Ratna Sarumpaet: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 180.241.4.35 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Mimihitam
Tag: Pengembalian
k →‎Pranala luar: Subkategori
Baris 481: Baris 481:
[[Kategori:Marga Sarumpaet|Ratna]]
[[Kategori:Marga Sarumpaet|Ratna]]
[[Kategori:Tokoh dari Tapanuli Utara]]
[[Kategori:Tokoh dari Tapanuli Utara]]
[[Kategori:Tokoh yang berpindah agama ke Islam]]
[[Kategori:Pemeran perempuan Indonesia|Sarumpaet]]
[[Kategori:Pemeran perempuan Indonesia]]
[[Kategori:Aktivis Indonesia|Sarumpaet]]
[[Kategori:Aktivis Indonesia]]
[[Kategori:Alumni Universitas Kristen Indonesia|Sarumpaet]]
[[Kategori:Alumni Universitas Kristen Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh yang berpindah agama dari Kristen ke Islam|Sarumpaet]]
[[Kategori:Tokoh yang berpindah agama dari Kristen]]

Revisi per 13 Juni 2019 05.09

Ratna Sarumpaet
Lahir16 Juli 1949 (umur 74)[1]
Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatra Utara
Kebangsaan Indonesia
AlmamaterUniversitas Kristen Indonesia
Pekerjaan
Karya terkenalJamila dan Sang Presiden
Suami/istri
Ahmad Fahmy Alhady
(m. 1972; c. Kesalahan ekspresi: Operator < tak terduga)
AnakMohamad Iqbal
Fathom Saulina
Ibrahim
Atiqah Hasiholan
Orang tuaSaladin Sarumpaet
Julia Hutabarat
Situs webratnasarumpaet.com

Ratna Sarumpaet (lahir 16 Juli 1949)[1] adalah seniman berkebangsaan Indonesia yang banyak mengeluti dunia panggung teater, selain sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre. Ratna terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru.[2]

Sarumpaet, lahir dalam keluarga Kristen yang aktif secara politis di Sumatra Utara, awalnya belajar arsitektur di Jakarta. Setelah melihat drama W.S. Rendra pada tahun 1969, ia memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan grup drama tersebut. Lima tahun kemudian, setelah menikah dan masuk Islam, ia mendirikan Satu Merah Panggung; grup tersebut melakukan sebagian besar adaptasi drama asing. Ketika ia menjadi semakin khawatir tentang pernikahannya dan tidak senang dengan adegan teater lokal, dua tahun kemudian Sarumpaet meninggalkan grup dan mulai bekerja di televisi; ia baru kembali pada tahun 1989, setelah menceraikan suaminya.

Pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh, pada tahun 1993 menyebabkan Sarumpaet menjadi aktif secara politik. Dia menulis naskah pementasan orisinal pertamanya, Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah, pada tahun 1994 setelah terobsesi dengan kasus ini. Hal ini diikuti oleh beberapa karya politik lainnya, yang beberapa diantaranya dilarang atau dibatasi oleh pemerintah. Semakin kecewa dengan tindakan otokratik Orde Baru Soeharto, selama pemilihan umum 1997 Sarumpaet dan grupnya memimpin protes pro-demokrasi. Untuk salah satu di antaranya, pada Maret 1998, ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik "anti-revolusioner".

Setelah dibebaskan, Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi; tindakan ini menyebabkan dia melarikan diri dari Indonesia setelah mendengar desas-desus bahwa dia akan ditangkap karena perbedaan pendapat. Ketika dia kembali ke Indonesia, Sarumpaet terus menulis stageplays yang bermuatan politik. Ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003; dua tahun kemudian dia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis drama untuk meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara. Pekerjaan yang dihasilkan berfungsi sebagai fondasi untuk debut filmnya tahun 2009, Jamila dan Sang Presiden. Film ini dikirimkan ke ajang Academy Awards ke-82 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik namun gagal masuk nominasi. Tahun berikutnya, ia merilis novel pertamanya, Maluku, Kobaran Cintaku.

Latar belakang

Ratna Sarumpaet dibesarkan di keluarga Batak Kristen yang aktif dalam politik. Ratna merupakan anak ke lima dari sembilan bersaudara, dari pasangan Saladin Sarumpaet, Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Julia Hutabarat, seorang aktivis hak-hak wanita. Keduanya juga menonjol dalam komunitas Kristen.[3] Tiga saudaranya – Mutiara Sani, Riris Sarumpaet dan Sam Sarumpaet – adalah anggota komunitas seni Indonesia.[1] Saat remaja ia pindah ke Jakarta untuk belajar di sana,[4] menyelesaikan sekolah menengahnya di PSKD Menteng. Dalam biografinya, teman sekelasnya Chrisye ingat bahwa Sarumpaet sangat percaya diri; dia mencatat bahwa ia menikmati menulis puisi dan kemudian membacanya dengan suara keras sementara siswa lain terlibat dalam kegiatan lain.[5]

Pada 1969 ia belajar arsitektur di Universitas Kristen Indonesia. Pada saat inilah dia melihat penampilan Kasidah Berzanji oleh suatu kumpulan yang dipimpin oleh W.S. Rendra, yang meyakinkannya untuk keluar dari universitas tersebut dan bergabung dengan grup tersebut.[4][6] Pada tahun 1974 ia mendirikan Teater Satu Merah Panggung, yang melakukan adaptasi karya-karya asing seperti Rubaiyat Omar Khayyam serta Romeo and Juliet dan Hamlet karya William Shakespeare – yang terakhir, Sarumpaet memainkan peran tituler.[6]

Sarumpaet menjadi tertarik pada Islam di masa remajanya, namun baru menjadi seorang mualaf setelah menikah dengan seorang pengusaha berdarah Arab-Indonesia, Ahmad Fahmy Alhady. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai empat orang anak yaitu, Mohamad Iqbal (1972), Fathom Saulina (1973), Ibrahim (1979), dan Atiqah Hasiholan (1982).[7][4][3] Atiqah juga seorang aktris dan kemudian akan membintangi film ibunya Jamila.[8]

Pada tahun 1976, Sarumpaet, yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan teater dan memasuki industri film. Setelah perceraiannya, yang memakan waktu beberapa tahun dan membutuhkan rekam tulang rusuknya yang patah untuk memenuhi keperluan di pengadilan agama, ia kembali ke teater pada tahun 1989 dengan pertunjukan Othello karya Shakespeare.[4][6] Sarumpaet mulai bekerja sebagai sutradara pada tahun 1991, dengan serial televisi Rumah Untuk Mama, yang disiarkan di stasiun televisi milik pemerintah TVRI.[9] Pada tahun yang sama, ia mengadaptasi Antigone, suatu tragedi oleh penulis Prancis Jean Anouilh, dalam latar Batak.[10]

Teater politik

Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah. Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal dalam bidangnya. Seluruh naskah itu ditulis untuk memprotes adanya tindak ketidakadilan dalam pemerintahan yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Semua naskah diatas disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.[11]

Di era 90-an, Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus Marsinah dan membela penderitaan rakyat Aceh yang terjebak dalam perang antara TNI dan GAM. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah antara dia dengan administrasi Orde Baru kala itu. Pada kampanye Pemilu 1997, menjelang jatuhnya administrasi Orde Baru, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia sempat dikurung ketat oleh kepolisian di sepanjang jalan Warung Buncit, di mana Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI”. Karena hal ini Ratna dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.[12]

Pada September 1997, Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan alasan bahwa DNA Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi. Setelah penutupan kasus ini, Ratna menulis monolog "Marsinah Menggugat" dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatra. Monolog ini dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat pemerintahan kala itu. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh pasukan anti huru-hara. Dengan tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel.[13]

Aktivisme

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lelah menjadi objek intimidasi aparat, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan organisasi-organisasi pro-demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat. Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, "Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah". Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri "Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi".[14]

Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.

Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI. Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu. Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.

Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Prancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto". Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Prancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai dalang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Jose Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengkritik keras negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.

Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Asian Foundation of Human Rights. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama "Alia: Luka Serambi Mekah".

Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat. Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan. Pada masa Presiden Megawati, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh. Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana. Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain. Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001, mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi. Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya.

Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp, menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea, Tapanuli Utara. Ia tinggal disana memberi mereka kekuatan. Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan “Ratna bukan putera daerah”.

Ketika bencana tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.

Sampai hari ini, dibantu oleh enam orang pengacara, RSCC masih terus membantu kaum perempuan korban kekerasan, tenaga Migran korban sistem dan rakyat miskin secara keseluruhan.

Perdagangan anak dan pekerja seks

Tahun 2004, Ratna secara kebetulan mendengar kabar tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan UNICEF Ratna melakukan penelitian tentang berita itu, mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui apa sebab di Indonesia perdagangan manusia sedemikian marak.[15]

Dari hasil penelitian itu, 2006 Ratna menulis naskah Drama "Pelacur dan Sang Presiden" dan dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini memberi Ratna kesadaran, untuk melawan jenis perdagangan ini ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.

Tahun 2007, Ratna menyadur Pelacur & Sang Presiden ke dalam sebuah skenario film. 2008 – 2009 dia memperjuangkan skenarionya itu bisa diwujudkan dalam film layar lebar dan berhasil. Dia menyutradarai sendiri film tersebut dan diberi judul “Jamila dan Sang Presiden”.[16] Jamila dan Sang Presiden berhasil mendapat perhatian dunia di berbagai Festival. Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival. Di Vesoul Asian International Film Festival, Jamila dan Sang Presiden memperoleh dua penghargaan, Youth Prize dan Public Prize. Di Asiatica Film Mediale Festival, Roma, "Jamila dan Sang Presiden" berhasil memperoleh NETPAC Award, dan pada 2010, film ini diterima oleh panitia Academy Awards ke-82 sebagai film yang mewakili Indonesia dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.[17][18]

Pluralisme dan toleransi

Setelah selama 2 tahun melakukan penelitian dan menulis, 10 Desember 2010 - di Tugu Perdamaian Ambon, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Ratna meluncurkan novel "Maluku Kobaran Cintaku", sebuah novel fiksi dengan latar belakang kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku tahun 1999 – 2004.[19]

Politik

Penangkapan dugaan makar 2016

Pada pagi hari tanggal 2 Desember 2016, Sarumpaet ditangkap di sebuah hotel di Jakarta karena dicurigai menjadi bagian dari kelompok yang diduga merencanakan kudeta terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo.[20] Ia dilepaskan keesokan harinya.[21]

Kasus hoaks 2018

Pada bulan September 2018, Sarumpaet mengunggah foto wajahnya yang bengkak ke media sosial, dan mengatakan bahwa ia telah diserang oleh orang-orang tak dikenal di Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung. Sejumlah tokoh oposisi, termasuk Prabowo Subianto, mengutuk "serangan pengecut" tersebut. Namun, investigasi oleh Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Barat menemukan bahwa pada hari tersebut tidak ada konferensi internasional di Bandung, bahwa Ratna Sarumpaet tidak ada di Bandara pada hari tersebut, melainkan mengunjungi klinik bedah plastik di Jakarta.[22]

Pemberitaan penganiayaan Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang tak dikenal pertama kali muncul pada 2 Oktober 2018. Berita penganiyaan itu disertai dengan tangkapan layar aplikasi Whatsapp dan foto Ratna Sarumpaet dalam kondisi wajah yang tidak wajar. Konten tersebut kemudian menjadi viral dan diunggah kembali serta dibenarkan beberapa tokoh politik tanpa melakukan verifikasi akan kebenaran berita tersebut. Setelah ramai diperbincangkan, konten hoaks ditanggapi kepolisian yang melakukan penyelidikan setelah mendapatkan tiga laporan mengenai dugaan hoaks pada pemberitaan tersebut.

Berdasarkan hasil penyelidikan Kepolisian, Ratna diketahui tidak dirawat di 23 rumah sakit dan tidak pernah melapor ke 28 polsek di Bandung dalam kurun waktu 28 September sampai dengan 2 Oktober 2018. Saat kejadian yang disebutkan pada 21 September, Ratna diketahui tidak sedang berada di Bandung. Hasil penyelidikan menunjukkan Ratna datang ke Rumah Sakit Bina Estetika Menteng, Jakarta Pusat, pada 21 September 2018 sekitar pukul 17.00 WIB. Pihak Kepolisian mengatakan Ratna telah melakukan perjanjian operasi pada 20 September 2018 dan tinggal hingga 24 September. Polisi juga menemukan sejumlah bukti berupa transaksi dari rekening Ratna ke klinik tersebut.

Pada tanggal 3 Oktober, Ratna mengakui bahwa ia telah berbohong mengenai serangan tersebut untuk menyembunyikan operasi plastiknya dari keluarganya sendiri.[23] Dia dikutip oleh koran Tempo sebagai menyatakan "ternyata saya adalah pencipta hoax terbaik, kebohongan saya telah menghebohkan negeri".[24] Ia kemudian dipecat dari tim kampanye pilpres 2019 Prabowo Subianto.[25] Keesokan harinya, Ratna ditahan oleh polisi di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, dimana menurutnya ia akan terbang ke Chile untuk menghadiri suatu konferensi internasional.[26]

Profesi

  • Ketua DKJ (2003-2006)
  • Penulis Naskah Drama dan Sutradara Drama
  • Penulis Skenario Film & Sutradara Film
  • Editor Film, bekerja sama dengan MGM, Los Angeles (1985-1986)
  • Aktivis HAM
  • Anggota Kehormatan PEN International
  • Anggota / Pengurus International Women Playwright
  • Komite Juri/Pemilih Festival Film Piala Maya (bidang Penyutradaraan)

Filmografi

Drama

  • Rubayat Umar Khayam (1974) (Naskah & Sutradara)
  • Dara Muning (1993) (Naskah & Sutradara)
  • Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) (Naskah & Sutradara)
  • Terpasung (1996) (Naskah & Sutradara)
  • Pesta Terakhir (1996) (Naskah & Sutradara)
  • Marsinah Menggugat (1997) (Naskah & Sutradara)
  • Alia: Luka Serambi Mekah (2000) (Naskah & Sutradara)
  • Anak-Anak Kegelapan (2003) (Naskah & Sutradara)
  • Pelacur dan Presiden (2006) (Naskah & Sutradara)

Film

  • Sebuah Percakapan - film pendek RCTI, 1985 (Skenario & Sutradara)
  • Lulu- Semi Dokumenter, 1989 (Skenario & Sutradara)
  • Balada Orang-Orang Tercinta - film televisi TVRI, 1990 (Skenario)
  • Rumah Untuk Mama - film televisi TVRI, 1991 (Skenario & Sutradara)
  • Jamila dan Sang Presiden - film layar lebar, 2009 (Skenario & Sutradara)

Penghargaan

  • Female Human Rights special Award dari The Asian Foundation For Human Rights di Tokyo, Jepang (1998)
  • Tsunami Award - (Ratna Sarumpaet Crisis Center) 2005, Aceh
  • NETPAC Award - Asiatica Film Mediale, Roma, Film Jamila dan Sang Presiden, 2009
  • Youth Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.
  • Public Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ a b c Fitri 2002, Playwright Ratna still.
  2. ^ "Ratna Sarumpaet: Saya Bukan Pendukung Prabowo". Liputan6.com. 26 Juni 2014. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  3. ^ a b Sarumpaet, Journey.
  4. ^ a b c d Winet 2007, hlm. 1190.
  5. ^ Endah 2007, hlm. 58.
  6. ^ a b c Hatley 1998, Ratna accused, and defiant.
  7. ^ Supriyanto (11 Juni 2016). "Ini Kata Atiqah Hasiholan Soal Ibunya, Ratna Sarumpaet yang Di-bully Netizen". Tabloid Bintang. Diakses tanggal 12 Juni 2016. 
  8. ^ The Jakarta Post 2010, Sarumpaet bags two.
  9. ^ Dursin and Alia 2007, Ratna Sarumpaet: The agony.
  10. ^ Jakarta Globe 2006, Putting Politics Center.
  11. ^ "Bully Jurnalis, Ratna Sarumpaet Akan Dilaporkan". Tempo.co. 26 Juni 2014. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  12. ^ "Ratna Sarumpaet: Aku dari Batak, Dibilang Batak, Apa Itu Rasis?". Kompas.com. 26 Juni 2014. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  13. ^ Al Hadi, Yayan (30 Juni 2015). "Ratna Sarumpaet, Perempuan Tanpa Rasa Takut". Rakyat Merdeka. Diakses tanggal 1 Juli 2015. 
  14. ^ "Ratna Sarumpaet: Jangan Namai Aksi MKRI Sebagai Kudeta". Tribunnews.com. 25 Maret 2013. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  15. ^ Jakarta Globe 2009, A Portrait of Human.
  16. ^ Arianto 2009, Demi Jamila, Atiqah.
  17. ^ The Jakarta Post 2009, 'Jamila dan Sang Presiden'.
  18. ^ Antara 2010, Jamila dan Sang Presiden.
  19. ^ Tunny 2010, 'Maluku, Kobaran Cintaku’.
  20. ^ "8 Activists Arrested for Allegedly Plotting a Coup: Report". Tempo.co (dalam bahasa Inggris). 2 Desember 2016. Diakses tanggal 2 Desember 2016. 
  21. ^ "Jakarta releases 'treason' suspects" (dalam bahasa Inggris). Bangkok Post. THE ASSOCIATED PRESS. 3 Desember 2016. Diakses tanggal 7 Desember 2016. 
  22. ^ "Prabowo Subianto campaigner Ratna Sarumpaet claims she was assaulted, police say her bruises were from plastic surgery". coconuts.co (dalam bahasa Inggris). 3 October 2018. Diakses tanggal 3 October 2018. 
  23. ^ "Ratna Sarumpaet: I`m the Best Hoax Creator". Tempo. 3 October 2018. Diakses tanggal 3 October 2018. 
  24. ^ Siddiq, Taufiq (3 October 2018). "Ratna Sarumpaet: Saya Adalah Pencipta Hoax Terbaik". Tempo. Diakses tanggal 3 October 2018. 
  25. ^ Ibrahim, Gibran Maulana. "Prabowo Perintahkan Langsung Pemecatan Ratna Sarumpaet". detiknews. Diakses tanggal 3 October 2018. 
  26. ^ Damarjati, Danu (4 October 2018). "Bantah Ingin Melarikan Diri, Ratna Sarumpaet Jadi Pembicara di Chile". detikNews. Diakses tanggal 4 October 2018. 
Daftar pustaka

Pranala luar