Intervensi bunuh diri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Intervensi bunuh diri adalah upaya langsung untuk mencegah seseorang atau beberapa orang yang mencoba mengakhiri hidup mereka sendiri dengan sengaja.

Kebanyakan negara di dunia yang memiliki beberapa bentuk undang-undang kesehatan mental yang memungkinkan orang yang memiliki keinginan bunuh diri untuk ditahan supaya menjalani perawatan psikiatri dengan paksa.[1] Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pengadilan, polisi, atau dokter untuk menangkap seseorang ke rumah sakit dalam rangka menjalani perawatan. Peninjauan atas pengobatan paksa yang sedang berlangsung dapat dilakukan oleh rumah sakit, pengadilan, atau badan kuasi-yudisial, tergantung pada yurisdiksi. Perundang-undangan biasanya memberikan hak pada polisi atau otoritas pengadilan untuk membawa orang tersebut ke rumah sakit untuk menjalani perawatan sesegera mungkin dan tidak menahan mereka di lokasi lain seperti kantor polisi.

Pada umumnya, petugas kesehatan mental dan beberapa petugas kesehatan profesional lainnya menerima pelatihan dalam pemeriksaan dan pengobatan orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Di beberapa negara terdapat saluran telepon yang bersedia untuk menerima laporan dari orang yang berniat bunuh diri untuk meminta bantuan. Namun, beberapa orang mungkin enggan untuk mendiskusikan niat bunuh diri mereka yang disebabkan karena stigma, pengalaman negatif sebelumnya, takut ditahan, atau alasan lainnya.[2]:2

Pertolongan pertama untuk ide bunuh diri[sunting | sunting sumber]

Saluran telepon krisis, seperti National Suicide Prevention Lifeline, memungkinkan orang untuk mendapatkan konseling telepon darurat segera.

Meski biasanya tidak dapat diprediksi, tetapi sebagian besar orang yang ingin melakukan bunuh diri sering memberikan semacam tanda peringatan.[2]:29 Dalam hal bunuh diri, terdapat banyak mitos yang mengelilinginya. Salah satu contoh dari mitos tersebut seperti, keyakinan bahwa berbicara dengan seseorang tentang bunuh diri dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Pada faktanya, ini tidaklah benar.[3]:8 Seseorang yang mengungkapkan pikiran untuk bunuh diri harus didorong untuk mencari perawatan kesehatan mental. Teman dan keluarga dapat memberikan dukungan dengan mendengarkan, empati, dan membuat rencana keselamatan. Tanda-tanda peringatan serius dari seseorang yang akan melakukan bunuh diri biasanya meliputi ungkapan niat untuk bunuh diri dan rencana khusus yang membuat orang tersebut dapat mencapai akses yang dapat membuatnya mati dengan segera.[3]:30 Jika seseorang menunjukkan tanda-tanda peringatan ini, layanan darurat harus segera dihubungi. Merupakan hal yang penting bahwa orang semacam itu harus diperlakukan secara serius. Sebuah kesalahan fatal apabila menganggap seseorang yang berbicara perihal bunuh diri hanya bertujuan untuk mencari perhatian, karena anggapan tersebut sebenarnya adalah mitos yang berkembang seputar bunuh diri.

Rencana untuk menyelematkan orang yang hendak bunuh diri dapat mencakup antara lain mencari sumber dukungan, melakukan aktivitas yang dapat menenangkan diri, menunjukkan bahwa alasan dia hidup itu sangat penting (seperti komitmen terhadap keluarga, hewan peliharaan, dll.), dan akses kepada orang yang aman untuk dihubungi serta tempat tujuan yang aman pula.[3]:38–39 Ketika seseorang merasa sangat tertekan karena pikiran bunuh diri, merujuk kembali ke rencana keselamatan akan menjadi hal yang sangat membantu.

Perawatan kesehatan mental[sunting | sunting sumber]

Pendekatan komprehensif untuk bunuh diri mencakup stabilisasi dan keamanan, penilaian faktor risiko, dan manajemen berkelanjutan serta pemecahan masalah yang bertujuan untuk meminimalisir faktor risiko dan memperkuat faktor pelindung.[3]:4 Selama fase akut, orang yang memiliki niat untuk bunuh diri dapat masuk ke rumah sakit jiwa atau menggunakan komitmen paksa dalam upaya untuk memastikan keselamatan klien, meski cara yang semacam ini harus digunakan seminimal mungkin.[4] Perawatan orang yang memiliki niat untuk bunuh diri berfokus pada pengurangan penderitaan dan peningkatan keterampilan untuk mengatasi, serta pengobatan penyakit yang mendasari niat tersebut.

Gangguan aksis I DSM-5, terutama gangguan depresi mayor, dan gangguan aksis II, terutama gangguan kepribadian ambang dapat meningkatkan risiko bunuh diri.[3]:45 Individu yang memiliki banyak penyakit mental dan gangguan penggunaan obat-obatan memiliki risiko untuk melakukan bunuh diri lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki satu dari dua gangguan tersebut.[4] Meskipun antidepresan mungkin tidak secara langsung menurunkan risiko bunuh diri pada orang dewasa karena dalam banyak kasus, antidepresan efektif dalam mengobati gangguan depresi mayor. Oleh karena itu, penggunaan antidepresan sangat direkomendasikan untuk pasien dengan depresi.[4] Ada bukti bahwa terapi litium jangka panjang mengurangi niatan bunuh diri pada individu dengan gangguan bipolar atau gangguan depresi mayor.[4] Terapi elektrokonvulsif (ECT), atau terapi kejut juga dapat dengan cepat mengurangi pemikiran bunuh diri.[4] Pilihan pendekatan pengobatan dibuat berdasarkan gejala dan riwayat pasien. Dalam kasus di mana seorang pasien secara aktif mencoba bunuh diri bahkan saat berada di bangsal rumah sakit, tindakan pengobatan cepat seperti ECT mungkin merupakan hal yang mungkin mendesak untuk dilakukan.

Idealnya, keluarga seharusnya terlibat dalam pemberian dukungan berkelanjutan kepada individu yang ingin bunuh diri, dan mereka dapat membantu memperkuat faktor pelindung dan pemecahan masalah seputar faktor risiko.[5] Baik keluarga maupun orang yang ingin bunuh diri harus memiliki akses ke penyedia layanan kesehatan untuk mengatasi stigma masyarakat seputar penyakit mental dan bunuh diri.

Latar belakang budaya orang yang ingin bunuh diri juga harus diperhatikan, karena hal ini dapat membantu dalam memahami faktor pelindung dan pendekatan pemecahan masalah. Faktor risiko juga dapat muncul terkait keanggotaan orang yang hendak bunuh diri dalam kelompok minoritas yang tertindas. Dalam beberapa kasus etnis minoritas seperti orang Aborigin, mereka dapat mengambil manfaat dari teknik penyembuhan tradisional Aborigin yang memfasilitasi perubahan pemikiran, hubungan dengan tradisi, dan ekspresi emosional yang berkaitan mengenai bunuh diri.[3] :21–22

Psikoterapi, khususnya terapi perilaku kognitif merupakan komponen penting dalam pengelolaan risiko bunuh diri.[4] Menurut uji coba terkendali acak tahun 2005 oleh Gregory Brown, Aaron Beck dan lain-lain, terapi kognitif dapat mengurangi upaya bunuh diri berulang hingga 50%.[6]

Pencegahan bunuh diri[sunting | sunting sumber]

Berbagai strategi pencegahan bunuh diri telah disarankan oleh para profesional kesehatan mental:[7]

  • Mempromosikan ketahanan mental melalui optimisme dan keterhubungan.[2]:08
  • Edukasi tentang bunuh diri, termasuk faktor risiko, tanda peringatan, dan ketersediaan bantuan.[8]
  • Meningkatkan kemampuan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan dalam merespon masyarakat yang membutuhkan. Ini termasuk pelatihan yang lebih baik untuk profesional kesehatan dan mempekerjakan organisasi krisis konseling.
  • Mengurangi kekerasan dalam rumah tangga, penyalahgunaan zat, dan perceraian adalah strategi jangka panjang untuk mengurangi banyak masalah kesehatan mental.[9]
  • Mengurangi akses ke cara bunuh diri yang efektif (misalnya, zat beracun, pistol, tali/tali sepatu).
  • Mengurangi jumlah dosis yang diberikan dalam kemasan obat-obatan non-resep seperti aspirin.
  • Intervensi ditargetkan pada kelompok berisiko tinggi.

Riset[sunting | sunting sumber]

Penelitian mengenai bunuh diri diterbitkan di berbagai jurnal yang didedikasikan untuk ilmu biologi, ekonomi, psikologis, medis, dan sosial. Selain itu, beberapa jurnal secara eksklusif dikhususkan untuk studi bunuh diri (suisidologi), seperti Crisis, Suicide and Life Threating Behavior, dan Archives of Suicide Research.[10][11][12]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Civil Commitment and the Mental Health Care Continuum: Historical Trends and Principles for Law and Practice" (PDF). SAMHSA: 1–43. 
  2. ^ a b c "Preventing suicide: A global imperative". World Health Organization. 2014. 
  3. ^ a b c d e f Monk, Lynda; Samra, Joti (2007), Samra, Joti; White, Jennifer; Goldner, Elliot, ed., Working With the Client Who is Suicidal: A Tool for Adult Mental Health and Addiction Services (PDF), Vancouver, British Columbia: Centre for Applied Research in Mental Health and Addiction, ISBN 978-0-7726-5746-6, OCLC 223281097, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-04-22, diakses tanggal 2022-03-14 
  4. ^ a b c d e f Jacobs, Douglas G.; Baldessarini, Ross J.; Conwell, Yeates; Fawcett, Jan A.; Horton, Leslie; Meltzer, Herbert; Pfeffer, Cynthia R.; Simon, Robert I. (November 2003), "Practice Guideline for the Assessment and Treatment of Patients With Suicidal Behaviors", American Psychiatric Association practice guidelines, Arlington, VA: American Psychiatric Publishing, 1, doi:10.1176/appi.books.9780890423363.56008, ISBN 9780890423363, OCLC 71824985, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-27, diakses tanggal 2022-03-14 
  5. ^ Desideria, Benedikta (2014-09-21). Susanto, Gabriel Abdi, ed. "Keluarga, Aspek Penting dalam Pencegahan Bunuh Diri". Liputan6.com. Diakses tanggal 2022-03-14. 
  6. ^ Brown, G.K.; Have, T.T.; Henriques, G.R.; Xie, S.X.; Hollander, J.E.; Beck, A.T. (3 August 2005). "Cognitive Therapy for the Prevention of Suicide Attempts: A Randomized Controlled Trial". JAMA: The Journal of the American Medical Association. 294 (5): 563–570. doi:10.1001/jama.294.5.563. PMID 16077050. 
  7. ^ General (US), Office of the Surgeon; Prevention (US), National Action Alliance for Suicide (2012-09). Introduction (dalam bahasa Inggris). US Department of Health & Human Services (US). 
  8. ^ "Suicide Prevention". National Institute of Mental Health (NIMH) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-15. 
  9. ^ Deb Stone, Kristin Holland, Brad Bartholow, Alex Crosby, Shane Davis, Natalie Wilkins (2017). Preventing Suicide: A Technical Package of Policy, Programs, and Practices (PDF). Atlanta: Division of Violence Prevention. hlm. 9–10. 
  10. ^ "Crisis: The Journal of Crisis Intervention and Suicide Prevention". www.hogrefe.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-14. 
  11. ^ "SUICIDE AND LIFE-THREATENING BEHAVIOR Impact Factor". SCI Journal (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-14. 
  12. ^ "Archives of Suicide Research". International Academy of Suicide Research (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-03-14. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Jurnal penelitian intervensi bunuh diri: