Tradisi mengikat kaki: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Rintojiang (bicara | kontrib)
edit
Baris 26: Baris 26:
* Seksualitas
* Seksualitas


== Penolakan terhadap tradisi mengikat kaki ==
==Tingakatan==


Dinasti Qing merupakan dinasti pertama yang mengeluarkan peraturan larangan terhadap tradisi ini. Namun karena kuatnya akar tradisi ini di kalangan suku Han, maka larangan ini tidak menunjukkan pengaruh yang berarti. Wanita dari beberapa kalangan seperti etnis Hakka yang diharuskan turun ke ladang untuk bercocok tanam tidak melaksanakan tradisi ini. Wanita dari suku Manchu juga tidak menerapkan tradisi ini secara luas.
Apalbila lengkungan yang terbentuk dari hasil selama pembungkusan kaki bagus, Maka kaki akan disebut 'kaki lotus'. Tingkatan tertinggi adalah 'Lotus Emas', didapat apabila kaki tidak lebih dari 7,5cm (3inch). Kalau tak lebih dari 10cm, akan disebut 'Lotus Perak'.


Sebelumnya, di zaman Dinasti Song dan Ming, ada beberapa sastrawan dan cendekiawan menyatakan keberatan mereka atas tradisi ini dalam beberapa tulisan sastra.
==Penghapusan==
Bangsa Manchuria yang menaklukan China pada abad ke-17, mencoba untuk menghilankan praktek ini. Wanita-wanita Manchuria dilarang melakukan praktek ini terhadap anak-anak perempuan. Sebaliknya, mereka mengenakan sepatu 'flower bowl' untuk memberikan kesan kaki-kecil. Jenis kaki menjadi sebuah tanda pembeda antara bangsa Han dan MAnchuria kala itu. Bahkan, penghapusan praktek ini menjadi salah satu objektif Pemberontakan Taiping saat itu.


Pemberontakan Taiping juga melarang dengan tegas tradisi mengikat kaki ini dikarenakan pemberontakan ini berazaskan ajaran Kristen yang menolak banyak tradisi Cina yang dianggap kuno. Di samping itu, pemberontakan Taiping juga didominasi oleh etnis minoritas Hakka.
Hingga akhirnya, pada tahun 1911, steleah jatuhnya [[Dinasti Qing]], pemerintah [[RRC]] melarang praktek pembungkusan kaki. Para wanita diminta untuk melepas bungkus kaki mereka. Sebagian kaki para wanita tumbuh sekitar 1-2 cm setelah membuka bungkusan. Walaupun begitu, banyak dari mereka yang merasakan bahwa proses pertumbuhan [[kaki]] mereka amatlah [[sakit]] dan sangat menghancurkan baik secara budaya dan emosi.


Di penghujung Dinasti Qing, banyak cendekiawan dan negarawan yang menganggap bahwa tradisi ini merupakan penghambat bagi kemajuan bangsa Cina karena melemahkan kedudukan dan kontribusi wanita dalam masyarakat.
Ketika kaum komunis mengambil kekuasaan pada [[tahun]] [[1949]], larangan tegas terhadap praktek ini terus ditegakkan hingga sekarang.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing dan berdirinya Republik Cina pada tahun 1911, tradisi ini mulai ditinggalkan oleh wanita di kota besar di pesisir. Ini kemudian pelan-pelan menjalar ke pedalaman. Sampai pada tahun 1950-an, hanya tinggal beberapa dusun di Yunnan di mana kaum wanitanya masih menerapkan tradisi ini.

Di Taiwan sendiri, sewaktu zaman pendudukan Jepang, tradisi ini bersama dengan tradisi toucang dan mengisap candu dianggap sebagai 3 tradisi tidak sehat yang dilarang secara ketat.


[[Kategori:Budaya Tionghoa]]
[[Kategori:Budaya Tionghoa]]

Revisi per 10 Juli 2008 09.54

Tradisi mengikat kaki (Hanzi: 缠足; Hanzi tradisional: 纏足; Hanzi: chánzú, berarti "kaki terbalut") adalah tradisi yang dipraktekkan kepada wanita sebelum awal abad-20.

Sejarah

Asal-usul praktek ini tak diketahui secara jelas, namun diperkirakan tradisi ini telah mulai ada sejak zaman Dinasti Xia. Catatan sejarah mengenai tradisi ini mulai ditemukan sejak zaman Dinasti Song.

Tradisi ini dibangun atas dasar pandangan masyarakat bahwa berkaki kecil adalah lambang kecantikan seorang wanita. Di zaman Dinasti Song, tradisi ini hanya dipraktekkan oleh wanita dari kelas menengah dan atas. Sampai pada zaman Dinasti Ming baru dipraktekkan secara luas oleh wanita dari suku Han. Tentunya ada beberapa pengecualian di beberapa etnis tertentu semisal etnis Hakka di mana kaum wanitanya harus turun membantu di ladang.

Di zaman Dinasti Qing, kekaisaran mengeluarkan beberapa kali larangan untuk mengikat kaki, namun karena pengaruh tradisi ini sangat dalam sehingga larangan ini tidak begitu diindahkan di kalangan suku Han. Sedangkan tradisi ini tidak begitu populer di kalangan suku Manchu.

Metode

Pengikatan kaki biasanya telah mulai diterapkan pada anak perempuan yang telah mencapai umur 5-8 tahun. Pengikatan kaki ini dilakukan ibu sang anak atau para dayang-dayang yang berpengalaman.

Kecuali jari jempol, keempat jari lainnya diikat ke bawah telapak kaki dengan kain panjang. Kain panjang tadi kemudian dijahit untuk mencegah pertumbuhan keempat jari tadi yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan telapak kaki.

Latar belakang tradisi mengikat kaki

Tradisi mengikat kaki berdasar kepada beberapa latar belakang budaya di zaman kuno di Cina. Ini yang menyebabkan walaupun praktek ini sangat tidak manusiawi terhadap wanita, namun tetap dapat bertahan selama ribuan tahun dalam sejarah kebudayaan Cina.

Beberapa unsur budaya yang melatar-belakangi tradisi ini adalah:

  • Kecantikan
  • Moral
  • Etnis
  • Seksualitas

Penolakan terhadap tradisi mengikat kaki

Dinasti Qing merupakan dinasti pertama yang mengeluarkan peraturan larangan terhadap tradisi ini. Namun karena kuatnya akar tradisi ini di kalangan suku Han, maka larangan ini tidak menunjukkan pengaruh yang berarti. Wanita dari beberapa kalangan seperti etnis Hakka yang diharuskan turun ke ladang untuk bercocok tanam tidak melaksanakan tradisi ini. Wanita dari suku Manchu juga tidak menerapkan tradisi ini secara luas.

Sebelumnya, di zaman Dinasti Song dan Ming, ada beberapa sastrawan dan cendekiawan menyatakan keberatan mereka atas tradisi ini dalam beberapa tulisan sastra.

Pemberontakan Taiping juga melarang dengan tegas tradisi mengikat kaki ini dikarenakan pemberontakan ini berazaskan ajaran Kristen yang menolak banyak tradisi Cina yang dianggap kuno. Di samping itu, pemberontakan Taiping juga didominasi oleh etnis minoritas Hakka.

Di penghujung Dinasti Qing, banyak cendekiawan dan negarawan yang menganggap bahwa tradisi ini merupakan penghambat bagi kemajuan bangsa Cina karena melemahkan kedudukan dan kontribusi wanita dalam masyarakat.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing dan berdirinya Republik Cina pada tahun 1911, tradisi ini mulai ditinggalkan oleh wanita di kota besar di pesisir. Ini kemudian pelan-pelan menjalar ke pedalaman. Sampai pada tahun 1950-an, hanya tinggal beberapa dusun di Yunnan di mana kaum wanitanya masih menerapkan tradisi ini.

Di Taiwan sendiri, sewaktu zaman pendudukan Jepang, tradisi ini bersama dengan tradisi toucang dan mengisap candu dianggap sebagai 3 tradisi tidak sehat yang dilarang secara ketat.