Naskah Wangsakerta: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
→‎Kontroversi: perbaikan kalimat
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Naskah Wangsakerta''' adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan [[naskah]] yang disusun oleh [[Pangeran Wangsakerta]] secara pribadi atau oleh "[[Naskah Wangsakerta#Panitia Wangsakerta|Panitia Wangsakerta]]". Menurut isi ''[[Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara]]'' parwa (bagian) V sarga (jilid/naskah) 5 yang berupa daftar pustaka, setidaknya perpustakaan [[Kesultanan Cirebon]] mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya.
'''Naskah Wangsakerta''' adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan [[naskah]] yang disusun oleh [[Pangeran]] [[Wangsakerta]] secara pribadi atau oleh "[[Naskah Wangsakerta#Panitia Wangsakerta|Panitia Wangsakerta]]". Menurut isi ''[[Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara]]'' parwa (bagian) V sarga (jilid/naskah) 5 yang berupa daftar pustaka, setidaknya perpustakaan [[Kesultanan Cirebon]] mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya.


Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di [[Bandung]].<ref>[http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/19/pustaka/1628489.htm Resensi buku "Jejak Naskah Pangeran Wangsakerta"]</ref>
Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di [[Bandung]].<ref>[http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/19/pustaka/1628489.htm Resensi buku "Jejak Naskah Pangeran Wangsakerta"]</ref>

Revisi per 3 Januari 2021 09.00

Naskah Wangsakerta adalah istilah yang merujuk pada sekumpulan naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta secara pribadi atau oleh "Panitia Wangsakerta". Menurut isi Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa (bagian) V sarga (jilid/naskah) 5 yang berupa daftar pustaka, setidaknya perpustakaan Kesultanan Cirebon mengoleksi 1703 judul naskah, yang 1213 di antaranya berupa karya Pangeran Wangsakerta beserta timnya.

Naskah kontroversial ini kini tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di Bandung.[1]

Panitia Wangsakerta

Dalam pengantar setiap naskah Wangsakerta selalu diinformasikan mengenai proses dibuatnya naskah-naskah tersebut. Panitia yang dipimpin oleh Pangéran Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala (simposium/seminar) antara para ahli (sejarah) dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta. Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M).

Kontroversi

Ditemukannya naskah Wangsakerta pada awal tahun 1970-an, selain menimbulkan kegembiraan dan kekaguman akan kelengkapannya, untuk banyak pihak justru menimbulkan keraguan dan kecurigaan, bahkan para sarjana dan ahli sejarah menduga bahwa naskah ini aspal (asli tetapi palsu). Di antara alasan-alasan yang meragukan naskah ini, yaitu:

  • terlalu historis, isinya tidak umum sebagaimana naskah-naskah sezaman (babad, kidung, tambo, hikayat);
  • cocoknya isi naskah dengan karya-karya sarjana Barat (J. G. de Casparis, N. J. Krom, Eugene Dubois dsb.), sehingga ada dugaan bahwa naskah ini disusun dengan merujuk pada karya para ahli tersebut (tidak dibuat abad ke-17). Bahkan penyusun Wangsakerta itu juga melakukan kekeliruan yang sama dengan apa yang pernah dibuat oleh De Casparis, yang terungkap setelah ditemukan bukti baru;[2]
  • Kurangnya keterangan tentang kerajaan Tarumanagara, persis seperti yang didapati di sejarah modern[3]. Jika naskah Wangsakerta bisa menyebutkan adanya kerajaan Salakanagara (yang menurut naskah Wangsakerta lebih tua daripada Tarumanagara) beserta urutan raja-rajanya dengan runtut, seharusnya naskah ini juga terdapat keterangan tentang Tarumanagara dengan lebih terperinci daripada sejarah modern;
  • Bahasa Jawa kuno yang dipakai terkesan dikuno-kunokan dan tidak mewakili bahasa akhir abad ke-17. Karena para wali yang hidup di abad ke-15 pun sudah menggunakan bahasa Jawa baru;[4]
  • keadaan fisik naskah (kertas/daluang, tinta, bangunan aksara) menunjukkan naskah yang dijadikan rujukan merupakan salinan dan tulisannya kasar, tidak seperti naskah lama pada umumnya.[5]

Catatan kaki

Rujukan