Balai Pustaka: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Berkas Logo_Balai_Pustaka.png dibuang karena dihapus dari Commons oleh Infrogmation
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 112: Baris 112:
[[Kategori:Balai Pustaka| ]]
[[Kategori:Balai Pustaka| ]]
[[Kategori:Badan usaha milik negara di Indonesia]]
[[Kategori:Badan usaha milik negara di Indonesia]]
[[Kategori:Perusahaan yang didirikan tahun 1908]]
[[Kategori:Perusahaan yang didirikan tahun 1917]]
[[Kategori:Pendirian tahun 1917 di Hindia Belanda]]

Revisi per 7 Oktober 2019 04.02

PT Balai Pustaka (Persero)
BUMN / Perseroan Terbatas
IndustriPenerbitan, percetakan
PendahuluCommissie voor de Volkslectuu
Didirikan14 September 1908 (1908-09-14) di Batavia, Hindia Belanda
Kantor
pusat
,
Indonesia
Tokoh
kunci
Achmad Fachrodji (Direktur Utama)
ProdukBuku sastra, buku pendidikan, buku bacaan umum, kamus
PemilikPemerintah Indonesia
Situs webbalaipustaka.co.id}

Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen: Balai Poestaka, bahasa Jawa ejaan lama: Balé Poestaka) adalah sebuah perusahaan penerbitan dan percetakan milik negara.

Sejarah

Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (bahasa Belanda: "Komisi untuk Bacaan Rakyat") oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 Agustus 1908. Lembaga itu berada di bawah naungan Adviseur voor Inlandsch Zaken, atau Biro Penasehat Urusan Pribumi, yang termasuk ke dalam Departement van Onderwijs en Eeredienst, Departemen Pendidikan dan Keagamaan.[1] Kantoor voor de Volkslectuur atau lebih dikenal dengan nama "Balai Poestaka" pada tanggal 17 September 1917.[2] Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.[3]

Menurut Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, Balai Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.[4]

Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa Hindia Belanda.

Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.

Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.

Tujuan lain yang dilakukan oleh Komisi Bacaan Rakyat (KBR) yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.

Tidak semua usaha yang dilakukan oleh KBR negatif. usaha usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda. Selain itu, KBR menerbitkan majalah anak-anak dalam bahasa Melayu, Kanak-Kanak, dan dalam bahasa Jawa, Taman Botjah.[2]

Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.

Buku Balé Poestaka (Supraba lan Suminten, 1923)

Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.

Di era itu juga menjadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu. Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel Serat Rijanto karangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.

Era pendudukan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap eksis namun menggunakan nama lain, yaitu Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (軍政監部国民図書局). Nama ini artinya kurang lebih adalah "Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang" dan merupakan terjemahan dari nama Belanda Commissie voor de Volkslectuur.

Pegawai dan Kontributor[5]

Ketika masih bernama Commisie voor de Inlansche School en Volkslectuur, badan penerbitan ini dipimpin oleh G.A.J. Hazeu yang dibantu enam orang anggota. Pemimpin selanjutnya adalah D.A. Rinkes yang menjabat ketika badan ini sudah bernama Kantor voor de Volkslectuur.

Sejumlah sastrawan Indonesia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, di antaranya Sutan Takdir Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar, Achdiat K. Mihardja, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Hammid Jabbar, Abdul Hadi WM, dan Subagio Sastrowardoyo

Setelah cendekiawan pribumi menulis untuk Balai Pustaka, kecurigaan semula tentang niat Pemerintah Hindia Belanda di balik Balai Pustaka berangsur berkurang. Beberapa cendekiawan itu adalah Mohammad Yamin, Agus Salim, Sutomo, Mariah Ulfah Santoso, Amir Syarifuddin, Mangunsarkoro, Margonohadikumo, Sumanang, dan Bahder Johan.

Balai Pustaka Digital

Animasi (2016), Balai Pustaka mengembangkan konten buku menjadi film animasi, seperti Film Lutung Kasarung dan Timun Emas

Audio Book (2017), Balai Pustaka meluncurkan Audio Book. Audio Book ini diangkat dari buku-buku back list serta buku baru Balai Pustaka yang kembali diterbitkan dan dibuat dalam format Audio Book.

edubp (2019), merupakan perpustakaan digital berbentuk Smartbox yang berisikan Platform, Konten, Animasi, dan Video yang dikemas dengan menarik dan dapat dinikmati oleh pengguna Smartphone dan PC dekstop tanpa memakai kuota internet. Smartbox ini dapat digunakaan secara bersaman.

Referensi

  1. ^ Swantoro (2016), hlm.61
  2. ^ a b Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. (2004). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 9799012120 hlm. 116
  3. ^ "Si Tua yang Ingin Lahir Kembali", KOMPAS, 22 September 2007
  4. ^ "Two state-owned firms face liquidation", The Jakarta Post, 1 November 2010.
  5. ^ Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. (2004). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 9799012120 hlm. 116-117

Bahan bacaan

Pranala luar