Syahnamah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 149: Baris 149:


{{quote| Bilamana kita mengalihkan pandangan kita kepada sebuah bangsa yang cinta damai, yang berperadaban, bangsa Persia, mestilah kita—karena sebetulnya puisi merekalah yang telah mengilhami karya tulis ini—kembali ke zaman yang terdahulu agar mampu memahami zaman-zaman yang belum lama lampau. Senantiasa akan tampak mengherankan bagi para sejarawan bahwa tidak peduli sudah berapa kali sebuah negeri ditaklukkan, dijajah dan bahkan dibinasakan oleh para seteru, selalu saja ada intisari kebangsaan yang terlestarikan dalam kepribadiannya, dan tahu-tahu saja, tumbuh kembali kesadaran asli pribumi yang sudah sejak lama diakrabi. Dalam pemahaman yang sedemikian, kiranya sungguh menyenangkan mempelajari hal-ikhwal orang-orang Persia paling purba dan lekas-lekas merunuti jejak mereka sampai ke masa kini dengan ayunan langkah yang jauh lebih bebas dan teratur.<ref>{{cite book|last=Azodi|first=Wiesehöfer|title=Ancient Persia: From 550 BC to 650 AD|date=August 18, 2001|publisher=I. B. Tauris|location=London|isbn=1860646751|edition=New|page=Introduction}}</ref>}}
{{quote| Bilamana kita mengalihkan pandangan kita kepada sebuah bangsa yang cinta damai, yang berperadaban, bangsa Persia, mestilah kita—karena sebetulnya puisi merekalah yang telah mengilhami karya tulis ini—kembali ke zaman yang terdahulu agar mampu memahami zaman-zaman yang belum lama lampau. Senantiasa akan tampak mengherankan bagi para sejarawan bahwa tidak peduli sudah berapa kali sebuah negeri ditaklukkan, dijajah dan bahkan dibinasakan oleh para seteru, selalu saja ada intisari kebangsaan yang terlestarikan dalam kepribadiannya, dan tahu-tahu saja, tumbuh kembali kesadaran asli pribumi yang sudah sejak lama diakrabi. Dalam pemahaman yang sedemikian, kiranya sungguh menyenangkan mempelajari hal-ikhwal orang-orang Persia paling purba dan lekas-lekas merunuti jejak mereka sampai ke masa kini dengan ayunan langkah yang jauh lebih bebas dan teratur.<ref>{{cite book|last=Azodi|first=Wiesehöfer|title=Ancient Persia: From 550 BC to 650 AD|date=August 18, 2001|publisher=I. B. Tauris|location=London|isbn=1860646751|edition=New|page=Introduction}}</ref>}}

===Biografi===
''Sargozast-Nameh'' atau biografi para pujangga besar sudah sejak lama menjadi tradisi Persia. Beberapa biografi Firdausi kini dianggap apokrif, akan tetapi keberadaan biografi-biografi ini memperlihatkan betapa besar dampak yang telah telah ditinggalkannya pada dunia Persia. Biografi-biografi Firdausi yang terkenal antara lain:<ref name="Nurian 1993">{{cite journal|last=Nurian|first=Mahdi|title=Afarin Ferdowsi az Zaban Pishinian|journal=Hasti Magazine|year=1993|volume='''4'''|trans_title=Praises of Ferdowsi from the Tongue of the Ancients|publisher=Bahman Publishers|location=Tehran}}</ref>

# ''Cahar Maqaleh'' ("Empat Pokok Pembahasan") karya [[Nizami Aruzi|Nizami 'Arudi-i Samarqandi]]
# ''Tazkeret Al-Syu'ara'' ("Riwayat hidup para penyair") karya Daulat Syah-i Samarqandi
# ''Baharestan'' ("Kediaman Musim Semi") karya [[Jami]]
# ''[[Lubab ul-Albab]]'' karya [[Muhammad Aufi|Mohammad 'Awfi]]
# ''Natayej al-Afkar'' karya Maulana Muhammad Qudrat Allah
# ''Arafat Al-'Asyighin'' karya Taqqi Al-Din 'Awhadi Balyani


===Historiografi Persia===
===Historiografi Persia===

Revisi per 16 Juli 2016 07.57

Bahram Gur beserta para pengiringnya dihibur oleh Barbad Sang Pemusik, halaman dari sebuah naskah Syahnameh karya Firdausi. Brooklyn Museum
Syahnameh (Kitab Raja-Rajaf) karya Abu'l Qasim Firdausi (935–1020)

Syahnameh, ditransliterasikan pula menjadi Syahnama (Persia: شاهنامه diucapkan [ʃɒːhnɒːˈme], "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah wiracarita dalam bentuk syair panjang yang digubah oleh penyair Persia Firdausi antara ca. 977 sampai 1010 Masehi, dan merupakan wiracarita kebangsaan Iran Raya. Syahnameh yang terdiri atas sekitar 60.000 bait ini[1] merupakan wiracarita terpanjang di dunia yang digubah oleh seorang penyair saja. Syahnameh lebih banyak meriwayatkan mitos dan sejarah masa lampau Kekaisaran Persia mulai dari penciptaan dunia sampai dengan ditaklukkannya Persia oleh kaum Muslim pada abad ke-7. Negara Iran, Azerbaijan, Afganistan dan negeri-negeri yang berada dalam dalam bentang pengaruh budaya Persia (seperti Georgia, Armenia, Turki dan Dagestan) sangat mengagung-agungkan wiracarita kebangsaan ini.

Karya sastra ini menempati posisi yang sangat penting dalam kebudayaan Persia, dihargai sebagai sebuah mahakarya sastra, dan menjadi tolok ukur jati diri budaya bangsa di negara Iran, Afganistan, dan Tajikistan sekarang ini.[2] Syahnameh juga memiliki arti penting bagi para pengikut ajaran Zoroaster, karena kitab ini menelusuri seluruh mata rantai sejarah yang menghubungkan awal mula ajaran Zoroaster dengan wafatnya pemimpin Sassaniyah terakhir dalam peristiwa penaklukan Persia oleh kaum Muslim, yang juga merupakan akhir dari pengaruh ajaran Zoroaster di Iran.

Faramarz, putera Rostam, meratapi kematian ayahnya, dan pamannya, Zawareh.

Gubahan

Pembunuhan Khosrau II dalam sebuah naskah era Mughal pada 1535

Firdausi mulai menggubah Syahnameh pada 977 Masehi dan merampungkannya pada 8 Maret 1010.[3] Syahnameh adalah sebuah monumen puisi dan historiografi, karena merupakan perwujudan puitis dari apa yang dianggap oleh Firdausi, orang-orang sezamannya, dan para pendahulunya sebagai catatan sejarah kuno Iran. Banyak catatan sejarah semacam itu sudah ada sebelumnya dalam bentuk prosa, salah satu contohnya adalah Syahnameh Abu-Mansuri. Sebagian kecil dari karya Firdausi, berupa bait-bait yang terserak sepanjang syair Syahnameh, merupakan hasil pemikirannya sendiri.

Syahnameh adalah sebuah wiracarita yang terdiri atas lebih dari 50.000 gurindam, ditulis dalam bahasa Farsi moderen awal. Sebagian besar isinya disadur dari sebuah karya prosa dengan judul sama yang digubah ketika Firdausi masih belia dalam logat daerahnya, Tus. Prosa Shahnameh ini sendiri sebagian besar merupakan hasil terjemahan dari sebuah karya sastra dalam bahasa Pahlavi (bahasa Farsi pertengahan), dikenal sebagai Xwadāynāmag ("Kitab Raja-Raja"), sebuah karya sastra dari zaman Kekaisaran Sassaniyah berupa kompilasi riwayat raja-raja dan pahlawan-pahlawan Persia mulai dari zaman mitos sampai dengan masa pemerintahan Khosrau II (590–628). Xwadāynāmag memuat keterangan sejarah mengenai zaman Sassaniyah akhir, akan tetapi karya sastra ini tampaknya tidak berpatokan pada sumber-sumber sejarah untuk keterangan-keterangan seputar zaman Sassaniyah awal (abad ke-3 sampai abad ke-4).[4] Firdausi menambahkan materi untuk menyambung riwayat dari Xwadāynāmag sampai dengan peristiwa ditumbangkannya kekuasaan Sassaniyah oleh bangsa Arab pada pertengahan abad ke-7.

Orang yang pertama kali menyadur Xwadāynāmag ke dalam bentuk syair adalah Abu-Mansur Daqiqi, seorang rekan sezaman Firdausi, penyair istana di masa kekuasaan Dinasti Samaniyah, yang menemui ajalnya secara mengenaskan sewaktu baru merampungkan 1.000 bait. Bait-bait yang meriwayatkan kemunculan nabi Zoroaster ini kelak dimasukkan Firdausi ke dalam karyanya, disertai pengakuan perihal penggubah aslinya. Gaya penulisan Syahnameh menunjukkan ciri khas yang terdapat dalam sastra tulisan maupun sastra lisan. Sebagian pihak berpendapat bahwa Firdausi juga menggunakan kumpulan nask ajaran Zoroaster, misalnya Čihrdād yang kini hilang, sebagai sumber bagi karyanya.

Banyak sumber Pahlavi lain yang digunakan dalam penggubahan wiracarita ini, terutama Kārnāmag-ī Ardaxšīr-ī Pābagān, yang aslinya ditulis pada zaman Sassaniyah akhir serta berisi catatan-catatan tentang bagaimana Ardasyir I meraih kekuasaan, dan karena kecocokannya dengan fakta sejarah, diduga sangat akurat. Selain itu, kitab ini ditulis dalam bahasa Farsi pertengahan akhir yang adalah leluhur langsung dari bahasa Farsi moderen. Oleh karena itu, sebagian besar kronik sejarah yang termaktub dalam Syahnameh didasarkan pada wiracarita ini. Menurut Zabihollah Safa, pada kenyataannya memang ada berbagai kalimat dan kata-kata yang dapat dipadankan antara dua kitab ini .[5]

Menurut salah satu catatan dari sumber-sumber itu, seorang Persia bernama Dehqan yang berkarya di lingkungan istana Raja Anusyiruwān-e-dādgar telah menulis sebuah kitab padat dalam bentuk prosa, yang dikenal sebagai Khoday Nameh. Setelah keruntuhan Kekaisaran Iran, Khoday Nameh jatuh ke tangan Raja Yaqub Lais dan kelak ke tangan Raja Nuh dari Dinasti Samaniyah yang menitahkan si penyair Daqiqi untuk melengkapinya, namun Daqiqi kemudian tewas dibunuh budaknya. Firdausi mendapatkan kitab itu melalui seorang sahabatnya.

Isi

Kay Khosrau naik tahta sambil memegang pedang terhunus yang akan digunakannya untuk menghukum mati Afrasiyab karena telah membunuh Siyawas

Syahnameh menyajikan catatan-catatan puitis mengenai zaman prasejarah dan sejarah Iran, mulai dari penciptaan dunia dan pengenalan akan berbagai seni peradaban (api, memasak, metalurgi, dan hukum) sampai dengan ditaklukkannya Persia oleh kaum Muslim. Karya sastra ini tidak sungguh-sungguh kronologis, namun memiliki urutan-urutan waktu secara umum. Beberapa tokoh di dalamnya dikisahkan hidup beratus-ratus tahun lamanya namun sebagian besar memiliki rentang hidup yang normal. Ada banyak syāh yang datang dan pergi, demikian pula para pahlawan dan tokoh-tokoh jahat, sesaat muncul dan kemudian berlalu. Satu-satunya citra yang abadi adalah Alam Persia itu sendiri, dan dari rentetan terbit dan terbenamnya matahari, tak satu pun yang benar-benar serupa dengan yang lain, namun tetap memberi gambaran tentang peralihan masa.

Karya sastra ini terbagi menjadi tiga bagian yang berurutan: zaman "mitos", zaman "kepahlawanan", dan zaman "sejarah".

Bapa Waktu, yang digambarkan mirip dewa Saturnus, adalah tokoh pengingat akan tragedi kematian dan kehilangan, namun setelah itu matahari pun terbit kembali, membawa serta pengharapan di hari yang baru. Pada siklus pertama tentang penciptaan, kejahatan diriwayatkan masih bersifat eksternal (dalam wujud Si Jahat). Pada siklus kedua, diriwayatkan awal-mula perseteruan dalam keluarga, perilaku yang buruk, dan merasuknya kejahatan ke dalam hakikat manusia. Kedua putera tertua Syāh Fereydūn menjadi serakah dan mendengki adik lelaki mereka yang tidak bersalah, karena menyangka ayah mereka lebih sayang pada si bungsu, mereka pun membunuhnya. Putera dari pangeran yang dibunuh itu membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, maka semua orang pun larut dalam pertumpahan darah, bunuh-membunuh dan balas dendam silih-berganti. Pada siklus ketiga, diriwayatkan tentang serangkaian syāh yang bercacat-cela. Ada pula hikayat yang mirip kisah Phaedra mengenai Syāh Kay Kāwus, isterinya Sūdāba, hasrat Sūdāba pada anak tirinya Sīyāwas, serta penolakan Sīyāwas atas hasrat dari isteri ayahnya itu.

Hanya melalui penokohan para lelaki dan perempuan dalam karya sastra inilah dihadirkan pandangan asli Zoroaster mengenai kondisi umat manusia. Zoroaster menitikberatkan kehendak bebas manusia. Seluruh tokoh Firdausi berkepribadian rumit; tak seorangpun yang sungguh-sungguh sempurna atau hanya sekadar boneka. Tokoh-tokoh paling baik pun masih bercacat-cela, dan tokoh-tokoh paling jahat pun masih berperikemanusiaan.

Historiografi tradisional di Iran berpendapat bahwa Firdausi sungguh-sungguh berduka-cita menyaksikan kejatuhan Kekaisaran Sassaniyah dan dikuasainya negeri itu oleh "bangsa Arab" dan kemudian oleh "bangsa Turki". Syahnameh, demikian menurut pendapat itu, sebagian besar merupakan upaya Firdausi untuk melestarikan kenangan akan zaman keemasan Persia dan mewariskan kenangan itu kepada generasi berikutnya, agar mereka dapat memetik hikmah darinya dan berusaha membangun suatu dunia yang lebih baik.[6] Meskipun sebagian besar cendekiawan merasa puas dengan gagasan bahwa niat utama Firdausi adalah melestarikan warisan mitos dan sejarah pra-Islam, ada sejumlah penulis yang secara resmi menentang pandangan ini. [7]

Zaman mitos

Adegan-adegan dari Syahnameh'terukir di mausoleum Firdausi di Tus, Iran

Bagian Syahnameh ini relatif singkat, memuat 2.100 bait atau empat persen dari keseluruhan kitab. Pada bagian ini, peristiwa-peristiwa diriwayatkan secara sederhana, akhirnya mudah ditebak, dan dengan kelugasan khas sastra sejarah.

Sesudah kalimat pembuka berupa puji-pujian kepada Allah dan Hikmat, Syahnameh pun membabarkan riwayat penciptaan dunia dan manusia menurut keyakinan bangsa Persia-Sassaniyah. Riwayat pendahuluan ini diikuti oleh riwayat tentang manusia pertama, Keyumars, yang juga menjadi raja yang pertama setelah melewati masa kehidupan di gunung. Cucunya Husyang putera Sīyāmak, tanpa sengaja menemukan api dan kemudian menetapkan hari raya Sadeh untuk memperingati penemuan itu. Hikayat Tahmuras, Jamsyid, Zahhāk, Kawa atau Kaweh, Fereydūn dan ketiga puteranya Salm, Tur, dan Iraj, dan cucu lelakinya Manucehr diriwayatkan pada bagian ini.

Zaman kepahlawanan

Berkas:Statue of Ferdowsi and Shahname in Delfan.jpg
Patung Firdausi, bersebelahan dengan Rostam dan Rakhs yang sedang bertarung melawan naga. Delfan, Iran

Hampir dua pertiga bagian dari Syahnameh dikhususkan bagi zaman para pahlawan, mulai dari masa pemerintahan Manucehr sampai dengan penaklukan Persia oleh Aleksander Agung (Eskandar). Tokoh-tokoh utama dalam bagian ini adalah para pahlawan Saka atau Sistānī yang ditampilkan sebagai tulang punggung Kekaisaran Persia. Garsyāsp secara ringkas diriwayatkan bersama puteranya Narimān. Sām putera Narimān memerintah atas Sistān selaku raja dan menyertai Manucehr selaku pengawal utama. Sām kelak digantikan puteranya Zāl, dan kemudian oleh Rostam putera Zal, yang paling berani di antara para pemberani, dan kemudian oleh Farāmarz putera Rostam.

Kisah-kisah yang diriwayatkan pada bagian ini antara lain Hikayat Zal dan Rudāba, Hikayat Ketujuh Tugas Rostam, Hikayat Rostam dan Sohrab, Hikayat Sīyāwas dan Sudāba, Hikayat Rostam dan Akwān Dīw, Hikayat Bijan dan Manijeh, Hikayat Peperangan Melawan Afrāsīyāb, bait-bait gubahan Abu-Mansur Daqiqi mengenai Hikayat Gosytāsp dan Arjāsp, serta Hikayat Rostam dan Esfandyār.

Para pengiring Raja Bayasanghori sedang bermain catur

Zaman sejarah

Secara ringkas diriwayatkan pula mengenai Dinasti Arsakiyah sesudah sejarah Aleksander dan sebelum sejarah Ardasyir I, pendiri Kekaisaran Sassaniyah. Sesudahnya, sejarah Sassaniyah diriwatkan dengan cukup akurat. Keruntuhan Sassaniyah dan penaklukan Persia oleh bangsa Arab diriwayatkan secara berbunga-bunga.

Hikmah

Firdausi tidak mengharapkan sidang pembacanya menyimak peristiwa-peristiwa bersejarah dalam Syahnameh secara sambil-lalu saja, melainkan merenungkannya pula baik-baik agar dapat mengetahui akar penyebab jatuh bangun pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa; dan agar dapat memetik hikmah dari masa lampau, guna melakukan perbaikan di masa sekarang, demi membina masa depan yang lebih baik. Firdausi menegaskan keyakinannya bahwa dunia ini fana belaka, dan setiap orang hanya sekadar melintasinya, oleh karena itu alangkah bijaknya jikalau orang menghindari perilaku kejam, dusta, ketamakan, dan segala macam keburukan lainnya; dan sebaliknya bersungguh-sungguh mengupayakan keadilan, martabat yang luhur, kebenaran, ketertiban, dan segala macam kebajikan lainnya.

Hikmah khusus yang hendak disampaikan oleh Syahnameh karya Firdausi ini adalah gagasan bahwa sejarah Kekaisaran Sassaniyah merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak berubah-ubah: sejaran Kekaisaran Sassaniyah bermula dari Keyumars, manusia pertama, dan berakhir pada keturunan sekaligus penggantinya yang ke-50, Yazdegerd III, enam ratus tahun lamanya dalam sejarah Iran. Tugas Firdausi adalah mencegah sejarah ini hilang dari ingatan generasi-generasi yang akan datang.

Menurut Jalal Khaleghi Mutlaq, Syahnameh mengajarkan bermacam-macam kebajikan moral, seperti menyembah pada satu Tuhan; taat menjalankan perintah agama; cinta akan tanah air; kasih sayang pada anak isteri dan sanak saudara; serta menolong fakir miskin.[8]

Dampak terhadap bahasa Farsi

Rostam membunuh Alkus pendekar Turan dengan ganjurnya

Setelah Syahnameh, sejumlah karya sastra serupa bermunculan dari abad ke abad dalam lingkup budaya bahasa Farsi. Tanpa kecuali, seluruh karya sastra ini mencontohi gaya dan metode penulisan Syahnameh, namun tak satu pun yang semasyhur dan sepopuler Syahnameh.

Sejumlah pakar meyakini bahwa faktor utama yang menyebabkan bahasa Farsi moderen sekarang ini kurang lebih sama dengan bahasa Farsi di masa hidup Firdausi sekitar 1000 tahun lampau adalah keberadaan karya-karya sastra semacam Syahnameh, yang berdampak besar pada budaya dan bahasa. Dengan kata lain, Syahnameh sendiri telah menjadi salah satu tiang penyangga utama bahasa Farsi moderen. Mengkaji mahakarya Firdausi ini telah menjadi syarat mutlak bagi penyair-penyair sesudahnya demi mencapai kepiawaian berbahasa Farsi, sebagaimana terbukti oleh banyaknya referensi pada Syahnameh dalam karya-karya mereka.

Hal ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa Firdausi sedapat-dapatnya menghindari penggunaan kata-kata serapan dari bahasa Arab yang telah menyusupi bahasa Farsi setelah ditaklukkannya Persia oleh bangsa Arab pada abad ke-7. Firdausi memilih jalan ini bukan saja untuk melestarikan dan memurnikan bahasa Farsi, melainkan juga sebagai suatu pernyataan politik yang tegas terhadap penaklukan bangsa Arab atas Persia.[9] Pendapat ini sempat dipertanyakan oleh Mohammed Moinfar, yang telah mencermati keberadaan banyak kosakata Arab dalam Syahnameh yang secara efektif semakna dengan kata-kata bahasa Farsi yang pernah digunakan sebelumnya dalam naskah ini. Kenyataan ini menjadikan gagasan bahwa firdausi dengan sengaja meniadakan penggunaan kata-kata Arab patut dipertanyakan kembali.[10]

Syahnameh berisi 62 hikayat, 990 bab, dan sekitar 60.000 gurindam, yang menjadikannya lebih dari tiga kali panjang wiracarita Yunani Ilias karya Hómēros, dan lebih dari dua belas kali panjang wiracarita Jerman Nibelungenlied. Menurut Firdausi, edisi terakhir Syahnameh memuat kurang lebih enam puluh ribu gurindam. Namun angka ini hanyalah perkiraan kasar atau pembulatan dari jumlah yang sesungguhnya; sebagian besar naskah yang relatif tepercaya memuat sedikit lebih banyak dari lima puluh ribu gurindam. Nezami-e Aruzi melaporkan bahwa edisi terakhir Syahnameh yang dikirimkan ke istana Sultan Mahmud dari Ghazni tersusun dalam tujuh jilid.

Dampak budaya

Sebuah adegan pertempuran dari Syahnameh Baysonghori

Wangsa Syirwansyah banyak menggunakan nama diri yang terambil dari Syahnameh. Hubungan antara Syirwansyah dan puteranya, Manucihr, disinggung dalam bab kedelapan dari kitab Leili o Majnoon gubahan Nizami Ganjavi. Nizami menganjurkan anak raja itu membaca Syahnameh serta menghafal ucapan-ucapan sarat makna dari para cerdik pandai.[11]

Menurut sejarawan Turki, Mehmet Fuat Köprülü:

Sesungguhnya, tanpa mengabaikan semua pernyataan yang menafikan, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya Persia sangat mempengaruhi kaum Seljuk di Anatolia. Buktinya, para sultan yang naik tahta sesudah Ghiyath al-Din Kai-Khusraw I mempergunakan gelar-gelar yang bersumber dari mitologi Persia Kuno, seperti Kay Khosrau, Kay Kāwus, serta Kay Kobad; dan bahwasanya Ala' al-Din Kai-Qubad I telah menitahkan agar beberapa ayat dari Syahnameh dipampang pada tembok-tembok Konya dan Sivas. Bila dicermati pula kehidupan rumah tangga di lingkungan istana Konya dan ketulusan para penguasanya dalam menghargai dan menggemari para penyair dan karya-karya sastra Persia, maka kenyataan ini (betapa berpengaruhnya budaya Persia) tidak dapat dinafikan.[12]

Syah Ismail I juga sangat dipengaruhi oleh tradisi kesusastraan Persia dari Iran, khususnya oleh Syahnameh, yang kiranya dapat menjelaskan mengapa ia menamakan semua puteranya dengan nama tokoh-tokoh dalam Syahnameh. Dickson dan Welch menduga bahwa Syāhnāmaye Syāhī gubahan Ismail diniatkan sebagai hadiah bagi Tahmāsp yang masih belia.[13] Setelah mengalahkan bangsa Uzbek yang dipimpin Muhammad Syaibāni, Ismāil meminta Hātefī, seorang penyair ternama dari Jam (Khorasan), untuk menulis sebuah wiracarita semacam Syahnameh mengenai kemenangan-kemenangan dan wangsa yang baru saja didirikannya. Meskipun tak terselesaikan, wiracarita itu merupakan salah satu contoh dari masnawi dalam gaya kepahlawanan Syahnameh yang kelak ditulis bagi raja-raja Wangsa Safawiyah.[14]

Pengaruh Syahnameh meluas sampai jauh melampaui batas ruang lingkup Alam Persia. Profesor Victoria Arakelova dari Yerevan University berpendapat bahwa:

Selama sepuluh abad sesudah Firdausi menggubah karya monumentalnya itu, legenda-legenda dan kisah-kisah kepahlawanan dalam Shahnameh tetap menjadi sumber bahan penceritaan bagi masyarakat di wilayah ini: bangsa Persian, Pasytun, Kurdi, Guran, Talis, Armenia, Georgia, bangsa-bangsa Kaukasia Utara, dst.[15]

Terhadap jati diri bangsa Georgia

Naskah Syahnameh Georgia, ditulis dengan aksara Georgia.

Jamshid Sh. Giunashvili mengemukakan pendapatnya mengenai kaitan antara budaya Georgia dengan budaya yang termaktub dalam Syahnameh sebagai berikut:

Nama dari banyak pahlawan Šāh-nāma, semisal Rostom-i, Thehmine, Sam-i, atau Zaal-i, terdapat dalam karya-karya sastra Georgia abad ke-11 dan ke-12. Nama-nama ini merupakan bukti tidak langsung dari keberadaan terjemahan Šāh-nāma ke dalam bahasa Georgia Kuno yang kini sudah tak lagi ada. ...

Šāh-nāma diterjemahkan, bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan estetis para pembaca dan pendengar, melainkan juga untuk menginspirasi kaum muda dengan semangat kepahlawanan dan kecintaan pada tanah air bangsa Georgia. Ideologi, adat-istiadat, dan wawasan bangsa Georgia akan dunia luas kerap tertuang ke dalam karya-karya terjemahan ini karena karya-karya ini berorientasi pada budaya puitis bangsa Georgia. Di lain pihak, bangsa Georgia menganggap karya-karya terjemahan ini sebagai karya-karya asli bangsa mereka sendiri. Berbagai versi Šāh-nāma Georgia cukup populer, dan kisah-kisah seperti Rostam dan Sohrāb, atau Bījan dan Maniža menjadi bagian dari cerita rakyat Georgia.[16]

Terhadap jati diri bangsa Turk

Bertolak belakang dengan keyakinan umum, bangsa Turan dalam Syahnameh (yang sumber-sumbernya berlandaskan tulisan-tulisan Avesta dan Pahlavi) tidak ada hubungannya dengan kelompok etnis berbahasa Turk yang ada sekarang.[17] Bangsa Turan dalam Syahnameh adalah suku bangsa Iran yang hidup mengembara di stepa-stepa Eurasia dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebudayaan Turk.[17] Turan atau wilayah-wilayah Asia Tengah di seberang Oxus yang dikuasai bangsa Persia sampai pada abad ke-7 (zaman terakhir dalam Syahnameh) secara umum adalah sebuah negeri penutur bahasa Iran.[18]

Menurut Richard Frye, "Luasnya jangkauan pengaruh wiracarita Iran ini tampak pada bangsa Turk yang menerimanya sebagai sejarah kuno mereka sendiri sekaligus sebagai sejarah kuno Iran... Bangsa Turk betul-betul terpengaruh oleh kisaran hikayat-hikayat itu sampai-sampai pada abad kesebelas Masehi dapat dijumpai wangsa Qarakhaniyah di Asia Tengah yang menyebut dirinya 'keluarga Afrasiyab' dan demikianlah wangsa itu dikenal dalam sejarah Islam. "[19]

Bangsa Turk, sebagai sebuah kelompok etnis dengan bahasa tersendiri telah terpengaruh oleh Syahnameh semenjak kedatangan kaum Seljuk.[20] Toghrul III dari Wangsa Seljuk konon kabarnya mendaraskan bait-bait Syahnameh seraya mengayunkan gadanya dalam pertempuran.[20] Menurut Ibn Bibi, pada 618/1221 kaum Seljuk dari Rum Ala' al-Din Kay-kubad menghiasi tembok-tembok Konya dan Sivas dengan ayat-ayat yang terambil dari kitab Syahnameh.[21] Bangsa Turk sendiri menisbatkan asal-usul mereka bukan pada sejarah suku-bangsa Turk melainkan pada bangsa Turan yang tercantum dalam Syahnameh.[22] Di India khususnya, oleh karena Syahnameh, bangsa Turk merasa-diri sebagai pemukim di pos terjauh yang terhubung dengan dunia beradab melalui ikatan solidaritas sesama orang Iran.[22]

Warisan

Sebuah pertempuran antara bala tentara Iran dan bala tentara Turan pada masa pemerintahan Kay Khosrau

Firdausi mengakhiri Syahnameh dengan kata-kata ini:

Menurut terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Dick Davis:

I've reached the end of this great history
And all the land will talk of me:
I shall not die, these seeds I've sown will save
My name and reputation from the grave,
And men of sense and wisdom will proclaim
When I have gone, my praises and my fame.[23]

Kucapai sudah akhir sejarah agung ini
Dan aku 'kan dibincangkan seisi negeri:
'Ku takkan mati, benih kutebar 'kan luputkan
Namaku juga martabatku dari kuburan,
Yang berakal dan bijaksana akan menyeru
Bila 'ku mati, puja-puji kemasyhuranku.


Menurut terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Reza Jamshidi Safa:

Much I have suffered in these thirty years,
I have revived the Ajam with my verse
I will not die then alive in the world,
For I have spread the seed of the word
Whoever has sense, path and faith,
After my death will send me praise.[24]

Banyak deritaku tiga puluh tahun ini
Kugelorakan lagi Ajam dengan puisi
'Ku takkan mati, tetap hidup dalam dunia,
Sebab sudah kusebarkan benih-benih kata
Barang siapa berakal berjodoh beriman,
Bila 'ku mati, menghantar padaku sanjungan.

Ramalan Firdausi ini telah menjadi kenyataan dan banyak tokoh susastra, sejarawan, penulis biografi yang memuji-muji dirinya dan Syahnameh. Syahnameh dihargai ramai orang sebagai karya sastra terpenting dalam Kesusastraan Persia. Para pujangga Barat juga memuji-muji Syahnameh dan kesusastraan Persia pada umumnya. Kesusastraan Persia disadari para pemikir seperti Goethe sebagai salah satu dari empat kumpulan tulisan utama dalam kesusastraan dunia.[25] Goethe terinspirasi oleh kesusastraan Persia, yang menggerakkannya untuk menulis Diwan Barat-Timur. Goethe menulis demikian:

Bilamana kita mengalihkan pandangan kita kepada sebuah bangsa yang cinta damai, yang berperadaban, bangsa Persia, mestilah kita—karena sebetulnya puisi merekalah yang telah mengilhami karya tulis ini—kembali ke zaman yang terdahulu agar mampu memahami zaman-zaman yang belum lama lampau. Senantiasa akan tampak mengherankan bagi para sejarawan bahwa tidak peduli sudah berapa kali sebuah negeri ditaklukkan, dijajah dan bahkan dibinasakan oleh para seteru, selalu saja ada intisari kebangsaan yang terlestarikan dalam kepribadiannya, dan tahu-tahu saja, tumbuh kembali kesadaran asli pribumi yang sudah sejak lama diakrabi. Dalam pemahaman yang sedemikian, kiranya sungguh menyenangkan mempelajari hal-ikhwal orang-orang Persia paling purba dan lekas-lekas merunuti jejak mereka sampai ke masa kini dengan ayunan langkah yang jauh lebih bebas dan teratur.[26]

Biografi

Sargozast-Nameh atau biografi para pujangga besar sudah sejak lama menjadi tradisi Persia. Beberapa biografi Firdausi kini dianggap apokrif, akan tetapi keberadaan biografi-biografi ini memperlihatkan betapa besar dampak yang telah telah ditinggalkannya pada dunia Persia. Biografi-biografi Firdausi yang terkenal antara lain:[27]

  1. Cahar Maqaleh ("Empat Pokok Pembahasan") karya Nizami 'Arudi-i Samarqandi
  2. Tazkeret Al-Syu'ara ("Riwayat hidup para penyair") karya Daulat Syah-i Samarqandi
  3. Baharestan ("Kediaman Musim Semi") karya Jami
  4. Lubab ul-Albab karya Mohammad 'Awfi
  5. Natayej al-Afkar karya Maulana Muhammad Qudrat Allah
  6. Arafat Al-'Asyighin karya Taqqi Al-Din 'Awhadi Balyani

Historiografi Persia

Berkas:Rostam Ramsar.jpg
Patung Rostam di Ramsar, Iran.

Dampak Syahnameh terhadap historiografi Persia terjadi secara langsung dan beberapa sejarawan menghiasi kitab-kitab karyanya dengan ayat-ayat kutipan dari Syahnameh. Sebagai contoh, berikut ini adalah sepuluh sejarawan penting yang memuji-muji Syahnameh dan Firdausi:[27]

  1. Penulis kitab Tarikh Sistan ("Sejarah Sistan)," ditulis pada sekitar 1053. Nama penulis tidak diketahui.
  2. Penulis kitab Majmal al-Tawarikh wa Al-Qasas (ca. 1126). Nama penulis tidak diketahui.
  3. Mohammad Ali Ravandi, penulis kitab Rahat al-Sodur wa Ayat al-Sorur (ca. 1206).
  4. Ibn Bibi, penulis kitab sejarah Al-Awamir al-'Alaiyah, ditulis pada masa pemerintahan 'Ala ad-din KayGhobad.
  5. Ibn Esfandyar, penulis kitab Tarikh-e Tabarestan.
  6. Muhammad Juwayni, sejarawan mula-mula dari zaman Mongol, menorehkan pujiannya dalam kitab Tarikh-e Jahan Gushay (era Ilkhanan).
  7. Hamdollah Mostowfi Qazwini juga banyak menyimak Syahnameh dan menulis kitab Zafarnamah dengan gaya penulisan serupa pada era Ilkhanan.
  8. Hafez-e Abru (1430) dalam kitab Majma' al-Tawarikh.
  9. Khwand Mir dalam kitab Habab al-Siyar (ca. 1523) memuji-muji Firdausi dan membabarkan riwayat hidup Firdausi secara panjang lebar.
  10. Sejarawan Arab, Ibn Athir, dalam kitabnya, Al-Kamil, mengemukakan bahwa "Jikalau kita menamakannya Quran dari 'Ajam, maka tidaklah kita berkata-kata dengan percuma. Jikalau seorang penyair menulis syair dan syair itu banyak ayatnya, atau jikalau seseorang menulis banyak syair, sudah barang tentu sebagian di antara karya-karya tulis itu tidaklah istimewa. Lain halnya dengan Syahnameh, sekalipun memiliki lebih dari 40 ribu gurindam, semua ayatnya istimewa."[28]

Edisi-edisi moderen

Sebuah ilustrasi dari Syahnameh

Edisi ilmiah

Sebuah edisi ilmiah dari Syahnameh disusun pada 1829 di India oleh T. Macan. Edisi ini disusun berdasarkan hasil perbandingan 17 naskah salinan. Antara 1838 dan 1878, sebuah edisi ilmiah diterbitkan di Paris oleh cendekiawan Perancis J. Mohl, disusun berdasarkan hasil perbandingan 30 naskah. Kedua edisi ini tidak memiliki apparatus criticus dan didasarkan pada naskah-naskah sekunder yang dihasilkan sesudah abad ke-15; jauh lebih kemudian dari pada karya aslinya. Antara 1877 dan 1884, cendekiawan Jerman J. A. Vullers menyusun sebuah edisi ilmiah hasil sistesis dari edisi T. Macan dan edisi J. Mohl, namun hanya tiga yang terbit dari sembilan jilid yang direncanakan. Edisi J. A. Vullers kelak dirampungkan di Teheran oleh tiga cendekiawan Iran: S. Nafisi, Iqbal, dan M. Minowi, dalam rangka memperingati 1000 tahun Firdausi, yang diselenggarakan antara 1934 dan 1936.

Edisi kritis moderen pertama dari Syahnameh disusun oleh sekumpulan cendekiawan Rusia dipimpin E. E. Bertel, dengan mempergunakan naskah-naskah tertua yang ada saat itu, yang berasal dari abad ke-13 dan ke-14, dengan acuan utama sebuah naskah tahun 1276 dari British Museum dan sebuah naskah tahun 1333 dari Leningrad, naskah Leningrad kini diketahui merupakan sebuah naskah sekunder. Lagi pula, dua naskah lain yang dijadikan acuan dalam edisi ini sudah sangat jatuh pamornya. Edisi ini diterbitkan di Moskow oleh Institut Studi Oriental dari Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet dalam sembilan jilid antara 1960 dan 1971.[29]

Selama bertahun-tahun, edisi Moskow digunakan sebagai edisi ilmiah standar. Pada 1977, sebuah naskah lama tahun 1217 ditemukan kembali di Firenze. Naskah 1217 dari Firenze ini adalah salah satu salinan Syahnameh tertua yang diketahui, keberadaannya mendahului invasi Moghul yang diikuti penghancuran perpustakaan-perpustakaan dan kumpulan-kumpulan naskah penting. Dengan menjadikannya sebagai naskah acuan utama, Djalal Khaleghi-Motlagh mulai menyusun sebuah edisi kritis yang baru pada 1990. Jumlah naskah yang diperbandingkan dalam penyusunan edisi Khaleghi-Motlagh melampaui jumlah yang pernah digunakan kumpulan cendekiawan Moskow. Edisi ini memiliki aparatus criticus yang sangat kaya dan mencantumkan sejumlah besar varian dari banyak penggalan syair Syahnameh. Jilid terakhir diterbitkan pada 2008, menjadikan upaya penyusunan edisi kritis ini rampung dalam delapan jilid. Menurut Dick Davis, profesor bahasa Farsi di Ohio State University, edisi Khaleghi-Motlagh "sejauh ini adalah edisi Syahnameh terbaik yang tersedia, dan tentu akan tetap demikian dalam jangka yang sangat panjang.[30]

Terjemahan ke dalam bahasa Inggris

Berkas:Esfandiyar Ramsar.jpg
Patung Esfandiyār di Ramsar, Iran.

Ada sejumlah karya terjemahan ke dalam bahasa Inggris, hampir semuanya berupa ringkasan. James Atkinson dari bagian pelayanan medis Kompeni Inggris menerjemahkan Syahnameh ke dalam bahasa Inggris yang diterbitkan pada 1832 bagi Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland, sekarang bagian dari Royal Asiatic Society. Antara 1905 dan 1925, dua bersaudara Arthur dan Edmond Warner menerbitkan sebuah karya terjemahan lengkap Syahnameh dalam 9 jilid, kini tidak lagi dicetak. Ada pula karya-karya terjemahan Syahnameh yang tidak menyeluruh: Syahnameh versi prosa terbitan 1967 karya Reuben Levy (kelak direvisi oleh Amin Banani), dan sebuah terjemahan lain oleh Dick Davis berupa campuran puisi dan prosa terbitan 2006.[31]

Kaum Parsi, para pengikut ajaran Zoroaster, yang leluhurnya bermigrasi ke India pada abad ke-8 atau abad ke-10 demi menjalankan perintah agamanya dalam suasana damai, melestarikan pula tradisi-tradisi Syahnameh. Dr. Bahman Sohrabji Surti, dibantu Marzban Giara, menerbitkan terjemahan Syahnameh pertama yang rinci dan lengkap dari bait-bait syair asli dalam bahasa Farsi ke dalam prosa bahasa Inggris, antara 1986 dan 1988 dalam tujuh jilid.

Terjemahan ke dalam bahasa Gujarat

Dastur Faramroz Kutar dan saudaranya Ervad Mahiyar Kutar menerjemahkan Syahnameh ke dalam bahasa Gujarat dalam bentuk puisi dan prosa serta menerbitkannya dalam 10 jilid antara 1914 dan 1918.

Terjemahan ke dalam bahasa Spanyol

Sebuah karya terjemahan ke dalam bahasa Spanyol telah diterbitkan dalam 2 jilid oleh Institut Riset Islam Cabang Teheran dari McGill University.

Adaptasi ke layar lebar

Syahnameh telah diadaptasi ke layar lebar dalam sebuah trilogi keluaran Tajikfilm 1971–1976 yang terdiri atas Skazanie o Rustame,[32] Rustam i Sukhrab,[33] dan Skazanie o Sijavushe.[34] Banglades pun telah membuat sebuah film berjudul Shourab Rustom pada 1993 yang berhasil meraih kesuksesan besar. Sebuah film Bollywood berjudul Rustom Sohrab dibuat berdasarkan Hikayat Rostam dan Sohrab pada 1963, dibintangi Prithviraj Kapoor.

Lain-lain

Kitab Syahnameh, khususnya Hikayat Rostam dan Sohrab, dikutip dan berperan penting dalam novel "The Kite Runner" karya penulis Amerika Serikat keturunan Afganistan, Khaled Hosseini.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Lalani, Farah (13 May 2010). "A thousand years of Firdawsi's Shahnama is celebrated". The Ismaili. Diakses tanggal 24 Mei 2010. 
  2. ^ Ashraf, Ahmad (30 March 2012). "Iranian Identity iii. Medieval Islamic Period". Encyclopædia Iranica. Diakses tanggal April 2010. 
  3. ^ Khaleghi-Motlagh, Djalal (26 January 2012). "Ferdowsi, Abu'l Qāsem i. Life". Encyclopædia Iranica. Diakses tanggal 27 Mei 2012. the poet refers... to the date of the Šāh-nāma’s completion as the day of Ard (i.e., 25th) of Esfand in the year 378 Š. (400 Lunar)/8 March 1010 
  4. ^ Zaehner, Robert Charles (1955). Zurvan: a Zoroastrian Dilemma. Biblo and Tannen. hlm. 10. ISBN 0819602809. 
  5. ^ Safa, Zabihollah (2000). Hamase-sarâ’i dar Iran, Tehran 1945. 
  6. ^ Shahbazi, A. Shapur (1991). Ferdowsī: A Critical Biography. Costa Mesa, Calif.: Mazda Publishers. hlm. 49. ISBN 0939214830. 
  7. ^ Khatibi, Abolfazl (1384/2005). Anti-Arab verses in the Shahnameh. 21, 3, Autumn 1384/2005: Nashr Danesh. 
  8. ^ Mutlaq, Jalal Khaleqi (1993). "Iran Garai dar Shahnameh". Hasti Magazine. Tehran: Bahman Publishers. 4. 
  9. ^ "Ferdowsi's "Shahnameh": The Book of Kings". The Economist. 16 September 2010. 
  10. ^ Perry, John (23 June 2010). "Šāh-nāma v. Arabic Words". Encyclopædia Iranica. Diakses tanggal 28 May 2012. 
  11. ^ Seyed-Gohrab, Ali Ashgar (2003). Laylī and Majnūn: Love, Madness and Mystic Longing in Niẓāmī's Epic Romance. Leiden: Brill. hlm. 276. ISBN 9004129421. 
  12. ^ Köprülü, Mehmed Fuad (2006). Early Mystics in Turkish Literature. Translated by Gary Leiser and Robert Dankoff. London: Routledge. p. 149. ISBN 0415366860.
  13. ^ Dickson, M.B.; and Welch, S.C. (1981). The Houghton Shahnameh. Volume I. Cambridge, MA and London. p. 34.
  14. ^ Savory, R. M. "Safavids". Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2nd). 
  15. ^ Arakelova, Victoria. "Shahnameh in the Kurdish and Armenian Oral Tradition (abridged)" (PDF). Diakses tanggal 28 May 2012. 
  16. ^ Giunshvili, Jamshid Sh. (15 June 2005). "Šāh-nāma Translations ii. Into Georgian". Encyclopædia Iranica. Diakses tanggal 28 May 2012. 
  17. ^ a b Bosworth, C.E. "Barbarian Incursions: The Coming of the Turks into the Islamic World". In Islamic Civilization, ed. D.S. Richards. Oxford, 1973. p. 2. "Firdawsi's Turan are, of course, really Indo-European nomads of Eurasian Steppes... Hence as Kowalski has pointed out, a Turkologist seeking for information in the Shahnama on the primitive culture of the Turks would definitely be disappointed. "
  18. ^ Bosworth, C.E. "The Appearance of the Arabs in Central Asia under the Umayyads and the Establishment of Islam". In History of Civilizations of Central Asia, Vol. IV: The Age of Achievement: AD 750 to the End of the Fifteenth Century, Part One: The Historical, Social and Economic Setting, ed. M.S. Asimov and C.E. Bosworth. Multiple History Series. Paris: Motilal Banarsidass Publ./UNESCO Publishing, 1999. p. 23. "Central Asia in the early seventh century, was ethnically, still largely an Iranian land whose people used various Middle Iranian languages. "
  19. ^ Frye, Richard N. (1963). The Heritage of Persia: The Pre-Islamic History of One of the World's Great Civilizations. New York: World Publishing Company. hlm. 40–41. 
  20. ^ a b Özgüdenli, Osman G. (15 November 2006). "Šāh-nāma Translations i. Into Turkish". Encyclopædia Iranica. 
  21. ^ Blair, Sheila S. (1992). The Monumental Inscriptions from Early Islamic Iran and Transoxiana. Leiden: E. J. Brill. hlm. 11. ISBN 9004093672. According to Ibn Bibi, in 618/1221 the Saljuq of Rum Ala' al-Din Kay-kubad decorated the walls of Konya and Sivas with verses from the Shah-nama 
  22. ^ a b Schimmel, Annemarie. "Turk and Hindu: A Poetical Image and Its Application to Historical Fact". In Islam and Cultural Change in the Middle Ages, ed. Speros Vryonis, Jr. Undena Publications, 1975. pp. 107–26. "In fact as much as early rulers felt themselves to be Turks, they connected their Turkish origin not with Turkish tribal history but rather with the Turan of Shahnameh: in the second generation their children bear the name of Firdosi’s heroes, and their Turkish lineage is invariably traced back to Afrasiyab—weather we read Barani in the fourteenth century or the Urdu master poet Ghalib in the nineteenth century. The poets, and through them probably most of the educated class, felt themselves to be the last outpost tied to the civilized world by the thread of Iranianism. The imagery of poetry remained exclusively Persian. "
  23. ^ Ferdowsi (2006). Shahnameh: The Persian Book of Kings. Translated by Dick Davis. New York: Viking. ISBN 0670034851.
  24. ^ Ferdowsi's poet, (2010). Shahnameh: The Persian Book of Kings. Translated by Reza Jamshidi Safa. Tehran, Iran.
  25. ^ Christensen, Karen; Levinson, David, ed. (2002). Encyclopedia of Modern Asia. New York: Charles Scribner's Sons. hlm. 48. ISBN 0684806177. 
  26. ^ Azodi, Wiesehöfer (August 18, 2001). Ancient Persia: From 550 BC to 650 AD (edisi ke-New). London: I. B. Tauris. hlm. Introduction. ISBN 1860646751. 
  27. ^ a b Nurian, Mahdi (1993). "Afarin Ferdowsi az Zaban Pishinian". Hasti Magazine. Tehran: Bahman Publishers. 4. 
  28. ^ http://www.qudsdaily.com/archive/1384/html/2/1384-02-25/page2.html
  29. ^ Osmanov, M. N. O. "Ferdowsi, Abul Qasim". TheFreeDictionary.com. Diakses tanggal 11 September 2010. 
  30. ^ Davis, Dick (Aug 1995). "Review: The Shahnameh by Abul-Qasem Ferdowsi, Djalal Khaleghi-Motlagh". International Journal of Middle East Studies. Cambridge University Press. 27 (3): 393–395. JSTOR 176284. 
  31. ^ Loloi, Parvin (2014). "Šāh-Nāma Translations iii. Into English". Encyclopedia Iranica. Diakses tanggal 8 October 2015. 
  32. ^ Legenda Rustam di IMDb (dalam bahasa Inggris)
  33. ^ Rustam dan Suhrab di IMDb (dalam bahasa Inggris)
  34. ^ Legenda Siawus di IMDb (dalam bahasa Inggris)

Pranala luar

Terjemahan dalam bahasa Inggris oleh