Didong: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ciko (bicara | kontrib)
k {{wikify}}
Fajriboy (bicara | kontrib)
k Syair Didong
Baris 79: Baris 79:
Wooo inee ee..ee..eeee<br>
Wooo inee ee..ee..eeee<br>


Itetahmi cera boh ulaken ku ralik<br>
Itetahmi cara boh ulaken ku ralik<br>
Enti neh mupesek ko kerawang gayo<br>
Enti neh mupesek ko kerawang gayo<br>
Kati teduh mara kati rede sonek<br>
Kati teduh mara kati rede sonek<br>

Revisi per 1 November 2008 05.13

Arita Didong Group

Sebuah kesenian rakyat Masyarakat Gayo yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Kapan kesenian ini bermula, hingga kini belum diketahui secara pasti. Demikian pula arti kata didong yang sesungguhnya.

Makna

Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti agama dan “dong” berarti dakwah.

Fungsi

Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar agama Islam.

Menurut Perkembangan

Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.

Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.

Dewasa ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.

Syair Didong

Inilah salah satu Contoh syair didong oleh Ceh kucak Gayo Kabri Wali.

AMA (AYAH)

Ama Ine eeeeeeee
Ini Pongotni gayo ine
Kute takengen besilo nge musarik
Ulahni politik jema si jago - jago
Bier pe i dusun bier pe isi lengkik
Laingni kekek nume makin gure ine…

Gere Ne aman Rakyat nge usik
Mukim orom Gecik ke meh muselo
Reje orom imem si musasat sidik
Bewene panik lagu cekakni benno ine…

Beluhni Nyawa gere neh tekek
Ara bercengkek ara si berdere ine…
Dup Meta mara gere ara si macik
Sempat ilen kedek pemimpin ni jewe ine…

Dop ara pe jeda mantong ilen mangik
umpama ni senik nge mujadi bute
Ara pe reta gere neh terdedek
Nge roloh mutik kupi pantan sile ine…

Ama….. Bayak bajungku ine…
Enge emeh merke jema si lisik
dele nge mu teldek kuren tembege ine…
Taring murense umah jamur unik
Kering nge repek ko supu serule ine…

Yatim pe dele simen anak merek
Mongot orom kedek enge meh musede
Iwan atewe nge lagu si sewek
Gere ke macik ko musara Gayo ine…

Ama..aaaa Ini pongotni gayo ine…
Ike kite engon sentan kite telek
Si tukang angik kara pihak ketige ine…
Akal iyayon kati rusak rasik
Sampe bersenik jema sara ine ine…

Kalang iatas terbang puke kelik
Kurek orom eteng i tuyuh nge cico ine…
Gere meteh lewen sahen si dedek
Bier pe ama ecek renye i pekaro ine…

Munyenoh ken ulu ulahni si cerdik
Parok i pantik nyenohi ken Reje ama …ooo
Rakyat si ogoh sabe kona pecek
Gere meteh ujung ralik si munangung resiko ine…

Sentan kite timang orom kite balik
Pongot orom kedik nge meh musede
ikeruhni berawang le jema munekik
Enge osop sampik emut si munire ine…

Ama…aaaaaaa Bayakku ine…eee
Wooo inee ee..ee..eeee

Itetahmi cara boh ulaken ku ralik
Enti neh mupesek ko kerawang gayo
Kati teduh mara kati rede sonek
Tekaren si kotek tengkamen si mulie ine…

Ike masih ara ilen sifet si serek
Lebah orom unik tetap we berdewe ine…
Amaten agama edet pe iolek
Oya baru mersik kao urang gayo ine…

Agih ni agih mongot bersebuku
Sampon ko lauh mujaril ari mata

Terjemahan
Dalam Pembuatan [1]

Ceh

Para ceh yang turut berjasa mengembangkan dan melestarikan didong di tanah Gayo 'diantaranya adalah: Ceh Tjuh Ucak, Basir Lakkiki Abd. Rauf, Ecek Bahim, Sali Gobal, Daman, Idris Sidang Temas, Sebi, Utih Srasah, Beik, Tabrani, Genincis, S. Kilang, Ibrahim Kadir, Mahlil, Bantacut, Dasa, Ceh Ucak, Suwt, Talep, Aman Cut, Abu Kasim, Syeh Midin, M. Din, Abu Bakar, Ishak Ali Dan Ceh kucak Kabri Wali,Yang Begitu Dikenal Dikalangan Masyarakat Gayo.

Pemain dan Peralatan

Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang ceh. Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.

Jalannya Pementasan

Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada.

Pranala Luar

  • Puisi Didong Gayo (Balai Pustaka 2006)
  • Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Aneka Ragam Hkasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  • Syair Didong "Ama" [2]
  • Didong Gayo Lues [[3]]
  • Mendekatkan Roh Didong Gayo [4]
  • Didong Aceh Tengah Vs Bener Meriah [5]
  • Didong "Jalu" Semalam Suntuk [6]
  • Iwan Gayo Pentaskan Didong Di Tamiang [7]
  • Kolaborasi Didong dan Saman, Youtube [8]
  • Malam Seni Gayo, Youtube [9]