Marwan bin al-Hakam: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HaEr48 (bicara | kontrib)
HaEr48 (bicara | kontrib)
Baris 35: Baris 35:


== Masa Bani Umayyah ==
== Masa Bani Umayyah ==
Khalifah 'Ali dibunuh pada tahun 661 dan putranya, Hasan, memegang tampuk kekhalifahan berikutnya. Namun demi alasan persatuan, [[Hasan bin Ali|Hasan]] akhirnya menyerahkan gelar khalifah kepada [[Mu'awiyah bin Abu Sufyan]] yang telah menjadi Gubernur Syria sejak masa [[Umar bin Khattab|'Umar bin Khattab]]. Pada masa Mu'awiyah, Marwan menjadi Gubernur [[Arabia Timur|Bahrain]] dan kemudian menjadi Gubernur Madinah pada 661–668 dan 674–677.<ref>Akhbar ath-Thiwal, hlm. 224.</ref>{{sfn|Bosworth|1991|p=621}} Marwan memperoleh tanah yang luas dari Mu'awiyah di daerah Fadak, Arab Utara.{{sfn|Bosworth|1991|p=621}} Saat Hasan bin Ali mangkat pada 670, Marwan termasuk salah satu orang yang menolak jenazahnya dikebumikan bersama Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan 'Umar yang dimakamkan di dalam kediaman 'Aisyah.<ref>Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hlm. 227. </ref>
Khalifah 'Ali dibunuh pada tahun 661 dan putranya, [[Hasan bin Ali]], memegang tampuk kekhalifahan berikutnya. Untuk mencegah berlanjutnya perang saudara, Hasan membuat [[Perjanjian Hasan–Mu'awiyah|perjanjian dengan Muawiyah]] dan menyerahkan posisi khalifah ke tangan wali negeri Syam tersebut. Muawiyah memasuki Kufah, pusat kekuasaan Hasan, pada Juli atau September 661 dan hal ini mengawali berdirinya [[Kekhalifahan Umayyah]].{{sfn|Hinds|1993|p=265}}{{sfn|Wellhausen|1927|pp=104, 111}} Marwan awalanya menjadi wali negeri Umayyah di [[Arabia Timur]] (Bahrayn) dan kemudian menjadi wali negeri Madinah pada 661–668 dan 674–677.<ref>Akhbar ath-Thiwal, hlm. 224.</ref>{{sfn|Bosworth|1991|p=621}} Di antara dua periode tersebut, posisi wali negeri Madinah dipegang oleh anggota Banu Umayyah yang lain, yaitu [[Said bin al-Ash]] dan [[Al-Walid bin Utbah].{{sfn|Bosworth|1991|p=621}} Madinah sebelumnya adalah ibu kota kekhalifahan hingga kematian Utsman, tetapi pada masa Muawiyah Madinah hanyalah ibu kota wilayah (provinsi) sedangkan ibu kota kekhalifahan berada di Damaskus.{{sfn|Wellhausen|1927|pp=59–60, 161}} Sekalipun tidak lagi menjadi ibu kota negara, Madinah tetap menjadi pusat kebudayaan Arab dan keilmuan Islam, serta tempat tinggal pemuka-pemuka kabilah..{{sfn|Wellhausen|1927|pp=136, 161}} Para pemuka kabilah di Madinah, termasuk banyak anggota Banu Umayyah, tidak menyukai turunnya posisi mereka dan naiknya Muawiyah. Menurut sejarawan [[Julius Wellhausen]]: "Apalah artinya bagi Marwan, dulunya patih Utsman yang amat berkuasa, jabatan Wali Negeri Madinah! Wajar saja ia iri kepada kerabatnya di Damaskus [Muawiyah] yang berada jauh di atasnya."{{sfn|Wellhausen|1927|p=136}}


Pada masa jabatan pertamanya, Marwan memperoleh tanah yang luas dari Mu'awiyah di daerah Fadak, Arab Utara, yang kemudian ia bagikan kepada anaknya [[Abdul Malik bin Marwan|Abdul Malik]] dan [[Abdul Aziz bin Marwan|Abdul Aziz]].{{sfn|Bosworth|1991|p=621}} Masa jabatan pertamanya berakhir saat ia dipecat karena menentang pernyataan Muawiyah yang mengangkat [[Ziyad ibn Abihi]], wali negeri Irak yang asal usul keturunannya tidak jelas, sebagai saudaranya sendiri (pernyataan ini ditentang banyak anggota Banu Umayyah), dan karena Marwan menolak membantu putri sang khalifah [[Ramlah binti Muawiyah]] dalam masalah rumah tangganya dengan suaminya Amr bin Utsman bin Affan, yang juga merupakan keponakan Marwan.{{sfn|Madelung|1997|pp=343–345}} Setelah pencopotan ini, Marwan marah dan menemui Muawiyah di Damaskus dan keduanya bertengkar serta mengeluarkan kata-kata kasar.{{sfn|Madelung|1997|pp=343–345}} Saat Hasan bin Ali meninggal pada 670, Marwan termasuk salah satu orang yang menolak jenazahnya dikebumikan bersama Muhammad, Abu Bakar, dan Umar yang dimakamkan di [[Masjid Nabawi]].<ref>Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hlm. 227. </ref>{{sfn|Madelung|1997|p=332}} Akhirnya, Marwan turut serta dalam prosesi pemakaman Hasan dan memujinya sebagai seseorang dengan "kesabaran sebesar gunung-gunung."{{sfn|Madelung|1997|p=333}}
Di saat-saat terakhirnya, Mu'awiyah menobatkan putranya, [[Yazid bin Muawiyah|Yazid bin Mu'awiyah]] sebagai putra mahkota. Penetapan ini menjadikan bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki-dinasti dengan [[Bani Umayyah]] sebagai dinasti penguasanya. Namun tidak semua pihak mendukung keputusan Mu'awiyah tersebut. Saat Mu'awiyah bin Abu Sufyan benar-benar mangkat pada tahun 680, masyarakat [[Hijaz]] tidak mengakui kekuasaan Yazid.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Sebagai pemimpin Bani Umayyah di Hijaz,{{sfn|Kennedy|2004|p=79}} Marwan berusaha membuat agar para penduduk mengakui kekuasaan Yazid,{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} tetapi Marwan dan Bani Umayyah pada akhirnya tersingkir dari Hijaz.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Yazid kemudian melancarkan serangan ke kawasan Hijaz dengan pasukan yang dipimpin Muslim bin 'Uqbah pada musim gugur 683 untuk mengambil alih kendali wilayah tersebut. Beberapa anggota Bani Umayyah juga turut serta dalam pasukan tersebut, termasuk Marwan.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Meski berhasil mencapai kemenangan pada [[Pertempuran al-Harrah|Pertempuran Al-Harrah]], pasukan Umayyah mundur ke Syria lantaran Yazid mangkat pada 683.{{sfn|Kennedy|2004|p=79}} Pemimpin Hijaz saat itu, [[Abdullah bin Zubair|'Abdullah bin Zubair]] beserta pendukungnya mengambil tanah milik Bani Umayyah di kawasan tersebut.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}}

Menurut Bosworth, Mu'awiyah mungkin menaruh curiga terhadap ambisi Marwan maupun anggota-anggota Banu Umayyah yang merupakan keturunan Abu al-Ash pada umumnya. Cabang dinasti tersebut jauh lebih besar daripada cabang keturunan Abu Sofyan seperti Muawiyah.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Marwan adalah salah satu anggota Banu Umayyah paling terkemuka ketika itu, sedangkan selain Muawiyah tidak banyak keturunan Abu Sofyan yang berpengalaman cukup.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Bosworth menduga, "mungkin saja ada kekhawatiran terhadap keturunan Abu'l Ash yang memaksa Muawiyah ... mengambil langkah tidak umum yaitu menetapkan anaknya [[Yazid bin Muawiyah|Yazid]] sebagai pewaris kekhalifahan semasa hidupnya."{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Sebelumnya, Marwan pernah mendesak Amr bin Utsman (yang juga merupakan keturunan Abu al-Ash) untuk mengklaim jabatan khalifah berdasarkan posisi ayahnya, tetapi Amr tidak tertarik.{{sfn|Madelung|1997|pp=341–342}} Marwan dengan berat hati menerima ketetapan Muawiyah ini pada 676, tetapi diam-diam mendorong [[Said bin Utsman|Said]], putra Utsman bin Affan yang lain, untuk menentang keputusan ini.{{sfn|Madelung|1997|pp=342–343}} Said sendiri cukup puas ketika Muawiyah mengangkatnya sebagai panglima di [[Khurasan]], wilayah paling timur kekhalifahan masa itu, sehingga tidak berambisi mengambil posisi khalifah.{{sfn|Madelung|1997|p=343}}

Saat Mu'awiyah bin Abu Sufyan benar-benar mangkat pada tahun 680, masyarakat [[Hijaz]] tidak mengakui kekuasaan Yazid.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Sebagai pemimpin Bani Umayyah di Hijaz,{{sfn|Kennedy|2004|p=79}} Marwan berusaha membuat agar para penduduk mengakui kekuasaan Yazid,{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} tetapi Marwan dan Bani Umayyah pada akhirnya tersingkir dari Hijaz.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Yazid kemudian melancarkan serangan ke kawasan Hijaz dengan pasukan yang dipimpin Muslim bin 'Uqbah pada musim gugur 683 untuk mengambil alih kendali wilayah tersebut. Beberapa anggota Bani Umayyah juga turut serta dalam pasukan tersebut, termasuk Marwan.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}} Meski berhasil mencapai kemenangan pada [[Pertempuran al-Harrah|Pertempuran Al-Harrah]], pasukan Umayyah mundur ke Syria lantaran Yazid mangkat pada 683.{{sfn|Kennedy|2004|p=79}} Pemimpin Hijaz saat itu, [[Abdullah bin Zubair|'Abdullah bin Zubair]] beserta pendukungnya mengambil tanah milik Bani Umayyah di kawasan tersebut.{{sfn|Bosworth|1991|p=622}}


Putra Yazid yang sebenarnya tidak terlalu tertarik dalam urusan pemerintahan, [[Muawiyah bin Yazid|Mu'awiyah bin Yazid]], diangkat sebagai khalifah yang baru. Di Hijaz sendiri, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah. Hal ini menjadikan gelar khalifah diklaim oleh dua pihak dan kekhalifahan terbelah antara khalifah di Syria dan khalifah di Hijaz.
Putra Yazid yang sebenarnya tidak terlalu tertarik dalam urusan pemerintahan, [[Muawiyah bin Yazid|Mu'awiyah bin Yazid]], diangkat sebagai khalifah yang baru. Di Hijaz sendiri, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah. Hal ini menjadikan gelar khalifah diklaim oleh dua pihak dan kekhalifahan terbelah antara khalifah di Syria dan khalifah di Hijaz.

Revisi per 9 Oktober 2019 13.52

Marwan bin al-Hakam
مروان بن الحكم
Khalifah
BerkuasaJuni 684 – 12 April 685
PendahuluMu'awiyah bin Yazid
Penerus'Abdul Malik bin Marwan
Informasi pribadi
Kelahiran623 atau 626
Kematian685 (sekitar 63 tahun)
Damaskus atau ash-Shinnabra
WangsaUmayyah (Marwani)
Nama lengkap
Abū ʿAbd al-Malik Marwān ibn al-Ḥakam ibn Abiʾl-ʿAs ibn Umayya ibn ʿAbd Shams
Nama dan tanggal periode
Kekhalifahan Umayyah: 661–750
AyahHakam bin Abi al-Ash
IbuAminah binti 'Alqamah al-Kinaniyyah
PasanganRincian
AnakRincian
AgamaIslam

Marwan bin al-Hakam (Arab: مروان بن الحكم) atau Marwan I (sekitar 623–626 — April/Mei 685) adalah khalifah yang berkuasa pada 684 sampai 685. Dia mewarisi tampuk kepemimpinan setelah Mu'awiyah bin Yazid tidak meninggalkan putra dan tidak menunjuk penerus. Dia dan keturunannya disebut Marwani, salah satu cabang utama dari Bani Umayyah.

Sepeninggal Mu'awiyah bin Yazid, kawasan Syria terpecah lantaran sebagian gubernur dan tokoh berbalik memihak 'Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya sebagai khalifah dan berpusat di Makkah. Meski tidak memiliki dasar pengaruh yang kuat di wilayah tersebut sebelum menjadi khalifah, Marwan berhasil mengembalikan kawasan Syria dan sekitarnya dalam kendali Umayyah pada masa kekuasaannya yang tidak genap setahun.

Asal usul

Marwan lahir pada tahun 623 atau 626 M. Ayahnya bernama Al-Hakam bin Abi al-Ash dan ibunya bernama Aminah binti Alqamah dari kabilah Banu Kinanah.[1] Ayahnya berasal dari kabilah Banu Umayyah yang merupakan kabilah terkemuka dari suku Quraisy, yang ketika itu menguasai kota Mekkah di barat Semenanjung Arabia.[1][2] Suku Quraisy (yang sebelumnya menganut kepercayaan Arab pra-Islam) sebagian besar memeluk Islam sekitar tahun 630 setelah Penaklukan Mekkah oleh Muhammad, nabi umat Islam yang juga berasal dari suku tersebut. Marwan sempat mengenal Muhammad pada masa hidupnya sehingga ia termasuk golongan sahabat Nabi.[1]

Masa Khulafaur Rasyidin

Marwan turut serta dalam pemerintahan Khalifah 'Utsman bin 'Affan (berkuasa 644—656 M), yang juga merupakan sepupunya.[1] Ia turut serta dalam perang melawan Kekaisaran Romawi Timur di Ifriqiyah (Afrika Utara bagian tengah), dan mendapat harta rampasan perang yang cukup banyak.[1][3] Inilah modal awal kekayaan Marwan, dan sebagian ia investasikan dalam tanah dan bangunan di Madinah,[1] ibu kota kekhalifahan. Pada tanggal yang tidak diketahui pasti, ia ditunjuk menjadi wali negeri (gubernur) di Fars dan kemudian kembali ke Madinah untuk menjadi katib (sekretaris atau juru tulis khalifah) dan kemungkinan juga sebagai bendahara baitul mal.[1][4] Sejarawan Clifford E. Bosworth menyebut bahwa karena kedudukannya ini Marwan "tak diragukan lagi membantu" dalam penyusunan mushaf Al-Quran di masa Utsman.[1] Sejarawan Hugh N. Kennedy menyatakan bahwa Marwan adalah "tangan kanan" Utsman. Menurut sumber tradisi Muslim, anggota Quraisy yang sebelumnya mendukung Utsman perlahan-lahan menarik dukungannya akibat kedekatannya dengan Marwan, yang dianggap sebagai penyebab keputusan-keputusan kontroversial Utsman.[4][5][6] Sejarawan Fred Donner meragukan versi ini karena ia menganggap tidak mungkin Utsman dipengaruhi begitu saja oleh Marwan yang jauh lebih muda dan karena tidak adanya tuduhan yang bersifat spesifik terhadap Marwan. Donner juga menduga bahwa ada kemungkinan "upaya dari tradisi Muslim zaman selanjutnya untuk menyelamatkan reputasi Utsman sebagai salah satu Khulafaur Rasyidin dengan menjadikan Marwan ... kambing hitam (the fall guy) atas peristiwa-peristiwa memilukan di akhir dua belas tahun pemerintahan Utsman."[4]

Kekisruhan pada tahun-tahun akhir pemerintahan Utsman akibat kebijakannya yang dianggap nepotisme atau memihak kerabat sendiri, maupun pengambilalihan tanah di Irak memicu perlawanan di kalangan Quraisy dan pihak-pihak yang dirugikan Mesir dan Kufah.[7] Marwan menyarankan tindakan keras terhadap para pemberontak,[8] tetapi Utsman membatalkannya dan menahan diri dari tindakan militer saat para pemberontak mengepung kediamannya pada Juni 656.[9] Bertentangan dengan perintah Utsman, Marwan aktif melindungi Utsman dan sempat terluka parah di lehernya saat ia menantang para pemberontak di depan kediaman Utsman.[1][4][10] Menurut sumber tradisional, ia selamat karena campur tangan ibu susunya, Fatimah binti Aus, dan dibawa ke rumah Fatimah oleh pelayan Marwan yang bernama Abu Hafsah.[10] Tak lama kemudian, Utsman dibunuh oleh para pemberontak dan peristiwa ini memicu Perang Saudara Islam I.

Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah menggantikan Utsman, dan terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Aisyah, salah seorang istri Muhammad. Marwan awalnya berada di pihak Aisyah, dan ikut bertempur dalam Pertempuran Jamal pada Desember 656.[1] Dalam pertempuran ini, ia membunuh Thalhah bin Ubaidillah yang juga berada di pihak Aisyah tetapi menurut Marwan ikut bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman.[1][11] Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan Ali, dan Marwan pun menyatakan baiat kepada sang khalifah.[1] Marwan dimaafkan oleh Ali dan ia lalu berangkat ke Syam yang dikuasai oleh Muawiyah bin Abi Sofyan, wali negeri Syam yang menolak untuk berbaiat kepada Ali, dan merupakan kerabatnya dari Banu Umayyah.[12] Marwan berada di pihak Muawiyah saat bertempur melawan Ali dalam Pertempuran Shiffin pada tahun 657.[13] Pertempuran ini berakhir tanpa pemenang yang jelas, dan diikuti dengan sebuah tahkim (arbitrase) yang juga gagal menghentikan perselisihan antara kedua pihak.[14]

Masa Bani Umayyah

Khalifah 'Ali dibunuh pada tahun 661 dan putranya, Hasan bin Ali, memegang tampuk kekhalifahan berikutnya. Untuk mencegah berlanjutnya perang saudara, Hasan membuat perjanjian dengan Muawiyah dan menyerahkan posisi khalifah ke tangan wali negeri Syam tersebut. Muawiyah memasuki Kufah, pusat kekuasaan Hasan, pada Juli atau September 661 dan hal ini mengawali berdirinya Kekhalifahan Umayyah.[15][16] Marwan awalanya menjadi wali negeri Umayyah di Arabia Timur (Bahrayn) dan kemudian menjadi wali negeri Madinah pada 661–668 dan 674–677.[17][1] Di antara dua periode tersebut, posisi wali negeri Madinah dipegang oleh anggota Banu Umayyah yang lain, yaitu Said bin al-Ash dan [[Al-Walid bin Utbah].[1] Madinah sebelumnya adalah ibu kota kekhalifahan hingga kematian Utsman, tetapi pada masa Muawiyah Madinah hanyalah ibu kota wilayah (provinsi) sedangkan ibu kota kekhalifahan berada di Damaskus.[18] Sekalipun tidak lagi menjadi ibu kota negara, Madinah tetap menjadi pusat kebudayaan Arab dan keilmuan Islam, serta tempat tinggal pemuka-pemuka kabilah..[19] Para pemuka kabilah di Madinah, termasuk banyak anggota Banu Umayyah, tidak menyukai turunnya posisi mereka dan naiknya Muawiyah. Menurut sejarawan Julius Wellhausen: "Apalah artinya bagi Marwan, dulunya patih Utsman yang amat berkuasa, jabatan Wali Negeri Madinah! Wajar saja ia iri kepada kerabatnya di Damaskus [Muawiyah] yang berada jauh di atasnya."[20]

Pada masa jabatan pertamanya, Marwan memperoleh tanah yang luas dari Mu'awiyah di daerah Fadak, Arab Utara, yang kemudian ia bagikan kepada anaknya Abdul Malik dan Abdul Aziz.[1] Masa jabatan pertamanya berakhir saat ia dipecat karena menentang pernyataan Muawiyah yang mengangkat Ziyad ibn Abihi, wali negeri Irak yang asal usul keturunannya tidak jelas, sebagai saudaranya sendiri (pernyataan ini ditentang banyak anggota Banu Umayyah), dan karena Marwan menolak membantu putri sang khalifah Ramlah binti Muawiyah dalam masalah rumah tangganya dengan suaminya Amr bin Utsman bin Affan, yang juga merupakan keponakan Marwan.[21] Setelah pencopotan ini, Marwan marah dan menemui Muawiyah di Damaskus dan keduanya bertengkar serta mengeluarkan kata-kata kasar.[21] Saat Hasan bin Ali meninggal pada 670, Marwan termasuk salah satu orang yang menolak jenazahnya dikebumikan bersama Muhammad, Abu Bakar, dan Umar yang dimakamkan di Masjid Nabawi.[22][23] Akhirnya, Marwan turut serta dalam prosesi pemakaman Hasan dan memujinya sebagai seseorang dengan "kesabaran sebesar gunung-gunung."[24]

Menurut Bosworth, Mu'awiyah mungkin menaruh curiga terhadap ambisi Marwan maupun anggota-anggota Banu Umayyah yang merupakan keturunan Abu al-Ash pada umumnya. Cabang dinasti tersebut jauh lebih besar daripada cabang keturunan Abu Sofyan seperti Muawiyah.[25] Marwan adalah salah satu anggota Banu Umayyah paling terkemuka ketika itu, sedangkan selain Muawiyah tidak banyak keturunan Abu Sofyan yang berpengalaman cukup.[25] Bosworth menduga, "mungkin saja ada kekhawatiran terhadap keturunan Abu'l Ash yang memaksa Muawiyah ... mengambil langkah tidak umum yaitu menetapkan anaknya Yazid sebagai pewaris kekhalifahan semasa hidupnya."[25] Sebelumnya, Marwan pernah mendesak Amr bin Utsman (yang juga merupakan keturunan Abu al-Ash) untuk mengklaim jabatan khalifah berdasarkan posisi ayahnya, tetapi Amr tidak tertarik.[26] Marwan dengan berat hati menerima ketetapan Muawiyah ini pada 676, tetapi diam-diam mendorong Said, putra Utsman bin Affan yang lain, untuk menentang keputusan ini.[27] Said sendiri cukup puas ketika Muawiyah mengangkatnya sebagai panglima di Khurasan, wilayah paling timur kekhalifahan masa itu, sehingga tidak berambisi mengambil posisi khalifah.[28]

Saat Mu'awiyah bin Abu Sufyan benar-benar mangkat pada tahun 680, masyarakat Hijaz tidak mengakui kekuasaan Yazid.[25] Sebagai pemimpin Bani Umayyah di Hijaz,[29] Marwan berusaha membuat agar para penduduk mengakui kekuasaan Yazid,[25] tetapi Marwan dan Bani Umayyah pada akhirnya tersingkir dari Hijaz.[25] Yazid kemudian melancarkan serangan ke kawasan Hijaz dengan pasukan yang dipimpin Muslim bin 'Uqbah pada musim gugur 683 untuk mengambil alih kendali wilayah tersebut. Beberapa anggota Bani Umayyah juga turut serta dalam pasukan tersebut, termasuk Marwan.[25] Meski berhasil mencapai kemenangan pada Pertempuran Al-Harrah, pasukan Umayyah mundur ke Syria lantaran Yazid mangkat pada 683.[29] Pemimpin Hijaz saat itu, 'Abdullah bin Zubair beserta pendukungnya mengambil tanah milik Bani Umayyah di kawasan tersebut.[25]

Putra Yazid yang sebenarnya tidak terlalu tertarik dalam urusan pemerintahan, Mu'awiyah bin Yazid, diangkat sebagai khalifah yang baru. Di Hijaz sendiri, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah. Hal ini menjadikan gelar khalifah diklaim oleh dua pihak dan kekhalifahan terbelah antara khalifah di Syria dan khalifah di Hijaz.

Di Damaskus, Mu'awiyah sendiri mangkat setelah hanya beberapa bulan berkuasa, tanpa meninggalkan keturunan ataupun menunjuk penerus. Hal ini menjadikan perpecahan di Syria dan sekitarnya yang menjadi pusat kekuatan Bani Umayyah. Beberapa gubernur di kawasan Syria kemudian menyatakan kesetiaan pada 'Abdullah bin Zubair yang berkuasa di Makkah,[29] di antaranya adalah Adh-Dhahhak bin Qais Al-Fihri, gubernur Damaskus sejak masa Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan pendukung lama Umayyah. Marwan sendiri hendak mengakui kekuasaan 'Abdullah bin Zubair. Namun pada pertemuan suku-suku 'Arab di Jabiyah, 'Ubaidillah bin Ziyad yang merupakan mantan gubernur Kufah membujuk Marwan agar mengajukan dirinya sebagai khalifah.[29] Penggagas pertemuan tersebut, Hasan bin Malik bin Bahdal yang merupakan kepala Bani Kalb, sebenarnya mendukung adik Mua'wiyah bin Yazid, Khalid, sebagai khalifah berikutnya.[29] Hasan bin Malik sendiri memiliki hubungan kekerabatan dengan Bani Umayyah lantaran bibinya, Maysun binti Bahdal, adalah istri Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan ibu Yazid. Namun usia Khalid yang masih belia menjadikan kepala suku lain lebih mendukung Marwan. Pada akhirnya pertemuan tersebut menyepakati Marwan untuk menjadi khalifah. Suku-suku pendukung Umayyah, disebut kelompok Yamani, meminta Marwan hak istimewa dalam militer sebagaimana yang mereka terima dari khalifah Bani Umayyah sebelumnya.[30]

Masa kekuasaan

Masa kekuasaan Marwan yang singkat dihabiskan untuk mengembalikan Syria dan sekitarnya ke dalam kendali Umayyah. Berseberangan dengan Bani Kalb, persekutuan beberapa suku-suku Arab yang disebut Qais 'Aylan (kerap hanya disebut Qais) memihak 'Abdullah bin Zubair. Semua distrik militer di kawasan Syria berpihak pada 'Abdullah bin Zubair, kecuali Jund al-Urdunn yang didominasi Bani Kalb. Dengan dukungan Bani Kalb dan suku sekutunya, Marwan melancarkan perang terhadap Adh-Dhahhak bin Qais yang memiliki pasukan lebih besar, sementara di tempat lain, Bani Ghassan membersihkan Damaskus dari para pendukung Adh-Dhahhak, menjadikannya berada dalam kendali pihak Marwan. Pada bulan Juli, Marwan berhasil membunuh Adh-Dhahhak.[29]

Kemenangan telak pihak Umayyah-Yamani menjadi awal perseteruan panjang Yamani-Qais.[29] Meski telah memperoleh kemenangan, Marwan masih menghadapi beberapa penentangan dari wilayah-wilayah yang dulu sempat dikuasai Umayyah. Pada tahun 685, Marwan mengamankan kekuasaannya di Mesir dengan bantuan dari suku bangsawan Fustat. 'Abdurrahman bin 'Utbah yang merupakan pendukung 'Abdullah bin Zubair digulingkan dari kedudukannya sebagai gubernur Mesir dan digantikan oleh 'Abdul 'Aziz, salah satu putra Marwan.[25][31] Pasukan Marwan juga berhasil menghalau pasukan 'Abdullah bin Zubair yang menyerang Palestina. Di tahun itu juga, Marwan mengirimkan pasukan di bawah kepemimpinan 'Ubaidillah untuk merebut Iraq dari kekuasaan 'Abdullah bin Zubair dan dari kelompok anti-Umayyah lain.[25]

Dalam memerintah, Marwan sendiri mengikuti cara administrasi pada masa 'Utsman.[31] Marwan menjadikan keluarganya sebagai landasan kekuatan di pemerintahan, seperti memberikan putranya Muhammad dan 'Abdul 'Aziz kunci komando militer dan mengamankan status putranya yang lain, 'Abdul Malik, sebagai penerusnya.[31] Marwan juga negarawan dan pemimpin militer yang cakap. Meski tidak memiliki pusat kekuatan yang kuat di Syria sebelum menjadi khalifah, Marwan berhasil mengambil alih kawasan yang menjadi pusat kekuasaan Umayyah tersebut dalam kendalinya. Meski begitu, Marwan juga terkenal sebagai pribadi yang keras. Dia tampaknya menderita luka permanen yang didapat dari berbagai pertempuran yang dilaluinya.[25] Meski kerap dipandang negatif oleh beberapa sumber anti-Umayyah, Marwan merupakan sosok pemimpin yang cerdik, cakap, dan tegas, yang berhasil melanggengkan kekuasaan Umayyah untuk enam dekade setelahnya.

Mangkat

Marwan meninggal pada tahun 685 saat belum genap setahun berkuasa. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai tanggal pasti kematiannya. Ibnu Sa'ad, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan Khalifah bin Khayyath berpendapat bahwa Marwan meninggal pada tanggal 11 April 685, Al-Mas'udi berpendapat pada tanggal 13 April 685, sedangkan Elias, Uskup Agung Nisibis, berpendapat pada 7 Mei.[25]

Sebagian besar sumber Muslim menyatakan bahwa Marwan meninggal di Damaskus. Al-Mas'udi berpendapat bahwa Marwan meninggal di kediaman musim dinginnya di Ash-Shinnabra, dekat Danau Tiberias.[25]

Marwani

Naiknya Marwan menjadikan tampuk kekhalifahan terlepas dari garis Sufyani (sebutan untuk keturunan Abu Sufyan). Marwan dan keturunannya kemudian dikenal dengan cabang Marwani. Meski begitu, para sejarawan umumnya menyebut kekhalifahan pada masa kekuasaan kelompok Sufyani maupun Marwani sebagai Kekhalifahan Umayyah. Nama Umayyah sendiri diambil dari nama kakek Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan), Umayyah bin 'Abdu-Syam.

Keluarga

Orangtua

AyahAl-Hakam bin Abi Al-'Ash bin Umayyah bin 'Abdu-Syam. Al-Hakam diasingkan oleh Nabi Muhammad ke Tha'if karena membocorkan rahasia kepada pembesar Quraisy.[32][33] Menurut Ath-Thabari, Nabi Muhammad kemudian memberikan pengampunan dan Al-Hakam diperbolehkan kembali dari pengasingan.[34] Namun menurut Ahmad Al-Ya'qubi, Al-Hakam baru kembali ke Makkah pada masa Khalifah 'Utsman bin 'Affan setelah dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan 'Umar bin Khattab, menolak permohonan agar mengakhiri pengasingan Al-Hakam.[35][36]

IbuAminah binti 'Alqamah. Sebelumnya dia adalah istri dari 'Affan bin Abi al-'Ash, ayah Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Setelah bercerai, Aminah menikah dengan Al-Hakam.[4]

Pasangan dan anak

  • 'Aisyah binti Mu'awiyah. Dia adalah putri Mu'awiyah bin Al-Mughirah, sepupu Marwan.
    • 'Abdul Malik. Menjadi khalifah sepeninggal Marwan.
    • Mu'awiyah
    • Ummu 'Amr
  • Layla binti Zabban. Berasal dari Bani Kalb.
  • Qutayyah binti Bisyr. Berasal dari Bani Kilab.
  • Ummu Aban. Putri Khalifah 'Utsman bin 'Affan.
    • Aban. Gubernur Palestina.
    • 'Utsman
    • 'Ubaidillah
    • Ayyub
    • Dawud
    • 'Abdullah
  • Zainab binti 'Umar. Berasal dari Bani Makzhum.
    • 'Umar
  • Fakhitah binti Hasyim bin 'Utabah. Dia adalah janda Khalifah Yazid dan ibu Khalid. Pernikahan Fakhitah dan Marwan dimaksudkan untuk mengunci dukungan dari pihak Sufyani.
  • Zainab, seorang budak-selir

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Bosworth 1991, hlm. 621.
  2. ^ Della Vida 2000, hlm. 838.
  3. ^ Madelung 1997, hlm. 81.
  4. ^ a b c d e Donner 2014, hlm. 106.
  5. ^ Madelung 1997, hlm. 92.
  6. ^ Della Vida 2000, hlm. 947.
  7. ^ Madelung 1997, hlm. 86–89.
  8. ^ Madelung 1997, hlm. 127, 135.
  9. ^ Madelung 1997, hlm. 133, 135–136.
  10. ^ a b Madelung 1997, hlm. 137.
  11. ^ Madelung 1997, hlm. 171.
  12. ^ Madelung 1997, hlm. 181, 190, 192 note 232, 196.
  13. ^ Madelung 1997, hlm. 235–236.
  14. ^ Kennedy 2004, hlm. 77–80.
  15. ^ Hinds 1993, hlm. 265.
  16. ^ Wellhausen 1927, hlm. 104, 111.
  17. ^ Akhbar ath-Thiwal, hlm. 224.
  18. ^ Wellhausen 1927, hlm. 59–60, 161.
  19. ^ Wellhausen 1927, hlm. 136, 161.
  20. ^ Wellhausen 1927, hlm. 136.
  21. ^ a b Madelung 1997, hlm. 343–345.
  22. ^ Al-Imamah wa as-Siyasah, jld. 1, hlm. 227.
  23. ^ Madelung 1997, hlm. 332.
  24. ^ Madelung 1997, hlm. 333.
  25. ^ a b c d e f g h i j k l m Bosworth 1991, hlm. 622.
  26. ^ Madelung 1997, hlm. 341–342.
  27. ^ Madelung 1997, hlm. 342–343.
  28. ^ Madelung 1997, hlm. 343.
  29. ^ a b c d e f g Kennedy 2004, hlm. 79.
  30. ^ Rihan 2014, hlm. 103.
  31. ^ a b c Kennedy 2004, hlm. 80.
  32. ^ Usd al-Ghabah, jld. 4, hlm. 368.
  33. ^ Ath-Thabari, ed. Humphreys 1990, hlm. 227, n. 48.
  34. ^ Ath-Thabari, ed. Humphreys 1990, hlm. 227.
  35. ^ Al-Yaqubi, ed. Gordon 2018, hlm. 799.
  36. ^ Al-Isti'ab, jld. 1, hlm. 359 dan 360.

Daftar pustaka

Lihat puka

Marwan bin al-Hakam
Marwani
Cabang kadet Bani Umayyah
Lahir: 623 atau 626 Meninggal: 12 April 685
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
Mu'awiyah bin Yazid
Khalifah
Juni 684 – 12 April 685
Diteruskan oleh:
'Abdul Malik bin Marwan