm. 117.
  8. ^ Wicks 1983, hlm. 287-288.
  9. ^ a b Mitchiner 2013, hlm. 33-43.
  10. ^ Mitchiner 2013a, hlm. 29.
  11. ^ a b Mitchiner 2013, hlm. 32.
  12. ^ Bucknill 1931, hlm. 15.
  13. ^ Hall 1968, hlm. 543, 576.
  14. ^ Mitchiner 2013, hlm. 32-33.
  15. ^ Mitchiner 2013, hlm. 32, 35.
  16. ^ a b Robinson 2015, hlm. 1.
  17. ^ Millies 1871, hlm. 110.
  18. ^ Mitchiner 2013, hlm. 34, 35, 39.
  19. ^ a b Netscher 1855, hlm. 169.
  20. ^ Nestcher 1855, hlm. 167-170.
  21. ^ Millies 1871, hlm. 111-116.
  22. ^ Robinson 2015.
  23. ^ a b Gumilar 2021, hlm. 8-9.
  24. ^ Millies 1871, hlm. 114.
  25. ^ Mitchiner 2013, hlm. 43.
  26. ^ Mitchiner 2013, hlm. 39.
  27. ^ Millies 1871, hlm. 115-116.

Daftar Pustaka