Jamus Kalimasada: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
FarhanNF (bicara | kontrib)
Baris 2: Baris 2:


== Asal-Usul Kata ==
== Asal-Usul Kata ==
Sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah ''Kalimasada'' berasal dari kata ''[[Syahadat|Kalimat Syahadat]]'', yaitu sebuah kalimat utama dalam [[agama Islam]]. Kalimat tersebut berisi pengakuan tentang adanya [[== Asal-Usul Kata ==
Sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah '''''Kalimasada''''' berasal dari kata ''[[Syahadat|Kalimat Syahadat]]'', yaitu sebuah kalimat utama dalam [[agama Islam]]. Kalimat tersebut berisi pengakuan tentang adanya [[Tuhan]] yang tunggal, serta [[Nabi Muhammad]] sebagai utusan-Nya.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah ''Kalimasada'' berasal dari kata ''[[Syahadat|Kalimat Syahadat]]'', yaitu sebuah kalimat utama dalam [[agama Islam]]. Kalimat tersebut berisi pengakuan tentang adanya [[Tuhan]] yang tunggal, serta [[Nabi Muhammad]] sebagai utusan-Nya.


Menurut pendapat tersebut, istilah Kalimasada diciptakan oleh [[Sunan Kalijaga]], salah seorang penyebar agama Islam di [[Pulau Jawa]] pada abad ke-16. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan [[wayang kulit]] sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan.
Menurut pendapat tersebut, istilah Kalimasada diciptakan oleh [[Sunan Kalijaga]], salah seorang penyebar agama Islam di [[Pulau Jawa]] pada abad ke-16. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan [[wayang kulit]] sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan.

Revisi per 23 Juni 2020 16.10

Serat Jamus Kalimasada adalah nama sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka ini berwujud kitab, dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam Kerajaan Amarta.

Asal-Usul Kata

Sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah Kalimasada berasal dari kata Kalimat Syahadat, yaitu sebuah kalimat utama dalam agama Islam. Kalimat tersebut berisi pengakuan tentang adanya Tuhan yang tunggal, serta Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Menurut pendapat tersebut, istilah Kalimasada diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-16. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan.

Namun pendapat lain mengatakan bahwa sebelum datangnya agama Islam, istilah Kalimasada sudah dikenal dalam kesusastraan Jawa. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Dr. Kuntara Wiryamartana, SJ. Istilah Kalimasada bukan berasal dari kata Kalimat Syahadat, melainkan berasal dari kata Kalimahosaddha.

Istilah Kalimahosaddha ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut jika dipilah menjadi Kali-Maha-Usaddha, yang bermakna "obat mujarab Dewi Kali".

Kakawin Bharatayuddha mengisahkan perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Korawa yang bernama Salya bertempur melawan Yudistira. Yudistira melemparkan kitab pusakanya yang bernama Pustaka Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah Kalimahosaddha sudah dikenal masyarakat Jawa sejak beberapa abad sebelum munculnya Sunan Kalijaga. Mungkin yang terjadi adalah Sunan Kalijaga memadukan istilah Kalimahosaddha dengan Kalimat Syahadat menjadi Kalimasada sebagai sarana untuk berdakwah. Tokoh ini memang terkenal sebagai ulama sekaligus budayawan di Tanah Jawa.

Kisah dalam Pewayangan Salah satu kisah pewayangan Jawa menceritakan tentang asal usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.

Batara Guru raja kahyangan meminta bantuan Bambang Sakutrem dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Sakutrem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.

Sakutrem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wiyasa atau Abiyasa. Ketika kelima cucu Abiyasa, yaitu para Pandawa membangun kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.

Di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat utama. Kisah-kisah pedalangan banyak yang bercerita tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.

]] yang tunggal, serta Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Menurut pendapat tersebut, istilah Kalimasada diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-16. Konon, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, antara lain ia memasukkan istilah Kalimat Syahadat ke dalam dunia pewayangan.

Namun pendapat lain mengatakan bahwa sebelum datangnya agama Islam, istilah Kalimasada sudah dikenal dalam kesusastraan Jawa. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Dr. Kuntara Wiryamartana, SJ. Istilah Kalimasada bukan berasal dari kata Kalimat Syahadat, melainkan berasal dari kata Kalimahosaddha.

Istilah Kalimahosaddha ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut jika dipilah menjadi Kali-Maha-Usaddha, yang bermakna "obat mujarab Dewi Kali".

Kakawin Bharatayuddha mengisahkan perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Korawa yang bernama Salya bertempur melawan Yudistira. Yudistira melemparkan kitab pusakanya yang bernama Pustaka Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah Kalimahosaddha sudah dikenal masyarakat Jawa sejak beberapa abad sebelum munculnya Sunan Kalijaga. Mungkin yang terjadi adalah Sunan Kalijaga memadukan istilah Kalimahosaddha dengan Kalimat Syahadat menjadi Kalimasada sebagai sarana untuk berdakwah. Tokoh ini memang terkenal sebagai ulama sekaligus budayawan di Tanah Jawa.

Kisah dalam Pewayangan Salah satu kisah pewayangan Jawa menceritakan tentang asal usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.

Batara Guru raja kahyangan meminta bantuan Bambang Sakutrem dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Sakutrem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.

Sakutrem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wiyasa atau Abiyasa. Ketika kelima cucu Abiyasa, yaitu para Pandawa membangun kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.

Di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta, Jamus Kalimasada menempati peringkat utama. Kisah-kisah pedalangan banyak yang bercerita tentang upaya musuh-musuh Pandawa untuk mencuri Kalimasada. Meskipun demikian pusaka keramat tersebut senantiasa kembali dapat direbut oleh Yudistira dan keempat adiknya.