Ratna Sarumpaet: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
agar lebih update
Tag: Penggantian VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
Andreas Sihono (bicara | kontrib)
Menolak 2 perubahan teks terakhir (oleh 114.5.147.196 dan 36.78.46.69) dan mengembalikan revisi 14247623 oleh Joseagush
Baris 1: Baris 1:
{{Infobox person
|name = Ratna Sarumpaet
|image =
|image_size =
|caption =
|birth_date = {{birth date and age|1948|7|16}}
|birth_place = [[Tarutung, Tapanuli Utara]], [[Sumatera Utara]]
|birth_name =
|other_name =
|death_date =
|death_place =
|nationality = {{flagcountry|Indonesia}}
|years_active =
|occupation = {{flatlist|
* [[Penulis naskah]]
* [[Sutradara]]
* [[Aktivis sosial|Aktivis HAM]]
* [[Seniman]]
}}
|notable_works = ''[[Jamila dan Sang Presiden]]''
|spouse = {{marriage|Ahmad Fahmy Alhady|25 June 1972|23 November 1985|reason=cerai}}
|partner =
|children = Mohamad Iqbal <br /> Fathom Saulina <br /> Ibrahim <br /> [[Atiqah Hasiholan]]
|parents = Saladin Sarumpaet <br /> Julia Hutabarat
|alma_mater = [[Universitas Kristen Indonesia]]
|influences =
|influenced =
|website = {{URL|http://ratnasarumpaet.com/}}
}}
{{Nama Batak|[[Suku Batak Toba|Toba]]|[[Sarumpaet]]}}
{{Nama Batak|[[Suku Batak Toba|Toba]]|[[Sarumpaet]]}}
'''Ratna Sarumpaet''' ({{lahirmati|[[Tarutung, Tapanuli Utara]]|16|7|1948}}) adalah seniman berkebangsaan [[Indonesia]] yang banyak mengeluti dunia panggung [[teater]], selain sebagai [[aktivis]] organisasi sosial dengan mendirikan ''Ratna Sarumpaet Crisis Centre''. Ratna terkenal dengan pementasan [[monolog]] ''[[Marsinah]] Menggugat'', yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi [[Orde baru]].<ref>{{cite web |url=http://www.liputan6.com/news/read/2069342/ratna-sarumpaet-saya-bukan-pendukung-prabowo |title=Ratna Sarumpaet: Saya Bukan Pendukung Prabowo |date=26 Juni 2014 |accessdate=28 Juni 2014 |website=[[Liputan6.com]]}}</ref>
'''Ratna Sarumpaet''' ({{lahirmati|[[Tarutung, Tapanuli Utara]]|16|7|1948}}) adalah wanita yang penuh drama dan senang panjat sosial.

Sarumpaet, lahir dalam keluarga [[Kristen]] yang aktif secara politis di [[Sumatera Utara]], awalnya belajar arsitektur di [[Jakarta]]. Setelah melihat drama [[W.S. Rendra]] pada tahun 1969, ia memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan grup drama tersebut. Lima tahun kemudian, setelah menikah dan masuk Islam, ia mendirikan Satu Merah Panggung; grup tersebut melakukan sebagian besar adaptasi drama asing. Ketika ia menjadi semakin khawatir tentang pernikahannya dan tidak senang dengan adegan teater lokal, dua tahun kemudian Sarumpaet meninggalkan grup dan mulai bekerja di televisi; ia baru kembali pada tahun 1989, setelah menceraikan suaminya.

Pembunuhan [[Marsinah]], seorang aktivis buruh, pada tahun 1993 menyebabkan Sarumpaet menjadi aktif secara politik. Dia menulis naskah pementasan orisinal pertamanya, ''Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah'', pada tahun 1994 setelah terobsesi dengan kasus ini. Hal ini diikuti oleh beberapa karya politik lainnya, yang beberapa diantaranya dilarang atau dibatasi oleh pemerintah. Semakin kecewa dengan tindakan otokratik [[Orde Baru]] [[Soeharto]], selama [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1997|pemilihan umum 1997]] Sarumpaet dan grupnya memimpin protes pro-demokrasi. Untuk salah satu di antaranya, pada Maret 1998, ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik "anti-revolusioner".

Setelah dibebaskan, Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi; tindakan ini menyebabkan dia melarikan diri dari Indonesia setelah mendengar desas-desus bahwa dia akan ditangkap karena perbedaan pendapat. Ketika dia kembali ke Indonesia, Sarumpaet terus menulis stageplays yang bermuatan politik. Ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003; dua tahun kemudian dia didekati oleh [[UNICEF]] dan diminta untuk menulis drama untuk meningkatkan kesadaran [[perdagangan anak]] di Asia Tenggara. Pekerjaan yang dihasilkan berfungsi sebagai fondasi untuk debut filmnya tahun 2009, ''[[Jamila dan Sang Presiden]]''. Film ini [[Daftar perwakilan Indonesia pada Penghargaan Akademi untuk Film Berbahasa Asing Terbaik|dikirimkan]] ke ajang [[Academy Awards ke-82]] untuk [[Film Berbahasa Asing Terbaik (Oscar)|Film Berbahasa Asing Terbaik]] namun gagal masuk nominasi. Tahun berikutnya, ia merilis novel pertamanya, ''Maluku, Kobaran Cintaku''.

== Latar belakang ==

Ratna Sarumpaet dibesarkan di keluarga [[Suku Batak|Batak]] [[Kristen]] yang aktif dalam [[politik]]. Ratna merupakan anak ke lima dari sembilan bersaudara, dari pasangan Saladin Sarumpaet, Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam kabinet [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]] (PRRI), dan Julia Hutabarat, seorang aktivis hak-hak wanita. Keduanya juga menonjol dalam komunitas Kristen.{{sfn|Sarumpaet, Journey}} Tiga saudaranya&nbsp;– Mutiara Sani, Riris Sarumpaet dan Sam Sarumpaet&nbsp;– adalah anggota komunitas seni Indonesia.{{sfn|Fitri 2002, Playwright Ratna still}} Saat remaja ia pindah ke [[Jakarta]] untuk belajar di sana,{{sfn|Winet|2007|p=1190}} menyelesaikan sekolah menengahnya di PSKD Menteng. Dalam biografinya, teman sekelasnya [[Chrisye]] ingat bahwa Sarumpaet sangat percaya diri; dia mencatat bahwa ia menikmati menulis puisi dan kemudian membacanya dengan suara keras sementara siswa lain terlibat dalam kegiatan lain.{{sfn|Endah|2007|p=58}}

Pada 1969 ia belajar arsitektur di [[Universitas Kristen Indonesia]]. Pada saat inilah dia melihat penampilan ''Kasidah Berzanji'' oleh suatu kumpulan yang dipimpin oleh [[W.S. Rendra]], yang meyakinkannya untuk keluar dari universitas tersebut dan bergabung dengan grup tersebut.{{sfn|Winet|2007|p=1190}}{{sfn|Hatley 1998, Ratna accused, and defiant}} Pada tahun 1974 ia mendirikan Teater Satu Merah Panggung, yang melakukan adaptasi karya-karya asing seperti ''[[Rubaiyat Omar Khayyam]]'' serta ''[[Romeo and Juliet]]'' dan ''[[Hamlet]]'' karya [[William Shakespeare]]&nbsp;– yang terakhir, Sarumpaet memainkan peran tituler.{{sfn|Hatley 1998, Ratna accused, and defiant}}

Sarumpaet menjadi tertarik pada Islam di masa remajanya, namun baru menjadi seorang [[mualaf]] setelah menikah dengan seorang pengusaha berdarah [[Arab-Indonesia]], Ahmad Fahmy Alhady. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai empat orang anak yaitu, Mohamad Iqbal (<!--10 Juli-->1972), Fathom Saulina (<!--2 Desember-->1973), Ibrahim (<!--2 April-->1979), dan [[Atiqah Hasiholan]] (<!--3 Januari-->1982).<ref>{{cite web |url=https://www.tabloidbintang.com/berita/polah/read/40544/ini-kata-atiqah-hasiholan-soal-ibunya-ratna-sarumpaet-yang-dibully-netizen |title=Ini Kata Atiqah Hasiholan Soal Ibunya, Ratna Sarumpaet yang Di-bully Netizen |author=Supriyanto |date=11 Juni 2016 |accessdate=12 Juni 2016 |website=Tabloid Bintang}}</ref>{{sfn|Winet|2007|p=1190}}{{sfn|Sarumpaet, Journey}} Atiqah juga seorang aktris dan kemudian akan membintangi film ibunya ''Jamila''.{{sfn|The Jakarta Post 2010, Sarumpaet bags two}}

Pada tahun 1976, Sarumpaet, yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan teater dan memasuki industri film. Setelah perceraiannya, yang memakan waktu beberapa tahun dan membutuhkan rekam tulang rusuknya yang patah untuk memenuhi keperluan di pengadilan agama, ia kembali ke teater pada tahun 1989 dengan pertunjukan ''[[Othello]]'' karya Shakespeare.{{sfn|Winet|2007|p=1190}}{{sfn|Hatley 1998, Ratna accused, and defiant}} Sarumpaet mulai bekerja sebagai sutradara pada tahun 1991, dengan serial televisi ''Rumah Untuk Mama'', yang disiarkan di stasiun televisi milik pemerintah [[TVRI]].{{sfn|Dursin and Alia 2007, Ratna Sarumpaet: The agony}} Di tahun yang sama, ia mengadaptasi ''Antigone'', suatu tragedi oleh penulis Perancis [[Jean Anouilh]], dalam latar Batak.{{sfn|Jakarta Globe 2006, Putting Politics Center}}

== Teater politik ==

Sempat menempuh kuliah di Fakultas [[Teknik Arsitektur]] dan Fakultas [[Hukum]] [[Universitas Kristen Indonesia]], Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah. Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis [[hak asasi manusia]] (HAM) dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal dalam bidangnya. Seluruh naskah itu ditulis untuk memprotes adanya tindak ketidakadilan dalam pemerintahan yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Semua naskah diatas disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.<ref>{{cite web |url=https://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/26/269588147/Bully-Jurnalis-Ratna-Sarumpaet-Akan-Dilaporkan |title=Bully Jurnalis, Ratna Sarumpaet Akan Dilaporkan |date=26 Juni 2014 |accessdate=28 Juni 2014 |website=[[Tempo.co]]}}</ref>

Di era 90-an, Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus [[Marsinah]] dan membela penderitaan rakyat [[Aceh]] yang terjebak dalam perang antara [[TNI]] dan [[GAM]]. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah antara dia dengan administrasi [[Orde Baru]] kala itu. Pada kampanye [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1997|Pemilu 1997]], menjelang jatuhnya administrasi Orde Baru, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP). Dia sempat dikurung ketat oleh kepolisian di sepanjang jalan Warung Buncit, di mana Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI”. Karena hal ini Ratna dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.<ref>{{cite web |url=https://entertainment.kompas.com/read/2014/06/26/1344022/Ratna.Sarumpaet.Aku.dari.Batak.Dibilang.Batak.Apa.Itu.Rasis. |title= Ratna Sarumpaet: Aku dari Batak, Dibilang Batak, Apa Itu Rasis? |date=26 Juni 2014 |accessdate=28 Juni 2014 |website=[[Kompas.com]]}}</ref>

Pada September 1997, Kepala [[Kepolisian RI]] menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan alasan bahwa [[DNA]] Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi. Setelah penutupan kasus ini, Ratna menulis [[monolog]] "''Marsinah Menggugat''" dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di [[Jawa]] dan [[Sumatera]]. Monolog ini dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat pemerintahan kala itu. Di [[Surabaya]], [[Bandung]] dan [[Bandar Lampung]], pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh pasukan anti huru-hara. Dengan tingginya kontroversi ''Marsinah Menggugat'', Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel.<ref>{{cite web|url=http://www.rmol.co/read/2015/06/30/208241/Ratna-Sarumpaet,-Perempuan-Tanpa-Rasa-Takut-|title=Ratna Sarumpaet, Perempuan Tanpa Rasa Takut |date=30 Juni 2015 |accessdate=1 Juli 2015 | first=Yayan |last=Al Hadi |website=Rakyat Merdeka}}</ref>

== Aktivisme ==
=== Demokrasi dan Hak Asasi Manusia ===

Lelah menjadi objek intimidasi aparat, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 [[LSM]] dan organisasi-organisasi pro-demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat. Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, "''Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah''". Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan [[Faisal Basri]] "''Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi''".<ref>{{cite web |url=http://www.tribunnews.com/nasional/2013/03/25/ratna-sarumpaet-jangan-namai-aksi-mkri-sebagai-kudeta |title=Ratna Sarumpaet: Jangan Namai Aksi MKRI Sebagai Kudeta |date=25 Maret 2013 |accessdate=28 Juni 2014 |website=[[Tribunnews.com]]}}</ref>

Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di [[Polda Metro Jaya]]. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, [[gerakan mahasiswa]] dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.

Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, [[Hotel Indonesia]]. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan [[cetak biru]] Pengelolaan Negara RI. Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada [[Habibie]], sebagai Presiden saat itu. Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke [[Singapura]] dan selanjutnya ke [[Eropa]].

Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi [[Perancis]] dan [[Amnesty International]] mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah [[film dokumenter]] (52 menit) berjudul "''The Last Prisoner of Soeharto''". Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di [[Perancis]] dan [[Jerman]]. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di [[Timor Timur]] dan [[Aceh]]. Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai dalang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, [[10 Desember]] [[1998]], Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti [[Dalai Lama]] dan [[Jose Ramos Horta]]), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengkritik keras negara-negara besar seperti [[Amerika Serikat]], [[Jerman]] dan [[Inggris]]. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.

Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “''The Female Special Award for Human Rights''” dari ''The Asian Foundation of Human Rights''. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama "''Alia: Luka Serambi Mekah''".

Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat. Ia ikut menggagas dan mendirikan [[Partai Amanat Nasional]] (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di [[Istora Senayan]]. Pada masa Presiden [[Megawati]], Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh. Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana. Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Melalui ''Ratna Sarumpaet Crisis Center'' (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain. Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001, mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah [[Tangerang]] dan [[Bekasi]]. Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya.

Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp, menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea, Tapanuli Utara. Ia tinggal disana memberi mereka kekuatan. Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan “Ratna bukan putera daerah”.

Ketika bencana [[Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004|tsunami]] menghentak [[Aceh]] dan [[Nias]], RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di [[Aceh Barat]], membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “''Tsunami Award''”.

Sampai hari ini, dibantu oleh enam orang pengacara, RSCC masih terus membantu kaum perempuan korban kekerasan, tenaga Migran korban sistem dan rakyat miskin secara keseluruhan.
<!--=== Kultur & pluralisme ===
{{referensi}}
Ketika tahun 2006, [[RUU APP]] (Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) mencuat, penolakan Ratna kembali membuatnya menjadi berita. Ratna menolak RUU APP karena dianggapnya berpotensi besar membunuh keberagaman budaya, melanggar filosofi bangsanya dan menyudutkan kelompok agama minoritas di Indonesia. Penolakannya itu membuatnya dimusuhi kaum fundamentalis Islam. Ia didemo, diusir dari Jakarta dan dituduh sebagai penikmat [[pornografi]]. Namun Ratna dengan sabar menjelaskan apa alasan keberatannya. Ia menolak pola pembangunan moral mekanis yang dianggapnya tidak menghormati manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi dan punya hati.

Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban kasus [[lumpur Lapindo]] yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah acara [[gelar wicara]] di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif dalam urusan demokrasi ini memutuskan mundur.-->

=== Perdagangan anak dan pekerja seks ===

Tahun 2004, Ratna secara kebetulan mendengar kabar tentang buruknya [[perdagangan anak]] di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan [[UNICEF]] Ratna melakukan penelitian tentang berita itu, mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui apa sebab di Indonesia perdagangan manusia sedemikian marak.{{Sfn|Jakarta Globe 2009, A Portrait of Human}}

Dari hasil penelitian itu, 2006 Ratna menulis naskah Drama "''Pelacur dan Sang Presiden''" dan dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini memberi Ratna kesadaran, untuk melawan jenis perdagangan ini ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.

Tahun 2007, Ratna menyadur ''Pelacur & Sang Presiden'' ke dalam sebuah [[skenario]] film. 2008 – 2009 dia memperjuangkan skenarionya itu bisa diwujudkan dalam film layar lebar dan berhasil. Dia menyutradarai sendiri film tersebut dan diberi judul “''[[Jamila dan Sang Presiden]]''”.{{Sfn|Arianto 2009, Demi Jamila, Atiqah}} ''Jamila dan Sang Presiden'' berhasil mendapat perhatian dunia di berbagai Festival. ''Bangkok International Film Festival'', ''Hongkong International Film Festival'', ''Asia Pacific Film Festival''. Di ''Vesoul Asian International Film Festival'', Jamila dan Sang Presiden memperoleh dua penghargaan, ''Youth Prize'' dan ''Public Prize''. Di ''Asiatica Film Mediale Festival'', [[Roma]], "''Jamila dan Sang Presiden''" berhasil memperoleh ''NETPAC Award'', dan pada 2010, film ini diterima oleh panitia [[Academy Awards ke-82]] sebagai [[Daftar perwakilan Indonesia pada Penghargaan Akademi untuk Film Berbahasa Asing Terbaik|film yang mewakili Indonesia]] dalam kategori [[Film Berbahasa Asing Terbaik (Oscar)|Film Berbahasa Asing Terbaik]].{{Sfn|The Jakarta Post 2009, 'Jamila dan Sang Presiden'}}{{Sfn|Antara 2010, Jamila dan Sang Presiden}}

=== Pluralisme dan toleransi ===

Setelah selama 2 tahun melakukan penelitian dan menulis, 10 Desember 2010 - di Tugu Perdamaian [[Ambon]], bertepatan dengan [[Hari Hak Asasi Manusia|hari HAM sedunia]], Ratna meluncurkan novel "''Maluku Kobaran Cintaku''", sebuah novel fiksi dengan latar belakang kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku tahun 1999 – 2004.

== Penangkapan dugaan makar 2016 ==
Pada pagi hari tanggal 2 Desember 2016, Sarumpaet ditangkap di sebuah hotel di Jakarta karena dicurigai menjadi bagian dari kelompok yang diduga merencanakan kudeta terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo.<ref>{{cite web|title=8 Activists Arrested for Allegedly Plotting a Coup: Report|url=http://en.tempo.co/read/news/2016/12/02/055824845/8-Activists-Arrested-for-Allegedly-Plotting-a-Coup-Report|website=Tempo.co|accessdate=2 Desember 2016 |language=en|date=2 Desember 2016}}</ref> Ia dilepaskan keesokan harinya.<ref>{{cite news|title=Jakarta releases 'treason' suspects|url=http://www.bangkokpost.com/news/general/1150877/jakarta-releases-treason-suspects|accessdate=7 Desember 2016|agency=THE ASSOCIATED PRESS|publisher=Bangkok Post|date=3 Desember 2016 |language=en}}</ref>

== Profesi ==

* Ketua [[Dewan Kesenian Jakarta|DKJ]] (2003-2006)
* Penulis Naskah Drama dan Sutradara Drama
* Penulis Skenario Film & Sutradara Film
* Editor Film, bekerja sama dengan [[MGM]], Los Angeles (1985-1986)
* Aktivis HAM
* Anggota Kehormatan PEN International
* Anggota / Pengurus ''International Women Playwright''
* Komite Juri/Pemilih Festival Film [[Piala Maya]] (bidang Penyutradaraan)


== Filmografi ==
== Filmografi ==
=== Drama ===
=== Drama ===


* ''Rubayat Umar Khayam'' (1974) (Naskah & Sutradara)
*''Aku Di Keroyok, Padahal Oplas (2018)''
* ''Dara Muning'' (1993) (Naskah & Sutradara)
* ''Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah'' (1994) (Naskah & Sutradara)
* ''Terpasung'' (1996) (Naskah & Sutradara)
* ''Pesta Terakhir'' (1996) (Naskah & Sutradara)
* ''Marsinah Menggugat'' (1997) (Naskah & Sutradara)
* ''Alia: Luka Serambi Mekah'' (2000) (Naskah & Sutradara)
* ''Anak-Anak Kegelapan'' (2003) (Naskah & Sutradara)
* ''Pelacur dan Presiden'' (2006) (Naskah & Sutradara)

=== Film ===

* ''Sebuah Percakapan'' - film pendek [[RCTI]], 1985 (Skenario & Sutradara)
* ''Lulu''- Semi Dokumenter, 1989 (Skenario & Sutradara)
* ''Balada Orang-Orang Tercinta'' - film televisi [[TVRI]], 1990 (Skenario)
* ''Rumah Untuk Mama'' - film televisi TVRI, 1991 (Skenario & Sutradara)
* ''[[Jamila dan Sang Presiden]]'' - film layar lebar, 2009 (Skenario & Sutradara)

== Penghargaan ==

* ''Female Human Rights special Award'' dari ''The Asian Foundation For Human Rights'' di [[Tokyo]], Jepang (1998)
* ''Tsunami Award'' - (Ratna Sarumpaet Crisis Center) 2005, Aceh
* ''NETPAC Award'' - ''Asiatica Film Mediale'', Roma, Film ''[[Jamila dan Sang Presiden]]'', 2009
* ''Youth Prize'' - ''Vesoul International Film Festival'', Prancis, Film ''Jamila dan Sang Presiden'', 2010.
* ''Public Prize'' - ''Vesoul International Film Festival'', Prancis, Film ''Jamila dan Sang Presiden'', 2010.

== Referensi ==
;Catatan kaki
{{Reflist|colwidth=30em}}

;Bibliografi
{{refbegin|colwidth=30em}}
*{{cite news
|title=A Portrait of Human Trafficking
|url=http://www.thejakartaglobe.com/justAdded/a-portrait-of-human-trafficking-/274434
|work=Jakarta Globe
|language=en
|date=28 April 2009
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b2Mwfdr
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|Jakarta Globe 2009, A Portrait of Human}}
}}
*{{cite news
|last=Arianto
|first=Arif
|title=Demi Jamila, Atiqah Hasiholan Rajin ke Tempat Pelacuran
|url=http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MTczMTQ4
|work=Tempo
|date=28 April 2009
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b4Z4z7M
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|Arianto 2009, Demi Jamila, Atiqah}}
}}
*{{cite news
|last=Bianpoen
|first=Carla
|title=Cultural liberty under spotlight at Women Playwrights
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2006/12/03/cultural-liberty-under-spotlight-women-playwrights.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=3 Desember 2006
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66eJVz0bt
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Bianpoen 2006, Cultural liberty under}}
}}
*{{cite news
|last1=Dursin
|first1=Kanis
|last2=Alia
|title=Ratna Sarumpaet: The agony of a senior director
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2007/07/24/ratna-sarumpaet-agony-senior-director.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=24 Juli 2007
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66duOqQCP
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Dursin and Alia 2007, Ratna Sarumpaet: The agony}}
}}
*{{cite book
|last1=Endah
|first1=Alberthiene
|authorlink1=Alberthiene Endah
|title=Chrisye: Sebuah Memoar Musikal
|year=2007
|publisher=Gramedia Pustaka Utama
|location=Jakarta
|isbn=978-979-22-2606-5
|ref=harv
}}
*{{cite news
|last=Febrina
|first=Anissa S.
|title=A gray world on the silver screen
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/18/a-gray-world-silver-screen.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=18 April 2009
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b1EnVBQ
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|Febrina 2009, A gray world}}
}}
*{{cite news
|last=Fitri
|first=Emmy
|title=Playwright Ratna still standing tall
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2002/12/21/playwright-ratna-still-standing-tall.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=21 Desember 2002
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66eIKzuuF
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Fitri 2002, Playwright Ratna still}}
}}
*{{cite news
|title=Foto anaknya disebar, Yenny Kwok ancam polisikan Ratna Sarumpaet
|url=http://www.merdeka.com/peristiwa/foto-anaknya-disebar-yenny-kwok-ancam-polisikan-ratna-sarumpaet.html
|accessdate=6 July 2014
|work=merdeka.com
|date=25 Juni 2014
|ref={{SfnRef|Merdeka.com 2014, Foto}}
}}
*{{cite journal
|last=Hatley
|first=Barbara
|title=Ratna accused, and defiant
|url=http://www.insideindonesia.org/edition-55-jul-sep-1998/ratna-accused-and-defiant-2909767
|journal=Inside Indonesia
|language=en
|issue=55
|date=Juli–September 1998
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66e9yXucy
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Hatley 1998, Ratna accused, and defiant}}
}}
*{{cite news
|last=Hidayah
|first=Aguslia
|title=Jamila tanpa Presiden
|url=http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MTczNTM2
|work=Tempo
|date=30 April 2009
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b4Z4z7M
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|Hidayah 2009, Jamila tanpa Presiden}}
}}
*{{cite news
|title=Jamila dan Sang Presiden Gagal Raih Oscar
|url=http://www.antaranews.com/berita/1265689334/jamila-dan-sang-presiden-gagal-raih-oscar
|work=Antara
|date=9 Februari 2010
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b47EIvw
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|Antara 2010, Jamila dan Sang Presiden}}
}}
*{{cite news
|title='Jamila dan Sang Presiden' ready for Oscar
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/31/%E2%80%98jamila-dan-sang-presiden%E2%80%99-ready-oscar.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=31 Oktober 2009
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b186bRv
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|The Jakarta Post 2009, 'Jamila dan Sang Presiden'}}
}}
*{{cite news
|last=Kwok
|first=Yenni
|title=This Indonesian Nazi Video Is One of the Worst Pieces of Political Campaigning Ever
|url=http://time.com/2920281/indonesia-ahmad-dhani-prabowo-subianto-nazi-fascist/
|work=Time
|language=en
|date=25 Juni 2014
|accessdate=26 Juni 2014
|ref={{SfnRef|Kwok 2014, This Indonesian Nazi Video}}
|archiveurl=https://www.webcitation.org/6QrkZ6yke
|archivedate=6 Juli 2014
}}
*{{cite news
|title=Candidates vow to campaign peacefully
|last=Maulia
|first=Erwida
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2009/06/10/candidates-vow-campaign-peacefully.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=10 Juni 2009
|accessdate=9 Agustus 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/69mKLqH5x
|archivedate=9 Agustus 2012
|ref={{SfnRef|Maulia 2009, Candidates vow}}
}}
*{{cite news
|last=Pasandaran
|first=Camelia
|title=Court Rules Out Independent Candidates for ’09
|url=http://www.thejakartaglobe.com/news/court-rules-out-independent-candidates-for-09/307874
|work=The Jakarta Globe
|language=en
|date=18 Februari 2009
|accessdate=9 Agustus 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/69mKexdSf
|archivedate=9 Agustus 2012
|ref={{SfnRef|Pasandaran 2009, Court Rules}}
}}
*{{cite news
|last=Permana
|first=Fidel Ali
|title=Jurnalis "Time" Khawatir Tulisannya soal Prabowo dan Ahmad Dhani Bahayakan Dirinya
|url=http://nasional.kompas.com/read/2014/06/25/2139460/Jurnalis.Time.Khawatir.Tulisannya.Soal.Prabowo.dan.Dhani.Bahayakan.Dirinya
|work=Kompas
|date=25 June 2014
|accessdate=26 Juni 2014
|archiveurl=https://www.webcitation.org/6QrkgYwc0
|archivedate=6 Juli 2014
|ref={{SfnRef|Permana 2014, Jurnalis "Time" Khawatir}}
}}
*{{cite news
|title=Putting Politics Center Stage
|url=http://www.thejakartaglobe.com/justAdded/putting-politics-center-stage/274048
|work=Jakarta Globe
|language=en
|date=24 April 2009
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66eKUngjd
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Jakarta Globe 2006, Putting Politics Center}}
}}
*{{cite news
|title=Ratna Sarumpaet, 56 tahun
|url=http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/04/24/PT/mbm.20060424.PT118967.id.html
|work=Tempo
|date=24 April 2006
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66eMzCFRz
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Tempo 2006, Ratna Sarumpaet, 56}}
}}
*{{cite news
|title=Ratna Sarumpaet back on stage with 'Alia'
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2000/05/12/ratna-sarumpaet-back-stage-with-039alia039.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=12 Mei 2000
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66e9JcHPg
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|The Jakarta Post 2000, Ratna Sarumpaet back}}
}}
*{{cite news
|title=Ratna wants to run for president
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2008/07/25/ratna-wants-run-president.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=25 Juli 2008
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66e8xNRFf
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|The Jakarta Post 2008, Ratna wants to run}}
}}
*{{cite web
|last=Sarumpaet
|first=Ratna
|title=Journey
|url=http://www.ratnasarumpaet.com/journey.php
|work=RatnaSarumpaet.com
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66eGMSbhe
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Sarumpaet, Journey}}
}}
*{{cite news
|title=Sarumpaet bags two prizes at Vesoul
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/08/sarumpaet-bags-two-prizes-vesoul.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=8 Februari 2010
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b0mq49q
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|The Jakarta Post 2010, Sarumpaet bags two}}
}}
*{{cite news
|last=Tunny
|first=M. Azis
|title='Maluku, Kobaran Cintaku’ depicts communal tragedy in prose
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/28/maluku-kobaran-cintaku%E2%80%99-depicts-communal-tragedy-prose.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=28 Desember 2010
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66e8aww4H
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|Tunny 2010, 'Maluku, Kobaran Cintaku’}}
}}
*{{cite news
|title='TVRI' to air Ratna Sarumpaet's 'Alia'
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2002/12/14/039tvri039-air-ratna-sarumpaet039s-039alia039.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=14 Desember 2002
|accessdate=3 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66e8s50Ec
|archivedate=3 April 2012
|ref={{SfnRef|The Jakarta Post 2002, 'TVRI' to air Ratna}}
}}
*{{cite encyclopedia
|last=Winet
|first=Evan Darwin
|year=2007
|title=Sarumpaet, Ratna (1949&nbsp;– )
|encyclopedia=The Columbia Encyclopedia of Modern Drama
|editor-last=Cody
|editor-first=Gabrielle
|publisher=Columbia University Press
|location=New York
|language=en
|volume=2
|isbn=978-0-231-14424-7|url=https://books.google.com/books?id=aQqOKWmjdQUC
|pages=1190–1191
|ref=harv
}}
*{{cite news
|last=Yazid
|first=Nauval
|title=A very irresistible 'Jamila'
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2009/05/03/a-very-irresistible-jamila039.html
|work=The Jakarta Post
|language=en
|date=3 Mei 2009
|accessdate=1 April 2012
|archiveurl=https://www.webcitation.org/66b0tPIsf
|archivedate=1 April 2012
|ref={{SfnRef|Yazid 2009, A very irresistible 'Jamila'}}
}}
{{refend}}


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==


* {{Resmi|http://xhamster.com}}
* {{Resmi|http://ratnasarumpaet.com/}}
* {{Kapanlagi|r|ratna_sarumpaet}}
* {{IMDb name|3447689}}
* {{Instagram|rsarumpaet}}
* {{Instagram|rsarumpaet}}
* {{Twitter|RatnaSpaet}}
* {{Twitter|RatnaSpaet}}

Revisi per 3 Oktober 2018 09.01

Ratna Sarumpaet
Lahir16 Juli 1948 (umur 75)
Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara
Kebangsaan Indonesia
AlmamaterUniversitas Kristen Indonesia
Pekerjaan
Karya terkenalJamila dan Sang Presiden
Suami/istri
Ahmad Fahmy Alhady
(m. 1972; c. Kesalahan ekspresi: Operator < tak terduga)
AnakMohamad Iqbal
Fathom Saulina
Ibrahim
Atiqah Hasiholan
Orang tuaSaladin Sarumpaet
Julia Hutabarat
Situs webratnasarumpaet.com

Ratna Sarumpaet (lahir 16 Juli 1948) adalah seniman berkebangsaan Indonesia yang banyak mengeluti dunia panggung teater, selain sebagai aktivis organisasi sosial dengan mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre. Ratna terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru.[1]

Sarumpaet, lahir dalam keluarga Kristen yang aktif secara politis di Sumatera Utara, awalnya belajar arsitektur di Jakarta. Setelah melihat drama W.S. Rendra pada tahun 1969, ia memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan grup drama tersebut. Lima tahun kemudian, setelah menikah dan masuk Islam, ia mendirikan Satu Merah Panggung; grup tersebut melakukan sebagian besar adaptasi drama asing. Ketika ia menjadi semakin khawatir tentang pernikahannya dan tidak senang dengan adegan teater lokal, dua tahun kemudian Sarumpaet meninggalkan grup dan mulai bekerja di televisi; ia baru kembali pada tahun 1989, setelah menceraikan suaminya.

Pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh, pada tahun 1993 menyebabkan Sarumpaet menjadi aktif secara politik. Dia menulis naskah pementasan orisinal pertamanya, Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah, pada tahun 1994 setelah terobsesi dengan kasus ini. Hal ini diikuti oleh beberapa karya politik lainnya, yang beberapa diantaranya dilarang atau dibatasi oleh pemerintah. Semakin kecewa dengan tindakan otokratik Orde Baru Soeharto, selama pemilihan umum 1997 Sarumpaet dan grupnya memimpin protes pro-demokrasi. Untuk salah satu di antaranya, pada Maret 1998, ia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari karena menyebarkan kebencian dan menghadiri pertemuan politik "anti-revolusioner".

Setelah dibebaskan, Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi; tindakan ini menyebabkan dia melarikan diri dari Indonesia setelah mendengar desas-desus bahwa dia akan ditangkap karena perbedaan pendapat. Ketika dia kembali ke Indonesia, Sarumpaet terus menulis stageplays yang bermuatan politik. Ia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003; dua tahun kemudian dia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis drama untuk meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara. Pekerjaan yang dihasilkan berfungsi sebagai fondasi untuk debut filmnya tahun 2009, Jamila dan Sang Presiden. Film ini dikirimkan ke ajang Academy Awards ke-82 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik namun gagal masuk nominasi. Tahun berikutnya, ia merilis novel pertamanya, Maluku, Kobaran Cintaku.

Latar belakang

Ratna Sarumpaet dibesarkan di keluarga Batak Kristen yang aktif dalam politik. Ratna merupakan anak ke lima dari sembilan bersaudara, dari pasangan Saladin Sarumpaet, Menteri Pertanian dan Perburuhan dalam kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Julia Hutabarat, seorang aktivis hak-hak wanita. Keduanya juga menonjol dalam komunitas Kristen.[2] Tiga saudaranya – Mutiara Sani, Riris Sarumpaet dan Sam Sarumpaet – adalah anggota komunitas seni Indonesia.[3] Saat remaja ia pindah ke Jakarta untuk belajar di sana,[4] menyelesaikan sekolah menengahnya di PSKD Menteng. Dalam biografinya, teman sekelasnya Chrisye ingat bahwa Sarumpaet sangat percaya diri; dia mencatat bahwa ia menikmati menulis puisi dan kemudian membacanya dengan suara keras sementara siswa lain terlibat dalam kegiatan lain.[5]

Pada 1969 ia belajar arsitektur di Universitas Kristen Indonesia. Pada saat inilah dia melihat penampilan Kasidah Berzanji oleh suatu kumpulan yang dipimpin oleh W.S. Rendra, yang meyakinkannya untuk keluar dari universitas tersebut dan bergabung dengan grup tersebut.[4][6] Pada tahun 1974 ia mendirikan Teater Satu Merah Panggung, yang melakukan adaptasi karya-karya asing seperti Rubaiyat Omar Khayyam serta Romeo and Juliet dan Hamlet karya William Shakespeare – yang terakhir, Sarumpaet memainkan peran tituler.[6]

Sarumpaet menjadi tertarik pada Islam di masa remajanya, namun baru menjadi seorang mualaf setelah menikah dengan seorang pengusaha berdarah Arab-Indonesia, Ahmad Fahmy Alhady. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai empat orang anak yaitu, Mohamad Iqbal (1972), Fathom Saulina (1973), Ibrahim (1979), dan Atiqah Hasiholan (1982).[7][4][2] Atiqah juga seorang aktris dan kemudian akan membintangi film ibunya Jamila.[8]

Pada tahun 1976, Sarumpaet, yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan teater dan memasuki industri film. Setelah perceraiannya, yang memakan waktu beberapa tahun dan membutuhkan rekam tulang rusuknya yang patah untuk memenuhi keperluan di pengadilan agama, ia kembali ke teater pada tahun 1989 dengan pertunjukan Othello karya Shakespeare.[4][6] Sarumpaet mulai bekerja sebagai sutradara pada tahun 1991, dengan serial televisi Rumah Untuk Mama, yang disiarkan di stasiun televisi milik pemerintah TVRI.[9] Di tahun yang sama, ia mengadaptasi Antigone, suatu tragedi oleh penulis Perancis Jean Anouilh, dalam latar Batak.[10]

Teater politik

Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan pemerintah. Dalam lima belas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan sembilan naskah drama, yang membuatnya dikenal dalam bidangnya. Seluruh naskah itu ditulis untuk memprotes adanya tindak ketidakadilan dalam pemerintahan yang cenderung menindas kaum kecil dan kelompok minoritas. Semua naskah diatas disutradarainya sendiri dan diproduksi / dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.[11]

Di era 90-an, Ratna dikenal karena terlibat sebagai aktivis dalam kasus Marsinah dan membela penderitaan rakyat Aceh yang terjebak dalam perang antara TNI dan GAM. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah antara dia dengan administrasi Orde Baru kala itu. Pada kampanye Pemilu 1997, menjelang jatuhnya administrasi Orde Baru, ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia sempat dikurung ketat oleh kepolisian di sepanjang jalan Warung Buncit, di mana Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI”. Karena hal ini Ratna dan kawan-kawannya sempat ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.[12]

Pada September 1997, Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan alasan bahwa DNA Marsinah dalam penyelidikan telah terkontaminasi. Setelah penutupan kasus ini, Ratna menulis monolog "Marsinah Menggugat" dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Monolog ini dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat pemerintahan kala itu. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh pasukan anti huru-hara. Dengan tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel.[13]

Aktivisme

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lelah menjadi objek intimidasi aparat, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan organisasi-organisasi pro-demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat. Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, "Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah". Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri "Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi".[14]

Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.

Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI. Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu. Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.

Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto". Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai dalang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Jose Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengkritik keras negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.

Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Asian Foundation of Human Rights. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama "Alia: Luka Serambi Mekah".

Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat. Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan. Pada masa Presiden Megawati, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh. Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana. Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain. Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001, mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi. Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya.

Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp, menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea, Tapanuli Utara. Ia tinggal disana memberi mereka kekuatan. Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan “Ratna bukan putera daerah”.

Ketika bencana tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.

Sampai hari ini, dibantu oleh enam orang pengacara, RSCC masih terus membantu kaum perempuan korban kekerasan, tenaga Migran korban sistem dan rakyat miskin secara keseluruhan.

Perdagangan anak dan pekerja seks

Tahun 2004, Ratna secara kebetulan mendengar kabar tentang buruknya perdagangan anak di Indonesia. Selama tahun 2005, dengan bantuan UNICEF Ratna melakukan penelitian tentang berita itu, mengunjungi enam provinsi di Indonesia untuk menguji dan mengetahui kebenaran berita itu dan mengetahui apa sebab di Indonesia perdagangan manusia sedemikian marak.[15]

Dari hasil penelitian itu, 2006 Ratna menulis naskah Drama "Pelacur dan Sang Presiden" dan dipentaskan di lima kota besar di Indonesia. Perhatian publik pada pementasan ini memberi Ratna kesadaran, untuk melawan jenis perdagangan ini ia harus melancarkan kampanye besar dan pementasan drama tidak cukup memadai sebagai media kampanye.

Tahun 2007, Ratna menyadur Pelacur & Sang Presiden ke dalam sebuah skenario film. 2008 – 2009 dia memperjuangkan skenarionya itu bisa diwujudkan dalam film layar lebar dan berhasil. Dia menyutradarai sendiri film tersebut dan diberi judul “Jamila dan Sang Presiden”.[16] Jamila dan Sang Presiden berhasil mendapat perhatian dunia di berbagai Festival. Bangkok International Film Festival, Hongkong International Film Festival, Asia Pacific Film Festival. Di Vesoul Asian International Film Festival, Jamila dan Sang Presiden memperoleh dua penghargaan, Youth Prize dan Public Prize. Di Asiatica Film Mediale Festival, Roma, "Jamila dan Sang Presiden" berhasil memperoleh NETPAC Award, dan pada 2010, film ini diterima oleh panitia Academy Awards ke-82 sebagai film yang mewakili Indonesia dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.[17][18]

Pluralisme dan toleransi

Setelah selama 2 tahun melakukan penelitian dan menulis, 10 Desember 2010 - di Tugu Perdamaian Ambon, bertepatan dengan hari HAM sedunia, Ratna meluncurkan novel "Maluku Kobaran Cintaku", sebuah novel fiksi dengan latar belakang kerusuhan antar agama yang pernah melanda Maluku tahun 1999 – 2004.

Penangkapan dugaan makar 2016

Pada pagi hari tanggal 2 Desember 2016, Sarumpaet ditangkap di sebuah hotel di Jakarta karena dicurigai menjadi bagian dari kelompok yang diduga merencanakan kudeta terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo.[19] Ia dilepaskan keesokan harinya.[20]

Profesi

  • Ketua DKJ (2003-2006)
  • Penulis Naskah Drama dan Sutradara Drama
  • Penulis Skenario Film & Sutradara Film
  • Editor Film, bekerja sama dengan MGM, Los Angeles (1985-1986)
  • Aktivis HAM
  • Anggota Kehormatan PEN International
  • Anggota / Pengurus International Women Playwright
  • Komite Juri/Pemilih Festival Film Piala Maya (bidang Penyutradaraan)

Filmografi

Drama

  • Rubayat Umar Khayam (1974) (Naskah & Sutradara)
  • Dara Muning (1993) (Naskah & Sutradara)
  • Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994) (Naskah & Sutradara)
  • Terpasung (1996) (Naskah & Sutradara)
  • Pesta Terakhir (1996) (Naskah & Sutradara)
  • Marsinah Menggugat (1997) (Naskah & Sutradara)
  • Alia: Luka Serambi Mekah (2000) (Naskah & Sutradara)
  • Anak-Anak Kegelapan (2003) (Naskah & Sutradara)
  • Pelacur dan Presiden (2006) (Naskah & Sutradara)

Film

  • Sebuah Percakapan - film pendek RCTI, 1985 (Skenario & Sutradara)
  • Lulu- Semi Dokumenter, 1989 (Skenario & Sutradara)
  • Balada Orang-Orang Tercinta - film televisi TVRI, 1990 (Skenario)
  • Rumah Untuk Mama - film televisi TVRI, 1991 (Skenario & Sutradara)
  • Jamila dan Sang Presiden - film layar lebar, 2009 (Skenario & Sutradara)

Penghargaan

  • Female Human Rights special Award dari The Asian Foundation For Human Rights di Tokyo, Jepang (1998)
  • Tsunami Award - (Ratna Sarumpaet Crisis Center) 2005, Aceh
  • NETPAC Award - Asiatica Film Mediale, Roma, Film Jamila dan Sang Presiden, 2009
  • Youth Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.
  • Public Prize - Vesoul International Film Festival, Prancis, Film Jamila dan Sang Presiden, 2010.

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ "Ratna Sarumpaet: Saya Bukan Pendukung Prabowo". Liputan6.com. 26 Juni 2014. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  2. ^ a b Sarumpaet, Journey.
  3. ^ Fitri 2002, Playwright Ratna still.
  4. ^ a b c d Winet 2007, hlm. 1190.
  5. ^ Endah 2007, hlm. 58.
  6. ^ a b c Hatley 1998, Ratna accused, and defiant.
  7. ^ Supriyanto (11 Juni 2016). "Ini Kata Atiqah Hasiholan Soal Ibunya, Ratna Sarumpaet yang Di-bully Netizen". Tabloid Bintang. Diakses tanggal 12 Juni 2016. 
  8. ^ The Jakarta Post 2010, Sarumpaet bags two.
  9. ^ Dursin and Alia 2007, Ratna Sarumpaet: The agony.
  10. ^ Jakarta Globe 2006, Putting Politics Center.
  11. ^ "Bully Jurnalis, Ratna Sarumpaet Akan Dilaporkan". Tempo.co. 26 Juni 2014. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  12. ^ "Ratna Sarumpaet: Aku dari Batak, Dibilang Batak, Apa Itu Rasis?". Kompas.com. 26 Juni 2014. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  13. ^ Al Hadi, Yayan (30 Juni 2015). "Ratna Sarumpaet, Perempuan Tanpa Rasa Takut". Rakyat Merdeka. Diakses tanggal 1 Juli 2015. 
  14. ^ "Ratna Sarumpaet: Jangan Namai Aksi MKRI Sebagai Kudeta". Tribunnews.com. 25 Maret 2013. Diakses tanggal 28 Juni 2014. 
  15. ^ Jakarta Globe 2009, A Portrait of Human.
  16. ^ Arianto 2009, Demi Jamila, Atiqah.
  17. ^ The Jakarta Post 2009, 'Jamila dan Sang Presiden'.
  18. ^ Antara 2010, Jamila dan Sang Presiden.
  19. ^ "8 Activists Arrested for Allegedly Plotting a Coup: Report". Tempo.co (dalam bahasa Inggris). 2 Desember 2016. Diakses tanggal 2 Desember 2016. 
  20. ^ "Jakarta releases 'treason' suspects" (dalam bahasa Inggris). Bangkok Post. THE ASSOCIATED PRESS. 3 Desember 2016. Diakses tanggal 7 Desember 2016. 
Bibliografi

Pranala luar