Ahmad Yani: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Neny (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 31: Baris 31:
}}
}}


[[Jenderal]] [[TNI]] [[Anumerta]] '''Ahmad Yani''' (juga dieja '''Achmad Yani'''; {{lahirmati|[[Kabupaten Purworejo|Purworejo]], [[Jawa Tengah]]|19|6|1922|[[Lubang Buaya]], [[Jakarta]]|1|10|1965}}) adalah Panglima [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]], dan dibunuh oleh anggota [[Gerakan 30 September]] yang mencoba menculik dia dari rumahnya.
[[Jenderal]] [[TNI]] [[Anumerta]] '''Ahmad Yani''' (juga dieja '''Achmad Yani'''; {{lahirmati|[[Kabupaten Purworejo|Purworejo]], [[Jawa Tengah]]|19|6|1922|[[Lubang Buaya]], [[Jakarta]]|1|10|1965}}) adalah Panglima [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]], dan dibunuh oleh anggota [[Gerakan 30 September/PKI]] yang mencoba menculik dia dari rumahnya.


== Kehidupan awal ==
== Kehidupan awal ==

Revisi per 29 September 2017 16.22

Ahmad Yani
[[Menteri/Panglima Angkatan Darat]] 6
Masa jabatan
23 Juni 1962 – 1 Oktober 1965
PresidenSoekarno
Informasi pribadi
Lahir(1922-06-19)19 Juni 1922
Belanda Purworejo, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal1 Oktober 1965(1965-10-01) (umur 43)
Indonesia Jakarta, Indonesia
Suami/istriYayu Rulia Sutowiryo Ahmad Yani
Anak8
PekerjaanTentara
Penghargaan sipilPahlawan Revolusi
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1943-1965
Pangkat Jenderal TNI Anumerta
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; 19 Juni 1922 – 1 Oktober 1965) adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September/PKI yang mencoba menculik dia dari rumahnya.

Kehidupan awal

Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani dan keluarganya pindah ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk jenderal Belanda. Di Batavia, Yani menjalani pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah menengah atas untuk menjalani wajib militer di tentara pemerintah kolonial Hindia Belanda . Ia belajar topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.

Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang didirikan oleh Jepang yaitu Peta (Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.

Karier militer

Kolonel Yani memimpin briefing pada 12 April 1958(1958-04-12) (umur 35) selama "Operasi Agustus 17

Setelah proklamasi Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara Republik Indonesia yang masih muda dan berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah proklamasi Kemerdekaan, Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan berhasil memimpin batalionnya memenangkan pertempuran melawan tentara Inggris di Magelang. Yani kemudian berhasil mempertahankan Magelang melawan tentara Belanda yang mencoba untuk mengambil alih kota, sehingga ia mendapat julukan sebagai "Juruselamat Magelang". Prestasi lain yang menonjol dalam karier Yani selama periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto mempersiapkan Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan ke Yogyakarta.

Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali untuk melawan Darul Islam, sebuah kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah pemerintah teokrasi di Indonesia. Untuk menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani terbayar 3 tahun ke depan dengan kalahnya satu persatu basis pasukan Darul Islam di Jawa Tengah.

Di bulan Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Sekolah Komando dan Staf Umum di Fort Leavenworth, Texas, Amerika Serikat. Sekembalinya dari Amerika Serikat di tahun 1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian.

Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memberontak di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi Deputi II Kepala Staff Angkatan Darat pada tanggal 1 September 1962, dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Darat pada tanggal 13 November 1963 (sehingga otomatis ia menjadi menteri/anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution.

Akhir hayat

Plak menandai tempat ketika Yani jatuh setelah ditembak oleh anggota Gerakan 30 September - mantan rumahnya sekarang menjadi museum. Perhatikan lubang peluru di pintu.

Presiden Soekarno cenderung lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal tahun 60-an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan Sukarno mencoba untuk memaksakan doktrin Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) di tubuh militer. Karena haluan politik Yani dan Nasution yang berlawanan dengan Presiden Soekarno, mereka berusaha menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei 1965 untuk mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat.

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim yang terdiri dari sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta, di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian menceritakan bahwa seminggu sebelumnya peristiwa tersebut, rumah mereka diberi tambahan enam orang yang bertugas. Orang-orang ini berasal dari komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara istrinya sedang pergi keluar merayakan ulang tahunnya bersama teman-teman dan kerabat. Istrinya kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat seseorang duduk di seberang jalan seakan mengawasi rumah mereka. Dia tidak berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia menjadi bertanya-tanya. Juga, sejak sekitar pukul 21.00 pada malam tanggal 30 September, terdapat sejumlah panggilan telepon ke rumah, yang ketika dijawab tidak terdengar suara apa-apa di seberang telpon. Panggilan-panggilan semacam ini terus terjadi sampai sekitar pukul 01.00 dan Ny. Yani mengatakan dia memiliki firasat sesuatu bahwa ada sesuatu yang salah di malam itu.

Yani menghabiskan malam tersebut dengan melakukan beberapa pertemuan. Pada pukul 19.00 ia menerima tamu, seorang kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi yaitu Jendral Basuki Rahmat, komandan divisi di Jawa Timur, yang baru tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk melaporkan kepada Yani keprihatinannya tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa Timur. Yani memuji laporan Basuki dan memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.

Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika penculik menolak permintaannya, ia marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan yang seketika membunuhnya. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan bersama-sama dengan para jenderal lain yang dibunuh, dikuburkan di sebuah sumur bekas.

Tubuh Yani, dan para korban lainnya, diangkat dari sumur bekas tersebut pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi upacara pemakaman kenegaraan di hari berikutnya, kemudia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi melalui Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal ke Jendral Berbintang Empat (Indonesia:Jenderal Anumerta).

Ny Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ny Yani membantu rekonstruksi rumah mereka di museum yang didirikan pada bulan Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan menyumbangkan perabotan rumah. Saat ini, banyak kota di Indonesia yang memiliki jalan dengan nama Yani. Selain itu namanya diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Achmad Yani di Semarang.

Pendidikan

  • HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
  • MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
  • AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
  • Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
  • Pendidikan Heiho di Magelang
  • PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor
  • Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat, tahun 1955
  • Special Warfare Course di Inggris, tahun 1956

Bintang Kehormatan

Perangko Ahmad Yani keluaran tahun 1966

Referensi

  • Achmad Yani. Prajurit Patriot Sejati. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. 2013. ISBN 978-602-784-603-6. 
  • Pour, Julius (2010). Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualang. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 
Jabatan militer
Didahului oleh:
Abdul Harris Nasution
Kepala Staf TNI Angkatan Darat
1962-1965
Diteruskan oleh:
Pranoto Reksosamodra