Prasasti Ciaruteun: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Naval Scene (bicara | kontrib)
Baris 64: Baris 64:
[[Kategori:Situs arkeologi di Jawa Barat]]
[[Kategori:Situs arkeologi di Jawa Barat]]
[[Kategori:Situs arkeologi Sunda]]
[[Kategori:Situs arkeologi Sunda]]
[[Kategori:Prasasti di Indonesia|Ciaruteun]]
[[Kategori:Prasasti di Jawa Barat|Ciaruteun]]

Revisi per 11 Januari 2020 09.32

Berkas:Prasasticiaruteun.jpg
Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor.

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan di tepi sungai Ciaruteun, tidak jauh dari sungai Ci Sadane, Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara.[1]:15

Lokasi

Salinan Prasasti Ciaruteun di Museum Sejarah Jakarta.

Prasasti Ciaruteun terletak di Desa Ciaruteun Ilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor; tepatnya pada koordinat 6°31’23,6” LS dan 106°41’28,2” BT. Lokasi ini terletak sekitar 19 kilometer sebelah Barat Laut dari pusat kota Bogor.

Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh tiga sungai: Ci Sadane, Ci Anten dan Ci Aruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Tjampéa (= Ciampea, namun sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang). Tak jauh dari prasasti ini, masih dalam kawasan Ciaruteun terdapat Prasasti Kebonkopi I.

Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (wilayah bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara".

Penemuan

Pada tahun 1863 di Hindia Belanda, sebuah batu besar dengan ukiran aksara purba dilaporkan ditemukan di dekat Tjampea (Ciampea), tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor). Batu berukir itu ditemukan di Kampung Muara, di aliran sungai Ciaruteun, salah satu anak sungai Cisadane.[1]:15 Segera pada tahun yang sama, Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) di Batavia. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula.

Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir bandang. Selain itu prasasti ini kini dilindungi bangunan pendopo, untuk melindungi prasasti ini dari curah hujan dan cuaca, serta melindunginya dari tangan jahil. Replika berupa cetakan resin dari prasasti ini kini disimpan di tiga museum, yaitu Museum Nasional Indonesia dan Museum Sejarah Jakarta di Jakarta dan Museum Sri Baduga di Bandung.[1]:16

Bahan

Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu kali atau batu alam. Batu ini berbobot delapan ton dan berukuran 200 cm kali 150 cm.[1]:16

Isi

Tulisan pada batu prasasti yang asli di tempatnya yang baru di Ciaruteun Ilir

Prasasti Ciaruteun bergoreskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris dan pada bagian atas tulisan terdapat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi dan sulur-suluran (pilin) dan laba-laba.[2]

Teks:

vikkrantasyavanipat eh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam

Terjemahan:
“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawarmman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.

Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Penggunaan cetakan telapak kaki pada masa itu mungkin dimaksudkan sebagai tanda keaslian, mirip dengan tanda tangan zaman sekarang. Hal ini mungkin sebagai tanda kepemilikan atas tanah.[1]:16

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 
  2. ^ Bandingkan E.E. McKinnon. "Prasasti Ciaruteun: suatu teka-teki, laba-laba atau lambang Sri?" Kalpataru 12:1-6, 1996

Rujukan

  1. H.P. Hoepermans “Hindoe-Oudheden van Java 1864-1867”. ROD 1913:75
  2. J.F.G. Brumund “Bijdragen tot de kennis van het Hindoeisme op Java” VBG XXXIII 1868:64
  3. A.B. Cohen Stuart “Heilige Voetsporen op Java” BKI XXII(1):163–170; juga dalam bahasa Inggris berjudul: “Sacred Footprints in Java” Indian Antiquary IV. 1875:355-dst
  4. D. bvan Hinloopen Labberton “Ueber di Bedeutung der Spinne in der Indischen Literatuur” Zeitschrift der Deutschen Morgenlandischen Gesselschaft. 66. 1912:601
  5. H. Kern “Over de Sanskrit-Opschriften van Jambu (Batavia) (± 450 A.D), Verspreide Geschriften VII. 1917:4-5.
  6. J.Ph. Vogel “the Earliest Sanskrit Inscription of Java” POD. I. 1925:21-24. Plate 28-29
  7. N.J. Krom “Inventaris der Hindoe-oudheden” ROD. 1914, 1915:30 (di dalam keterangan atau catatan nomor 61)
  8. R.M.Ng. Poerbatjaraka Riwayat Indonesia I 1952:12
  9. L.Ch. Damais “Les Ecritures d’Origine Indienne en Indonesie et dans le Sud-Est Asiatique Continental” BSEI. XXX(4). L955:365-382. Khususnya prasasti Ciaruteun.
  10. Bambang Soemadio (et al. editor) Sejarah Nasional Indonesia II, Jaman Kuna. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1975:39-40; 1984:40

6°31′23.6″S 106°41′28.2″E / 6.523222°S 106.691167°E / -6.523222; 106.691167Koordinat: 6°31′23.6″S 106°41′28.2″E / 6.523222°S 106.691167°E / -6.523222; 106.691167