Operasi militer Indonesia di Aceh 2003–2004: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tidak ada ringkasan suntingan
(Tidak ada perbedaan)

Revisi per 9 Agustus 2008 12.32

Operasi militer Indonesia di Aceh 2003–2004
Bagian dari Konflik di Aceh

Lokasi Aceh di Indonesia
Tanggal19 Mei 200313 Mei 2004
LokasiAceh, Indonesia
Hasil Kemenangan TNI/Polri
Pihak terlibat

Indonesia Indonesia

Gerakan Aceh Merdeka
Tokoh dan pemimpin
Indonesia Megawati Soekarnoputri
Indonesia Endriartono Sutarto
Hassan Di Tiro
Muzakkir Manaf
Kekuatan
30.000 tentara
12.000 polisi
total: 42.000[1]
5.000[2]
Korban
2.000 tewas (kebanyakan warga sipil)[3]

Operasi militer Indonesia di Aceh adalah operasi yang dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri.[4] Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami di tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh.

Latar belakang

Pada 28 April 2003, pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu 2 minggu. Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum tersebut, namun Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.[1]

Pada 16 Mei 2003, pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM. Pimpinan dan negosiator GAM tidak menjawab tuntutan ini, dan mengatakan para anggotanya di Aceh ditangkap saat hendak berangkat ke Tokyo.[1]

Serangan militer

Selepas tengah malam pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri memberikan izin operasi militer melawan anggota separatis.[5] Ia juga menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan. Pemerintah Indonesia menempatkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi di Aceh.[1]

Di bulan Juni, pemerintah mengumumkan niat mereka untuk mencetak KTP baru yang harus dibawa semua penduduk Aceh untuk membedakan pemberontak dan warga sipil. LSM-LSM dan lembaga bantuan diperintahkan untuk menghentikan operasinya dan meninggalkan wilayah tersebut. Seluruh bantuan harus dikoordinasikan di Jakarta melalui pemerintah dan Palang Merah Indonesia.[4]

Di bulan Mei 2004, darurat militer di Aceh diturunkan menjadi darurat sipil.[1] Menko Polkam ad interim Indonesia Hari Sabarno mengumumkan perubahan ini setelah rapat kabinet 13 Mei 2004. Pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap dan menyerahkan diri.[4]

Tuduhan pelanggaran HAM di Aceh

Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000 orang terbunuh sejak Mei 2003.[3] TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, namun kelompok-kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk komisi HAM pemerintah, menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil. Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut bersalah atas kebrutalan yang terjadi di Aceh.[3]

Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang luas di Aceh, yang tertutup bagi pengamat selama operasi militer ini.[2] Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan, dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya menjalankan perintah.[3]

References

External links