Inklusi keuangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Inklusi keuangan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Di Indonesia, kelompok masyarakat yang diprioritaskan untuk mendapat akses keuangan antara lain masyarakat berpenghasilan rendah (dalam hal ini MBR atau keluarga prasejahtera), pelaku UMKM, pekerja migran, wanita, disabilitas, anak terlantar, lansia, penduduk daerah tertinggal, serta pelajar dan pemuda.

Menurut data Global Findex tahun 2017, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 48,9% atau 12% lebih tinggi dibanding hasil Global Findex tiga tahun sebelumnya. Pada 2014, baru sekitar 36% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.[1]

Perjalanan inklusi keuangan di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Perhatian pemimpin dunia terkait pentingnya inklusi keuangan mulai mencuat setelah krisis ekonomi 2008 yang menyebabkan lapisan masyarakat terbawah (penduduk berpendapatan rendah, penduduk daerah terjauh, penyandang disabilitas, masyarakat tidak memiliki identitas legal, buruh, dan masyarakat tertinggal) menerima dampak terburuk krisis tersebut. Peran inklusi keuangan pada masyarakat yang dimaksud pertama kali resmi dibahas oleh pemimpin dunia pada G2O’s Meeting di Pittsburg tanggal 24 - 25 September 2009.[2]

Sebagai salah satu negara dengan tingkat inklusi keuangan yang rendah pada tahun 2011 yaitu sebesar 20%,[3] pemerintah Indonesia telah memulai urun rembug untuk mempersiapkan dokumen resmi sebagai landasan hukum untuk pelaksanaan program kerja terkait peningkatan inklusi keuangan di Indonesia sejak tahun 2012 - 2014. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo memerintahkan kabinetnya untuk memulai merumuskan rencana program kerja untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia dengan melakukan revisi pada dokumen yang dihasilkan pemerintah sebelumnya untuk disesuaikan dengan Nawacita.[4]

Pada tanggal 3 Agustus 2016, Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan telah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden yang akan menjadi program kerja strategis untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.[5] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang memimpin pertemuan tersebut, yang dihadiri oleh Kementerian dan Lembaga terkait seperti Bank Indonesia, OJK, dsb, bersama menyiapkan dokumen resmi / strategi yang komprehensif dengan menuangkan indikator-indikator capaian program dan target inklusi keuangan di Indonesia.[5] Pada pertemuan tersebut, Sekretaris Menteri Perekonomian, Lukita Dinarsyah Tuwo, menyampaikan bahwa strategi program kegiatan direncanakan dapat meningkatkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia menjadi 75% pada akhir tahun 2019.[5]

Kemudian pada Jumat, 18 November 2016, Presiden Joko Widodo meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016. Strategi tersebut-lah yang mendasari terbentuknya Dewan Nasional Keuangan Inklusif yang diketuai Presiden Republik Indonesia dengan anggota-anggota yang terdiri dari Kementerian dan Lembaga Pemerintahan terkait.[6] Peluncuran ini menandai titik awal upaya serius Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia yang bertujuan akhir meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Strategi Nasional Keuangan Inklusif[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016, terdapat beberapa informasi penting yang perlu diketahui terkait Strategi Nasional Keuangan Inklusif atau umumnya dikenal sebagai SNKI seperti Definisi Strategi Nasional Keuangan Inklusif, Susunan Keanggotaan Dewan Nasional Keuangan Inklusif, Pilar-pilar dan Pondasi Inklusi Kuangan, Segmen Prioritas Masyarakat Indonesia. Selain itu, salinan dokumen Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 dapat diunduh oleh masyarakat Indonesia secara luas pada tautan berikut, 3. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi. Nasional Keuangan Inklusif (Lembaran Negara Republik. Indonesia Tahun 2016 Nomor 185);. 4..

Definisi[sunting | sunting sumber]

Dalam Peraturan Presiden tersebut, yang dimaksud sebagai Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah "strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, dan kebijakan keuangan inklusif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia."[7] Keuangan inklusif merupakan komponen penting dalam proses inklusi sosial dan inklusi ekonomi yang berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas sistem keuangan, mendukung program penanggulangan kemiskinan, serta mengurangi kesenjangan antarindividu dan antardaerah. Karena, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Presiden tersebut, SNKI dimaksudkan memiliki dua fungsi berikut:

  1. Sebagai "pedoman bagi menteri dan pimpinan lembaga dalam menetapkan kebijakan sektoral yang terkait dengan SNKI, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis di bidang tugas masing-masing sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)";[7] dan
  2. Sebagai "pedoman bagi gubernur dan bupati/walikota dalam menetapkan kebijakan daerah yang terkait dengan SNKI pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota".[7]

Penduduk Indonesia memiliki kebutuhan yang besar akan layanan keuangan, terutama terkait layanan keuangan dasar yang mencakup transaksi pembayaran nontunai, tabungan, kredit/pembiayaan, remitansi, dan asuransi. Layanan keuangan saat ini masih didominasi oleh perbankan sebagai lembaga penyedia jasa keuangan dan pembayaran. Dalam meningkatkan keuangan inklusif, selain tingkat literasi keuangan yang relatif rendah, juga terdapat tantangan dari sisi penawaran dan sisi permintaan layanan keuangan. Sejumlah tantangan tersebut antara lain ialah sebagai berikut:

  1. Akses kepada Produk Layanan Keuangan
    • Akses kepada Instrumen Transaksi Pembayaran. Akses keuangan bagi masyarakat berpendapatan rendah dapat dimulai dari penggunaan uang elektronik untuk mempermudah transaksi pembayaran dan mulai belajar mengelola keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya berkembang kebutuhan untuk menabung pada tabungan di bank, serta kebutuhan yang lebih luas untuk produk dan layanan keuangan lainnya.
    • Akses kepada Tabungan
    • Akses kepada Kredit/Pembiayaan
    • Akses kepada Asuransi
    • Akses kepada Layanan Remitansi
  2. Lembaga Keuangan. Lembaga keuangan formal yang telah berkembang di Indonesia adalah Bank, Industri Pasar Modal, Industri Keuangan Non Bank (IKNB),Lembaga Keuangan Mikro, dan Koperasi Simpan Pinjam, yang memiliki prinsip konvensional dan syariah.
  3. Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran. Di Indonesia, lembaga penyedia jasa pembayaran di Indonesia saat ini terdiri dari bank dan non bank penyelenggara Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Bank Indonesia – RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, jaringan (prinsipal) kartu ATM/kartu debet, penyelenggara jaringan (prinsipal) Kartu Kredit, penerbit uang elektronik, dan penyelenggara transfer dana yang juga merupakan penyedia layanan remitansi.

Dewan Nasional Keuangan Inklusif dan Susunan Keanggotaannya[sunting | sunting sumber]

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 merupakan dasar pembentukan Dewan Nasional Keuangan Inklusif yang bertugas mengkoordinir dan memulai sinktronisasi pelaksanaan SNKI, memimpin penyelesaian permasalahan dan hambatan permasalahan SNKI melalui langkah-langkah dan kebijakan, serta memonitor dan mengevaluasi implementasi SNKI di lapangan.[7]

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 juga mengatur susunan kepengurusan Dewan Nasional Keuangan Inklusif. Dalam dokumen tersebut, diatur bahwa Presiden Republik Indonesia memimpin sebagai Ketua Dewan dengan Wakil Ketua Dewan, Wakil Presiden Republik Indonesia, dengan Ketua Harian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu terdapat dua Wakil Ketua Harian yaitu Gubernur Bank Indonesia sebagai Wakil Ketua Harian I dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil Ketua Harian II. Pada akhirnya, Dewan Nasional Keuangan Inklusif memiliki anggota-anggota yang terdiri dari:[7]

  1. "Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;
  2. Menko bidang Politik Hukum dan Keamanan;
  3. Menko bidang Kemaritiman;
  4. Menteri Sekretaris Negara;
  5. Menteri Keuangan;
  6. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas;
  7. Menteri Dalam Negeri;
  8. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN;
  9. Menteri Komunikasi dan Informatika;
  10. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
  11. Menteri Sosial;
  12. Menteri Hukum dan HAM; dan
  13. Sekretaris Kabinet."

Pilar dan fondasi SNKI[sunting | sunting sumber]

Strategi Nasional Keuangan Inklusif disokong oleh lima pilar dan tiga pondasi yang bekerja secara simultan untuk mempercepat terbukanya akses-akses keuangan kepada seluruh masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang diprioritaskan. Kelima pilar tersebut ialah sebagai berikut:[1]

  1. "Pilar Edukasi Keuangan. Edukasi keuangan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai lembaga keuangan formal, produk dan jasa keuangan termasuk fitur, manfaat dan risiko, biaya, hak dan kewajiban, serta untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan keuangan.
  2. Pilar Hak Properti Masyarakat. Hak properti masyarakat bertujuan untuk meningkatkan akses kredit masyarakat kepada lembaga keuangan formal.
  3. Pilar Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi Keuangan Fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan bertujuan untuk memperluas jangkauan layanan keuangan untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok masyarakat.
  4. Pilar Layanan Keuangan pada Sektor Pemerintah. Layanan keuangan pada sektor Pemerintah bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan transparansi pelayanan publik dalam penyaluran dana Pemerintah secara nontunai.
  5. Pilar Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam berinteraksi dengan lembaga keuangan, serta memiliki prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, penanganan pengaduan, serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Kelima pilar SNKI ini harus ditopang oleh tiga fondasi sebagai berikut:[1]

  1. "Kebijakan dan regulasi yang kondusif. Pelaksanaan program keuangan inklusif membutuhkan dukungan kebijakan dan regulasi dari Pemerintah dan otoritas/regulator.
  2. Infrastruktur dan teknologi informasi keuangan yang mendukung. Fondasi ini diperlukan untuk meminimalkan informasi asimetris yang menjadi hambatan dalam mengakses layanan keuangan.
  3. Organisasi dan mekanisme implementasi yang efektif. Keberagaman pelaku keuangan inklusif memerlukan organisasi dan mekanisme yang mampu mendorong pelaksanaan berbagai kegiatan secara bersama dan terpadu."

Segmen prioritas[sunting | sunting sumber]

Keuangan inklusif menekankan penyediaan layanan keuangan berdasarkan kebutuhan yang berbeda dari tiap kelompok masyarakat. Meskipun mencakup semua segmen masyarakat, kegiatan keuangan inklusif difokuskan pada sejumlah kelompok masyarakat yang belum terpenuhi oleh layanan keuangan formal.

Masyarakat berpendapatan rendah adalah kelompok masyarakat 40% (empat puluh persen) berpendapatan terendah berdasarkan Basis Data Terpadu yang bersumber dari hasil kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik. Kelompok ini memiliki akses terbatas atau tanpa akses sama sekali ke semua jenis layanan keuangan yang mencakup masyarakat penerima bantuan sosial, program pemberdayaan masyarakat , dan wirausaha yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk memperluas usaha. Sementara itu, pelaku usaha mikro dan kecil merupakan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Selain kedua kelompok masyarakat di atas, sasaran keuangan inklusif juga mencakup masyarakat lintas kelompok, yang terdiri dari:

  1. Pekerja Migran
  2. Wanita
  3. Kelompok masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti anak terlantar, penyandang disabilitas berat, lanjut usia, mantan narapidana, dan mantan tunasusila
  4. Masyarakat di daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau terluar
  5. Kelompok Pelajar, Mahasiswa, dan Pemuda[1]

Tantangan terhadap pemenuhan inklusi keuangan di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Sejumlah tantangan terhadap perwujudan keuangan inklusif di Indonesia dapat dikategorikan menjadi empat area, yakni keterbatasan akses; minimnya penggunaan; kualitas yang rendah dan minimnya dukungan dari pelaku jasa keuangan.[8]

Keterbatasan akses[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2016, penetrasi internet di Indonesia hanya capai 34% dari total populasi. Penetrasi internet di negara-negara tetangganya bahkan telah mencapai lebih dari 40%.[9]

Merespon minimnya ketersediaan dan kualitas akses internet pemerintah menggelar akses internet berkecepatan tinggi yang dapat diakses tanpa biaya di lokasi-lokasi publik di berbagai kota dan kabupaten, membangun jaringan internet serat optik untuk menghubungkan wilayah-wilayah tertinggal.[10]

Minimnya penggunaan[sunting | sunting sumber]

Pertumbuhan rekening simpanan per tahun di Indonesia tak lebih dari 4,2%.[11] Meski pertumbuhan kepemilikan rekening simpanan di Indonesia terbilang tertinggi di antara negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sekitar 52.664.391 penduduk dewasa belum memiliki rekening simpanan di lembaga keuangan formal.[12]

Kualitas yang rendah[sunting | sunting sumber]

Tingkat kepemilikan rekening sedikit banyaknya dipengaruhi tingkat literasi keuangan masyarakat. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 oleh OJK, kurang dari 30% orang Indonesia melek keuangan. Tingkat literasi di kalangan perempuan bahkan masih lebih rendah dibanding laki-laki, meski angkanya mengalami peningkatan.

Selain itu, dunia perbankan masih mendominasi jumlah pengaduan nasabah yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga tersebut mencatat sebanyak 53 persen atau sekitar 1.900 pengaduan nasabah dari total 3.832 pengaduan nasabah merupakan pengaduan yang terkait dengan layanan perbankan.[13]

Minimnya dukungan dari pelaku jasa keuangan[sunting | sunting sumber]

Dengan pendekatan rekening, hanya 22% dari total UMKM yang memiliki akses kepada kredit perbankan. Mereka sebagian besar berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sedangkan mereka yang berada di timur Indonesia, belum tersentuh secara menyeluruh.[14]

Regulasi dan institusi[sunting | sunting sumber]

Aturan yang tumpang tindih dan berbelit-belit, serta lemahnya koordinasi dan komunikasi antar instansi pemerintah masih menghambat percepatan inklusi keuangan di Indonesia.[15] Hambatan ini sangat terlihat dalam upaya harmonisasi layanan Laku Pandai oleh OJK dan Layanan Keuangan Digital oleh Bank Indonesia.

  1. ^ a b c d Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif
  2. ^ "Keuangan Inklusif di Indonesia - Bank Sentral Republik Indonesia". www.bi.go.id. Diakses tanggal 2019-07-19. 
  3. ^ "World Bank Global Findex : Indonesia Leads in Financial Inclusion Progress". Fintech Singapore (dalam bahasa Inggris). 2018-04-20. Diakses tanggal 2019-07-19. 
  4. ^ "Pemerintah Siapkan SNKI Untuk Tingkatkan Akses Layanan Keuangan Formal Masyarakat Berpendapatan Rendah - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia". www.ekon.go.id. Diakses tanggal 2019-07-19. 
  5. ^ a b c "Siaran Pers - Pemerintah Siapkan SNKI Untuk Tingkatkan Akses Layanan Keuangan Formal Masyarakat Berpendapatan Rendah - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia". www.ekon.go.id. Diakses tanggal 2019-07-19. 
  6. ^ "Mengentaskan Kemiskinan melalui Peningkatan Keuangan Inklusif - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia". www.ekon.go.id. Diakses tanggal 2019-07-19. 
  7. ^ a b c d e "Perpres No. 82/2016: Presiden Pimpin Langsung Dewan Nasional Keuangan Inklusif". 16 September 2016. Diakses tanggal 18 Juli 2019. 
  8. ^ Arsana, I. P. (n.d.). NFIS Development Process. Retrieved July 5, 2019, from http://pubdocs.worldbank.org/en/311731553199000115/NFIS-Session-3-Indonesia.pdf
  9. ^ Digital in 2016. (n.d.). Retrieved from https://wearesocial.com/special-reports/digital-in-2016
  10. ^ Kominfo, P. (n.d.). Maju Bersama Desa Broadband Pedalaman. Retrieved from https://www.kominfo.go.id/content/detail/8233/maju-bersama-desa-broadband-pedalaman/0/kerja_nyata
  11. ^ Demirgüç-Kunt, A. (2018). The Global Findex database 2017: Measuring financial inclusion and the fintech revolution. Washington, D.C.: World Bank.
  12. ^ Laporan Tahunan Keuangan Inklusif 2017. (n.d.).
  13. ^ Bhaskara, I. L. (2016, August 11). OJK: Bank Masih Dominasi Pengaduan Nasabah Baca selengkapnya di artikel "OJK: Bank Masih Dominasi Pengaduan Nasabah", https://tirto.id/bzDi. Retrieved July 5, 2019, from https://tirto.id/ojk-bank-masih-dominasi-pengaduan-nasabah-bzDi
  14. ^ Chandra, A. A. (2016, August 25). BI: Baru 22% UMKM yang Memiliki Akses ke Perbankan. Retrieved from https://finance.detik.com/moneter/d-3283575/bi-baru-22-umkm-yang-memiliki-akses-ke-perbankan
  15. ^ Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (n.d.). Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.