Tan Malaka: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Arif putra 2302 (bicara | kontrib)
Toonyf (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 164: Baris 164:
[[Kategori:Cerdik Pandai Minangkabau]]
[[Kategori:Cerdik Pandai Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh dari Lima Puluh Kota]]
[[Kategori:Tokoh dari Lima Puluh Kota]]
[[Kategori:Filsuf Indonesia]]

Revisi per 11 September 2019 10.38

Tan Malaka
Tan Malaka
Tan Malaka di autobiografinya
Lahir(1897-06-02)2 Juni 1897
Belanda Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, Hindia Belanda
Meninggal21 Februari 1949(1949-02-21) (umur 51)
Indonesia Kediri, Jawa Timur
KebangsaanIndonesia Indonesia
AlmamaterRijks Kweekschool, Haarlem, Belanda
PekerjaanGuru dan Pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba)
Dikenal atasPahlawan Nasional Indonesia
Orang tuaRasad Caniago (ayah)
Sinah Simabur (ibu)

Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka (2 Juni 1897 – 21 Februari 1949) adalah seorang pembela kemerdekaan Indonesia, tokoh Partai Komunis Indonesia,[1] juga pendiri Partai Murba,[2] dan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[3]

Biografi

Kehidupan awal

Rumah kelahiran Tan Malaka

Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. [4] Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tanggal kelahirannya masih diperdebatkan, sedangkan tempat kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Ayah dan Ibunya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.[5] Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.[6] Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.[7] Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. [8] Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta.[7] Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. [8] Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.[9]

Pendidikan di Belanda

Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada tahun 1915, ia menderita pleuritis.[10] Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.[11] Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.[12] Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.[13] Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia).[4] Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru).[14] Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.[a][15]

Mengajar

Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara.[15][16] Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu berbahasa Melayu pada Januari 1920.[17][18] Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor.[16] Selama masa ini, ia mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatra.[17] Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa.[4] Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920.[19] Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatra Post.[16] Selanjutnya, Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri.[20] Namun ia akhirnya mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas.[17] Ia lalu membuka sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam (SI) Merah. Sekolah itu disebut Sekolah Rakyat. Sekolah itu memiliki kurikulum seperti sekolah di Uni Sovyet, dimana setiap pagi murid-murid menyanyikan lagu Internasionale". Tan juga pernah bertemu dengan banyak tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Dalam otobiografinya, Tan menganggap bahwa SI di bawah Tjokroaminoto adalah satu-satunya partai massa terbaik yang ia ketahui. Tapi, Tan mengkritik saat terjadi perpecahan di SI, organisasi SI tidak memiliki tujuan dan taktik sehingga terpecah.

Hidup Membujang

Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah tiga kali jatuh cinta, yaitu ketika ia berada di Belanda, Filipina, dan Indonesia.[21] Di Belanda, Tan Malaka dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya. Sementara di Filipina, ia jatuh hati kepada seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan Rektor Universitas Manila. Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi.[22] Alasan Tan Malaka tidak menikah adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.[23]

Madilog dan Gerpolek

Madilog dan Gerpolek, keduanya acapkali dianggap merupakan karya penting dari Tan Malaka.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.

Pahlawan

Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri. Ia juga terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dengan membentuk Persatuan Perjuangan dan disebut-sebut sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang pada waktu itu merupakan perdana menteri. Karena itu ia dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara.

Di sisi lain, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Setelah pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditumpas pada akhir November 1948, Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI/FDR yang saat itu ada di Kediri, dari situ ia membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi. Pada bulan Februari 1949, Tan Malaka ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya di Pethok, Kediri, Jawa Timur dan mereka ditembak mati di sana. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam Tan Malaka dan siapa yang menangkap dan menembak mati dirinya dan pengikutnya. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa yang menangkap dan menembak mati Tan Malaka pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan TNI dibawah pimpinan Letnan II Soekotjo (pernah jadi Wali Kota Surabaya). Batalyon tersebut di bawah komando Brigade S yang panglimanya adalah Letkol Soerachmad. dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.

Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.

Pada 21 Februari 2017, jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan dari Kediri ke Sumatra Barat. Hal ini diupayakan oleh keluarga besar Tan Malaka dan kelompok yang tergabung dalam Tan Malaka Institute. Karena gagal membawa jenazah Tan Malaka secara utuh, mereka memutuskan untuk memulangkannya secara simbolis, yakni dengan membawa tanah dari pekuburan Tan Malaka.[24]

Tan Malaka dalam fiksi

Sampul Majalah Tempo dengan Tan Malaka

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst. Nama patjar merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang seorang pahlawan Revolusi Prancis.

Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Musso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatra.[25]

Belakangan, selepas reformasi kemudian muncul pula dua novel yang mengisahkan perjalanan hidup Tan Malaka. Tiga buku pertama ditulis oleh Matu Mona, sementara yang keempat dan kelima ditulis oleh Yusdja.[26]: Sedangkan novel yang keenam dan ketujuh masih-masing ditulis oleh Peter Dantovski dan Hendri Teja.

  • Spionnage-Dienst (1938)[27]
  • Rol Patjar Merah Indonesia cs(1938)
  • Panggilan Tanah Air (1940)
  • Moetiara Berloempoer: Tiga Kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
  • Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
  • Setan Merah: Muslihat Internationale Tan Malaka (2012)[28]
  • Tan: Sebuah Novel (2016)[29]
  • Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017)[30]

Bibliografi

Dari Pendjara ke Pendjara
  • Parlemen atau Soviet (1920)
  • SI Semarang dan Onderwijs (1921)
  • Dasar Pendidikan (1921)
  • Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
  • Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
  • Semangat Muda (1925)
  • Massa Actie (1926)
  • Local Actie dan National Actie (1926)
  • Pari dan Nasionalisten (1927)
  • Pari dan PKI (1927)
  • Pari International (1927)
  • Manifesto Bangkok(1927)
  • Aslia Bergabung (1943)
  • Muslihat (1945)
  • Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
  • Politik (1945)
  • Manifesto Jakarta (1945)
  • Thesis (1946)
  • Pidato Purwokerto (1946)
  • Pidato Solo (1946)
  • Madilog (1948)
  • Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
  • Gerpolek (1948)
  • Pidato Kediri (1948)
  • Pandangan Hidup (1948)
  • Kuhandel di Kaliurang (1948)
  • Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
  • Dari Pendjara ke Pendjara (1970)

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Sebenarnya Tan Malaka menginginkan hoofdacte, yang statusnya setingkat lebih tinggi dari hulpactie. Meskipun begitu, kesehatannya yang buruk membuatnya hanya bisa mendapat ijazah hulpactie.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ "THE GROWTH OF NATIONAL CONSCIOUSNESS". Library of Congress. Diakses tanggal 7 Agustus 2012. 
  2. ^ "Warisan Tan Malaka", Tempo Interaktif, 11 Agustus 2008
  3. ^ "Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia (1)". Awards of the Republic of Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Sekretariat Negara. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2012. Diakses tanggal 9 Mei 2012. 
  4. ^ a b c Jarvis 1987, hlm. 41.
  5. ^ Syaifudin 2012, hlm. 53.
  6. ^ Syaifudin 2012, hlm. 53–54.
  7. ^ a b Syaifudin 2012, hlm. 54.
  8. ^ a b Syaifudin 2012, hlm. 55.
  9. ^ Poeze 2008, hlm. xv.
  10. ^ Syaifudin 2012, hlm. 56.
  11. ^ Syaifudin 2012, hlm. 57.
  12. ^ Syaifudin 2012, hlm. 57–58.
  13. ^ Mrázek 1972, hlm. 7.
  14. ^ Syaifudin 2012, hlm. 182.
  15. ^ a b Syaifudin 2012, hlm. 58.
  16. ^ a b c Syaifudin 2012, hlm. 184.
  17. ^ a b c Syaifudin 2012, hlm. 59.
  18. ^ Poeze 2008, hlm. xvi.
  19. ^ Jarvis 1987, hlm. 41–42.
  20. ^ Jarvis 1987, hlm. 42.
  21. ^ http://www.merdeka.com/peristiwa/melajang-seumur-hidup-tan-malaka-hanya-3-kali-jatuh-cinta.html
  22. ^ http://historia.id/persona/kisah-asmara-tan-malaka-antara-petualangan-dan-revolusi
  23. ^ http://www.merdeka.com/peristiwa/melajang-seumur-hidup-tan-malaka-hanya-3-kali-jatuh-cinta.html
  24. ^ Firman, Tony (2017-02-21). "Jenazah Tan Malaka Sang Pemimpin Adat Dijemput Keluarga". Tirto.id. Diakses tanggal 2017-11-20. 
  25. ^ Kahin, Audrey (2005). Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 94. ISBN 9789794615195. 
  26. ^ Southeast Asia Program, Cornell University (1990). Reading Southeast Asia: Translation of Contemporary Japanese Scholarship on Southeast Asia. SEAP Publication. hlm. 188. ISBN 9780877274001. Diakses tanggal 17 Juni 2013. 
  27. ^ Mona, Matu (1938). Patjar merah Indonesia. Centrale Courant en Boekhandel. hlm. 179. Diakses tanggal 17 Juni 2013. 
  28. ^ Dantovski, Peter (2012). Setan Merah: Muslihat Internationale Tan Malaka. Indie Book Corner. hlm. 491. ISBN 6028794503. Diakses tanggal 11 Februari 2016. 
  29. ^ Teja, Hendri (2016). Tan:Sebuah Novel. Javanica. hlm. 430. ISBN 9786026799067. Diakses tanggal 11 Februari 2016. 
  30. ^ Teja, Hendri (2017). Tan:Sebuah Novel. Javanica. hlm. 507. ISBN 9786026799289. Diakses tanggal 3 November 2017. 

Bibliografi

  • Jarvis, Helen (1987). "Tan Malaka: Revolutionary or Renegade?" (PDF). Bulletin of Concerned Asian Scholars. 19 (1): 41–55. ISSN 0007-4810. 
  • Kahin, George McT. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 978-0-87727-734-7. 
  • Kusno, Abidin (November 2003). "From City to City: Tan Malaka, Shanghai, and the Politics of Geographical Imagining". Singapore Journal of Tropical Geography. Blackwell Publishing. 24 (3): 327–339. doi:10.1111/1467-9493.00162. 
  • Malaka, Tan; Jarvis, Helen (1991). From Jail to Jail. Research in International Studies, Southeast Asia Series. 1. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies. 
  • Malaka, Tan; Jarvis, Helen (1991). From Jail to Jail. Research in International Studies, Southeast Asia Series. 2. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies. 
  • Malaka, Tan; Jarvis, Helen (1991). From Jail to Jail. Research in International Studies, Southeast Asia Series. 3. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies. 
  • McInerney, Andy (1 January 2007). "Tan Malaka and Indonesia's Freedom Struggle". Socialism and Liberation. Vol. 4 no. 1. 
  • McVey, Ruth T. (1965). The Rise of Indonesian Communism. Ithaca, New York: Cornell University Press. 
  • Mrázek, Rudolf (October 1972). "Tan Malaka: A Political Personality's Structure of Experience". Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University's Southeast Asia Program. 14: 1–48. doi:10.2307/3350731. 
  • Poeze, Harry A. (2007). Verguisd en vergeten: Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945–1949. Leiden: KITLV. ISBN 978-90-6718-258-4. 
  • Poeze, Harry A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. 1. translated by Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-697-0. 
  • Suwarto, Wasid (2006). Mewarisi Gagasan Tan Malaka. Jakarta: LPPM Tan Malaka. ISBN 978-979-99038-2-2. 
  • Syaifudin (2012). Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. ISBN 978-979-25-4911-9. 
  • Tamin, Djamaludin (1965). Kematian Tan Malaka. Tanpa keterangan penerbit. 
  • Watson, C.W. (2000). Of Self and Nation: Autobiography and the Representation of Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-2281-1. 

Pranala luar