Kebebasan politik: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Vedolique (bicara | kontrib)
Vedolique (bicara | kontrib)
Baris 36: Baris 36:


== Kebebasan politik di Indonesia ==
== Kebebasan politik di Indonesia ==
[[Berkas:ReformasiDiKorupsi.jpg|kiri|jmpl|Sebuah slogan ''Reformasi dikorupsi'', selama [[Unjuk rasa dan kerusuhan Indonesia September 2019|Demonstrasi RUU KPK 2019]]]]
Di masa [[Orde Baru|orde baru]], dimana iklim politik di Indonesia serasa dikendalikan oleh pemerintah, partai-partai politik dipaksa untuk bergabung menjadi dua partai politik yang dibedakan berdasarkan [[Politik Islam|partai islam]] dan non-islam, sedangkan pemerintah sendiri memiliki satu partai yang dapat dipastikan selalu memenangkan [[pemilihan umum]]. Berbeda sekali ketika saat ini kita melihat beragam partai politik menjamur di kalangan masyarakat.<ref>{{Cite web|last=Kompasiana.com|date=2016-12-30|title=Kebebasan Politik|url=https://www.kompasiana.com/hanifanw/586674e6d392734205fecea9/kebebasan-politik|website=KOMPASIANA|language=id|access-date=2021-07-11}}</ref>
Di masa [[Orde Baru|orde baru]], dimana iklim politik di Indonesia serasa dikendalikan oleh pemerintah, partai-partai politik dipaksa untuk bergabung menjadi dua partai politik yang dibedakan berdasarkan [[Politik Islam|partai islam]] dan non-islam, sedangkan pemerintah sendiri memiliki satu partai yang dapat dipastikan selalu memenangkan [[pemilihan umum]]. Berbeda sekali ketika saat ini kita melihat beragam partai politik menjamur di kalangan masyarakat.<ref>{{Cite web|last=Kompasiana.com|date=2016-12-30|title=Kebebasan Politik|url=https://www.kompasiana.com/hanifanw/586674e6d392734205fecea9/kebebasan-politik|website=KOMPASIANA|language=id|access-date=2021-07-11}}</ref>



Revisi per 11 Juli 2021 08.32

Patung Liberty di Amerika Serikat adalah salah satu "simbol kebebasan dan demokrasi" yang paling terkenal.


Kebebasan politik (juga dikenal sebagai otonomi politik atau aksi politik) adalah adalah konsep sentral dalam sejarah dan pemikiran politik Barat juga salah satu fitur terpenting dari masyarakat demokratis.[1] Kebebasan politik digambarkan sebagai kebebasan dari penindasan[2] atau paksaan,[3]  tidak adanya kondisi yang menjegal bagi individu dan membungkam situasi,[4]  atau tidak adanya keadaan paksaan pemenuhan kehidupan, misalnya paksaan ekonomi dalam suatu masyarakat.[5] Meskipun kebebasan politik seringkali dimaknai negatif sebagai kebebasan dengan perilaku yang tidak masuk akal dari kendala eksternal,[6] itu juga dapat merujuk pada pemenuhan hak, kapasitas dan kelayakan tindakan secara positif dan pelaksanaan hak-hak sosial atau kelompok.[7] Konsep ini juga dapat mencakup kebebasan dari kendala internal semacam tindakan atau perkataan politik (misalnya kearifan sosial, konsistensi atau perilaku tidak terpuji).[8] Konsep kebebasan politik erat kaitannya dengan konsep kebebasan sipil dan hak asasi manusia dimana masyarakat demokratis biasanya diberikan perlindungan hukum dari negara.

Tinjauan oleh Ahli atau Kelompok Politik

Berbagai kelompok di sepanjang spektrum politik memiliki pandangan berbeda tentang apa yang mereka yakini sebagai kebebasan politik.

Filsafat politik sayap kiri umumnya memasangkan gagasan kebebasan dengan kebebasan positif atau menghubungkan suatu kelompok atau individu dalam menentukan kehidupan mereka sendiri atau mewujudkan potensi mereka sendiri. Dalam pengertian ini, kebebasan dapat mencakup kebebasan dari kemiskinan, kelaparan, penyakit yang dapat diobati dan penindasan serta kebebasan dari kekangan dan paksaan,dari siapa pun.[9]

Kaum anarkis sosial melihat kebebasan negatif dan positif sebagai konsep pelengkap kebebasan. Pandangan tentang hak seperti itu mungkin memerlukan pertukaran utilitarian, seperti mengorbankan hak atas hasil kerja seseorang, kebebasan berserikat untuk mengurangi diskriminasi rasial atau lebih banyak subsidi untuk perumahan. Kaum anarkis sosial menggambarkan pandangan negatif terhadap kebebasan-sentris yang didukung oleh kapitalisme sebagai "kebebasan egois".[10]

Anarko-kapitalis melihat hak negatif sebagai sistem yang konsisten. Ayn Rand menggambarkannya sebagai "prinsip moral yang mendefinisikan dan mendukung kebebasan seseorang untuk bertindak dalam konteks sosial". Bagi kaum libertarian kebebasan positif adalah kontradiktif karena apa yang disebut hak harus dipertukarkan satu sama lain, merendahkan hak-hak yang sah menurut definisi dengan mengalahkan pertimbangan moral lainnya. Setiap tuntutan hak atas hasil akhir (misalnya perumahan, pendidikan, layanan medis dan sebagainya) yang dibuat oleh orang-orang pada dasarnya merupakan hak untuk memperbudak orang lain yang diakui.[11]

Filsuf politik Alasdair MacIntyre berteori kebebasan dalam hal saling ketergantungan sosial kita dengan orang lain.[12]

Peraih Nobel Ekonomi Milton Friedman, dalam bukunya Capitalism and Freedom, berpendapat bahwa ada dua jenis kebebasan yaitu kebebasan politik dan kebebasan ekonomi; tanpa kebebasan ekonomi tidak mungkin ada kebebasan politik.[13]

Robin Hahnel dalam artikelnya "Why the Market Subverts Democracy", mempermasalahkan konsep kebebasan ekonomi Friedman, dengan menyatakan bahwa akan ada pelanggaran terhadap kebebasan orang lain setiap kali seseorang menjalankan kebebasan ekonominya sendiri dan pelanggaran tersebut hanya dapat dihindari jika ada sistem hak milik yang didefinisikan dengan tepat.[14]

Filsuf politik Nikolas Kompridis berpendapat bahwa motivasi mengejar kebebasan di era modern secara garis besar dapat dibagi menjadi dua tujuan, yaitu kebebasan sebagai otonomi (kemerdekaan) dan kebebasan sebagai kemampuan untuk secara kooperatif memulai awal yang baru.[15]

Michel Foucault dalam penentangannya terhadap Kebebasan politik dimana kondisi hubungan kekuasaan yang lebih kuat dan tinggi ialah yang mengendalikan aksi politik dibawahnya.[16] Teori ini juga didukung oleh oleh Cornelius Castoriadis, Antonio Gramsci, Herbert Marcuse, Jacques Rancière dan Theodor Adorno.

John Dalberg-Acton menyatakan: "Cara menguji paling tepat yang digunakan untuk menilai apakah suatu negara benar-benar bebas adalah jumlah keamanan yang dinikmati oleh kaum minoritas".[17]

Gerald C. MacCallum Jr. berbicara tentang kompromi antara kebebasan positif dan negatif, dengan mengatakan bahwa seseorang harus memiliki otonomi penuh atas diri mereka sendiri. Berhubungan satu sama lain karena menyangkut tiga hal, yaitu agen (personal maupun kelompok), batasan yang harus mereka bebaskan dan tujuan yang mereka cita-citakan.[18]

Asal-usul

Hannah Arendt menelusuri asal-usul konseptual kebebasan ke politik Yunani kuno. Menurut studinya, konsep kebebasan secara historis tidak dapat dipisahkan dari tindakan politik. Politik hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah membebaskan diri dari kebutuhan hidup sehingga dapat berpartisipasi dalam ranah politik. Menurut Arendt, konsep kebebasan menjadi terkait dengan gagasan Kristen tentang kebebasan berkehendak atau kebebasan batin pada sekitar abad ke-5 M dan sejak itu kebebasan sebagai bentuk tindakan politik telah diabaikan meskipun menurutnya kebebasan adalah "the raison d'être of politics (alasan untuk menjadi politik)".[19]

Arendt mengatakan bahwa kebebasan politik secara historis bertentangan dengan kedaulatan atau kekuatan kehendak karena di Yunani kuno dan Romawi kuno konsep kebebasan tidak dapat dipisahkan dari hasil kinerja dan tidak muncul sebagai konflik antara kehendak dan diri sendiri. Demikian pula, gagasan kebebasan sebagai kebebasan politik ialah gagasan yang berkembang di zaman modern. Ini bertentangan dengan gagasan kebebasan sebagai kapasitas untuk "memulai yang baru", dimana Arendt melihat ini sebagai akibat wajar dari kondisi fitrah bawaan manusia atau sifat manusia sebagai "awal yang baru dan seorang pemula".[20]

Dalam pandangan Arendt, aksi politik merupakan interupsi dari proses otomatis baik secara alamiah maupun historis. Kebebasan untuk memulai yang baru, dengan demikian merupakan perpanjangan dari "kebebasan untuk memanggil sesuatu menjadi ada (nyata) yang sebelumnya tidak ada, tidak diberikan, bahkan suatu objek pengetahuan atau imajinasi yang secara jelas tidak dapat diketahui".[1]

Kebebasan politik di Indonesia

Sebuah slogan Reformasi dikorupsi, selama Demonstrasi RUU KPK 2019

Di masa orde baru, dimana iklim politik di Indonesia serasa dikendalikan oleh pemerintah, partai-partai politik dipaksa untuk bergabung menjadi dua partai politik yang dibedakan berdasarkan partai islam dan non-islam, sedangkan pemerintah sendiri memiliki satu partai yang dapat dipastikan selalu memenangkan pemilihan umum. Berbeda sekali ketika saat ini kita melihat beragam partai politik menjamur di kalangan masyarakat.[21]

Di era Reformasi, kebebasan politik di Indonesia mengalami pasang surut. Dimasa pemerintahan B.J. Habibie kebebasan politik mendapat angin segar, pers yang sebelumnya dibungkam dan dipaksa mengikuti opini dari pemerintahan diberi kebebasan pers. Habibie juga membentuk undang-undang yang mengatur kebebasan masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pemilu, sehingga lahirlah 48 partai politik baru yang ikut berpartisipasi secara aktif dalam pemilu Indonesia di tahun 1999. Diberlakukannya Otonomi Daerah sehingga tidak terjadi Sentralisasi oleh Pemerintah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya.[22] Kemudian puncaknya pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dipilh langsung oleh rakyat.

Kebebasan politik dan sipil di Indonesia dinilai mengalami penurunan selama era pemerintahan Joko Widodo. Dalam indeks kebebasan yang disusun Freedom House, lembaga nirlaba yang berbasis di Washington, peringkat Indonesia tercatat turun dari “bebas” selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi “setengah bebas”.[23] Dimana ketika itu pemerintah dianggap tidak melakukan tekanan dan menerima kritikan masyarakat. Kendati muncul beragam demonstrasi yang bahkan masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik.[24]

Kendati demikian, kebebasan politik saat ini semakin terlihat jelas lebih baik dari pada masa Orde baru. Seperti saat pemilu rakyat diberi hak pilih untuk menentukan pejabat seperti kepala daerah, DPRD, DPR, DPD dan presiden-wakil presiden. Berkembangnya ilmu teknologi dan informasi turut membantu dalam menyampaikan pendapat pada khalayak umum bagi setiap orang. Selain untuk rakyat, kebebasan ini juga digunakan oleh media pers. Hal ini diperkuat dalam UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Pers Indonesia semakin banyak dalam variasi dan jumlah. Rakyat Indonesia pun menjadi tahu apa aja yang sedang terjadi di negeri ini.[25]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b 1906-1975., Arendt, Hannah, (1993). Between past and future : eight exercises in political thought. Penguin Books. hlm. 151. ISBN 0-14-018650-6. OCLC 28311361. 
  2. ^ Justice and the Politics of Difference. Princeton University Press. 2011-08-22. hlm. 39–65. ISBN 978-1-4008-3990-2. 
  3. ^ Sandel, Michael (2009). "Michael Sandel: What's the right thing to do?". PsycEXTRA Dataset. Diakses tanggal 2021-07-05. 
  4. ^ 1933-, Sen, Amartya,. Development as freedom. ISBN 0-385-72027-0. OCLC 45146643. 
  5. ^ 1818-1883., Marx, Karl, (1977). Selected writings. Oxford University Press. ISBN 0-19-876038-8. OCLC 2894111. 
  6. ^ 1909-1997., Berlin, Isaiah, (2008). Liberty. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-924989-3. OCLC 301623512. 
  7. ^ Taylor, Charles. Philosophy and the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 211–229. ISBN 978-1-139-17349-0. 
  8. ^ Kompridis, Nikolas (2007-07). "Struggling over the Meaning of Recognition". European Journal of Political Theory. 6 (3): 277–289. doi:10.1177/1474885107077311. ISSN 1474-8851. 
  9. ^ Ford, Devoreaux (2018). Introduction to Political Theory. Waltham Abbey Essex, United Kingdom: ED-Tech Press. hlm. 55. ISBN 978-1-83947-396-8. 
  10. ^ Iain., McKay, (2013). An anarchist FAQ. AK. ISBN 978-1-84935-122-5. OCLC 817266778. 
  11. ^ "Individual Rights". The Ayn Rand Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-11. 
  12. ^ C., MacIntyre, Alasdair (2001). Dependent rational animals : why human beings need the virtues. Open Court. ISBN 0-8126-9452-X. OCLC 50479886. 
  13. ^ Auteur., Friedman, Milton, (1912-2006)., (2010). Capitalism and freedom. Online Library of Liberty. OCLC 1153575414. 
  14. ^ Hahnel, R. (2009-03-01). "Why the Market Subverts Democracy". American Behavioral Scientist (dalam bahasa Inggris). 52 (7): 1006–1022. CiteSeerX 10.1.1.563.8688alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1177/0002764208327672. 
  15. ^ Kompridis, Nikolas (2006-09-27). Philosophical Romanticism. Routledge. hlm. 32–59. ISBN 978-0-203-50737-7. 
  16. ^ D’Arcy, Stephen (2004-12-01). "Foucault, Michel. The Essential Foucault: Selections from Essential Works of Foucault, 1954-1984. Ed. Paul Rabinow and Nikolas Rose. New York: The New Press, 2003". Foucault Studies: 116–118. doi:10.22439/fs.v0i1.573. ISSN 1832-5203. 
  17. ^ Acton, John D. (1907). The History of Freedom and Other Essays. London: Macmillan. hlm. 4. 
  18. ^ MacCallum, Gerald C. (1967-07). "Negative and Positive Freedom". The Philosophical Review. 76 (3): 312. doi:10.2307/2183622. ISSN 0031-8108. 
  19. ^ 1906-1975., Arendt, Hannah, (1993). Between past and future : eight exercises in political thought. Penguin Books. ISBN 0-14-018650-6. OCLC 28311361. 
  20. ^ Arendt, Hannah (1990). On revolution (edisi ke-Reprinted). London: Penguin Books. ISBN 0-14-018421-X. OCLC 25458723. 
  21. ^ Kompasiana.com (2016-12-30). "Kebebasan Politik". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  22. ^ Media, Kompas Cyber (2021-03-29). "Kebijakan Politik Masa Pemerintahan B. J. Habibie Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  23. ^ "Kebebasan Sipil di Indonesia Menurun pada Era Jokowi - Infografik Katadata.co.id". katadata.co.id. 2019-10-22. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  24. ^ "Politisi Demokrat Sebut di Era SBY Kebebasan Demokrasi Dinikmati Rakyat Tanpa Tekanan". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2020-06-27. Diakses tanggal 2021-07-11. 
  25. ^ Kompasiana.com (2016-12-08). "Kebebasan di Era Reformasi Indonesia". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2021-07-11.