Sejarah pemikiran evolusi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 161: Baris 161:


== 1859–1930an: Darwin dan warisannya ==
== 1859–1930an: Darwin dan warisannya ==
Pada 1850an, apakah spesies berevolusi atau tidak adalah subyek debat intens, dengan para ilmuwan berpengaruh berpendapat pada kedua sisi atas masalah tersebut.<ref>{{harvnb|Larson|2004|p=50}}</ref> Publikasi ''On the Origin of Species'' karya Charles Darwin secara fundamental mentransformasikan diskusi atas asal muasal biologi.<ref>{{harvnb|Secord|2000|pp=515–518}}: "The centrality of ''Origin of Species'' in the rise of widespread evolutionary thinking has long been accepted by historians of science. However, some scholars have recently begun to challenge this idea. James A. Secord, in his study of the impact of ''Vestiges of the Natural History of Creation'', argues that in some ways ''Vestiges'' had as much or more impact than ''Origin'', at least into the 1880s. Focusing so much on Darwin and ''Origin'', he argues, "obliterates decades of labor by teachers, theologians, technicians, printers, editors, and other researchers, whose work has made evolutionary debates so significant during the past two centuries."</ref> Darwin berpendapat bahwa versi percabangan dari evolusi menjelaskan kekayaan fakta dalam biogreografi, anatomi, embriologi, dan bidang biologi lainnya. Ia juga menyediakan mekanisme kogen pertama dimana perubahan evolusi dapat terjadi: teori seleksi alam buatannya.<ref name="Larson79-111">{{harvnb|Larson|2004|pp=79–111}}</ref>

=== Aplikasi kepada manusia ===
=== Aplikasi kepada manusia ===

=== Alternatif dari seleksi alam ===
=== Alternatif dari seleksi alam ===
=== Mendelian genetik, biometrik, dan mutasi ===
=== Mendelian genetik, biometrik, dan mutasi ===

Revisi per 14 Agustus 2018 04.19

Bagian dari seri Biologi mengenai
Evolusi
Pengenalan
Mekanisme dan Proses

Adaptasi
Hanyutan genetika
Aliran gen
Mutasi
Seleksi alam
Spesiasi

Riset dan sejarah

Bukti
Sejarah evolusi kehidupan
Sejarah
Sintesis modern
Efek sosial
Teori dan fakta
Keberatan / Kontroversi

Bidang

Kladistika
Genetika ekologi
Perkembangan evolusioner
Evolusi manusia
Evolusi molekuler
Filogenetika
Genetika populasi

Portal Biologi ·
Pohon kehidupan, seperti yang digambarkan oleh Ernst Haeckel pada buku The Evolution of Man (1879). Gambar tersebut mengilustrasikan pandangan abad ke-19 mengenai evolusi, yakni proses progresif yang akan berujung pada manusia.

Pemikiran mengenai evolusi, yakni bahwa spesies berubah dari waktu ke waktu, telah berakar sejak zaman kuno. Pemikiran tersebut dapat terlihat pada ilmu pengetahuan peradaban Yunani, Romawi, Cina, dan Islam. Namun, sampai dengan abad ke-18, pandangan biologis Barat masih didominasi oleh pandangan esensialisme, yaitu pandangan bahwa bentuk-bentuk kehidupan tidak berubah. Hal ini mulai berubah ketika pengaruh kosmologi evolusioner dan filosofi mekanis menyebar dari ilmu fisik ke sejarah alam. Para naturalis mulai berfokus pada keanekaragaman spesies, dan munculnya ilmu paleontologi dengan konsep kepunahannya lebih jauh membantah pandangan bahwa alam bersifat statis. Pada awal abad ke-19, Jean-Baptiste Lamarck mengajukan teorinya mengenai transmutasi spesies. Teori ini merupakan teori evolusi pertama yang ilmiah.

Pada tahun 1858, Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace mempublikasikan sebuah teori evolusi yang baru. Dalam bukunya On the Origin of Species (1859), Darwin secara mendetail menjelaskan mekanisme evolusi. Berbeda dengan Lamarck, Darwin mengajukan konsep nenek moyang bersama dan percabangan pohon kehidupan yang didasari oleh seleksi alam.

Karya Darwin mengenai evolusi dengan segara diterima dengan cepat, namun mekanisme yang diajukannya (seleksi alam), belum diterima secara sepenuhnya sampai pada tahun 1940-an. Kebanyakan biologiawan berargumen bahwa faktor-faktor lainlah yang mendorong evolusi, misalnya pewarisan sifat-sifat yang didapatkan (neo-Lamarckisme), dorongan perubahan yang di bawa sejak lahir (ortogenesis), ataupun mutasi besar-besaran secara tiba-tiba (saltasi). Sintesis seleksi alam dengan genetika Mendel semasa 1920-an dan 1930-an memunculkan bidang disiplin ilmu genetika populasi. Semasa 1930-an dan 1940-an, populasi genetika berintegrasi dengan bidang-bidang ilmu biologi lainnya, memungkinkan penerapan teori evolusi dalam biologi secara luas.

Setelah munculnya biologi evolusioner, kajian terhadap mutasi dan variasi pada populasi alami, digabungkan dengan biogeografi dan sistematika, berhasil menghasilkan model evolusi yang canggih. Selain itu paleontologi dan perbandingan anatomi mengizinkan rekonstruksi sejarah kehidupan yang lebih mendetail. Setelah kebangkitan genetika molekuler pada tahun 1950-an, bidang evolusi molekuler yang berdasarkan pada kajian urutan protein, uji imunologis, RNA dan DNA berkembang. Pandangan evolusi yang berpusat pada gen muncul pada tahun 1960-an, diikuti oleh teori evolusi molekuler netral. Pada akhir abad ke-20, pengurutan DNA melahirkan filogenetika molekuler dan merombak pohon kehidupan ke dalam tiga sistem domain oleh Carl Woese. Selain itu, ditemukan pula faktor-faktor tambahan seperti simbiogenesis dan transfer gen horizontal, yang membuat sejarah evolusi menjadi lebih kompleks. Penemuan dalam biologi evolusioner membuat dampak signifikan tak hanya dalam cabang biologi tradisional, namun juga disiplin akademik lainnya (contohnya: antropologi dan psikologi) dan masyarakat secara garis besar.[1]

Zaman kuno

Yunani

Filsuf Yunani Anaximander dari Miletus berpendapat bahwa manusia bermula dari ikan.[2]

Proposal-proporsal bahwa satu jenis dari hewan, bahkan manusia, dapat diturunkan dari jenis hewan lainnya, diketahui bermula dari para filsuf Yunani pra-Sokratik pertama. Anaximander dari Miletus (s. 610 – 546 SM) memproporsalkan bahwa hewan-hewan pertama tinggal di air, pada fase basah dari masa lampau Bumi, dan bahwa para leluhur umat manusia pertama yang tinggal ke darat seharusnya lahir di air, dan hanya menjalani sebagian masa hidupnya di darat. Ia juga berpendapat bahwa manusia pertama dari bentuk yang diketahui saat ini seharusnya merupakan anak dari jenis hewan yang berbeda (mungkin ikan), karena manusia membutuhkan perawatan dini untuk hidup.[3][4][2] Pada akhir abad kesembilan belas, Anaximander disebut sebagai "Darwinis pertama", namun karakterisasi ini tak banyak disepakati.[5] Hipotesis Anaximander dapat dianggap "evolusi" dalam sebuah esensi, meski bukanlah Darwinian.[5]

Empedokles (s. 490 – 430 SM), berpendapat bahwa apa yang orang-orang sebut lahir-mati hewan bercampur aduk dan pemisahan unsur yang menyebabkan "suku-suku dari hal-hal hidup" yang tak terhitung.[6] Secara khusus, hewan dan tumbuhan pertama seperti bagian terputus dari yang terlihat saat ini, beberapa selamat dengan tergabung dalam kombinasi berbeda, dan kemudian berpadu saat pengembangan embrio,[a] dan dimana "setiap hal berubah jika dibutuhkan, terdapat makhluk-makhluk yang bertahan hidup, secara tak sengaja terkomponen dalam cara yang layak."[7] Para filsuf lainnya yang lebih berpengaruh pada masa itu, termasuk Plato (c. 428/427 – 348/347 SM), Aristoteles (384 – 322 SM), dan para anggota aliran filsafat Stoik, meyakini bahwa seluruh jenis hal, tak hanya makhluk hidup, ditentukan oleh rancangan ilahi.

Plato (kiri) dan Aristoteles (kanan), sebuah detail dari Sekolah Athena (1509–1511) karya Raphael

Plato disebut "lawan besar dari evolusionisme" oleh biologis Ernst Mayr,[8] karena ia mempromosikan kepercayaan esensialisme, yang juga disebut sebagai teori Forms. Teori ini menyatakan bahwa setiap jenis ibyek alam di dunia tang teramati adalah perwujudan sempurna dari gagasan tersebutm, bentuk atau "spesies" yang mendefinisikan jenis tersebut. Dalam karyanya Timaeus contohnya, Plato memiliki sebuah karakter yang mengisahkan sebuah cerita bahwa Demiurge membentuk kosmos dan setiap hal dalam hal tersebut karena, menjadi baik, dan sehingga, "... bebas dari persinggungan, ia ingin agar setiap hal harus menjadi seperti dirinya sendiri sesuai dengan yang mereka dapat lakukan." Pencipta membuat sebuah bentuk kehidupan layak, sehingga "... tanpa mereka, alam semesta akan menjadi tak lengkap, karena ini bukanlah terdiri dari segala jenis jewan yang saling mengisi, jika ini sempurna." "Prinsip plenitud" ini—gagasan bahwa seluruh bentuk kehidupan potensial bersifat esensial untuk penciptaan sempurna—sangat mempengaruhi pemikiran Kristen.[9] Namun, beberapa sejarawan sains mempertanyakan bagaimana sebagian besar esensialisme Plato mempengaruhi filsafat alam dengan menyatakan bahwa beberapa filsuf setelah Plato meyakini bahwa spesies dapat bertransformasi dan gagasan bahwa spesies biologi bersifat sempurna dan menghimpun karakteristik esensial yang tak berubah yang tak berpengaruh sampai permulaan taksonomi biologi pada abad ke-17 dan ke-18.[10]

Aristoteles, filsuf Yunani paling berpengaruh di Eropa, adalah murid Plato dan juga sejarawan alam terawal yang karyanya disajikan dalam penjelasan sebenarnya. Tulisan-tulisannya tentang biologi dihasilkan dari risetnya dalam sejarah alam di atas dan sekitaran pulau Lesbos, dan dicantumkan dalam bentuk empat buku, biasanya dikenal dengan nama Latinnya, De anima (Tentang Jiwa), Historia animalium (Sejarah Hewan), De generatione animalium (Generasi Para Hewan), dan De partibus animalium (Tentang Bagian-bagian Para Hewan). Karya-karya Aristoteles berisi pengamatan-pengamatan akurat, terdiri dari teorinya sendiri tentang mekanisme tubuh.[11] Namun, bagi Charles Singer, "Tak ada yang lebih dikenang ketimbang upaya [Aristoteles] untuk [memamerkan] hubungan makhluk hidup sebagai sebuah scala naturae."[11] scala naturae, yang dideskripsikan dalam Historia animalium, mengklasifikasikan organisme-organisme dalam hubungan dengan "Tangga Kehidupan" hierarkhikal namun statis atau "rantai keberadaan", menempatkan mereka berdasarkan pada kompleksitas struktur dan fungsi mereka, dengan organisme yang menunjukkan vitalitas dan kemampuan yang lebih besar untuk pergerakan yang disebut sebagai "organisme yang lebih tinggi".[9] Aristoteles meyakini bahwa fitur-fitur organisme kehidupan menampilkan jelas bahwa mereka memiliki apa yang ia sebut sebab akhir, yang menyatakan bahwa bentuk mereka menyesuaikan fungsi mereka.[12] Ia secara jelas menolak pandangan Empedokles bahwa para makhluk hidup bermula dari perubahan.[13]

Para filsuf Yunani lainnya, seperti Zeno dari Citium (334 – 262 SM) pendiri aliran filsafat Stoik, sepakat dengan Aristoteles dan para filsuf lain pada masa sebelumnya bahwa alam menunjukkan bukti jelas dari rancangan untuk sebuah keperluan; pandangan ini dikenal sebagai teleologi.[14] Filsuf Stoik Romawi Cicero (106 – 43 SM) menulis bahwa Zeno diketahui memegang pandangan terseut, terutama kepada fisika Stoik, bahwa alam utamanya "diarahkan dan dikonsentrasikan...untuk diamankan bagi dunia...struktur terbaik yang layak untuk pertahanan hidup."[15]

Epicurus (341 – 270 SM) mengantisipasi gagasan seleksi alam. Filsuf dan atomis Romawi Lukretius (s. 99 – 55 SM) menyebut gagasan tersebut dalam puisinya De rerum natura (Tentang Alam dari Segala Hal). Dalam sistem Epikurean, beberapa bentuk kehidupan dianggap timbul secara spontan dari Gaia pada masa almpau, namun hanya bentuk-bentuk paling paling fungsional yang bertahan dari penyaringan. Para penganut Epikurean tak memegang teori evolusi penuh seperti yang diketahui saat ini, namun nampaknya meyakini peristiwa abiogenetik terpisah untuk setiap spesies.

China

Para pemikir Tiongkok kuno seperti Zhuang Zhou (s. 369 – 286 SM), seorang filsuf Taois, mengekspresikan gagasan-gagasan tentang perubahan spesies biologis. Menurut Joseph Needham, Taoisme secara eksplisit menolak ketetapan spesies biologi dan para filsuf Taois berspekulasi bahwa spesies mengembangkan atribut berbeda dalam menanggapi lingkungan yang berbeda.[16] Taoisme menganggap manusia, alam dan surga hadir dalam keadaan "transformasi konstan" yang dikenal sebagai Tao, kontras dengan pandangan yang lebih statis dari jenis alam dari pemikiran Barat.[17]

Romawi

Puisi Lukretius De rerum natura menyediakan penjelasan terbaik yang masih ada dari gagasan-gagasan para filsuf Epikuria Yunani. Karya tersebut mendeskripsikan pengembangan kosmo, Bumi, makhluk hidup dan umat manusia melalui mekanisme naturalistik murni, tanpa rujukan apapun kepada keterlibatan supranatural. De rerum natura akan mempengaruhi spekulasi kosmologi dan evolusi dari para filsuf dan ilmuwan saat dan setelah Renaissance.[18][19] Pandangan ini sangat kontras dengan pandangan para filsuf Romawi dari aliran Stoik seperti Cicero, Seneca si Muda (s. 4 SM – 65 M), dan Pliny si Tua (23 – 79 M) yang memiliki pandangan yang sangat teleologi dari dunia alam yang mempengaruhi teologi Kristen.[14] Cicero melaporkan bahwa pandangan Stoik dan peripatetik dari alam sebagai sebuah agensi yang secara dasar sangat menyoroti kehidupan yang "sangat menyesuaikan untuk pertahanan hidup" dipegang di kalangan elit Hellenistik.[15]

Origenes dan Agustinus

Agustinus dari Hippo, ditampilkan dalam fresko Romawi abad keenam Masehi, menulis bahwa beberapa makhluk berkembang dari "dekomposisi" dari organisme yang ada sebelumnya.[20]

Sejalan dengan pemikiran Yunani sebelumnya, filsuf Kristen abad ketiga dan Bapa Gereja Origenes dari Aleksandria menyatakan bahwa kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian harus ditafsirkan sebagai sebagai sebuah alegori untuk kejatuhan jiwa manusia jauh dari kejayaan ilahi, dan bukannya sebagai catatan sejarah harfiah:[21][22]

Bagi siapapun yang memiliki pemahaman akan penciptaan hari pertama, dan kedua, dan ketiga, dan sore dan pagi, terjadi tanpa matahari, dan bukan, dan bintang-bintang? Dan hari pertama, seperti yang disebutkan, juga tanpa langit? Dan siapa yang bercanda akan penciptaan dari Allah, menjalankan tindakan pencipta, menanam sebuah firdaus di Efen, sampai ke timur, dan menempatkannya pohon kehidupan, yang terlihat dan mencolok, sehingga seseorang merasakan buah dengan gigi ragawi mempengaruhi kehidupan? Dan lagi, bahwa seseorang adalah pengambil bagian dari baik dan jahat dengan mengambil dampak apa yang diambil dari pohon tersebut? Dan jika Allah dikatakan berjalan di firdaus pada sore hari, dan Adam menyembunyikan dirinya sendiri di bawah pohon, Aku tak terkejut bahwa siapapun meragukan hal-hal tersebut secara figuratif mengindikasikan misteri-misteri tertentu, sejarah yang ditempatkan dalam penampilan, dan bukannya secara harfiah.

Pada abad keempat M, uskup dan teolog Agustinus dari Hippo mengikuti Origenes dengan berpendapat bahwa kisah penciptaan Kitab Kejadian tak harus dibaca terlalu harfiah. Dalam bukunya De Genesi ad litteram (Tentang Pengartian Harfiah Kitab Kejadian), ia menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, makhluk-makhluk baru dapat datang melalui "dekomposisi" dari bentuk kehidupan sebelumnya.[20] Bagi Agustinus, "kehidupan tumbuhan, unggas dan hewan tidaklah sempurna ... namun diciptakan dalam sebuah keadaan potensialitas," tak seperti apa yang ia anggap bentuk malaikat, firmamen dan jiwa manusia yang sempurna secara teologis.[23] Gagasan Agustinus 'bahwa bentuk-bentuk kehidupan telah bertransformasi "secara lambat sepanjang waktu"' menunjang Romo Giuseppe Tanzella-Nitti, Profesor Teologi di Universitas Kepausan Santa Croce di Roma, untuk mengklaim bahwa Agustinus telah mensugestikan bentuk evolusi.[24][25]

Henry Fairfield Osborn menulis dalam From the Greeks to Darwin (1894):

"Jika ortodoksi Agustinus masih merupakan ajaran Gereja, pendirian akhir Evolusi akan datang jauh lebih awal ketimbang yang dilakukan, mungkin pada abad kedelapan belas alih-alih kesembilan belas, dan kontroversi yang lebih pahit atas kebenaran dari alam ini tak akan pernah timbul. ...Singkatnya karena penciptaan langsung atau instan dari hewan dan tumbuhan nampak diajarkan dalam Kitab Kejadian, Agustinus membacanya dalam sorotan sebab primer dan pengembangan bertahap dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan Aristoteles. Guru paling berpengaruh ini menurunkan opini para pengikutnya yang sangat selaras dengan pandangan progresif dari para teolog masa sekarang yang menerima teori Evolusi."[26]

Dalam A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom (1896), Andrew Dickson White menulis tentang upaya Agustinus untuk menyajikan kesepakatan evolusioner kuno untuk penciptaan sebagai berikut:

"Untuk masa-masa sebuah doktrin yang banyak diterima bahwa air, bangkai dan kotoran meraih kekuatan dari Sang Pencipta untuk menciptakan ulat, serangga dan berbagai hewan kecil; dan doktrin ini telah secara khusus disambut oleh Santo Agustinus dan beberapa romo, semenjak hal tersebut mengisahkan penciptaan Yang Maha Kuasa, penamaan Adam, dan kehidupan Nuh di bahtera dengan spesies-spesies yang tak terhitung tersebut."[27]

Dalam De Genesi contra Manichæos karya Agustinus, tentang Kitab Kejadian ia berkata: "Menyatakan bahwa Allah membentuk manusia dari debu dengan tangan ragawi terlalu kekanak-kanakkan. ...Allah tak juga membentuk manusia dengan tangan ragawi maupun Ia menapaskannya dengan tenggorokan dan bibir." Agustinus menyatakan dalam karya lainnya tentang teori perkembangan berikutnya dari serangga-serangga, dan adopsi emanasi lama atau teori evolusi, menunjukkan bahwa "hewan-hewan tertentu yang sangat kecil tidaklah diciptakan pada hari kelima dan keenam, namun bermula dari materi terputrefikasi." Terkait De Trinitate (Tentang Trinitas) karya Agustinus, White menyatakan bahwa Agustinus "...mengembangkan pandangan bahwa dalam penciptaan makhluk hidup, terdapat suatu hal seperti pertumbuhan—bahwa Allah adalah pengarang mutlak, selain karya-karya melalui sebab-sebab sekunder; dan akhirnya menyatakan bahwa substansi-substansi tertentu didorong oleh Allah dengan kekuatan menghasilkan kelas dtumbuhan dan hewan tertentu."[28]

Abad Pertengahan

Filosofi Islam dan perjuangan eksistensi

Sebuah laman dari Kitāb al-Hayawān (Indonesia: Buku Hewan) karya al-Jāḥiẓ

Meskipun gagasan evolusi Yunani dan Romawi ditinggalkan di Eropa setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi, mereka tak ditinggalkan di kalangan filsuf dan ilmuwan Islam. Pada Zaman Keemasan Islam dari abad ke-18 sampai ke-13, para filsuf mengeksplor gagasan tentang sejarah alam. Gagasan tersebut meliputi transmutasi dari tak hidup menjadi hidup: "dari mineral menjadi tumbuhan, dari tumbuhan menjadi hewan, dan dari hewan menjadi manusia."[29]

Di dunia Islam pada abad pertengahan, cendekiawan al-Jāḥiẓ (776 – s. 868) menulis dalam Buku Hewan buatannya pada abad ke-9. Conway Zirkle, yang menulis tentang sejarah alam pada 1941, berkata bahwa seorang pakar dari karya tersebut adalah satu-satunya pasal relevan yang ia temukan dari seorang cendekiawan Arab. Ia menyediakan sebuah kutipan yang mendeskripsikan perjuangan untuk eksistensi, mengutip sebuah terjemahan Spanyol dari karya tersebut: "Setiap makhluk hidup mengalahkan makhluk yang lebih lemah ketimbang dirinya sendiri. Hewan-hewan kuat tak dapat melarikan diri dari hewan lain yang lebih kuat ketimbang mereka. Dan dalam menanggapinya, manusia tak berbeda dari hewan, beberapa respek dengan yang lainnya, meskipun mereka tak datang dengan keekstrimen yang sama. Singkatnya, Allah menyingkirkan beberapa manusia sebagai sebab kehidupan untuk yang lainnya, dan nampaknya, Ia menyingkirkan yang lainnya itu sebagai sebab kematian beberapa manusia tersebut."[30] Al-Jāḥiẓ juga menulis deskripsi rantai makanan.[31]

Menurut beberapa komentator, beberapa pemikiran Ibnu Khaldūn menyiratkan teori evolusi biologi.[32] Pada 1377, Ibnu Khaldūn menulis Muqaddimah dimana ia menyatakan bahwa manusia berkembang dari "dunia monyet," dalam proses dimana "spesies menjadi bertambah"[32] Dalam bab 1, ia menulis: "Dunia ini dengan seluruh hal yang diciptakan di dalamnya memiliki sebuah tatanan tertentu dan konstruksi solid. Ini menunjukkan pemakaian berkelanjutan antara sebab dan hal yang dihasilkan, kombinasi beberapa bagian ciptaan dengan lainnya, dan transformasi beberapa gal yang ada dengan yang lainnya, dalam sebuah susunan yang menonjol dan tiada akhir."[33]

Muqaddimah juga menyatakan dalam bab 6:

"Kami menjelaskan disini bahwa seluruh eksistensi di (seluruh) dunia komposit dan sederhananya diaransemenkan dalam tatanan alami dari aksen dan turunan, sehingga setiap hal mengkonstitusikan sebuah kontinum tak terinterupsi. Esensi-esensi di akhir setiap tahap tertentu dari dunia melalui alam disiapkan untuk bertransformasi menjadi esensi yang mendekati mereka, baik atau maupun bawah mereka. Ini adalah kasus dengan unsur-unsur material sederhana; ini adalah kasus dengan pelam dan anggur, (yang mengkonstitusikan) tahap akhir tumbuhan, dalam hubungan mereka dengan siput dan kerang, (yang mengkonstitusikan) tahap hewan (terendah). Ini juga merupakan kasus dengan monyet, makhluk-makhluk yang mengkombinasikan kepandaian dan persepsi diri mereka sendiri, dalam hubungan mereka dengan manusia, makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan berrefleksi. Ketersiapan (untuk transformasi) yang ada pada setiap pihak, di setiap tahap dunia, terjadi saat (kami berbicara tentang) koneksi mereka."[34]

Filsafat Kristen

Gambar rantai keberadaan dari Rhetorica Christiana (Indonesia: Retorika Kristen) (1579) karya Diego Valadés

Pada Abad Pertengahan Awal, pemahaman klasik Yunani semuanya hilang di Barat. Namun, kontak dengan dunia Islam, dimana manuskrip-manuskrip Yunani dihadirkan dan diperluas, kemudian berujung pada penyebaran masif terhadap terjemahan Latin pada abad ke-12. Bangsa Eropa diperkenalkan ulang pada karya-karya Plato dan Aristoteles, serta pemikiran Islam. Para pemikir Kristen dari aliran skolastik, terutama Peter Abelard (1079 – 1142) dan Thomas Aquinas (1225 – 1274), memadukan klasifikasi Aristotelian dengan gagasan Plato tentang kebaikan Allah, dan semua bentuk kehidupan potensial yang ada dalam penciptaan sempurna, untuk mengorganisir semua hal tak hidup, hidup dan spiritual menjadi sisten yang saling terhubung: scala naturae, atau rantai keberadaan.[9][35]

Dalam sistem ini, setiap hal yang ada dapat ditempatkan dalam tatanan, dari "terrendah" sampai "tertinggi", dengan neraka di bawah dan Allah di atas—di bawah Allah, sebuah hierarki malaikat ditandai oleh orbit planet, umat manusia di posisi perantara, dan hewan-hewan ditempatkan di bagian terrendah. Karena alam semesta sepenuhnya sempurna, rantai keberadaan juga sempurna. Tak ada rantai kosong dalam rantai tersebut, dan tak ada rantai yang diwakili oleh lebih dari satu spesies. Sehingga, tak ada spesies yang dapat dipindah dari satu posisi ke lainnya. Sehingga, versi Kristenisasi dari alam semesta sempurna Plato tersebut, spesies tak pernah berubah, namun menetap selamanya, sesuai dengan teks Kitab Kejadian. Karena umat manusia melupakan posisi mereka sebagai pendosa, entah mereka diperlakukan seperti hewan rendah atau memegang bagian yang lebih tinggi ketimbang yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta.[9]

Makhluk-makhluk pada tahap-tahap berdekatan memiliki ketonjolan satu sama lain, sebuah gagasan yang diekspresikan dalam perkataan : natura non facit saltum ("alam tak membuat lompatan").[9] Konsep dasar dari rantai keberadaan sangat mempengaruhi pemikiran peradaban Barat selama berabad-abad (dan masuk memiliki pengaruh pada saat ini). Ini membentuk sebuah bagian dari argumen dari rancangan yang dipersembahkan oleh teologi alam. Sebagai sistem klasifikasi, ini menjadi prinsip terorganisir besar dan fondasi yang timbul dari sains biologi pada abad ke-17 dan ke-18.[9]

Thomas Aquinas pada penciptaan dan proses alam

Meskipun para teolog Kristen menganggap bahwa dunia alam adalah bagian dari hierarki yang terancang dan tak berubah, beberapa teolog berspekulasi bahwa dunia berkembang melalui proses alam. Thomas Aquinas bahkan lebih awal ketimbang Agustinus dari Hippo dalam menyatakan bahwa teks-teks kitab suci seperti Kitab Kejadian tak harus ditafsirkan dalam cara harfiah yang bertentangan dengan atau berbenturan dengan apa yang para filsuf alam pelajari tentang kerja dari dunia alam. Ia menyatakan bahwa otonom alam adalah tanda kebaikan Allah, dan tak mendeteksi konflik antara alam ciptaan ilahi dan gagasan bahwa alam semesta berkembang sepanjang waktu melalui mekanisme alam.[36] Namun, Aquinas mempersengketakan pandangan dari orang-orang (seperti filsuf Yunani kuno Empedokles) yang menyatakan bahwa proses alam semacam itu menunjukkan bahwa alam semesta dapat berkembang tanpa keperluan yang menghimpunnya. Aquinas kemudian menyatakan bahwa: "Sehingga, ini jelas bahwa alam tak ada selain jenis seni tertentu, seperti seni ilahi, terimpresi pada hal-hal, dimana hal-hal tersebut bergerak menuju akhir yang ditentukan. Seperti pembangun kapal yang dapat memberikan kayu-kayu yang mereka akan olah sendiri untuk membuat sebuah kapal."[37]

Renaissance dan Abad Pencerahan

Pierre Belon membandingkan tengkorak manusia (kiri) dan unggas (kanan) dalam L'Histoire de la nature des oyseaux (Indonesia: Sejarah Alam Unggas) (1555)

Pada paruh pertama abad ke-17, filsafat mekanikal René Descartes mendorong pemakaian metafora alam semesta sebagai mesin, sebuah konsep yang akan mengkarakterisasikan revolusi saintifik.[38] Antara 1650 dan 1800, beberapa naturalis, seperti Benoît de Maillet, membuat teori-teori yang menyatakan bahwa alam semesta, Bumi dan kehidupan berkembang secara mekanis, tanpa campur tangan ilahi.[39] Sebaliknya, kebanyakan pakar teori evolusi kontemporer, seperti Gottfried Leibniz dan Johann Gottfried Herder, menganggap evolusi sebagai proses spiritual secara fundamental.[40] Pada 1751, Pierre Louis Maupertuis memajukan dasar yang lebih materialis. Ia menulis modifikasi alami yang terjadi pada reproduksi dan akumulasi atas beberapa generasi, memproduksi ras dan bahkan spesies baru, sebuah deskripsi yang mempelopori istilah umum dari konsep seleksi alam.[41]

Gagasan Maupertuis berada dalam penentangan terhadap pengaruh para pakar taksonomi awal seperti John Ray. Pada akhir abad ke-17, Ray memberikan definisi formal resmi dari spesies biologi, yang ia deskripsikan terkarakterisasi oleh tampilan-tampilan esensial dan tak berubah, dan menyatakan bahwa benih satu spesies tak dapat diberikan ke yang lainnya.[10] Gagasan Ray dan pakar taksonomi lain dari abad ke-17 dipengaruhi oleh teologi alam dan argumen dari rancangan tersebut.[42]

Kata evolusi (dari kata Latin evolutio, artinya "tak menggulung seperti gulungan") awalnya dipakai untuk merujuk kepada pengembangan embriologi; pemakaian pertamanya dalam hubungan dengan pengembangan spesies muncul pada 1762, saat Charles Bonnet memakainya untuk konsep "pra-formasi," dimana betina memegang bentuk miniatur dari seluruh generasi mendatang. Istilah tersebut secara bertahap berkembang ke pengartian yang lebih umum dari pertumbuhan atau pengembangan progresif.[43]

Kemudian pada abad ke-18, filsuf Perancis Georges-Louis Leclerc, Comte de Buffon, salah satu naturalis utama pada masa itu, berpendapat bahwa kebanyakan orang menyebut spesies benar-benar beragam, termodifikasi dari bentuk asli oleh faktor lingkungan. Contohnya, ia meyakini bahwa singa, harimau, elang dan kucing rumah semuanya memiliki leluhur umum. Ia kemudian menyatakan bahwa 200 spesies mamalia atau lebih kemudian diketahui diturunkan dari setidaknya 38 bentuk hewan asli. Gagasan evolusi Buffon terbatas; ia meyakini bahwa setiap bentuk asli berkembang melalui generasi spontan dan masing-masing terbentuk oleh "modul-modul internal" yang membatasi sejumlah perubahan. Karya-karya Buffon, Histoire naturelle (1749–1789) dan Époques de la nature (1778), yang berisi teori-teori yang dikembangkan tentang asal muasal yang sepenuhnya materialistik untuk Bumi dan gagasannya mempertanyakan ketetapan spesies, sangat berpengaruh.[44][45]

Filsuf Perancis lainnya, Denis Diderot, juga menulis bahwa makhluk hidup mula-mula berkembang melalui generasi spontan, yang bahwa selalu berubah melalui proses eksperimen konstan dimana bentuk-bentuk baru muncul dan bertahan atau tidak berdasarkan pada penyaringan atau kesalahan; sebuah gagasan yang dapat dianggap antisipasi partial dari seleksi alam.[46] Antara 1767 dan 1792, James Burnett, Lord Monboddo, mencantumkan tulisan tak hanya konsep bahwa manusia turun dari primata, namun juga bahwa, dalam menanggapi lingkungan, makhluk-makhluk menemukan metode-metode transformasi karakteristik mereka sepanjang masa interval.[47] Kakek Charles Darwin, Erasmus Darwin, menerbitkan Zoonomia (1794–1796) yang menyatakan bahwa "semua hewan berdarah hangat timbul dari filamen hidup."[48] Dalam syairnya Temple of Nature (1803), ia menjelaskan kebangkitan kehidupan dari organisme-organisme kecil yang tinggal di lumpur ke seluruh keragaman modernnya.[49]

Awal abad ke-19

Skala waktu geologi tahun 1861 buatan Richard Owen dari Palæontology, menampilkan penampilan jenis-jenis hewan besar[50]

Paleontologi dan geologi

Pada 1796, Georges Cuvier menerbitkan temuan-temuannya tentang perbedaan antara gajah hidup dan gajah yang ditemukan dalam catatan fosil. Analisisnya mengidentifikasikan mammoth dan mastodon sebagai spesies khas, berbeda dari hewan hidup manapun, dan secara efektif mengakhiri perdebatan jangka panjang tentang apakah spesies dapat menjadi punah.[51] Pada 1788, James Hutton menjelaskan proses geologi bertahap yang secara berkelanjutkan beroperasi sepanjang waktu dalam.[52] Pada 1790an, William Smith memulai proses pengurutan strata batu dengan menguji fosil-fosil dalam lapisan-lapisan saat ia mengerjakan peta geologi Inggris buatannya. Secara terpisah, pada 1811, Cuvier dan Alexandre Brongniart menerbitkan sebuah kajian berpengaruh dari sejarah geologi dari sebuah kawasan di sekitaran Paris, berdasarkan pada suksesi stratigrafi dari lapisan batu. Karya-karya tersebut membantu pendirian antikuitas Bumi.[53] Cuvier mengadvokasikan katastrofisme untuk menjelaskan susunan kepunahan dan suksesi fauna yang diraih dari catatan fosil.

Pengetahuan catatan fosil masih sangat maju pada beberapa dekade pertama pada abad ke-19. Pada 1840an, penjelasan dari skala waktu geologi menjadi jelas, dan pada 1841, John Phillips menamakan tiga era besar, berdasarkan pada faunan yang mendominasi dari masing-masing era: Paleozolikum, yang didominasi oleh invertebrata laut dan ikan, Mesozoikum, zaman reptil, dan Senozoikum, zaman mamalia. Gambaran progresif dari sejarah kehidupan tersebut diterima bahkan oleh para geolog Inggris konservatif seperti Adam Sedgwick dan William Buckland; namun, seperti Cuvier, mereka mengatributkan progresi tersebut dengan episode-episode katastrofik berulang dari kepunahan yang disusul oleh episode-episode penciptaan baru.[54] Tak seperti Cuvier, Buckland dan beberapa advokat teologi alam lainnya di kalangan geolog Inggris secara eksplisit menghubungkan episode katastrofik terakhir yang diproporsalkan oleh Cuvier dengan kisah air bah.[55][56]

Dari 1830 sampai 1833, geolog Charles Lyell menerbitkan karya multi-volume buatannya Principles of Geology, yang, dibangun atas gagasan-gagasan Hutton, mengadvokasikan alternatif uniformitarian dengan teori geologi katastrofik. Lyell mengklaim bahwa, alih-alih merupakan produk dari peristiwa kataklismik (dan mungkin supranatural), fitur-fitur geologi Bumi lebih baik dijelaskan sebagai pengamatan geologi bertahap pada masa sekarang—namun terjadi pada periode yang panjang. Meskipun Lyell menentang gagasan-gagasan evolusi (bahkan mempertanyakan konsensus bahwa catatan fosil mendemonstrasikan progresi yang sebenarnya), konsepnya bahwa bumi dibentuk oleh pengerjaan bertahap sepanjang periode tertentu, dan masa Bumi diasumsikan oleh teori-teorinya, akan sangat mempengaruhi para pemikir evolusi pada masa mendatang seperti Charles Darwin.[57]

Transmutasi spesies

Teori dua faktor Lamarck melibatkan plan-plan tubuh hewan yang bergerak secara terkompleksifikasi menuju tingkat yang lebih tinggi (orthogenesis) menciptakan pokok fila, dan sebuah unsur adaptatif yang menyebabkan para hewan dengan plan tubuh yang diberikan untuk beradaptasi pada suatu keadaan (terpakai dan tak terpakai, warisan karakteristik terakuisisi), menciptakan keragaman spesies dan genera.[58]

Dalam Philosophie Zoologique dari tahun 1809, Jean-Baptiste Lamarck memproporsalkan teori transmutasi spesies (transformisme). Lamarck tak percaya bahwa setiap makhluk hidup membentuk leluhur umum namun lebih kepada bentuk kehidupan sederhana yang tercipta secara berkelanjutan oleh generasi spontan. Ia juga percaya bahwa sebuah unsur kehidupan mendorong spesies untuk menjadi lebih kompleks sepanjang waktu, memajukan pokok linear dari kompeksitas yang berkaitan dengan rantai keberadaan. Lamarck mengakui bahwa spesies beradaptasi terhadap lingkungan mereka.Ia menjelaskannya dengan berkata bahwa unsur yang sama menggerakkan kompleksitas yang menyebabkan organ-organ hewan (atau tumbuhan) untuk berubah berdasarkan pada pemakaian atau ketidakpemakaian dari organ-organ tersebut, seperti yang dialami oleh otot-otot. Ia berpendapat bahwa perubahan tersebut akan diwarisi oleh generasi berikutnya dan memproduksi adaptasi lambat terhadap lingkungan. Ini adalah mekanisme sekunder dari adaptasi melalui pewarisan karakteristik terakuisisi yang akan menjadi dikenal sebagai Lamarckisme dan akan mempengaruhi diskusi evolusi pada abad ke-20.[59][60]

Sebuah aliran anatomi komparatif Inggris radikal yang meliputi anatomis Robert Edmond Grant sangat menyentuh dengan aliran Perancis Lamarck dari Transformasionisme. Salah satu ilmuwan Perancis yang mempengaruhi Grant adalah anatomis Étienne Geoffroy Saint-Hilaire, yang gagasannya tentang kesatuan berbagai plan tubuh hewan dan homologi dari struktur anatomi tertentu akan sangat berpengaruh dan berujung pada debat intens dengan koleganya Georges Cuvier. Grant menjadi otoritas tentang anatomi dan reproduksi invertebrata laut. Ia mengembangkan gagasan transmutasi dan evolusionisme Lamarck dan Erasmus Darwin, dan menyelidiki homologi, bahkan memproporsalkan bahwa tumbuhan dan hewan memiliki titik awal evolusi umum. Pada masa muda, Charles Darwin ikut Grant dalam penyelidikan lingkar kehidupan hewan laut. Pada 1826, sebuah makalah anonim, yang mungkin ditulis oleh Robert Jameson, memuji Lamarck karena menjelaskan cara hewan-hewan yang lebih tinggi telah "berevolusi" dari ulat-ulat tersederhana; ini adalah pemakaian pertama dari kata "evolusi" dalam esensi modern.[61][62]

Vestiges of the Natural History of Creation (1844) karya Robert Chambers menunjukkan ikan (F), reptil (R), dan burung (B) bercabang dari sebuah wadah yang berujung ke mamalia (M).

Pada 1844, penerbit Skotlandia Robert Chambers secara anonim meneribitkan sebuah buku yang banyak dibaca namun sampai kontroversial berjudul Vestiges of the Natural History of Creation. Buku tersebut memproporsalkan skenario evolusi untuk asal muasal Tata Surya dan kehidupan di Bumi. Karya tersebut mengklaim bahwa catatan fosil menunjukkan sebuah aksen progresif dari para hewan, dengan hewan-hewan terkini bercabang dari sebuah garis utama yang secara progresif berujung pada manusia. Ini mengimplikasikan bahwa transmutasi berujung ke terjadinya rencana yang sebelumnya tertata yang merajut hukum yang mengatur alam semesta. Dalam esensi tersebut , ini secara keseluruhan kurang materialistik ketimbang gagasan-gagasan radikal seperti Grant, namun implikasinya pada manusia hanya merupakan langkah akhir dalam aksen kehidupan hewan yang dipegang beberapa pemikir konservatif. Profil tinggi dari perdebatan publik atas Vestiges, dengan penggambarannya dari evolusi sebagai proses progresif, akan sangat mempengaruhi sudut pandang teori Darwin pada satu dekade berikutnya.[63][64]

Gagasan-gagasan tentang transmutasi spesies berasosiasi dengan materialisme radikal dari Abad Pencerahan dan diserang oleh para pemikir yang lebih konservatif. Cuvier menyerang gagasan-gagasan Lamarck dan Geoffroy, sepakat dengan Aristoteles bahwa spesies bersifat tetap. Cuvier meyakini bahwa bagian-bagian individual dari seekor hewan sangat terkorelasi satu sama lain untuk membolehkan satu bagian dari anatomi untuk berubah dari isolasi dari hewan lainnya, dan berpendapat bahwa catatan fosil menunjukkan susunan kepunahan katastrofik yang disusul oleh repopulasi, ketimbang perubahan bertahap sepanjang waktu. Ia juga menyatakan bahwa hewan-hewan dan mumi-mumi hewan dari Mesir, yang berusia ribuan tahun, tak menunjukkan tanda perubahan saat dibandingkan dengan hewan-hewan modern. Kekuatan argumen Cuvier dan reputasi saintifiknya membantu mempertahankan gagasan transmutasional keluar dari arus utama sepanjang berdekade-dekade.[65]

Diagram tahun 1848 karya Richard Owen menunjukkan arketipe konseptualnya untuk seluruh vertebrata.[66]

Di Britania Raya, filsafat teologi alam masih berpengaruh. Buku tahun 1802 karya William Paley Natural Theology dengan analogi pembuat arloji terkenalnya ditulis setidaknya sebagian sebagai tanggapan terhadap gagasan transmutasional Erasmus Darwin.[67] Para geolog yang terpengaruh oleh teologi alam, seperti Buckland dan Sedgwick, membuat praktik reguler menyerang gagasan-gagasan evolusi Lamarck, Grant, dan Vestiges.[68][69] Meskipun Charles Lyell menentang geologi skriptural, ia juga meyakini dalam imutabilitas spesies, dan dalam Principles of Geology karyanya, ia mengkritik teori-teori pengembangan Lamarck.[57] Para idealis seperti Louis Agassiz dan Richard Owen meyakini bahwa setiap spesies bersifat tetap dan tak berubah karena ini mewakili sebuah gagasan dalam pikiran Sang Pencipta. Mereka meyakini bahwa hubungan antar spesies dapat terbentang dari susunan pengembangan dalam embriologi, serta dalam catatan fosil, namun bahwa hubungan tersebut mewakili susunan yang bernaung dari pemikiran ilahi, dengan penciptaan progresif berujung pada peningkatan kompleksitas dan berpuncak pada umat manusia. Owen mengembangkan gagasan "arketipe" dalam pikiran Ilahi yang akan menghasilkan sebuah sekuensi spesies yang berkaitan dengan homologi anatomi, seperti lengan-lengan vertebrata. Owen memimpin kampanye publik yang sukses memarginalisasi Grant dalam komunitas saintifik. Darwin akan membuat pemakaian yang baik dari homologi yang dianalisis oleh Owen dalam teorinya sendiri, namun perlakuan keras dari Grant, dan kontroversi terhadap Vestiges, menunjukkannya kebutuhan untuk membulatkan bahwa gagasan0gagasannya sendiri terdengar saintifik.[62][70][71]

Antisipasi seleksi alam

Hal ini diyakini dilirik sepanjang sejarah biologi dari Yunani kuno dan menemukan antisipasi dari seluruh gagasan penting Charles Darwin. Contohnya, Loren Eiseley menemukan pasal-pasal terisolasi yang ditulis oleh Buffon yang mengsugestikan bahwa ia nyaris membaca sepotong teori seleksi alam, namun menyatakan bahwa antisipasi semacam itu tak haris diambil dalam konteks penulis dari tulisan atau nilai budaya pada masa itu yang membuat gagasan evolusi Darwinian tak terpikirkan.[72]

Saat Darwin mengembangkan teorinya, ia menyelidiki pembuahan selektif dan tertarik oleh pengamatan Sebright bahwa "Sebuah musim dingin yang parah, atau kelangkaan pangan, dengan menghancurkan kesadaran dan ketidaksehatan, memiliki sebuah efek baik dari sebagian besar seleksi terampi;" sehingga "kesadaran dan ketidaksehatan tak dapat hidup untuk mempropagasikan infirmitas mereka."[73] Darwin dipengaruhi oleh gagasan Charles Lyell tentang perubahan lingkungan yang menyebabkan peralihan ekologi, yang berujung pada apa yang Augustin de Candolle sebut sebagai perang antara spesies tumbuhan yang bersaing, persaingan yang juga dideskripsikan oleh botanis William Herbert. Darwin memakai frase "perjuangan untuk eksistensi" dari Thomas Robert Malthus yang dipakai suku-suku manusia yang berperang.[74][75]

Beberapa penulis mengantisipasi aspek-aspek evolusi dari teori Darwin, dan dalam edisi ketiga dari On the Origin of Species yang terbit pada tahun 1861, Darwin menyebut orang-orang yang ia kenal dalam apendiks introduktori, An Historical Sketch of the Recent Progress of Opinion on the Origin of Species, yang ia jelaskan pada edisi-edisi berikutnya.[76]

Pada 1813, William Charles Wells membacakan esai-esai Royal Society yang berasumsi bahwa terdapat evolusi manusia, dan mengakui prinsip seleksi alam. Darwin dan Alfred Russel Wallace tak menyadari karya tersebut saat mereka sama-sama menerbitkan teori tersebut pada 1858, namun Darwin kemudian menyadari bahwa Wells mengakui prinsip tersebut sebelum mereka, menulis bahwa makalah "An Account of a White Female, part of whose Skin resembles that of a Negro" diterbitkan pada 1818, dan "ia sendiri mengakui prinsip seleksi alam, dan ini adalah pengakuan pertama yang telah terindikasi; namun ia hanya menerapkannya pada ras-ras manusia, dan karakter-karakter tertentu itu sendiri."[77]

Patrick Matthew menulis dalam bukunya On Naval Timber and Arboriculture (1831) bahwa "keseimbangan berkelanjutan dari kehidupan menuju puncak. ... Pronegi dari orangtua yang sama, di bawah perbedaan besar dari puncak, mungkin, dalam beberapa generasi, bahkan menjadi spesies berbeda, tak didapatkan dari ko-reproduksi."[78] Darwin mengimpilasikan bahwa ia menemukan karya tersebut setelah publikasi awal dari Origin. Dalam sketsa sejarah singkat yang Darwin cantumkan dalam edisi ke-3, ia berkata "Sayangnya, pandangan yang diberikan oleh Tuan Matthew sangat singkat dalam pasal-pasal terpencar dalam sebuah Apendiks pada sebuah karya tentang subyek berbeda ... namun, ia secara jelas menyatakan unsur penuh dari prinsip seleksi alam."[79]

Namun, seperti yang sejarawan sains Peter J. Bowler katakan, "Melalui kombikasi teorisasi yang ditebalkan dan evaluasi komprehensif, Darwin memajukan konsep evolusi yang unik pada waktu itu." Bowler menyatakan bahwa prioritas sederhana sendiri tak mendorong penempatan dalam sejarah sains; beberapa orang mengembangkan sebuah gagasan dan mendorong orang lain dari bidangnya untuk memiliki dampak nyata.[80] Thomas Henry Huxley berkata dalam esainya yang menanggapi On the Origin of Species:

"Sugesti bahwa spesies baru dihasilkan dari tindakan selektif dari kondisi eksternal atas variasi dari tipe spesifik mereka yang individual saat ini—dan yang mereka sebut "spontan," karena mereka menghiraukan sebab mereka—sepenuhnya tak diketahui sejarawan gagasan saintifik seperti halnya para spesialis biologi sebelum 1858. Namun, sugesti tersebut adalah gagasan utama dari 'Origin of Species,' dan terdiri dari kuintesensi Darwinisme."[81]

Sketsa pertama buatan Charles Darwin dari pohon evolusi dari buku catatan "B"-nya tentang transmutasi spesies (1837–1838)

Seleksi alam

Susunan biogeografi yang Charles Darwin amati di tempat-tempat seperti Kepulauan Galápagos pada pelayaran kedua HMS Beagle membuatnya meragukan ketetapan spesies, dan pada 1837, Darwin memulai karya pertama dari serangkaian buku catatan rahasia tentang transmutasi. Pengamatan-pengamatan Darwin membuatnya memandang transmutasi sebagai proses peragaman dan percabangan, ketimbang progresi mirip pokok yang dipandang oleh Jean-Baptiste Lamarck dan lainnya. Pada 1838, ia membaca edisi ke-6 baru dari An Essay on the Principle of Population, yang ditulis pada akhir abad ke-18 oleh Thomas Robert Malthus. Gagasan Malthus tentang pertumbuhan populasi yang berujung pada perjuangan untuk bertahan hidup berpadu dengan pengetahuan Darwin tentang cara pembuahan memilih sifat, yang berujung pada pembentukan teori seleksi alam Darwin. Darwin tak menerbitkan gagasannya tentang evolusi selama 20 tahun. Namun, ia membaginya dengan beberapa naturalis lain dan teman-temannya, mula-mula dengan Joseph Dalton Hooker, dimana ia mendiskusikan esay tahun 1844 buatannya yang tak diterbitkan tentang seleksi alam. Pada periode tersebut, ia memakai waktu agar ia dapat mengerjakan karya saintifik lainnya untuk menyempurnakan gagasannya secara perlahan dan bukti untuk mendukungnya, menyadari akan kontroversi intens terhadap transmutasi. Pada September 1854, ia memulai kerja waktu penuh dalam menulis bukunya tentang seleksi alam.[71][82][83]

Tak seperti Darwin, Alfred Russel Wallace, yang dipengaruhi oleh buku Vestiges of the Natural History of Creation, menduga bahwa transmutasi spesies terjadi saat ia memulai karirnya sebagai naturalis. Pada 1855, pengamatan biogeografinya saat kerja lapangan di Amerika Selatan dan Kepulauan Melayu membuatnya percaya akan susunan bercabang dari evolusi dengan menerbitkan makalah yang menyatakan bahwa setiap spesies bermula dari kedekatan menjadi spesies yang ada dan saling bersekutu. Seperti Darwin, ini adalah pernyataan Wallace tentang bagaimana gagasan Malthus diterapkan kepada populasi hewan yang membuatnya memberikan pernyataan yang sangat menyamai pernyataan yang dibuat oleh Darwin tentang peran seleksi alam. Pada Februari 1858, Wallace, tanpa menyadari gagasan yang belum diterbitkan dari Darwin, mengkompoasisikan pemikirannya ke sebuah esai dan menyuratinya kepada Darwin, menanyai soal tanggapannya. Hasilnya adalah publikasi bersama sebuah penyarian dari esai tahun 1844 karya Darwin bersama dengan surat Wallace pada bulan Juli. Darwin juga mulai mengerjakan penjelasan pendek tentang teorinya, yang ia akan terbitkan pada 1859 dengan judul On the Origin of Species.[84]

Diagram Othniel Charles Marsh dari evolusi kaki dan gigi kuda yang direproduksi dalam Prof. Huxley in America (1876) karya Thomas Henry Huxley[85]

1859–1930an: Darwin dan warisannya

Pada 1850an, apakah spesies berevolusi atau tidak adalah subyek debat intens, dengan para ilmuwan berpengaruh berpendapat pada kedua sisi atas masalah tersebut.[86] Publikasi On the Origin of Species karya Charles Darwin secara fundamental mentransformasikan diskusi atas asal muasal biologi.[87] Darwin berpendapat bahwa versi percabangan dari evolusi menjelaskan kekayaan fakta dalam biogreografi, anatomi, embriologi, dan bidang biologi lainnya. Ia juga menyediakan mekanisme kogen pertama dimana perubahan evolusi dapat terjadi: teori seleksi alam buatannya.[88]

Aplikasi kepada manusia

Alternatif dari seleksi alam

Mendelian genetik, biometrik, dan mutasi

1920an–1940an

Populasi genetik

Sistesis evolusi modern

1940s–1960an: Biologi molekular dan evolusi

Akhir abad ke-20

Teori gen egois

Sosiobiologi

Proses dan jalan evolusi

Mikrobiologi, transfer gen horisontal, dan endosimbiosis

Biologi pengembangan evolusi

Abad ke-21

Makroevolusi dan mikroevolusi

Warisan epigenetik

Teori evolusi tak konvensional

Poin Omega

Hipotesis Gaia

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Futuyma, Douglas J., ed. (1999). "Evolution, Science, and Society: Evolutionary Biology and the National Research Agenda" (PDF) (Executive summary). New Brunswick, NJ: Office of University Publications, Rutgers, The State University of New Jersey. OCLC 43422991. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-31. Diakses tanggal 2014-10-24.  dan Futuyma, Douglas J.; Meagher, Thomas R., ed. (2001). "Evolution, Science and Society: Evolutionary Biology and the National Research Agenda". California Journal of Science Education. 1 (2): 19–32. Diakses tanggal 2014-10-24. 
  2. ^ a b Krebs, Robert E. (2004). Groundbreaking Scientific Experiments, Inventions, and Discoveries of the Middle Ages and the Renaissance. Westport, Connecticut and London, England: Greenwood Press. hlm. 81. ISBN 0-313-32433-6. 
  3. ^ Kirk, Raven & Schofield (1983)
  4. ^ Harris, C. Leon (1981). Evolution: Genesis and Revelations: With Readings from Empedocles to Wilson. Albany, New York: State University of New York Press. hlm. 31. ISBN 0-87395-487-4. 
  5. ^ a b Gregory, Andrew (2017). Anaximander: A Re-assessment. New York City, New York and London, England: Bloomsbury Academic. hlm. 34–35. ISBN 978-1-4725-0892-8. 
  6. ^ Kirk, Raven & Schofield (1983)
  7. ^ Kirk, Raven & Schofield (1983)
  8. ^ Mayr 1982, hlm. 304
  9. ^ a b c d e f Johnston 1999, "Section Three: The Origins of Evolutionary Theory"
  10. ^ a b Wilkins, John (July–August 2006). "Species, Kinds, and Evolution". Reports of the National Center for Science Education. 26 (4): 36–45. Diakses tanggal 2011-09-23. 
  11. ^ a b Singer 1931[halaman dibutuhkan]
  12. ^ Boylan, Michael (September 26, 2005). "Aristotle: Biology". Internet Encyclopedia of Philosophy. Martin, TN: University of Tennessee at Martin. OCLC 37741658. Diakses tanggal 2011-09-25. 
  13. ^ Aristotle. Physics. Translated by R. P. Hardie and R. K. Gaye. The Internet Classics Archive. Book II. OCLC 54350394. Diakses tanggal 2008-07-15. 
  14. ^ a b Bowler 2000, hlm. 44–46
  15. ^ a b Cicero. De Natura Deorum. Digital Loeb Classical Library. LCL268. Cambridge, MA: Harvard University Press. hlm. 179 (2.22). OCLC 890330258. 
  16. ^ Ronan 1995, hlm. 101
  17. ^ Miller, James. "Daoism and Nature" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-12-16. Diakses tanggal 2014-10-26.  "Notes for a lecture delivered to the Royal Asiatic Society, Shanghai on January 8, 2008"
  18. ^ Sedley, David (August 10, 2013). "Lucretius". Dalam Zalta, Edward N. Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Fall 2013). Stanford, CA: Stanford University. Diakses tanggal 2014-10-26. 
  19. ^ Simpson, David (2006). "Lucretius". Internet Encyclopedia of Philosophy. Martin, TN: University of Tennessee at Martin. OCLC 37741658. Diakses tanggal 2014-10-26. 
  20. ^ a b St. Augustine 1982, hlm. 89–90
  21. ^ Layton, Richard A. (2004), Didymus the Blind and His Circle in Late-antique Alexandria: Virtue and Narrative in Biblical Scholarship, Urbana and Chicago, Illinois: University of Illinois Press, hlm. 86–87, ISBN 0-252-02881-3 
  22. ^ Greggs, Tom (2009), Barth, Origen, and Universal Salvation: Restoring Particularity, Oxford, England: Oxford University Press, hlm. 55–56, ISBN 978-0-19-956048-6 
  23. ^ Gill 2005, hlm. 251
  24. ^ Owen, Richard (February 11, 2009). "Vatican buries the hatchet with Charles Darwin". Times Online. London: News UK. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-16. Diakses tanggal 2009-02-12. 
  25. ^ Irvine, Chris (February 11, 2009). "The Vatican claims Darwin's theory of evolution is compatible with Christianity". The Daily Telegraph. London: Telegraph Media Group. Diakses tanggal 2014-10-26. 
  26. ^ Osborn 1905, hlm. 7, 69–70
  27. ^ White 1922, hlm. 42
  28. ^ White 1922, hlm. 53
  29. ^ Waggoner, Ben. "Medieval and Renaissance Concepts of Evolution and Paleontology". University of California Museum of Paleontology. Diakses tanggal 2010-03-11. 
  30. ^ Zirkle, Conway (April 25, 1941). "Natural Selection before the 'Origin of Species'". Proceedings of the American Philosophical Society. 84 (1): 71–123. JSTOR 984852. 
  31. ^ Egerton, Frank N. (April 2002). "A History of the Ecological Sciences, Part 6: Arabic Language Science—Origins and Zoological Writings" (PDF). Bulletin of the Ecological Society of America. 83 (2): 142–146. Diakses tanggal 2014-10-28. 
  32. ^ a b Kiros 2001, hlm. 55
  33. ^ Ibn Khaldūn 1967, Chapter 1: "Sixth Prefatory Discussion"
  34. ^ Ibn Khaldūn 1967, Chapter 6, Part 5: "The sciences (knowledge) of the prophets"
  35. ^ Lovejoy 1936, hlm. 67–80
  36. ^ Carroll, William E. (2000). "Creation, Evolution, and Thomas Aquinas". Revue des Questions Scientifiques. 171 (4). Diakses tanggal 2014-10-28. 
  37. ^ Aquinas 1963, Book II, Lecture 14
  38. ^ Bowler 2003, hlm. 33–38
  39. ^ Bowler 2003, hlm. 72
  40. ^ Schelling 1978
  41. ^ Bowler 2003, hlm. 73–75
  42. ^ Bowler 2003, hlm. 41–42
  43. ^ Pallen 2009, hlm. 66
  44. ^ Bowler 2003, hlm. 75–80
  45. ^ Larson 2004, hlm. 14–15
  46. ^ Bowler 2003, hlm. 82–83
  47. ^ Henderson 2000
  48. ^ Darwin 1794–1796, Vol I, section XXXIX
  49. ^ Darwin 1803, Canto I (lines 295–302)
  50. ^ Owen 1861, hlm. 5, Fig. 1: "Table of Strata"
  51. ^ Larson 2004, hlm. 7
  52. ^ Mathez 2001, "Profile: James Hutton: The Founder of Modern Geology": "...we find no vestige of a beginning, no prospect of an end."
  53. ^ Bowler 2003, hlm. 113
  54. ^ Larson 2004, hlm. 29–38
  55. ^ Bowler 2003, hlm. 115–116
  56. ^ "Darwin and design". Darwin Correspondence Project. Cambridge, UK: University of Cambridge. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-21. Diakses tanggal 2014-10-28. 
  57. ^ a b Bowler 2003, hlm. 129–134
  58. ^ Gould, Stephen (2001). The lying stones of Marrakech : penultimate reflections in natural history. Vintage. hlm. 119–121. ISBN 978-0-09-928583-0. 
  59. ^ Bowler 2003, hlm. 86–94
  60. ^ Larson 2004, hlm. 38–41
  61. ^ Desmond & Moore 1991, hlm. 40
  62. ^ a b Bowler 2003, hlm. 120–129
  63. ^ Bowler 2003, hlm. 134–138
  64. ^ Bowler & Morus 2005, hlm. 142–143
  65. ^ Larson 2004, hlm. 5–24
  66. ^ Russell 1916, hlm. 105, Fig. 6: "The Archetype of the Vertebrate Skeleton. (After Owen.)"
  67. ^ Bowler 2003, hlm. 103–104
  68. ^ Larson 2004, hlm. 37–38
  69. ^ Bowler 2003, hlm. 138
  70. ^ Larson 2004, hlm. 42–46
  71. ^ a b van Wyhe, John (May 2007). "Mind the gap: Did Darwin avoid publishing his theory for many years?". Notes and Records of the Royal Society. 61 (2): 177–205. doi:10.1098/rsnr.2006.0171. Diakses tanggal 2009-11-17. 
  72. ^ Bowler 2003, hlm. 19–21, 40
  73. ^ Desmond & Moore 1991, hlm. 247–248
  74. ^ Bowler 2003, hlm. 151
  75. ^ Darwin 1859, hlm. 62
  76. ^ Darwin 1861, hlm. xiii
  77. ^ Darwin 1866, hlm. xiv
  78. ^ Matthew, Patrick (April 7, 1860). "Nature's law of selection". The Gardeners' Chronicle and Agricultural Gazette: 312–313. Diakses tanggal 2007-11-01. 
  79. ^ Darwin 1861, hlm. xiv
  80. ^ Bowler 2003, hlm. 158
  81. ^ Huxley, Thomas Henry. "On the Reception of the 'Origin of Species'". Project Gutenberg. Diakses tanggal 2014-10-29. 
  82. ^ Bowler & Morus 2005, hlm. 129–149
  83. ^ Larson 2004, hlm. 55–71
  84. ^ Bowler 2003, hlm. 173–176
  85. ^ Huxley 1876, hlm. 32
  86. ^ Larson 2004, hlm. 50
  87. ^ Secord 2000, hlm. 515–518: "The centrality of Origin of Species in the rise of widespread evolutionary thinking has long been accepted by historians of science. However, some scholars have recently begun to challenge this idea. James A. Secord, in his study of the impact of Vestiges of the Natural History of Creation, argues that in some ways Vestiges had as much or more impact than Origin, at least into the 1880s. Focusing so much on Darwin and Origin, he argues, "obliterates decades of labor by teachers, theologians, technicians, printers, editors, and other researchers, whose work has made evolutionary debates so significant during the past two centuries."
  88. ^ Larson 2004, hlm. 79–111

Pranala luar


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan