Kebebasan politik: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Vedolique (bicara | kontrib)
Vedolique (bicara | kontrib)
Tag: Pengembalian manual
Baris 106: Baris 106:
* [http://histclo.com/cih/free.html "Freedom: The Great Gift of the West"].
* [http://histclo.com/cih/free.html "Freedom: The Great Gift of the West"].
*https://freedomhouse.org/
*https://freedomhouse.org/
{{Hak asasi manusia substanstif}}
{{Libertarianisme}}
[[Kategori:Hak sipil]]
[[Kategori:Hak sipil]]
[[Kategori:Konsep politik]]
[[Kategori:Konsep politik]]

Revisi per 24 Juli 2021 13.05

Penilaian kebebasan negara di dunia tahun 2016 menurut survei Freedom in the World 2016 yang disusun Freedom House.[1]
  Bebas (86)   Separuh Bebas (59)   Tidak Bebas (50)
Patung Liberty di Amerika Serikat adalah salah satu "simbol kebebasan dan demokrasi" yang paling terkenal.


Kebebasan politik (juga dikenal sebagai otonomi politik atau kontrak politik) adalah adalah konsep sentral dalam sejarah dan pemikiran politik Barat juga salah satu fitur terpenting dari masyarakat demokratis.[2] Kebebasan politik digambarkan sebagai kebebasan dari penindasan[3] atau paksaan,[4]  tidak adanya kondisi yang menjegal bagi individu dan membungkam situasi,[5]  atau tidak adanya keadaan paksaan pemenuhan kehidupan, misalnya paksaan ekonomi dalam suatu masyarakat.[6] Meskipun kebebasan politik seringkali dimaknai negatif sebagai kebebasan dengan perilaku yang tidak masuk akal dari kendala eksternal,[7] itu juga dapat merujuk pada pemenuhan hak, kapasitas dan kelayakan tindakan secara positif dan pelaksanaan hak-hak sosial atau kelompok.[8] Konsep ini juga dapat mencakup kebebasan dari kendala internal semacam tindakan atau perkataan politik (misalnya kearifan sosial, konsistensi atau perilaku tidak terpuji).[9] Konsep kebebasan politik erat kaitannya dengan konsep kebebasan sipil dan hak asasi manusia dimana masyarakat demokratis biasanya diberikan perlindungan hukum dari negara.

Kebebasan politik adalah salah satu kelompok hak konstitusional dasar dan kebebasan warga negara, dimana mereka menentukan partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan politik negara. Kebebasan politik biasanya dicantumkan dalam konstitusi, undang-undang dan peraturan negara lainnya. Lawan dari masyarakat bebas politik adalah masyarakat totaliter, masyarakat yang meminimalkan kebebasan politik untuk memaksakan segala tindakan rakyatnya.[10].

Sudut pandang

Berbagai kelompok di sepanjang spektrum politik memiliki pandangan berbeda tentang apa yang mereka yakini sebagai kebebasan politik.

Filsafat politik sayap kiri umumnya memasangkan gagasan kebebasan dengan kebebasan positif atau menghubungkan suatu kelompok atau individu dalam menentukan kehidupan mereka sendiri atau mewujudkan potensi mereka sendiri. Dalam pengertian ini, kebebasan dapat mencakup kebebasan dari kemiskinan, kelaparan, penyakit yang dapat diobati dan penindasan serta kebebasan dari kekangan dan paksaan,dari siapa pun.[11]

Konsep kebebasan sosialis (liberalitas) seperti yang dilihat oleh filsuf neoliberal dan Penerima Nobel Ekonomi Friedrich Hayek :

. . .penggunaan "kebebasan" untuk menggambarkan "kemampuan fisik demi melakukan apa yang saya inginkan", kekuatan untuk memuaskan keinginan kita atau tingkat pilihan alternatif yang terbuka bagi kita . . .yang telah sengaja dipupuk sebagai bagian dari argumen sosialis . . .gagasan tentang kekuasaan kolektif atas keadaan telah menggantikan gagasan tentang kebebasan individu.[12]

Kaum anarkis sosial melihat kebebasan negatif dan positif sebagai konsep pelengkap kebebasan. Pandangan tentang hak seperti itu mungkin memerlukan pertukaran utilitarian, seperti mengorbankan hak atas hasil kerja seseorang, kebebasan berserikat untuk mengurangi diskriminasi rasial atau lebih banyak subsidi untuk perumahan. Kaum anarkis sosial menggambarkan pandangan negatif terhadap kebebasan-sentris yang didukung oleh kapitalisme sebagai "kebebasan egois".[13]

Anarko-kapitalis melihat hak negatif sebagai sistem yang konsisten. Ayn Rand menggambarkannya sebagai "prinsip moral yang mendefinisikan dan mendukung kebebasan seseorang untuk bertindak dalam konteks sosial". Bagi kaum libertarian kebebasan positif adalah kontradiktif karena apa yang disebut hak harus dipertukarkan satu sama lain, merendahkan hak-hak yang sah menurut definisi dengan mengalahkan pertimbangan moral lainnya. Setiap tuntutan hak atas hasil akhir (misalnya perumahan, pendidikan, layanan medis dan sebagainya) yang dibuat oleh orang-orang pada dasarnya merupakan hak untuk memperbudak orang lain yang diakui.[14]

Filsuf politik Alasdair MacIntyre berteori kebebasan dalam hal saling ketergantungan sosial kita dengan orang lain.[15]

Penerima Nobel Ekonomi Milton Friedman, dalam bukunya Capitalism and Freedom, berpendapat bahwa ada dua jenis kebebasan yaitu kebebasan politik dan kebebasan ekonomi; tanpa kebebasan ekonomi tidak mungkin ada kebebasan politik.[16]

Robin Hahnel dalam artikelnya "Why the Market Subverts Democracy", mempermasalahkan konsep kebebasan ekonomi Friedman, dengan menyatakan bahwa akan ada pelanggaran terhadap kebebasan orang lain setiap kali seseorang menjalankan kebebasan ekonominya sendiri dan pelanggaran tersebut hanya dapat dihindari jika ada sistem hak milik yang didefinisikan dengan tepat.[17]

Filsuf politik Nikolas Kompridis berpendapat bahwa motivasi mengejar kebebasan di era modern secara garis besar dapat dibagi menjadi dua tujuan, yaitu kebebasan sebagai otonomi (kemerdekaan) dan kebebasan sebagai kemampuan untuk secara kooperatif memulai awal yang baru.[18]

Michel Foucault dalam penentangannya terhadap Kebebasan politik dimana kondisi hubungan kekuasaan yang lebih kuat dan tinggi ialah yang mengendalikan aksi politik dibawahnya.[19] Teori ini juga didukung oleh oleh Cornelius Castoriadis, Antonio Gramsci, Herbert Marcuse, Jacques Rancière dan Theodor Adorno.

John Dalberg-Acton menyatakan: "Cara menguji paling tepat yang digunakan untuk menilai apakah suatu negara benar-benar bebas adalah jumlah keamanan yang dinikmati oleh kaum minoritas".[20]

Gerald C. MacCallum Jr. berbicara tentang kompromi antara kebebasan positif dan negatif, dengan mengatakan bahwa seseorang harus memiliki otonomi penuh atas diri mereka sendiri. Berhubungan satu sama lain karena menyangkut tiga hal, yaitu agen (personal maupun kelompok), batasan yang harus mereka bebaskan dan tujuan yang mereka cita-citakan.[21]

Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang makruf dan kebajikan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenarnya adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara Islam.[22]

Wafi dan as-Saidi mengemukakan bahwa rakyat atau umat merupakan pemegang dan sumber segala kekuasaan. Umat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam menentukan kekuasan sesuai dengan kehendaknya yang harus dijalankan. Jika umat merupakan pemegang kekuasaan, maka pemerintah di bawah kekuasaannya dan bukan sebaliknya. Oleh karenanya umat mempunyai kebebasan politik penuh yang diberikan oleh Islam, bukan hak yang diberikan oleh penguasa. Sehinga ada dua hak yang paling dominan untuk seluruh umat, yakni hak memilih pemimpin dan hak mengawasi dan mengontrol setiap tindakan pemimpinnya, baik secara langsung atau dengan perwakilan.[23]

Ada cendekiawan yang melihat kebebasan identik dengan demokrasi, ada pula yang menemukan kontradiksi antara kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, beberapa berpendapat bahwa Irak menjadi bebas setelah penggulingan Saddam Hussein, karena hak asasi manusia diberlakukan dengan negara dikendalikan Amerika Serikat dan Irak memulai membangun sistem politik yang rasional. Yang lain mengatakan negara Irak hidup dengan kebebasan yang lebih besar di bawah Hussein, karena tidak terjadi kolonisasi pada saat itu. Ada pandangan bahwa baik kediktatoran maupun keberadaan kolonial tidak dapat berarti kebebasan.[24]

Sejarah

La Liberté guidant le peuple (Kebebasan memimpin rakyat), karya Eugène Delacroix 1830, Museum Louvre

Istilah paling awal tentang kebebasan politik dapat kita temukan dalam "Politik" Aristoteles, di mana ia membahas kontradiksi antara kategori "kebebasan" dan bentuk pemerintahan yang demokratis. Penggunaan Undang-undang kebebasan politik ditemukan dalam Magna Carta Inggris tahun 1215. Kemudian tonggak penting Hak Asasi dalam merumuskan konsep Kebebasan politik seperti pada Bill of Rights Inggris yang diadopsi pada tahun 1689, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Prancis pada tahun 1789 dan Deklarasi Hak-Hak (Bill of Rights) Amerika pada tahun 1791.[25]

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, situasi kebebasan politik di berbagai negara mengalami perkembangan dengan cara yang berbeda. Ideologi liberal yang menuntut hak sipil dan politik (kebebasan dan kesetaraan, hak pilih, dll.) masih dalam pengertian sangat terbatas seperti kualifikasi pemilihan properti, larangan politik, ketidaksetaraan antara pria dan wanita, pembatasan ras, dll.[26]

Setelah Perang Dunia II ada lompatan kualitatif dalam pengembangan institusi hak asasi manusia dan sipil, yang menjadi topik utama dalam perkembangan hukum internasional. Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi "Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia". Pada tahun 1950, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia ditandatangani di Eropa, menciptakan mekanisme yang benar-benar beroperasi untuk memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang dinyatakan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa. Pada tahun 1966, di bawah naungan PBB, "Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik" dan "Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”. Dokumen-dokumen ini dan dokumen-dokumen selanjutnya menyetujui standar internasional mengenai hak asasi manusia dan hak-hak sipil serta jaminan untuk memastikan hak-hak ini untuk dimasukkan dalam Undang-undang ataupun bentuk konstitusional Negara-negara yang berpartisipasi.[27][28]

Hannah Arendt, teoretikus politik Jerman juga seorang filsuf.

Hannah Arendt menelusuri asal-usul konseptual kebebasan ke politik Yunani kuno. Menurut studinya, konsep kebebasan secara historis tidak dapat dipisahkan dari tindakan politik. Politik hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah membebaskan diri dari kebutuhan hidup sehingga dapat berpartisipasi dalam ranah politik. Menurut Arendt, konsep kebebasan menjadi terkait dengan gagasan Kristen tentang kebebasan berkehendak atau kebebasan batin pada sekitar abad ke-5 M dan sejak itu kebebasan sebagai bentuk tindakan politik telah diabaikan meskipun menurutnya kebebasan adalah "the raison d'être of politics (alasan untuk menjadi politik)".[29]

Arendt mengatakan bahwa kebebasan politik secara historis bertentangan dengan kedaulatan atau kekuatan kehendak karena di Yunani kuno dan Romawi kuno konsep kebebasan tidak dapat dipisahkan dari hasil kinerja dan tidak muncul sebagai konflik antara kehendak dan diri sendiri. Demikian pula, gagasan kebebasan sebagai kebebasan politik ialah gagasan yang berkembang di zaman modern. Ini bertentangan dengan gagasan kebebasan sebagai kapasitas untuk "memulai yang baru", dimana Arendt melihat ini sebagai akibat wajar dari kondisi fitrah bawaan manusia atau sifat manusia sebagai "awal yang baru dan seorang pemula".[30] Republikanisme modern menggambarkan kebebasan politik sebagai peraturan di mana "aturan hukum, yang bertumpu pada kedaulatan rakyat, akan mengakhiri kekuasaan manusia atas manusia".[31]

Dalam pandangan Arendt, aksi politik merupakan interupsi dari proses otomatis baik secara alamiah maupun historis. Kebebasan untuk memulai yang baru, dengan demikian merupakan perpanjangan dari "kebebasan untuk memanggil sesuatu menjadi ada (nyata) yang sebelumnya tidak ada, tidak diberikan, bahkan suatu objek pengetahuan atau imajinasi yang secara jelas tidak dapat diketahui".[2]

Kebebasan politik di Indonesia

Sebuah slogan Reformasi dikorupsi, selama Demonstrasi RUU KPK 2019

Indonesia telah mencapai kemajuan demokrasi yang mengesankan sejak jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998, membangun pluralisme yang signifikan dalam politik dan media dan mengalami banyak transfer kekuasaan secara damai antar partai. Namun, negara ini terus berjuang dengan tantangan termasuk korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua dan penggunaan undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan ​​yang dipolitisir.[32]

Di masa orde baru, dimana iklim politik di Indonesia serasa dikendalikan oleh pemerintah, partai-partai politik dipaksa untuk bergabung menjadi dua partai politik yang dibedakan berdasarkan partai islam dan non-islam, sedangkan pemerintah sendiri memiliki satu partai yang dapat dipastikan selalu memenangkan pemilihan umum. Berbeda sekali ketika saat ini kita melihat beragam partai politik menjamur di kalangan masyarakat.[33]

Di era Reformasi, kebebasan politik di Indonesia mengalami pasang surut. Dimasa pemerintahan B.J. Habibie kebebasan politik mendapat angin segar, pers yang sebelumnya dibungkam dan dipaksa mengikuti opini dari pemerintahan diberi kebebasan pers. Habibie juga membentuk undang-undang yang mengatur kebebasan masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pemilu, sehingga lahirlah 48 partai politik baru yang ikut berpartisipasi secara aktif dalam pemilu Indonesia di tahun 1999. Diberlakukannya Otonomi Daerah sehingga tidak terjadi Sentralisasi oleh Pemerintah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya.[34] Kemudian puncaknya pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dipilh langsung oleh rakyat.

Kebebasan politik dan sipil di Indonesia dinilai mengalami penurunan selama era pemerintahan Joko Widodo. Dalam indeks kebebasan yang disusun Freedom House, lembaga nirlaba yang berbasis di Washington, peringkat Indonesia tercatat turun dari “bebas” selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi “setengah bebas”.[35] Dimana ketika itu pemerintah dianggap tidak melakukan tekanan dan menerima kritikan masyarakat. Kendati muncul beragam demonstrasi yang bahkan masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik.[36]

Kendati demikian, kebebasan politik saat ini semakin terlihat jelas lebih baik dari pada masa Orde baru. Seperti saat pemilu rakyat diberi hak pilih untuk menentukan pejabat seperti kepala daerah, DPRD, DPR, DPD dan presiden-wakil presiden. Berkembangnya ilmu teknologi dan informasi turut membantu dalam menyampaikan pendapat pada khalayak umum bagi setiap orang. Selain untuk rakyat, kebebasan ini juga digunakan oleh media pers. Hal ini diperkuat dalam UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Pers Indonesia semakin banyak dalam variasi dan jumlah. Rakyat Indonesia pun menjadi tahu apa aja yang sedang terjadi di negeri ini.[37]

Kutipan terkenal

  • "Ελευθερία ή " (Kebebasan atau Kematian)
    - moto Perang Kemerdekaan Yunani
  • "Beri aku kebebasan atau bunuh aku!"
    - Patrick Henry
  • "Manusia dilahirkan bebas, namun dia dirantai di mana-mana."
    - Jean-Jacques Rousseau
  • "Sloboda ili Smrt" (Kebebasan atau Kematian)
    - Bekas motto Makedonia Utara
  • "Mereka yang dapat menyerahkan kebebasan esensial untuk mendapatkan sedikit keamanan sementara tidak berhak atas kebebasan maupun keamanan"
    - Benjamin Franklin
  • "Kekuatan konstitusi terletak pada komitmen warga negara untuk melindunginya. Hak konstitusional hanya terjamin jika setiap warga negara merasa berkewajiban untuk mengambil bagian dalam perlindungan itu."
    - Albert Einstein
  • "Hidup bebas atau mati"
    - moto New Hampshire

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Freedom in the World 2016
  2. ^ a b 1906-1975., Arendt, Hannah, (1993). Between past and future : eight exercises in political thought. Penguin Books. hlm. 151. ISBN 0-14-018650-6. OCLC 28311361. 
  3. ^ Justice and the Politics of Difference. Princeton University Press. 2011-08-22. hlm. 39–65. ISBN 978-1-4008-3990-2. 
  4. ^ Sandel, Michael (2009). "Michael Sandel: What's the right thing to do?". PsycEXTRA Dataset. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  5. ^ 1933-, Sen, Amartya,. Development as freedom. ISBN 0-385-72027-0. OCLC 45146643. 
  6. ^ 1818-1883., Marx, Karl, (1977). Selected writings. Oxford University Press. ISBN 0-19-876038-8. OCLC 2894111. 
  7. ^ 1909-1997., Berlin, Isaiah, (2008). Liberty. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-924989-3. OCLC 301623512. 
  8. ^ Taylor, Charles. Philosophy and the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 211–229. ISBN 978-1-139-17349-0. 
  9. ^ Kompridis, Nikolas (2007-07). "Struggling over the Meaning of Recognition". European Journal of Political Theory. 6 (3): 277–289. doi:10.1177/1474885107077311. ISSN 1474-8851. 
  10. ^ Friedrich August von Hayek, ‘Freedom and Coercion’ in David Miller (ed), Liberty (1991) pp. 80, 81.
  11. ^ Ford, Devoreaux (2018). Introduction to Political Theory. Waltham Abbey Essex, United Kingdom: ED-Tech Press. hlm. 55. ISBN 978-1-83947-396-8. 
  12. ^ Hayek, F. A. (2017-07-05). The Liberty Reader. Routledge. hlm. 80–99. ISBN 978-1-315-09182-2. 
  13. ^ Iain., McKay, (2013). An anarchist FAQ. AK. ISBN 978-1-84935-122-5. OCLC 817266778. 
  14. ^ "Individual Rights". The Ayn Rand Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-11. 
  15. ^ C., MacIntyre, Alasdair (2001). Dependent rational animals : why human beings need the virtues. Open Court. ISBN 0-8126-9452-X. OCLC 50479886. 
  16. ^ Auteur., Friedman, Milton, (1912-2006)., (2010). Capitalism and freedom. Online Library of Liberty. OCLC 1153575414. 
  17. ^ Hahnel, R. (2009-03-01). "Why the Market Subverts Democracy". American Behavioral Scientist (dalam bahasa Inggris). 52 (7): 1006–1022. CiteSeerX 10.1.1.563.8688alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1177/0002764208327672. 
  18. ^ Kompridis, Nikolas (2006-09-27). Philosophical Romanticism. Routledge. hlm. 32–59. ISBN 978-0-203-50737-7. 
  19. ^ D’Arcy, Stephen (2004-12-01). "Foucault, Michel. The Essential Foucault: Selections from Essential Works of Foucault, 1954-1984. Ed. Paul Rabinow and Nikolas Rose. New York: The New Press, 2003". Foucault Studies: 116–118. doi:10.22439/fs.v0i1.573. ISSN 1832-5203. 
  20. ^ Acton, John D. (1907). The History of Freedom and Other Essays. London: Macmillan. hlm. 4. 
  21. ^ MacCallum, Gerald C. (1967-07). "Negative and Positive Freedom". The Philosophical Review. 76 (3): 312. doi:10.2307/2183622. ISSN 0031-8108. 
  22. ^ Zawawi, Abdullah (2015). "POLITIK DALAM PANDANGAN ISLAM". Jurnal Ummul Qura. 5 (1): 97. 
  23. ^ "KONSEP KEBEBASAN DALAM ISLAM". at-Taqaddum. 7 (2): 271. 2015. 
  24. ^ "Iraq: Freedom in the World 2021 Country Report". Freedom House (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-19. 
  25. ^ Bates, Ed (2010). "History". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237. 
  26. ^ "Hak Sipil sebagai Pelindung Kebebasan Fundamental Individu". LBH Yogyakarta. 2013-04-04. Diakses tanggal 2014-06-23. 
  27. ^ "International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights". www.refworld.org. 
  28. ^ International Covenant on Civil and Political Rights Office of the United Nations High Commissioner of Human Rights
  29. ^ 1906-1975., Arendt, Hannah, (1993). Between past and future : eight exercises in political thought. Penguin Books. ISBN 0-14-018650-6. OCLC 28311361. 
  30. ^ Arendt, Hannah (1990). On revolution (edisi ke-Reprinted). London: Penguin Books. ISBN 0-14-018421-X. OCLC 25458723. 
  31. ^ "Political Freedom - an overview | ScienceDirect Topics". www.sciencedirect.com. Diakses tanggal 2021-07-24. 
  32. ^ "Indonesia: Country Profile". Freedom House (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-19. 
  33. ^ Kompasiana.com (2016-12-30). "Kebebasan Politik". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  34. ^ Media, Kompas Cyber (2021-03-29). "Kebijakan Politik Masa Pemerintahan B. J. Habibie Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  35. ^ "Kebebasan Sipil di Indonesia Menurun pada Era Jokowi - Infografik Katadata.co.id". katadata.co.id. 2019-10-22. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  36. ^ "Politisi Demokrat Sebut di Era SBY Kebebasan Demokrasi Dinikmati Rakyat Tanpa Tekanan". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2020-06-27. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  37. ^ Kompasiana.com (2016-12-08). "Kebebasan di Era Reformasi Indonesia". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2021-07-11. 

Pranala luar