Masjid Raya Sultan Riau: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ghalih.99 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: shalat → salat (3)
Baris 22: Baris 22:


== Profil ==
== Profil ==
Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Bahkan, hingga kini masjid ini masih digunakan oleh warga untuk beribadah. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan [[Ramadhan]] tiba.
Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Bahkan, hingga kini masjid ini masih digunakan oleh warga untuk beribadah. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan [[Ramadhan]] tiba.


Dari Dermaga Panjang dan [[Pelabuhan Sri Bintan Pura]], Kota Tanjungpinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau Penyengat, pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan shalat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di [[India]].
Dari Dermaga Panjang dan [[Pelabuhan Sri Bintan Pura]], Kota Tanjungpinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau Penyengat, pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan salat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di [[India]].


Susunan kubahnya bervariasi mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat [[Islam]] dalam sehari.
Susunan kubahnya bervariasi mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rakaat dalam salat yang harus dilakukan oleh setiap umat [[Islam]] dalam sehari.


Sejak dibangun tahun 1832 dengan bangunan beton seperti yang kita lihat sekarang ini, Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat tidak pernah di renovasi atau di ubah bentuknya.
Sejak dibangun tahun 1832 dengan bangunan beton seperti yang kita lihat sekarang ini, Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat tidak pernah di renovasi atau di ubah bentuknya.
Baris 34: Baris 34:
Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan [[Kesultanan Lingga|Kerajaan Riau-Linggga]] pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.
Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan [[Kesultanan Lingga|Kerajaan Riau-Linggga]] pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.


Untuk membuat sebuah masjid yang besar, [[Sultan Abdurrahman]] berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 [[Syawal]] 1248 [[Hijriah]] (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.
Untuk membuat sebuah masjid yang besar, [[Sultan Abdurrahman]] berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 [[Syawal]] 1248 [[Hijriah]] (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.


Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.
Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.


Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.
Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.


== Keistimewaan dan Keunikan ==
== Keistimewaan dan Keunikan ==
Baris 45: Baris 45:
Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Al Quran tulisan tangan karya [[Abdullah Al Bugisi]] yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang [[Melayu]] tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada pengunjung lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Pengunjung juga dilarang untuk mengambil foto di dalam masjid.
Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Al Quran tulisan tangan karya [[Abdullah Al Bugisi]] yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang [[Melayu]] tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada pengunjung lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Pengunjung juga dilarang untuk mengambil foto di dalam masjid.


Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari [[Jepara]], sebuah kota kecil di pesisir pantai utara [[Jawa]] yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya, ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah [[Daik, Lingga, Lingga|Daik Lingga]].
Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari [[Jepara]], sebuah kota kecil di pesisir pantai utara [[Jawa]] yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya, ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah [[Daik, Lingga, Lingga|Daik Lingga]].


Di dekat mimbar, Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah [[Makkah al-Mukarramah]], melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari [[Turki]] dan lampu kristal yang merupakan hadiah dari Kerajaan Prusia ([[Jerman]]) pada tahun 1860-an. Pasir ini dibawa oleh [[Raja Ahmad Engku Haji Tua]], bangsawan [[Riau]] pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.
Di dekat mimbar, Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah [[Makkah al-Mukarramah]], melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari [[Turki]] dan lampu kristal yang merupakan hadiah dari Kerajaan Prusia ([[Jerman]]) pada tahun 1860-an. Pasir ini dibawa oleh [[Raja Ahmad Engku Haji Tua]], bangsawan [[Riau]] pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.


Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Adapun rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.
Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Adapun rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.


Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan rumah sotoh, bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di [[Arab]] namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti [[Syekh Ahmad Jabrati]], [[Syekh Arsyad Banjar]], [[Syekh Ismail]], dan [[Haji Shahabuddin]], pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.
Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu salat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan rumah sotoh, bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di [[Arab]] namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti [[Syekh Ahmad Jabrati]], [[Syekh Arsyad Banjar]], [[Syekh Ismail]], dan [[Haji Shahabuddin]], pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.


Dalam dua kali pameran mesjid pada [[Festival Istiqlal]] di [[Jakarta]] (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai [[kubah]].
Dalam dua kali pameran mesjid pada [[Festival Istiqlal]] di [[Jakarta]] (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai [[kubah]].
Baris 70: Baris 70:
== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist|2}}
{{reflist|2}}
{{Templat:Topik Kepulauan Riau}}
{{Topik Kepulauan Riau}}
{{Masjid di Indonesia}}
{{Masjid di Indonesia}}
{{DEFAULTSORT:Raya Sultan Riau, Masjid}}


{{DEFAULTSORT:Raya Sultan Riau, Masjid}}
[[Kategori:Masjid di Kepulauan Riau]]
[[Kategori:Masjid di Kepulauan Riau]]

Revisi per 4 Maret 2016 10.48

Masjid Raya Sultan Riau
Agama
AfiliasiIslam
Lokasi
LokasiPulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid Raya
Gaya arsitekturMelayu, Arab, India, Turki
Peletakan batu pertama1761
Rampung1812
Spesifikasi
Kubah13
Menara4
Tinggi menara18,9 m

Masjid Raya Sultan Riau atau disebut juga Masjid Sultan Riau merupakan salah satu masjid tua dan bersejarah di Indonesia yang berada di pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, provinsi Kepulauan Riau. Masjid ini merupakan salah satu masjid unik karena salah satu campuran bahan bangunan yang digunakan adalah putih telur. Masjid Sultan Riau ini sudah dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.[1]

Profil

Masjid dengan ketebalan dinding mencapai 50 cm ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh. Bahkan, hingga kini masjid ini masih digunakan oleh warga untuk beribadah. Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Lantai bangunannya tersusun dari batu bata yang terbuat dari tanah liat. Di halaman masjid terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat menyelenggarakan musyawarah. Selain itu, di halaman masjid juga terdapat dua balai, tempat menaruh makanan ketika ada kenduri dan untuk berbuka puasa ketika bulan Ramadhan tiba.

Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjungpinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di pulau Penyengat, pulau kecil seluas 240 hektar itu. Tiga belas kubah dan empat menara masjid berujung runcing setinggi 18,9 meter yang dulu digunakan oleh muadzin untuk mengumandangkan panggilan salat membuat bangunan itu tampak megah seperti istana-istana raja di India.

Susunan kubahnya bervariasi mengelompok dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ketika kubah dan menara tersebut dijumlahkan, ia menunjuk pada angka 17. Hal ini dapat diartikan sebagai jumlah rakaat dalam salat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari.

Sejak dibangun tahun 1832 dengan bangunan beton seperti yang kita lihat sekarang ini, Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat tidak pernah di renovasi atau di ubah bentuknya.

masjid sultan riau

Sejarah

Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya, masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada 1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.

Untuk membuat sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 1 Syawal 1248 Hijriah (1832 M), atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Panggilan tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.

Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.

Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan hingga saat ini.

Keistimewaan dan Keunikan

Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari benda-benda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama, pengunjung dapat menjumpai mushaf Al Quran tulisan tangan yang diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul, putera Riau asli pulau Penyengat yang diutus oleh Sultan untuk belajar di Turki pada tahun 1867 M.

Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Al Quran tulisan tangan karya Abdullah Al Bugisi yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya karena dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran. Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada pengunjung lantaran kondisinya sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab di dalam dua lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Pengunjung juga dilarang untuk mengambil foto di dalam masjid.

Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa yang terkenal dengan kerajinan ukirnya sejak lama. Sebenarnya, ada dua mimbar yang dipesan waktu itu, yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini, sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di masjid di daerah Daik Lingga.

Di dekat mimbar, Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir yang konon berasal dari tanah Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki dan lampu kristal yang merupakan hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.

Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu, rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Adapun rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri halaman depan masjid.

Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu salat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan rumah sotoh, bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan Haji Shahabuddin, pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.

Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.

Tradisi

Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat memiliki tradisi unik dalam memperingatai hari-hari besar Islam, seperti tahun baru Islam setiap tanggal 1 Muharram yang ditandai dengan berkeliling kampung selama tiga hari pada malam hari dengan Ratib Saman. Tujuannya untuk pembersihan kampung dari hal-hal yang tidak baik, seperti mengazankan tempat-tempat yang dianggap angker.[2]

Pada Maulid Nabi Muhammad SAW juga berkeliling kampung sebelum membacakan Kitab Al-Barzanji di Masjid. Selain itu juga pembacaan hikayat Isra Mi`raj Nabi Muhammad S.A.W saat peringatan Isra Mi`raj. Beberapa hari sebelum datang bulan Ramdhan setiap tahun juga dilakukan Kenduri Jamak yang diikuti seluruh warga Penyengat dan warga pulau lainnya di Masjid Sultan Riau.

Cagar Budaya

Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Raya Penyengat, ditetapkan pemerintah sebagai benda cagar budaya bersama 16 situs sejarah lainnya di Pulau milik Engku Putri itu. Pemerintah bersama warga Pulau Penyengat tetap berusaha melestarikan peninggalan sejarah Kerajaan Riau-Lingga di pulau itu.

Pelestarian benda-benda cagar budaya di Pulau Penyengat dibawah pengawasan Pemkot Tanjungpinang, provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Sumatra Barat dan Balai Arkeologi Medan.

Wisata Rohani

Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat senantiasa menarik perhatian para pengunjung dari berbagai daerah, terutama di bulan suci Ramadhan. Pengunjung dari berbagai daerah Indonesia serta dari mancanegara terutama dari Singapura dan Malaysia berdatangan ke masjid ini. Selain untuk melaksanakan sholat, juga untuk menikmati keindahan masjid tua ini.

Referensi

  1. ^ [1]. Harian Kompas, 6 Juni 2009. Diakses pada 06 April 2015
  2. ^ [2]. Bujang Masjid, 13 November 2010. Diakses pada 06 April 2015