Cara penanganan yang baik: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidakpelupa (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Dinsoa (bicara | kontrib)
menambah pranala
Baris 2: Baris 2:
{{copyedit}}
{{copyedit}}
{{pindah ke}}
{{pindah ke}}
'''''Good Handling Practices'' (GHP)''' merupakan pedoman yang berisikan tentang tata cara penanganan pasca panen hasil pertanian yang baik agar menghasilkan pangan yang bermutu, aman, dan layak dikonsumsi oleh calon konsumen. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Thaheer, 2005:40) yang menjelaskan bahwa GHP merupakan suatu prosedur yang digunakan dalam ruang lingkup pasca panen yang berfungsi untuk memelihara produk agar terhindar dari kecacatan produk, terkontaminasi bahaya dan seterusnya.<ref name=":0">Wijayanti, F. (2015). Upaya Pengendalian Kualitas dengan Konsep Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing Practice (GMP) pada PT. Blambangan Food Packer Indonesia Banyuwangi. Skripsi Fakultas Ekonomi UNEJ. UNEJ Jember</ref> Pengertian lain dari ''Good Handling Practices'' (GHP) ini dijelaskan juga oleh (Evrina, 2016) yang menjelaskan bahwa ''Good Handling Practices'' (GHP) adalah pedoman umum dalam melaksanakan pasca panen hortikultura secara baik dan benar sehingga tingkat kerusakan dan kehilangan hasil dapat ditekan seminimal mungkin untuk menghasilkan produk yang bermutu atau memenuhi standar mutu yang berlaku seperti Standar Nasional Indonesia.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Sumolang|first=Deicilla|date=2017|title=Analisis Penanganan Produk Fresh Food pada PT. Midi Utama Indonesia.Tbk Cabang Manado|url=https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/view/19152/19134|journal=Jurnal EMBA|volume=5|issue=2|issn=2303-1174|jurnal=Jurnal EMBA}}</ref>
'''''Good Handling Practices'' (GHP)''' merupakan [[pedoman]] yang berisikan tentang tata cara penanganan pasca panen hasil pertanian yang baik agar menghasilkan pangan yang bermutu, aman, dan layak dikonsumsi oleh calon konsumen. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Thaheer, 2005:40) yang menjelaskan bahwa GHP merupakan suatu prosedur yang digunakan dalam ruang lingkup pasca panen yang berfungsi untuk memelihara produk agar terhindar dari kecacatan produk, terkontaminasi bahaya dan seterusnya.<ref name=":0">Wijayanti, F. (2015). Upaya Pengendalian Kualitas dengan Konsep Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing Practice (GMP) pada PT. Blambangan Food Packer Indonesia Banyuwangi. Skripsi Fakultas Ekonomi UNEJ. UNEJ Jember</ref> Pengertian lain dari ''Good Handling Practices'' (GHP) ini dijelaskan juga oleh (Evrina, 2016) yang menjelaskan bahwa ''Good Handling Practices'' (GHP) adalah pedoman umum dalam melaksanakan pasca panen hortikultura secara baik dan benar sehingga tingkat kerusakan dan kehilangan hasil dapat ditekan seminimal mungkin untuk menghasilkan produk yang bermutu atau memenuhi standar mutu yang berlaku seperti Standar Nasional Indonesia.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Sumolang|first=Deicilla|date=2017|title=Analisis Penanganan Produk Fresh Food pada PT. Midi Utama Indonesia.Tbk Cabang Manado|url=https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/view/19152/19134|journal=Jurnal EMBA|volume=5|issue=2|issn=2303-1174|jurnal=Jurnal EMBA}}</ref>


''Good Handling Practices'' (GHP) merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi pada kegiatan pasca panen. Dimana GHP memiliki peran dalam mengamankan hasil dari segi sisi kehilangan jumlah maupun mutu sehingga hasil yang diperoleh dapat memenuhi SNI atau persyaratan teknis minimal (PTM). Berbagai inovasi teknologi telah diterapkan pada beberapa tahapan pasca panen dengan tujuan agar produk yang dihasilkan dapat terhindar dari berbagai kontaminasi yang dapat mengurangi kualitas produk bahkan dapat menyebabkan masalah yang lainnya. Penerapan GHP ini menekankan bahwa segala sesuatunya harus dilakukan untuk mencegah terjadinya proses kontaminasi bakteri dan bahan kimia berbahaya lainnya yang dimulai dari ladang sampai ke tangan konsumen. Kontaminasi yang disebabkan oleh mikroorganisme baik sebelum dan setelah panen disebabkan oleh adanya kontak antara produk dengan tanah, pupuk organik, air, pekerja, maupun peralatan. Oleh karena itu, penerapan GHP ini sangat penting untuk memperoleh produk yang terjamin kualitas mutunya. Berikut adalah manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan GHP adalah sebagai berikut:<ref name=":0" />
''Good Handling Practices'' (GHP) merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi pada kegiatan pasca panen. Dimana GHP memiliki peran dalam mengamankan hasil dari segi sisi kehilangan jumlah maupun mutu sehingga hasil yang diperoleh dapat memenuhi SNI atau persyaratan teknis minimal (PTM). Berbagai inovasi teknologi telah diterapkan pada beberapa tahapan pasca panen dengan tujuan agar produk yang dihasilkan dapat terhindar dari berbagai kontaminasi yang dapat mengurangi kualitas produk bahkan dapat menyebabkan masalah yang lainnya. Penerapan GHP ini menekankan bahwa segala sesuatunya harus dilakukan untuk mencegah terjadinya proses kontaminasi bakteri dan bahan kimia berbahaya lainnya yang dimulai dari ladang sampai ke tangan konsumen. Kontaminasi yang disebabkan oleh mikroorganisme baik sebelum dan setelah panen disebabkan oleh adanya kontak antara produk dengan tanah, pupuk organik, air, pekerja, maupun peralatan. Oleh karena itu, penerapan GHP ini sangat penting untuk memperoleh produk yang terjamin kualitas mutunya. Berikut adalah manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan GHP adalah sebagai berikut:<ref name=":0" />

Revisi per 7 September 2021 03.11

Good Handling Practices (GHP) merupakan pedoman yang berisikan tentang tata cara penanganan pasca panen hasil pertanian yang baik agar menghasilkan pangan yang bermutu, aman, dan layak dikonsumsi oleh calon konsumen. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Thaheer, 2005:40) yang menjelaskan bahwa GHP merupakan suatu prosedur yang digunakan dalam ruang lingkup pasca panen yang berfungsi untuk memelihara produk agar terhindar dari kecacatan produk, terkontaminasi bahaya dan seterusnya.[1] Pengertian lain dari Good Handling Practices (GHP) ini dijelaskan juga oleh (Evrina, 2016) yang menjelaskan bahwa Good Handling Practices (GHP) adalah pedoman umum dalam melaksanakan pasca panen hortikultura secara baik dan benar sehingga tingkat kerusakan dan kehilangan hasil dapat ditekan seminimal mungkin untuk menghasilkan produk yang bermutu atau memenuhi standar mutu yang berlaku seperti Standar Nasional Indonesia.[2]

Good Handling Practices (GHP) merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi pada kegiatan pasca panen. Dimana GHP memiliki peran dalam mengamankan hasil dari segi sisi kehilangan jumlah maupun mutu sehingga hasil yang diperoleh dapat memenuhi SNI atau persyaratan teknis minimal (PTM). Berbagai inovasi teknologi telah diterapkan pada beberapa tahapan pasca panen dengan tujuan agar produk yang dihasilkan dapat terhindar dari berbagai kontaminasi yang dapat mengurangi kualitas produk bahkan dapat menyebabkan masalah yang lainnya. Penerapan GHP ini menekankan bahwa segala sesuatunya harus dilakukan untuk mencegah terjadinya proses kontaminasi bakteri dan bahan kimia berbahaya lainnya yang dimulai dari ladang sampai ke tangan konsumen. Kontaminasi yang disebabkan oleh mikroorganisme baik sebelum dan setelah panen disebabkan oleh adanya kontak antara produk dengan tanah, pupuk organik, air, pekerja, maupun peralatan. Oleh karena itu, penerapan GHP ini sangat penting untuk memperoleh produk yang terjamin kualitas mutunya. Berikut adalah manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan GHP adalah sebagai berikut:[1]

  1. Mutu dan kualitas produk dapat meningkat.
  2. Meminimalkan terjadinya kerusakan pada produk.
  3. Meminimalkan terjadinya kontaminasi pada produk.
  4. Dapat meningkatkan nilai tambah dan hasil. Meningkatkan daya saing yang dimiliki produk.

Prinsip Good Handling Practices (GHP)

Dalam pelaksanaannya Good Handling Practices (GHP) memiliki tiga prinsip menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut.[2]

  1. Menekan terjadinya tingkat kerusakan atau kehilangan hasil panen.
  2. Menjaga mutu produk sesuai dengan persyaratan standar yang berlaku.
  3. Menjamin K3 (Kualitas, Kuantitas, dan Kontinuitas).

Tujuan Good Handling Practices (GHP)

Tujuan utama dari pelaksanaan Good Handling Practices (GHP) adalah untuk mempertahankan mutu serta meningkatkan daya saing dari hasil pertanian. Selain tujuan utama, tujuan lain dari pelaksanaan Good Handling Practices (GHP) adalah sebagai berikut.[3]

  1. Mempertahankan mutu serta menekan terjadinya kehilangan atau kerusakan hasil panen.
  2. Memperpanjang daya simpan dari produk.
  3. Mempertahankan kesegaran produk.
  4. Meningkatkan daya guna produk.
  5. Meningkatkan nilai tambah produk.
  6. Meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan sarana.
  7. Meningkatkan daya saing produk.
  8. Meningkatkan nilai produk secara ekonomis. [4]
  9. Dapat memberikan keuntungan yang optimum dan mengembangkan usaha pascapanen hasil pertanian asal tanaman yang berkelanjutan.

Pedoman Good Handling Practices (GHP)

Menurut Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 44/Permentan/OT.140/10/2009 tentang pedoman penanganan pasca panen hasil pertanian asal tanaman yang baik (Good Handling Practices) menyebutkan bahwa ruang lingkup pedoman GHP meliputi panen, penanganan pasca panen, standardisasi mutu, lokasi, bangunan, peralatan dan mesin, bahan perlakuan, wadah dan pembungkus, tenaga kerja, Keamanan dan Keselamatan Kerja (K3), pengelolaan lingkungan, pencatatan, pengawasan dan penelusuran balik, sertifikasi, serta pembinaan dan pengawasan.[5] Berikut adalah penjelasan dari ruang lingkup pedoman GHP.[6] [7]

  1. Panen, panen adalah rangkaian kegiatan pengambilan hasil budidaya tanaman yang dilakukan dengan cara dipetik, dipotong, ditebang, dikuliti, disadap maupun dicabut. Proses panen harus dilakukan pada umur atau waktu serta cara dan sarana yang tepat. Penentuan umur atau waktu panen dilakukan sesuai dengan petunjuk atau acuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan untuk alat atau mesin yang digunakan pada saat panen, jenis dan spesifikasi alatnya harus disesuaikan dengan sifat dan karakteristik dari hasil pertanian asal tanaman serta dari spesifik lokasi.
  2. Penanganan Pasca Panen, kegiatan yang dilakukan setelah panen sampai siap dikonsumsi ataupun diolah. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, perontokkan, pembersihan, pengupasan, trimming, sortasi, perendaman, pencelupan, pelilinan, pelayuan, pemeraman, fermentasi, penggulungan, penirisan, perajangan, pengepresan, pengawetan, pengkelasan, pengemasan, penyimpanan, standarisasi mutu, dan pengangkutan hasil pertanian dari asal tanaman. Berikut adalah penjelasan dari rangkaian kegiatan tersebut yaitu, (1) Pengumpulan adalah kegiatan mengumpulkan hasil panen pada suatu wadah atau tempat. Wadah yang dapat digunakan untuk mengumpulkan hasil panen yaitu keranjang, peti, dan karung goni atau plastik yang bersih dan bebas dari cemaran. Sedangkan tempat yang digunakan untuk pengumpulan hasil panen harus diberi alas seperti terpal plastik, tikar, atau anyaman dari bambu yang bersih dan bebas cemaran untuk menghindari terjadinya susut pasca panen karena tercecer, kotor, rusak, ataupun lainnya. Lokasi pengumpulan sebaiknya berdekatan dengan tempat pemanenan. Selain itu, produk harus dihindarkan dari kontak langsung dengan sinar matahari; (2) Perontokan adalah kegiatan melepaskan biji atau bulir dari tangkai atau malai. Sebaiknya, tempat perontokkan berada di dekat lokasi panen. Perontokkan dilakukan dengan menggunakan alat atau mesin yang jenis dan spesifikasinya sesuai dengan spesifik lokasi. Proses prontokkan harus dilakukan di atas alas seperti terpal plastik, tikar dan anyaman bambu yang bersih dan bebas cemaran untuk menghindari terjadinya susut pasca panen karena tercecer, rusak, kotor, ataupun lainnya; (3) Pembersihan adalah kegiatan menghilangkan kotoran baik kotoran fisik, kimiawi, dan biologis. Pembersihan dilakukan dengan menggunakan alat atau mesin yang sesuai dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman. Pembersihan hasil pertanian dapat dilakukan dengan pencucian, penyikatan, pengelapan, penampian, pengayakan, dan penghembusan. Air yang digunakan untuk mencuci hasil panen harus sesuai baku mutu air bersih agar hasil panen tidak terkontaminasi dengan organisme dan bahan pencemar lainnya. Sikat yang digunakan untuk membersihkan hasil panen harus lembut agar tidak melukai hasil panen tersebut. Selain itu, kain lap yang digunakan juga harus bersih dan bebas dari cemaran; (4) Trimming adalah kegiatan membuang bagian produk yang tidak diinginkan seperti memotong tangkai buah, membuang akar, dan membuang bagian titik tumbuh. Trimming dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya gesekan dan memudahkan dalam proses pengemasan, meningkatkan kebersihan dan penampilan, tidak berkecambah, menekan laju kehilangannya air, menekan resiko serangan hama penyakit yang mungkin terbawa dari lahan usaha tani dan menurunkan resiko terjadinya kerusakan mekanis selama penanganan. Trimming dilakukan dengan menggunakan alat atau mesin yang sesuai dengan sifat dan karakteristik dari hasil pertanian asal tanaman; (5) Pengupasan adalah kegiatan memisahkan kulit dari bagian pokok yang dimanfaatkan seperti daging buah, daging umbi, biji dan/atau batang. Proses pengupasan hasil panen ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak rusak. Pengupasan dilakukan dengan menggunakan alat atau mesin yang jenis dan spesifikasinya sesuai dengan sifat dan karakteristik dari hasil pertanian asal tanaman; (6) Pemipilan adalah kegiatan melepaskan biji dari tongkol. Pemipilan dapat dilakukan dengan menggunakan alat atau mesin dengan jenis dan spesifikasi sesuai dengan spesifikasi lokasi. Pemipilan harus dilakukan di atas alas seperti terpal plastik, tikar, dan anyaman bambu yang bersih dan bebas cemaran untuk menghindari terjadinya susut pasca panen karena tercecer, rusak, kotor, ataupun lainnya; (7) Sortasi adalah kegiatan pemilihan hasil panen yang baik. Pada proses sortasi sebaiknya dilakukan proses presorting (memisahkan produk yang cacat untuk menghindari terjadinya infeksi terhadap produk lain) untuk memilah produk yang luka, busuk, dan cacat lainnya sebelum penanganan berikutnya. Proses ini harus dilakukan secara berhati-hati agar hasil panen tidak rusak. Sortasi dapat dilakukan dengan menggunakan alat dan/atau mesin yang sesuai sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman. Selama proses sortasi ini dilakukan harus diusahakan agar terhindar dari kontak sinar matahari langsung karena akan menurunkan bobot atau terjadinya pelayuan dan meningkatkan aktivitas metabolisme yang dapat mempercepat terjadninya proses pematangan atau respirasi; (8) Pengeringan adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan kadar air sampai kadar air keseimbangan (Equilibrium Moisture Content) sehingga aman untuk disimpan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau pengering buatan. Pengeringan dengan sinar matahari dapat dilakukan di atas terpal plastik, tikar, anyaman bambu, dan lantai dari semen atau ubin yang bersih dan bebas cemaran untuk menghindari susut pasca panen karena tercecer, kotor, rusak, dan lainnya. Pengeringan buatan dapat menggunakan alat atau mesin yang jenis dan spesifikasinya sesuai dengan sifat dan karakteristik dari hasil pertanian asal tanaman; (9) Perendaman adalah kegiatan yang dilakukan untuk melunakkan kulit buah atau kulit batang supaya mudah terlepas dari biji atau batangnya, menghindari terjadinya pencoklatan (browning) dan/atau menghilangkan bahan yang beracun. Perendaman menggunakan air dengan atau tanpa bahan aktif yang di izinkan menurut peraturan dengan jenis dan dosis yang sesuai dengan anjuran. Tempat untuk melakukan perendaman harus bersih dan mudah dikenakan tindakan sanitasi. Tempat perendaman dapat berupa ember plastik atau bak yang terbuat dari semen. Lama perendaman disesuaikan dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman; (10) Pencelupan (dipping) adalah kegiatan mencelupkan hasil panen ke dalam larutan anti bakteri dan jamur untuk mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit. Larutan yang digunakan untuk pencelupan yaitu larutan yang di izinkan menurut peraturan dengan jenis dan dosis yang sesuai anjuran. Tempat atau wadah yang digunakan untuk proses pencelupan harus bersih dan mudah dikenakan tindakan sanitasi. Lama pencelupan dilakukan sesuai dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman. Proses ini biasanya dianjurkan pada beberapa jenis buah; (11) Pelilinan adalah proses pemberian lapisan tipis bahan alami lilin pada hasil panen. Tujuan pelilinan adalah untuk menghambat proses respirasi, pematangan, penguapan atau pelayuan (transpirasi), mencegah terjadinya kerusakan pada suhu dingin (chilling injury), infeksi penyakit dan menambah daya kilap. Bahan yang digunakan untuk pelililan harus aman (food grade) dan mudah dihilangkan melalui proses pencucian sehingga aman untuk dikonsumsi; (12) Pelayuan (curing) adalah kegiatan membiarkan produk pada suhu dan kelembaban (RH) tertentu untuk memperoleh kondisi optimum sebelum produk dikonsumsi atau disimpan. Tempat pelayuan harus bersih dan mudah dilakukan sanitasi, sedangkan alat atau mesin yang digunakan harus disesuaikan dengan sifat dan karakteristik dari hasil pertanian asal tanaman tersebut. Proses pelayuan biasanya diperlukan untuk produk umbi, tuber, dan bulba. Contohnya untuk bawang merah menggunakan suhu 29-32 ℃ dan RH 60-70%, sedangkan untuk kentang menggunakan suhu 26 ℃ dan RH 90%; (13) Pemeraman (ripening) adalah kegiatan mempercepat proses pematangan secara merata sesuai dengan sifat dan karakteristik biologis atau fisiologis hasil pertanian asal tanaman dengan atau tanpa pemberian bahan pemacu yang diizinkan menurut peraturan dengan dosis yang sesuai anjuran. Proses pemeraman ini dilakukan dengan menggunakan karbit atau gas etilen atau turunannya dan dilakukan pada suhu 18-28 ℃. Tempat atau wadah yang digunakan untuk pemeraman harus bersih dan mudah dikenakan tindakan sanitasi serta aman dari gangguan hewan. Dalam satu tempat atau wadah pemeraman tidak boleh mencampurkan hasil pertanian asal tanaman yang memiliki sifat dan karakteristik fisiologis yang berbeda. Perkembangan kematangan hasil panen yang diperam ini juga harus terus diawasi untuk menghindari kerusakan atau pembusukan; (14) Fermentasi adalah proses yang dilakukan untuk membentuk cita rasa dan aroma yang spesifik. Tempat atau wadah untuk fermentasi harus bersih dan mudah dikenakan tindakan sanitasi. Suhu dan kelembaban dari tempat fermentasi juga harus dapat di kontrol. Lamanya proses fermentasi disesuaikan dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman. Proses fermentasi dapat dilakukan dengan atau tanpa memberikan bahan (starter) yang diizinkan menurut peraturan dengan dosis sesuai anjuran; (15) Penggulungan, proses untuk memperoleh karakteristik fisik atau kimiawi tertentu hasil pertanian asal tanaman dapat dilakukan dengan kegiatan penggulungan. Proses ini harus dilakukan berhati-hati agar tdak rusak, cacat, ataupun lainnya. Proses dilakukan dengan menggunakan alat atau mesin yang jenis dan spesifikasinya sesuai dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman; (16) Penirisan, adalah kegiatan untuk menghilangkan air yang menempel pada permukaan produk yang berasal dari perendaman, pencelupan, dan pencucian. Alat yang digunakan jenis dan spesifiknya disesuaikan dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman; (17) Perajangan, adalah kegiatan untuk memperkecil ukuran hasil pertanian asal tanaman; (18) Pengepresan, adalah kegiatan untuk memperkecil volume atau mengambil cairan atau padatan dengan memberikan tekanan (proses mekanik); (19) Pengkelasan (grading), adalah kegiatan pengelompokkan mutu produk berdasarkan karakteristik fisik seperti bentuk, ukuran, warna, tekstur, kematangan, dan berat. Kegiatan grading dapat dilakukan di tempat panen, ditempat pengumpulan, ataupun dirumah pengemasan (packing house). Pengkelasan hasil panen tersebut mengacu pada kelas standar mutu yang telah ditentukan dan/atau sesuai dengan permintaan pasar; (20) Pengemasan, adalah kegiatan mewadahi atau membungkus produk dengan memakai media atau bahan tertentu untuk melindungi produk dari gangguan faktor luar yang dapat mempengaruhi daya simpan produk. Pengemasan dilakukan secara berhati-hati agar produk tidak rusak. Bahan kemasan yang digunakan dapat berasal dari daun, kertas, plastik, kayu, karton, kaleng, aluminium foil dan bambu. Bahan kemasan yang digunakan tidak boleh menimbulkan kerusakan, pencemaran hasil panen yang dikemas, dan tidak membawa OPT; (21) Penyimpanan, adalah kegiatan untuk mengamankan dan memperpanjang masa penggunaan produk. Penyimpanan dilakukan pada ruangan yang memiliki suhu, tekanan, dan kelembaban udara sesuai dengan sifat dan karakteristik hasil pertanian asal tanaman. Berikut adalah kriteria penyimpanan yaitu, 1) Bahan perlakuan dan produk akhir yang meliputi: a) Simpan secara terpisah antara bahan perlakuan dengan produk. b) Tempat penyimpanan bahan perlakuan dan produk akhir harus sangat bersih serta tidak terdapat serangga dan binatang pengerat. c) Tempat penyimpanan bahan perlakuan produk akhir harus diberikan tanda. d) Penyimpanan sangat dianjurkan menggunakan sistem FIFO (First In First Out). 2) Bahan berbahaya disimpan dalam ruang tersendiri dan dilakukan pengawasan sedemikian rupa sehingga tidak akan membahayakan atau mencemari produk dan bahan perlakuan. 3) Wadah dan pembungkus harus disimpan secara rapih di tempat yang sangat bersih sehingga terlindung dari pencemaran. 4) Label disarankan disimpan dengan baik dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak akan terjadi kesalahan dalam penggunaannya. 5) Alat dan perlengkapan penanganan disimpan dengan baik dan terpisah dari bahan kimia atau pupuk untuk mencegah terjadinya pencemaran. 6) Teknis penyimpanan sangat dianjurkan agar sesuai dengan ketentuan yang ada sehingga tidak dapat menimbulkan kerusakan; (22) Pengangkutan, adalah proses memindahkan produk dari suatu tempat ke tempat lain dengan tetap mempertahankan mutu produk. Berikut adalah persyaratan pengangkutan:1) Sarana angkutan yang digunakan harus bersih, mudah dibersihkan, dan aman pada saat mengangkut produk akhir. 2) Sarana angkutan yang tidak menggunakan pendingin sangat dianjurkan memiliki ventilasi yang cukup. 3) Produk dalam sarana transportasi diletakkan secara teratur dan tidak melebihi kapasitas. 4) Pada saat melakukan pendistribusian harus dilakukan pencatatan secara teratur.
  3. Standarisasi Mutu, standarisasi mutu hasil pertanian asal tanaman mengacu kepada Standar Nasional Indonesia (SNI) atau persyaratan mutu minimal yang ditetapkan.
  4. Lokasi, lokasi yang digunakan untuk penanganan pasca panen dapat dilakukan di lokasi panen atau diluar lokasi panen dengan persyaratan yaitu sebagai berikut (a) bukan di daerah pembuangan sampah atau kotoran cair maupun padat; (b) jauh dari lokasi peternakan, industri yang mengeluarkan polusi yang tidak dikelola secara baik dan tempat lain yang sudah tercemar; (c) lokasi tempat penanganan dianjurkan dekat dengan lokasi panen dan mempunyai akses atau jalan ke lokasi tersebut.
  5. Bangunan, bangunan harus dibuat berdasarkan perencanaan yang telah memenuhi persyaratan teknik dan kesehatan sebagai berikut: a) umum, bangunan dianjurkan cukup kuat, aman serta mudah untuk dibersihkan, luas bangunan dianjurkan sesuai dengan kapasitas produksi atau skala usaha, kondisi sekeliling bangunan sangat dianjurkan agar besih, tertata rapih, bebas hama dan hewan berbahaya lainnya, serta bangunan sangat disarankan untuk dirancang sedemikian rupa untuk mencegah masuknya binatang pengerat, hama dan serangga; b) tata ruang, bangunan unit penanganan disarankan terdiri atas ruangan penanganan dan ruangan pelengkap yang letaknya terpisah, susunan bagian ruangan penanganan sangat dianjurkan diatur sesuai dengan urutan proses penanganan sehingga tidak menimbulkan terjadinya kontaminasi silang; c) lantai, lantai ruang penanganan disarankan agar dibuat padat, keras, dan kedap air sehingga mudah untuk dibersihkan. Lantai sangat disarankan kering dan bersih tidak berdebu serta ruangan penanganan yang menggunakan air, permukaan lantainya harus memiliki kemiringan yang cukup ke arah pembuangan air sehingga mudah dibersihkan; d) dinding, Langit-langit, dan atap yaitu dinding dan langit-langit ruangan penanganan dianjurkan agar kedap air, tidak mudah mengelupas dan mudah dibersihkan serta atap disarankan terbuat dari bahan yang tidak mudah bocor; e) pintu, jendela, dan ventilasi adalah sebagai berikut: (1) pintu dan jendela dianjurkan agar mudah dibersihkan dan mudah ditutup; (2) jendela dan ventilasi pada ruang penanganan disarankan agar cukup untuk menjamin pertukaran udara sehingga peningkatan suhu akibat respirasi hasil hortikultura dapat dinetralisir; (3) jendela dan ventilasi disarankan ditutup dengan kawat serangga untuk mencegah masuknya serangga; f) penerangan, ruangan penanganan dan ruangan pelengkap lainnya harus dibuat dengan penerangan yang cukup terang. Selain itu, bangunan untuk penanganan pasca panen juga harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi sebagai berikut, 1) sarana penyediaan air bersih sangat dianjurkan menyediakan air yang cukup bersih dan mengalir; 2) sarana pembuangan dan penanganan sampah sangat dianjurkan dimiliki oleh bangunan; 3) sarana pencuci tangan dan toilet dianjurkan agar tersedia; d. bangunan sangat dianjurkan memiliki sarana pengolahan limbah.
  6. Peralatan dan mesin, berikut adalah persyaratan yang harus dimiliki dari alat dan mesin yang digunakan untuk penanganan pasca panen yaitu, (1) sesuai dengan tujuan penggunaan dan mudah untuk dibersihkan; (2) permukaan peralatan yang berhubungan dengan bahan yang diproses tidak berkarat dan tidak mudah mengelupas serta bersih; (3) alat atau mesin mudah dibersihkan dan dikontrol; (4) timbangan yang digunakan dianjurkan agar dikalibrasi secara berkala dan dicatat; (5) tidak mencemari hasil seperti unsur atau framen logam yang lepas, minyak pelumas, bahan bakar, tidak bereaksi dengan produk, jasad, renik, dan lainnya; (6) mudah dikenakan tindakan sanitasi.
  7. Bahan perlakuan, (1) bahan perlakuan penanganan pasca panen yang digunakan harus tidak merugikan dan membahayakan kesehatan dan memenuhi standar mutu atau persyaratan yang telah ditetapkan; (2) bahan perlakuan penanganan pasca panen yang digunakan harus dilakukan pemeriksaan minimal secara organoleptic; (3) penggunaan bahan perlakuan penanganan pasca panen yaitu berupa bahan kimia harus ditekan seminimal mungkin dengan mengikuti petunjuk pada label produk yang telah terdaftar; (4) penggunaan bahan kimia harus tercatat yang mencakup nama bahan, dosis, cara aplikasi, komoditas, lokasi, tanggal penggunaan, jumlah perlakuan dan alasan penggunaan.
  8. Wadah dan Pembungkus, persyaratan wadah dan pembungkus yang digunakan dalam penanganan pasca panen adalah sebagai berikut, (1) dapat melindungi dan mempertahankan mutu isinya terhadap pengaruh dari luar; (2) Dibuat dari bahan yang tidak dapat melepaskan bagian atau unsur yang dapat mengganggu kesehatan atau mempengaruhi mutu dari makanan, (3) tahan dan tidak berubah selama proses pengangkutan dan peredaran, (4) sebelum digunakan, wadah dan pembungkus dibersihkan dan dikenakan tindakan sanitasi; (5) wadah dan bahan pengemas disimpan dalam ruangan yang kering dan ventilasi yang cukup serta dicek kebersihan dan infeksi jasad pengganggu sebelum digunakan.
  9. Tenaga Kerja, tenaga kerja harus memliki badan yang sehat baik jasmani maupun rohani, tenaga kerja harus memiliki keterampilan sesuai dengan bidang pekerjaannya, tenaga kerja harus mempunya komitmen terhadap tugasnya.
  10. Keamanan dan Keselamatan Kerja (K3), persyaratannya yaitu pekerja harus menggunakan baju dan perlengkapan pelindung sesuai dengan anjuran baku yang ada serta terdapat fasilitas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja.
  11. Pengelolaan Lingkungan, setiap usaha penanganan pasca panen hasil pertanian harus menyusun rencana bagaimana cara penanggulangan pencemaran dan kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  12. Pencatatan, pengawasan, dan penelusuran balik, berikut adalah syarat dan ketentuannya: (a) sistem pencatatan dan pengawasan terdiri dari, 1) pelaku usaha harus melaksanakan pencatatan (recording) terhadap segala aktifitas penanganan pasca panen hasil pertanian asal tanaman yang dilakukan. Catatan tersebut harus disimpan dengan baik minimal selama tiga tahun. Pencatatan (recording) meliputi nama perusahaan atau kelompok usaha, alamat perusahaan atau usaha, kegiatan dan metode penanganan pasca panen yang dilaksanakan, kegiatan atau upaya-upaya rutin yang dilakukan dalam rangka K3 dan pengendalian terhadap lingkungan, upaya-upaya lain yang bersifat kasus; 2) pelaku usaha penanganan pasca panen hendaknya melaksanakan sistem pengawasan secara internal proses penanganan pasca panen hasil tanaman untuk mencegah dan mengendalikan kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam penerapan cara yang direkomendasikan sehingga nantinya akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan; 3) hasil pengawasan yang dilaksanakan perlu didokumentasikan, dicatat, dan disimpan dengan baik untuk menunjukkan bukti bahwa aktifitas penanganan pasca panen hasil pertanian asal tanaman sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan. (b) penelusuran balik asal usul dari produk yang dihasilkan dari penanganan pasca panen asal tanaman harus dapat ditelusuri.
  13. Sertifikasi, pelaku usaha yang menerapkan sistem Good Handling Practices (GHP) dilakukan sertifikasi dan diberikan sertifikat oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi atau ditunjuk.
  14. Pembinaan dan pengawasan, pembinaan dan pengawasan Good Handling Practices (GHP) dilakukan oleh instansi yang memiliki tugas pokok di bidang hasil pertanian asal tanaman.

Penilaian Good Handling Practice (GHP)

Penilaian Good Handling Practice (GHP) dilaksanakan setelah dilakukannya bimbingan dan pembinaan dalam penerapan Good Handling Practice (GHP). Bimbingan dan pembinaan di tingkat pelaku usaha dilaksanakan oleh pihak yang berkompeten dalam pembinaan jaminan mutu dan dilakukan secara terus menerus agar dapat melaksanakan ruang lingkup yang tertera pada pedoman pelaksanaan GHP menurut Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 44/Permentan/OT.140/10/2009 secara konsisten dan berkesinambungan. Apabila usaha yang telah mendapatkan bimbingan dan pembinaan tersebut telah menerapkan seluruh pedoman pelaksanaan GHP maka akan dilaksanakan penilaian untuk menentukan kelayakan usaha pasca panennya tersebut. Dari hasil penilaian GHP terhdadap kelayakan usaha pasca panenya tersebut, maka pelaku usaha dapat diketahui berhak atau tidak berhaknya untuk memperoleh sertifikat GHP. Sertifikat GHP yang diperoleh tersebut nantinya akan sangat bermanfaat dalam pelaksanaan kegiatan usaha pasca panen karena produk yang dihasilkan oleh usaha yang telah memiliki sertifikat GHP mendapatkan pengakuan untuk jaminan mutu dan keamanan pangan baik oleh pasar domestik mauapun pasar luar negeri sehingga pada akhirnya produk tersebut akan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. [7]

Referensi

  1. ^ a b Wijayanti, F. (2015). Upaya Pengendalian Kualitas dengan Konsep Good Handling Practice (GHP) dan Good Manufacturing Practice (GMP) pada PT. Blambangan Food Packer Indonesia Banyuwangi. Skripsi Fakultas Ekonomi UNEJ. UNEJ Jember
  2. ^ a b Sumolang, Deicilla (2017). "Analisis Penanganan Produk Fresh Food pada PT. Midi Utama Indonesia.Tbk Cabang Manado". Jurnal EMBA. 5 (2). ISSN 2303-1174. 
  3. ^ Fitranto, Rachmat (2020). "Strategi Pengembangan Ppemasaran Buah Mangga Arumanis 143 PT. Trigatra Rajasa Situbondo Jawa Timur". Journal of Indonesian Agribusiness. 8 (1): 58–68. doi:https://doi.org/10.29244/jai.2020.8.1.58-68 Periksa nilai |doi= (bantuan).  line feed character di |title= pada posisi 46 (bantuan)
  4. ^ Guswita, Dwinggi (2020). "Keberdayaan Anggota Kelompok Tani dalam Menerapkan Good Handling Practices (GHP) pada Sawah di Desa Sindanggalih Kecamatan Cimanggu Kabupaten Sumedang". Jurnal Inovasi Penelitian. 1 (3): 303–316. doi:https://doi.org/10.47492/jip.v1i3.79 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  5. ^ "Penerapan GHP dan GMP pada Penanganan Pascapanen Padi di Tingkat Penggilingan". Jurnal Pangan. 27 (2): 79–96. 2018. doi:https://doi.org/10.33964/jp.v27i2.369 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  6. ^ Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 44/Permentan/OT.140/10/2009 Tentang Pedoman Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian Asal Tanaman yang Baik (Good Handling Practices).
  7. ^ a b Direktorat Penanganan Pasca Panen, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. (2007). Cara Penanganan Pasca Panen Hortikultura yang Baik (Good Handling Practices). Jakarta: Departemen Pertanian.