Kesultanan Pontianak: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 32: Baris 32:
|leader2 = [[Sultan Hamid II]]
|leader2 = [[Sultan Hamid II]]
|year_leader2 = 1945-1978
|year_leader2 = 1945-1978
|leader3 = Sultan Syarif Abubakar Alkadrie
|leader3 = Sultan Syarif Mahmud Alkadrie
|year_leader3 = 2004-Sekarang
|year_leader3 = 2017-Sekarang
|currency =
|currency =
|footnotes =
|footnotes =
Baris 95: Baris 95:
Pada [[28 Oktober]] [[1946]], Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai [[Daerah Istimewa]] pada [[12 Mei]] [[1947]]. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki ([[swapraja]]) di [[Kalimantan Barat]], termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu [[Sultan Hamid II]] ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum [[5 April]] [[1950]], Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan [[Negara Republik Indonesia (RIS)]]. Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran [[Republik Indonesia Serikat]] pada [[17 Agustus]] [[1950]], wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian [[Provinsi Kalimantan Barat]].
Pada [[28 Oktober]] [[1946]], Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai [[Daerah Istimewa]] pada [[12 Mei]] [[1947]]. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki ([[swapraja]]) di [[Kalimantan Barat]], termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu [[Sultan Hamid II]] ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum [[5 April]] [[1950]], Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan [[Negara Republik Indonesia (RIS)]]. Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran [[Republik Indonesia Serikat]] pada [[17 Agustus]] [[1950]], wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian [[Provinsi Kalimantan Barat]].


Setelah [[Sultan Hamid II]] wafat pada [[30 Maret]] [[1978]], terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada [[15 Januari]] [[2004]], pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai [[Sultan Pontianak]] ke.VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada [[29 Januari]] [[2001]] seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, ibni Sultan Hamid.I, bin Sultan Osman,bin Sultan Abdurrahman Alkadrie, pendiri kesultanan Kadriah, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya [[Melayu]] [[Pontianak]], termasuk menghidupkan dan melestarikannya.
Setelah [[Sultan Hamid II]] wafat pada [[30 Maret]] [[1978]], terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada [[15 Januari]] [[2004]], pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai [[Sultan Pontianak]] ke VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada [[29 Januari]] [[2001]] seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak. Kekerabatan ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya [[Melayu]] [[Pontianak]], termasuk menghidupkan dan melestarikannya.


== Daftar Sultan Pontianak ==
== Daftar Sultan Pontianak ==

Revisi per 10 November 2019 16.26

Kesultanan Kadriyah Pontianak

كسولتانن ڤونتيانق
1771–1950
Bendera Kesultanan Pontianak
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Istana Kadriyah di Pontianak
Peta
Ibu kotaKota Pontianak
Bahasa yang umum digunakanMelayu (resmi), Dayak
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
• 1778-1808
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
• 1945-1978
Sultan Hamid II
• 2017-Sekarang
Sultan Syarif Mahmud Alkadrie
Sejarah 
• Didirikan
23 Oktober 1771
1944
• Pembubaran Daerah Istimewa Kalimantan Barat
1950
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Mempawah
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Kadriah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Alhabib Husein bin Ahmad Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha[1] di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas kecil dan sungai landak yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah Utin Chandramidi, dan kedua pada tahun 1768 dengan Ratu Syahranum (Ratoe Sjerip) dari Kesultanan Banjar (putri dari Sultan Saad/Sultan Tamjidillah I), sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam).[2][3][4] Setelah wafatnya Ayahnya Habib Husein di Mempawah, 1771 H, mereka memutuskan mencari wilayah baru dan mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari sultan Siak, dan Banten pada tahun 1778.

Sejarah

Pendirian

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Kalimantan Barat.

Masa Kolonial

Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Sultan memberikan izin kepada Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.

Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.

Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.

Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.

Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta setelah beberapa bulan ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang

Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan para undangan (sekitar tahun 1930)

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.

Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.

Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Sultan Hamid II dalam percakapan dengan Ida Anak Agung Gde Agung, Raja Gianyar (sekitar tahun 1949).

Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak (1945-1978) pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.

Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.

Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke VIII. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie binti Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriyah Kesultanan Pontianak. Kekerabatan ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Daftar Sultan Pontianak

Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
No Sultan Masa pemerintahan
1 Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie 1 September 1778 – 28 Februari 1808
2 Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie 28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3 Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie[5] 25 Februari 1819 – 12 April 1855
4 Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie 12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5 Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie 22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6 Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie 15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
* Interregnum 24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7 Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie) 29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
* Interregnum 30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8 Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie[6] 15 Januari 2004 – 31 Maret 2017
9 Sultan Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Abubakar Alkadrie[7] 15 Juli 2017 – Kini

Lihat Pula

Referensi

Pranala luar