Saras Dewi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Sudah disebutkan di artikel, ndak usah direpetisi
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 58: Baris 58:
* Selalu dijalanNya (feat [[Dewa Budjana]])
* Selalu dijalanNya (feat [[Dewa Budjana]])
* Cinta Memang Gila (feat [[Netral (grup musik)|Netral]])
* Cinta Memang Gila (feat [[Netral (grup musik)|Netral]])

== Bibliografi ==

* ''Jiwa Putih'' karya sastra kumpulan puisi (2004)
* ''Hak Azasi Manusia'' (2006)
* ''Cinta Bukan Coklat'' (2010)


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 2 Desember 2021 07.10

Templat:Infobox artis indonesia Dr. Luh Gede Saraswati Putri, S.S., M.Hum.[1] atau umum dikenal Saras Dewi (lahir 16 September 1983) adalah penyanyi Indonesia sekaligus dosen Filsafat Universitas Indonesia. Saras lahir dan besar di Bali.

Kehidupan dan karier

Awal kehidupan dan keluarga

Saras Dewi bernama lengkap L.G. Saraswati Putri lahir di Denpasar, Bali. Ia adalah anak sulung dari sepuluh bersaudara dari pasangan yang berbeda keyakinan.[2][3] Setelah lulus SMA, Saras memilih Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia. Dari sarjana hingga bergelar doktor, Saras konsisten dengan mendalami filsafat.[4]

Penyanyi

Pada 2002, dia meluncurkan album dengan Bintang Record, dengan single "Lembayung Bali" dan judul album Chrysan. Album ini masuk nominasi AMI Award (Anugerah Musik Indonesia) dalam kategori, Best Ballad, dan Best Single. Pada tahun 2014, Saras bersama artis Bali lainnya menyanyi bersama untuk gerakan Bali Tolak Reklamasi.[butuh rujukan]

Dosen

Dari sarjana hingga bergelar doktor, Saras konsisten dengan mendalami filsafat. Pada tahun 2001, dia mendapat beasiswa sampai jenjang S3, tetapi dengan ikatan kerja. Pertama kali diajak mengajar oleh Gadis Arivia dengan menjadi asistennya selama dua semester sebelum akhirnya mendapat kepercayaan untuk memegang kelas sendiri.[5]

Mengawali karier sebagai dosen dengan menjadi dosen luar biasa di sana sejak 2006, pada tahun 2009 dia menjadi dosen Pegawai Negeri Sipil untuk Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Filsafat pada tahun 2010-2016. Dia mengajar mata kuliah Eksistensialisme, Filsafat Timur, Etika Lingkungan, Filsafat dan HAM, Fenomenologi, dan Filsafat Sastra. Pada bulan Juli 2013, dia berhasil menyelesaikan program doktoral di usia 29 tahun.[butuh rujukan]

Penulis dan aktivis

Saras telah menerbitkan 4 buku. Buku pertama adalah karya sastra kumpulan puisi dengan judul Jiwa Putih pada tahun 2004. Buku kedua merupakan buku nonfiksi tentang Hak Asasi Manusia yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh UI Press yang bekerja sama dengan Uni Eropa, sedangkan buku ketiga yang berjudul Cinta Bukan Coklat terbit pada tahun 2010 dan yang baru terbit pada tahun 2015 berjudul Ekofenomenologi.[6]

Tulisannya sebagai kolumnis dimuat di berbagai media, termasuk Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post, Media Hindu, Raditya, Nusa Tenggara Post. Dia banyak menulis terkait tema-tema sosial, budaya, dan politik. Selain itu, Saras kerap mengirimkan puisi-puisi dan telah dimuat oleh Media Indonesia dan Bali Post. Esai terbarunya diterbitkan oleh Jawa Pos yang berjudul Melampaui Kebencian; Kosmos dan Pendidikan Karakter; Pilpres dan Politik Ekologi; Hak Asasi Manusia dan Ambivalensi Politik; Realitas Semu Demokrasi di Indonesia; Kekerasan Seksual dan Budaya Diskriminasi; dan Tak Ada yang Privat dalam Kekerasan Seksual yang ditampilkan dalam segmen halaman muka Sudut Pandang.[butuh rujukan]

Saras juga terlibat dalam gerakan konser amal dan koin sastra untuk penyelamatan Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin karena adanya pemotongan anggaran operasional dari Pemrpov DKI di era Fauzi Bowo yang mengangkat keprihatinan seniman Jakarta dan pecinta sastra. Sebagai pengguna aktif media sosial twitter, dia membantu menyuarakan kesadaran akan peran seni sastra dan masalah yang dihadapi lewat akun pribadinya.[2][7] Pada tahun 2014, dia bersama Walhi dan beberapa artis lokal Bali sama-sama memperjuangkan penolakan reklamasi kawasan hijau Benoa. Dia melihat ada ketidakseimbangan, hancurnya Bali, hilangnya spesies, kehidupan yang tidak seimbang, sampah, limbah, kemacetan, dan kelebihan populasi yang luar biasa.[butuh rujukan]

Dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan penyair, sastrawan dan budayawan Sitok Srengenge, dia juga vokal mengusut dan mendampingi korban yang juga mahasiswi Universitas Indonesia karena sejak awal korban telah datang kepadanya dan bercerita tentang kasus ini.[8][9]

Selama 3 bulan, Mei-Juli 2015 mengikuti fellowship dan riset ke Leiden University.[butuh rujukan]

Saras Dewi dipilih oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyaji pidato kebudayaan yang berjudul Sembahyang Bhuvana bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 10 November 2018. Dia memaparkan pidato yang berfokus pada masalah pengetahuan dan lingkungan hidup yang sedang mengalami krisis.[10][11][12]

Diskografi

Album

Single

Referensi

Pranala luar