Portal:Sejarah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Zurohman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
SEJARAH
{{Kategori utama}}__NOTOC__ __NOEDITSECTION__
DUKUH UJUNG BIRU DESA BRAYO KECAMATAN WONOTUNGGAL BATANG
{|cellpadding="5" cellspacing="10" style="width:100%; background:#EEE8AA; border-style:solid; border-width:2px; border-color:#B05F3C;"
A. Sejarah Kecamatan Wonotunggal
| colspan="2" width="100%" valign="top" style="padding:1em; margin:.2em; border:1px solid grey; background:#fffacd;" |
Dukuh Ujung Biru merupakan salah satu Dukuh di kecamatan Wonotunggal yang terdapat di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah yang menjadi salah satu kecamatan yang menyokong setiap perkembangan Kabupaten Batang disetiap aspek kehidupan. Dukuh Ujung Biru menjadi salah satu Dukuh di kecamatan yang mendukung Kabupten Batang dalam bidang pertanian. Namun dibalik peran Dukuh Ujung Biru di Kecamatan Wonotunggal sebagai salah satu Penyokong Kabupaten Batang dalam bidang pertanian, terdapat kisah atau cerita mengesankan yang dilalui oleh tokoh-tokoh penting, diantaranya:
<!-- INTRO -->
1. Kyai Nampobaya (Singasari)
<div style="float:right; width:100%;">
2. Kyai Singoaranu Nolojoyo
{{Portal:Sejarah/Intro}}
3. Kyai Randa Kasihan (Nyai Pandan Sari)
</div>
4. Kyai Embo (Koro Jonggol), Jamadi
<!--
5. Sarinten
Sedangkan orang-orang yang selalu setia mengikuti dan menjadi pembantu beliau diantaranya:
1. Kyai Sentana
2. Kyai Suto
3. Kyai Jegut
4. Suto Bambang
5. Kyai Belabelu
6. Kyai Bromo Sari (anak angkat Kyai Singosari)
Diceritakan bahwa orang-orang tersebut berasal dari Pesantenan (sekarang kota Pati). Pada waktu itu terjadi sebuah peperangan antara Pragolo Adipati Pesantenan dengan Mataram. Adapun kelima pelaku sejarah tersebut diatas adalah putra-putri dari Adipati Pragolo. Mereka menghindari peperangan dan pergi ke arah barat dengan diikuti oleh lima orang pengikut setianya.
Perjalanan yang sangat jauh itu akhirnya sampai di daerah Batang, tepatnya sekarang di desa Karangdawa yang kemudian pindah ke daerah Warungasem tepatnya sekarang desa Masin. Dari Masin pindah lagi ke arah tenggara melewati daerah Gunung Tugel dan tinggal di desa Brokoh. Ketika di Brokoh ada pengejaran tiba-tiba dari prajurit Mataram dan rombongan yang berusaha menghindari terjadinya peperangan akhirnya meninggalkan desa Brokoh menuju ke arah tenggara, namun sebagian prajurit Mataram mengejar rombongan Kyai Nompoboyo dan sebagian masih di Brokoh untuk menghadapi perlawanan dengan Bromosari, namun Bromosari kalah dan akhirnya meninggal dunia.
Sebagian romobongan Nompoboyo terhindar dari pengejaran, karena perjalanan mereka membelok ke kanan, kecuali Kyai Sarinten yang langsung mendapat pengejaran dari prajurit Mataram. Tetapi Kyai Sarinten dapat terhindar karena berusaha membelok kiri dan berlindung di sebuah mata air yang sangat rimbun tetapi apadaya nasib tidak dapat dihindari, kyai Sarinten masih dapat diketahui oleh prajurit musuh dan dilempari dengan batu yang kemudian pada sumber air itu diberi nama Belak Sigrudug. Kyai Sarinten sangat marah, dan sementara prajurit ada yang menghindari dari serangan balik Kyai Sarinten, yang dengan serangan ajaib yaitu dengan melepaskan burung-burung perkutut yang sudah diberi mantra bisa gatal. Kyai Sarinten menyerang terus kemudian musuh lari tunggang langgang terkena gatal-gatal.
Kyai Sarinten dengan dibantu Kyai Suto Jaya bekerja menggarap sawah dengan dialiri dari saluran, sedangkan setiap hari Kyai Singoranu sering meninjau (clungup), akhirnya saluran tersebut diberinama saluran Clungup dan petak sawah itu diberi nama Blok Karang. Semakin bertambahnya area persawahan Kyai Embo dan masih membangun persawahan untuk yang kedua kali. Sebelum memulai pekerjaannya Kyai Embo bertapa beberapa hari, selama bertapa setiap hari mendapat pengawasan dari Kyai Singoranu, dan diketahui siang maupun malam tidak pernah berbaring, maka oleh Kyai Singoranu memberi julukan Kyai Korojonggol. Selesai bertapa kemudian mulailah mengerjakan saluran dari sebelah bawah. Dan setelah hampir selesai terjadilah sengketa dengan orang-orang dari utara (sekarang desa Kreyo), karena berebut tempat untuk mengambil air dari kali Lojahan dalam satu tempat. Kyai Singoranu datang dan dapat mendamaikan serta dapat terjalin kerjasama dalam membuat saluran yang ke tiga untuk kepentingan bersama. Karena persengketaan diatas terjadi di daerah kerja Kyai Sarinten, yang akhir nya dapat bersatu manunggal menjalin kerja sama, maka oleh Kyai Singoranu diberi nama “Desa Wonotunggal”. Selain itu terjalin pula kerjasama dengan wilayah Kyai Embo sehingga saluran itu di beri nama saluran Brayo, kata Brayan (Bareng-bareng).
B. Sejarah dukuh Ujung Biru
Ujung Biru merupakan salah satu Dukuh yang berada di Kecamatan Wonotunggal dengan mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani dan pengrajin batu bata. Hal tersebut menjadikan Ujung Biru sebagai salah satu Dukuh yang mendukung bidang pangan dan material di Kecamatan Wonotunggal. Ujung Biru semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, dibalik nama Ujung Biru terdapat torehan sejarah yang menjadikan Ujung Biru kokoh dan berkembang, namun masih mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang telah ada seperti budaya Nyadran (sedekah bumi) hingga saat ini.
Berdasarkan cerita sesepuh Dukuh Ujung Biru mengenai perihal pemberian nama Ujung Biru adalah seorang tokoh sakti dan lima mata air yang mengalir deras. Konon pada saat itu akan terjadi banjir bandang yang disebabkan adanya 5 titik sumber air yang sangat besar yaitu Ujung Biru, Sitotok, Siwatu, Kijingan, dan Rawa Cacing. Apabila sumber air atau mata air tersebut tidak ditutup maka air tersebut akan menutupi daratan sehingga wilayah tersebut menjadi lautan.
Dalam keadaan genting tersebut, datanglah seseorang yang sangat sakti ke wilayah tersebut dan melakukan pertapaan disumber air yang pertama yaitu ujung biru yang sekarang berada di wilayah Dukuh Ujung Biru. Setelah melakukan pertapaan diatas batu yang sangat besar (di Ujung Biru) kemudian orang sakti tersebut mengangkat batu tersebut dan dibawalah batu-batu tersebut ketempat 5 sumber air tersebut guna menutupinya. Namun sangat disayangkan bahwa belum terdapat referensi yang jelas mengenai orang sakti yang menutupi sumber mata air dengan batu tersebut.
Hal tesebut merupakan torehan sejarah yang menjadi kepercayaan masyarakat setempat hingga saat ini. Sedangkan nama Ujung Biru diambil oleh masyarakat dari kata “ujung” dan “biru”. Ujung diartikan masyarakat sebagai tempat yang tinggi dan biru merupakan simbol warna air laut yang akan menggenangi wilayah tersebut.


********* AKHIR BAGIAN INTRO **********


-->
Mbah martoed bin marko
<!--
Mbah marto’ed bin marko merupakan salah satu ulama yang berdakwah di dukuh ujung biru, dia mempunyai istri bernama siti taijah dan memiliki 4 anak yaitu siti ayah, umi saroh, nurriyah dan utiyanah.

Karena krisis agama maka dari itu para sesepuh atau tokoh masyarakat diantaranya :
********* TERBAGI DUA DI SINI **********
Mbah carum, mbah samsudin, mbah tambel mbah darsan dll.

Bermusyawarah untuk mendatangkan seorang ulama yang bernama mbah marto’ed.
-->
Kejadian ini berlangsung sebelum Indonesia merdeka atau masih dalam terjajah oleh belanda sekitar tahun 1920an. Mbah marto’ed berasal dari dukuh sejiret desa kauman kecamatan batang kabupaten batang. Pada tahun 40an kemudian dia beradakwah di ujung biru dan semua kehidupanya dicuupi oleh masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Dan santrinyapun cukup banyak dari berbagai desa diantaranya dari desa kijingan, siwatu,sitotok dan kreyo.
|-
Beliau wafat pada tahun 1960 Di mushola atau langgar (dalam bahasa jawa) setelah sholat dhuha dalam keadaan sujud. Setelah meninggalnya beliau imam atau penyebaran dakwah agama islam dilanjutkan oleh menantunya yang bernama mbah rajad dari kijingan yang merupakan suami ibu siti ayah.
| valign="top" style="float:left; width:52%; background:#FFDEAD; border:1px solid silver;"|
{{/box-header2|{{pad|1em}}Artikel pilihan|Portal:Sejarah/Artikel pilihan}}
{{Portal:Sejarah/Artikel pilihan}}
{{/box-footer}}
| valign="top" style="float:right; width:45%;"|
{{/box-header|{{pad|1em}}Hari ini dalam sejarah|HariIniDalamSejarah}}
{{HariIniDalamSejarah/{{CURRENTDAY}} {{CURRENTMONTHNAME}}}}
{{/box-footer}}
|-

| valign="top" style="float:left; width:52%; background:#FFDEAD; border:1px solid silver;"|
{{/box-header2|{{pad|1em}}Tokoh pilihan|Portal:Sejarah/Tokoh pilihan}}
{{Portal:Sejarah/Tokoh pilihan}}
{{/box-footer}}
| valign="top" style="float:right; width:45%;"|
{{/box-header|{{pad|1em}}"Tahukah Anda..."|Portal:Sejarah/Tahukah anda}}
{{Portal:Sejarah/Tahukah anda}}
{{/box-footer}}
|-

| valign="top" style="float:left; width:52%; background:#FFDEAD; border:1px solid silver;"|
{{/box-header2|{{pad|1em}}Gambar pilihan|Portal:Sejarah/Gambar pilihan}}
{{Portal:Sejarah/Gambar pilihan}}
{{/box-footer}}
| valign="top" style="float:right; width:45%;"|
{{/box-header|{{pad|1em}}Kategori terkait|Portal:Sejarah/Kategori}}
{{/Kategori}}
{{/box-footer}}
|-
| colspan="2" valign="top" style="width:100%; background:#FFFACD; border:1px solid silver;"|
{{/box-header2|Indeks|Portal:Sejarah/Artikel2|align=center}}
{{/Artikel2}}
{{/box-footer}}
|-
| colspan="2" valign="top" style="width:100%; background:#FFFACD; border:1px solid silver;"|
{{/box-header2|[[Sejarah dunia]]|Portal:Sejarah/Artikel|align=center}}
{{/Artikel}}
{{/box-footer}}
|-
| colspan="2" valign="top" style="width:100%; background:#FFFACD; border:1px solid grey;"|
{{/box-header|Proyek Wikimedia|Portal:Sejarah/Wikimedia|align=center}}
{{/Wikimedia}}
{{/box-footer}}
|-
| colspan="2" valign="top" style="width:100%; background:#FFFACD; border:1px solid grey;"|
{{/box-header|Wikiportal lainnya|Templat:Portal|align=center}}
{{daftar portal}}
{{/box-footer}}

<!-- PORTAL BERAKHIR DI SINI -->
<!-- INTERWIKI -->

[[Kategori:Portal:Sejarah| ]]

Revisi per 30 September 2015 07.34

SEJARAH DUKUH UJUNG BIRU DESA BRAYO KECAMATAN WONOTUNGGAL BATANG A. Sejarah Kecamatan Wonotunggal Dukuh Ujung Biru merupakan salah satu Dukuh di kecamatan Wonotunggal yang terdapat di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah yang menjadi salah satu kecamatan yang menyokong setiap perkembangan Kabupaten Batang disetiap aspek kehidupan. Dukuh Ujung Biru menjadi salah satu Dukuh di kecamatan yang mendukung Kabupten Batang dalam bidang pertanian. Namun dibalik peran Dukuh Ujung Biru di Kecamatan Wonotunggal sebagai salah satu Penyokong Kabupaten Batang dalam bidang pertanian, terdapat kisah atau cerita mengesankan yang dilalui oleh tokoh-tokoh penting, diantaranya: 1. Kyai Nampobaya (Singasari) 2. Kyai Singoaranu Nolojoyo 3. Kyai Randa Kasihan (Nyai Pandan Sari) 4. Kyai Embo (Koro Jonggol), Jamadi 5. Sarinten Sedangkan orang-orang yang selalu setia mengikuti dan menjadi pembantu beliau diantaranya: 1. Kyai Sentana 2. Kyai Suto 3. Kyai Jegut 4. Suto Bambang 5. Kyai Belabelu 6. Kyai Bromo Sari (anak angkat Kyai Singosari) Diceritakan bahwa orang-orang tersebut berasal dari Pesantenan (sekarang kota Pati). Pada waktu itu terjadi sebuah peperangan antara Pragolo Adipati Pesantenan dengan Mataram. Adapun kelima pelaku sejarah tersebut diatas adalah putra-putri dari Adipati Pragolo. Mereka menghindari peperangan dan pergi ke arah barat dengan diikuti oleh lima orang pengikut setianya. Perjalanan yang sangat jauh itu akhirnya sampai di daerah Batang, tepatnya sekarang di desa Karangdawa yang kemudian pindah ke daerah Warungasem tepatnya sekarang desa Masin. Dari Masin pindah lagi ke arah tenggara melewati daerah Gunung Tugel dan tinggal di desa Brokoh. Ketika di Brokoh ada pengejaran tiba-tiba dari prajurit Mataram dan rombongan yang berusaha menghindari terjadinya peperangan akhirnya meninggalkan desa Brokoh menuju ke arah tenggara, namun sebagian prajurit Mataram mengejar rombongan Kyai Nompoboyo dan sebagian masih di Brokoh untuk menghadapi perlawanan dengan Bromosari, namun Bromosari kalah dan akhirnya meninggal dunia. Sebagian romobongan Nompoboyo terhindar dari pengejaran, karena perjalanan mereka membelok ke kanan, kecuali Kyai Sarinten yang langsung mendapat pengejaran dari prajurit Mataram. Tetapi Kyai Sarinten dapat terhindar karena berusaha membelok kiri dan berlindung di sebuah mata air yang sangat rimbun tetapi apadaya nasib tidak dapat dihindari, kyai Sarinten masih dapat diketahui oleh prajurit musuh dan dilempari dengan batu yang kemudian pada sumber air itu diberi nama Belak Sigrudug. Kyai Sarinten sangat marah, dan sementara prajurit ada yang menghindari dari serangan balik Kyai Sarinten, yang dengan serangan ajaib yaitu dengan melepaskan burung-burung perkutut yang sudah diberi mantra bisa gatal. Kyai Sarinten menyerang terus kemudian musuh lari tunggang langgang terkena gatal-gatal. Kyai Sarinten dengan dibantu Kyai Suto Jaya bekerja menggarap sawah dengan dialiri dari saluran, sedangkan setiap hari Kyai Singoranu sering meninjau (clungup), akhirnya saluran tersebut diberinama saluran Clungup dan petak sawah itu diberi nama Blok Karang. Semakin bertambahnya area persawahan Kyai Embo dan masih membangun persawahan untuk yang kedua kali. Sebelum memulai pekerjaannya Kyai Embo bertapa beberapa hari, selama bertapa setiap hari mendapat pengawasan dari Kyai Singoranu, dan diketahui siang maupun malam tidak pernah berbaring, maka oleh Kyai Singoranu memberi julukan Kyai Korojonggol. Selesai bertapa kemudian mulailah mengerjakan saluran dari sebelah bawah. Dan setelah hampir selesai terjadilah sengketa dengan orang-orang dari utara (sekarang desa Kreyo), karena berebut tempat untuk mengambil air dari kali Lojahan dalam satu tempat. Kyai Singoranu datang dan dapat mendamaikan serta dapat terjalin kerjasama dalam membuat saluran yang ke tiga untuk kepentingan bersama. Karena persengketaan diatas terjadi di daerah kerja Kyai Sarinten, yang akhir nya dapat bersatu manunggal menjalin kerja sama, maka oleh Kyai Singoranu diberi nama “Desa Wonotunggal”. Selain itu terjalin pula kerjasama dengan wilayah Kyai Embo sehingga saluran itu di beri nama saluran Brayo, kata Brayan (Bareng-bareng). B. Sejarah dukuh Ujung Biru Ujung Biru merupakan salah satu Dukuh yang berada di Kecamatan Wonotunggal dengan mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani dan pengrajin batu bata. Hal tersebut menjadikan Ujung Biru sebagai salah satu Dukuh yang mendukung bidang pangan dan material di Kecamatan Wonotunggal. Ujung Biru semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, dibalik nama Ujung Biru terdapat torehan sejarah yang menjadikan Ujung Biru kokoh dan berkembang, namun masih mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang telah ada seperti budaya Nyadran (sedekah bumi) hingga saat ini. Berdasarkan cerita sesepuh Dukuh Ujung Biru mengenai perihal pemberian nama Ujung Biru adalah seorang tokoh sakti dan lima mata air yang mengalir deras. Konon pada saat itu akan terjadi banjir bandang yang disebabkan adanya 5 titik sumber air yang sangat besar yaitu Ujung Biru, Sitotok, Siwatu, Kijingan, dan Rawa Cacing. Apabila sumber air atau mata air tersebut tidak ditutup maka air tersebut akan menutupi daratan sehingga wilayah tersebut menjadi lautan. Dalam keadaan genting tersebut, datanglah seseorang yang sangat sakti ke wilayah tersebut dan melakukan pertapaan disumber air yang pertama yaitu ujung biru yang sekarang berada di wilayah Dukuh Ujung Biru. Setelah melakukan pertapaan diatas batu yang sangat besar (di Ujung Biru) kemudian orang sakti tersebut mengangkat batu tersebut dan dibawalah batu-batu tersebut ketempat 5 sumber air tersebut guna menutupinya. Namun sangat disayangkan bahwa belum terdapat referensi yang jelas mengenai orang sakti yang menutupi sumber mata air dengan batu tersebut. Hal tesebut merupakan torehan sejarah yang menjadi kepercayaan masyarakat setempat hingga saat ini. Sedangkan nama Ujung Biru diambil oleh masyarakat dari kata “ujung” dan “biru”. Ujung diartikan masyarakat sebagai tempat yang tinggi dan biru merupakan simbol warna air laut yang akan menggenangi wilayah tersebut.


  Mbah martoed bin marko Mbah marto’ed bin marko merupakan salah satu ulama yang berdakwah di dukuh ujung biru, dia mempunyai istri bernama siti taijah dan memiliki 4 anak yaitu siti ayah, umi saroh, nurriyah dan utiyanah. Karena krisis agama maka dari itu para sesepuh atau tokoh masyarakat diantaranya : Mbah carum, mbah samsudin, mbah tambel mbah darsan dll. Bermusyawarah untuk mendatangkan seorang ulama yang bernama mbah marto’ed. Kejadian ini berlangsung sebelum Indonesia merdeka atau masih dalam terjajah oleh belanda sekitar tahun 1920an. Mbah marto’ed berasal dari dukuh sejiret desa kauman kecamatan batang kabupaten batang. Pada tahun 40an kemudian dia beradakwah di ujung biru dan semua kehidupanya dicuupi oleh masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Dan santrinyapun cukup banyak dari berbagai desa diantaranya dari desa kijingan, siwatu,sitotok dan kreyo. Beliau wafat pada tahun 1960 Di mushola atau langgar (dalam bahasa jawa) setelah sholat dhuha dalam keadaan sujud. Setelah meninggalnya beliau imam atau penyebaran dakwah agama islam dilanjutkan oleh menantunya yang bernama mbah rajad dari kijingan yang merupakan suami ibu siti ayah.