Infrastruktur telekomunikasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Infrastruktur telekomunikasi adalah struktur fisik yang mendasari jaringan komunikasi yang terbentuk dan merupakan pendukung komunikasi jarak jauh.[1] Infrastruktur telekomunikasi terdiri dari dua kata yakni infrastruktur dan telekomunikasi dimana masing-masing memiliki makna etimologis. Infrastruktur berasal dari Bahasa Latin “infra” yang bermakna di bawah dan “structura” yang berarti bangunan. Sedangkan telekomunikasi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “tele” yang berarti jauh dan Bahasa Latin “communicationem” yang berarti proses penyampaian dan penerimaan pesan. Apabila digabungkan, telekomunikasi dapat diartikan sebagai penyampaian dan penerimaan informasi yang dilakukan dari satu pihak ke pihak lainnya tanpa adanya keterbatasan jarak dan waktu. Dengan demikian, berarti tidak terdapat lagi suatu limitasi atau batasan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang secara fisik berada di lokasi yang jaraknya jauh, serta penyampaian dan penerimaan pesan dilakukan secara paralel dalam waktu yang bersamaan.

Arti penting infrastruktur telekomunikasi[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya komunikasi adalah prasyarat kehidupan manusia dimana seseorang dapat menghabiskan sekitar 70% waktunya untuk berkomunikasi baik dalam bentuk bahasa verbal dan non-verbal, secara implisit maupun eksplisit. Menulis, membaca, berbicara atau mendengar, menaikkan alis, menggelengkan kepala merupakan beberapa cara manusia berkomunikasi. Komunikasi krusial untuk menyampaikan suatu gagasan agar dapat dipahami oleh orang lain. Komunikasi yang buruk dapat memunculkan potensi terjadinya konflik antar personal. Kondisi manusia terkait komunikasi ini memuncul teori bahwa “we cannot not communicate” atau manusia tidak dapat tidak berkomunikasi yang dicetuskan oleh Bateson.[2] Manusia memiliki keterbatasan ruang dan waktu, oleh karenanya manusia menciptakan teknologi guna mengekstensi kemampuannya. Teknologi telekomunikasi diperlukan oleh manusia untuk menyampaikan dan menerima pesan jarak jauh. Infrastruktur telekomunikasi menjadi saluran untuk mentransmisikan pesan ini, menghubungan pengirim dan penerima pesan.

Perkembangan infrastruktur telekomunikasi[sunting | sunting sumber]

Penggunaan indra pendengaran dan penglihatan[sunting | sunting sumber]

Sinyal asap dan alat tabuh-tabuhan merupakan salah satu metode komunikasi pertama yang digunakan untuk menyampaikan pesan jarak jauh, dimana metode ini hanya bergantung pada kemampuan indra penglihatan dan pendengaran si penerima pesan. Sistem telekomunikasi ini memiliki kelemahan terkait jarak dimana penyampaian pesan hanya terbatas pada radius jarak tertentu.

Sinyal asap digunakan oleh suku Indian di Amerika Utara untuk menyampaikan pesan terkait adanya bahaya atau bahwa situasi baik-baik saja. Tentara Tiongkok kuno yang bertugas di Tembok Raksasa juga menggunakan metode serupa untuk melakukan komunikasi. Bentuk komunikasi ini dilakukan dengan membumbungkan gumpalan-gumpalan asap ke udara yang dibentuk dengan menggunakan api dan selimut. Komunikasi dengan sinyal asap hanya dapat digunakan pada area yang dapat terlihat oleh pihak penerima pesan dan biasanya dilakukan dari puncak bukit. Tidak terdapat standar tertentu dalam mengartikan bentuk, jumlah dan jenis gumpalan asap tersebut mengingat bahwa pihak musuh juga dapat melihat sinyal asap tersebut. Oleh karenanya, arti dari sinyal asap harus ditentukan terlebih dahulu dan disepakati oleh kedua belah pihak, baik pengirim maupun penerima pesan.[3]

Sedangkan alat tabuh-tabuhan dalam bentuk yang menyerupai jam pasir digunakan oleh masyarakat asli Afrika, Papua Nugini dan Amerika Selatan. Pesan yang disampaikan dengan alat tabuh-tabuhan sangat bervariasi dari penyampaian pesan yang sederhana hingga pesan dengan makna-makna tertentu yang cukup rumit. Talking drums merupakan salah satu alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat Afrika dimana alat ini dapat menirukan nada, ritme, intonasi dan penekanan seperti pada bahasa manusia.[4] Di Indonesia, alat komunikasi tabuh-tabuhan berupa kentongan dan bedug digunakan untuk menginformasikan adanya bahaya, atau undangan untuk berkumpul. Hingga kini, kedua alat ini masih digunakan terutama oleh masyarakat di pedesaan.

Pada awal abad ke 4 SM, Aenas Tacticus, seorang peneliti kemiliteran Yunani menemukan suatu sistem untuk melakukan komunikasi yang serupa dengan telegraf, yaitu water-clocks. Sistem ini menggunakan 2 bejana yang diletakkan di 2 area yang berbeda dan diisi air, serta tongkat vertikal yang telah diberikan kode-kode tertentu. Namun demikian, perangkat ini memiliki kelemahan dimana hanya dapat digunakan dalam jarak yang sangat terbatas dan selama jarak pandang dalam kondisi baik.[5]

Pada abad abad 16 Masehi, jaringan bangunan berupa beacon dibangun di puncak-puncak bukit sepanjang pantai Inggris dan Welsh yang digunakan sebagai media relay untuk meneruskan sinyal pesan secara berantai. Jaringan beacon ini menggunakan obor atau cermin untuk mengirimkan pesan sehingga hanya dapat meneruskan sedikit informasi saja seperti “musuh telah terlihat”. Salah satu kesuksesan penggunaan beacon ini adalah keberhasilannya dalam meneruskan pesan yang disampaikan dari Plymouth ke London terkait kedatangan kapal perang Spanyol yang mulai memasuki pantai Inggris.[6]

Seorang insinyur Prancis, Claude Chappe membuat telegraf visual pada tahun 1790 dengan menggunakan sepasang jam pendulum yang membentuk simbol-simbol tertentu. Perangkat ini dipandang kurang efektif dalam komunikasi jarak jauh, kemudian Chappe melakukan penyesuaian kembali dan menemukan alat dengan menggunakan dua palang kayu yang disebut semaphore telegraf yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Jalur telegraf optik pertama dibangun antara Lille dan Paris yang menjadi jalur infrastruktur telekomunikasi pertama di Eropa yang kemudian diikuti pembangunan jalur dari Strasbourg ke Paris.[7]

Sistem komunikasi jarak jauh dengan menggunakan semaphore telegraf memerlukan operator yang terlatih dengan biaya pembangunan menara yang mahal mengingat jarak interval pembangunan menara perlu dilakukan setiap sekitar 10–30 km serta komunikasi hanya dapat digunakan pada siang hari dengan kondisi cuaca baik. Sistem komunikasi ini terus berkembang hingga tahun 1853 dan mulai ditinggalkan seiring dengan penemuan telegraf elektrik yang menggantikan fungsinya.[8]

Infrastruktur kabel[sunting | sunting sumber]

Kebutuhan akan infrastruktur kabel dimulai oleh penemuan telegraf elektrik yang menggunakan kabel untuk menyampaikan pesan dari pengirim hingga ke penerima pesan, diikuti penemuan telepon dan mesin faksimili.

Telegraf elektrik pertama kali ditemukan oleh Samuel Thomas von Sömmering pada tahun 1809 yang kemudian disempurnakan oleh William Fothergill Cooke bersama Charles Wheatstone, dan digunakan secara komersial pada tahun 1838 dan dipatenkan di Inggris pada tahun 1837.[9]

Pada tahun 1843, Alexander Bain, menemukan sebuah alat yang mampu mengirimkan gambar menggunakan kawat elektrik yang menjadi cikal bakal mesin faksimili. Pada tahun 1855, seorang biarawan Italia, Giovanni Caselli, juga membuat sebuah telegraf elektrik yang dapat mengirimkan pesan berupa gambar, tulisan tangan maupun tanda tangan. Caselli menamai penemuannya ini dengan Pantelegraf. Pantelegraf sukses digunakan pertama kali untuk mengirimkan pesan pertama dari Lyon ke Paris pada tahun 1860.[10]

Samuel Morse dan Alfred Vail mengembangkan telegraf elektrik terintegrasi dengan gulungan pita kertas untuk mencatat pesan-pesan yang diterima. Kontribusi terbesar yang diberikan oleh Morse bersama rekan kerjanya adalah kode morse yang sederhana dan efisien. Telegraf ini dengan cepat tersebar pada 2 dasawarsa berikutnya seiring dengan berkembangnya jaringan kabel. Kabel telegraf komersial pertama yang menghubungkan samudera Atlantik diselesaikan pada tanggal 28 Juli 1866.[11]

Keberhasilan telegraf untuk mentransmisikan sinyal melalui kabel mendorong penelitian untuk mencari metode untuk mentransmisikan suara melalui kawat.

Telepon ditemukan oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1876 dimana telepon mengubah gelombang suara menjadi impulse elektrik yang ditransmisikan melalui kabel, kemudian diubah kembali menjadi gelombang suara yang sesuai dengan aslinya.[1]

Perkembangan teknologi kabel merupakan bentuk upaya manusia untuk mempercepat penyampaian pesan. Dalam perkembangannya, infrastruktur telekomunikasi kabel terdiri dari beberapa jenis yang memiliki karakteristik sifat tersendiri, sebagai berikut:[12]

Kabel tembaga[sunting | sunting sumber]

Kabel tembaga merupakan kabel yang digunakan sejak penemuan telepon pada abad 18 hingga kini. Selain mentransmisikan sinyal telepon, jenis kabel ini juga dapat digunakan untuk ethernet. Jenis kabel ini mampu menghantarkan arus listrik, murah dan mudah dipasang, namun memiliki bandwith yang kecil (20–500 kHz). Jenis kabel ini menghasilkan noise yang besar, sehingga untuk mengurangi noise tersebut muncul jenis kabel tembaga twisted wire guna mengurangi noise tersebut.

Kabel koaksial[sunting | sunting sumber]

Kabel koaksial biasa digunakan untuk mentransmisikan sinyal televisi/video dan radio. Jenis kabel in lebih mahal dibandingkan dengan jenis tembaga dan sulit dalan proses pemasangannya. Kabel ini terdiri dari dua buah konduktor, yaitu terletak di tengah yang terbuat dari tembaga keras yang dilapisi dengan isolator dan konduktor kedua melingkar di luar isolator pertama dan kemudian dilapisi oleh isolator luar. Jenis ini memiliki bandwith yang besar sekitar 500Mhz.

Fiber optik[sunting | sunting sumber]

Kabel yang paling banyak digunakan dalam teknologi komunikasi modern kini adalah kabel fiber optik yang mampu mentransmisikan cahaya dengan frekuensi tinggi dimana hampir mencapai 1Thz dengan harga pemasangan kabel yang sangat mahal. Biasanya digunakan untuk kabel komunikasi penghubung antar samudra dengan bandwith yang besar mencapai sekitar 10Ghz. Meskipun dibuat dari kaca atau plastik dan berukuran tipis, kabel ini memiliki bandwith mencapai 10Ghz.

Hybrid[sunting | sunting sumber]

Jenis ini merupakan perpaduan penggunaan antara kabel koaksial dan serat optik yang biasa digunakan oleh penyedia layanan TV Cable dimana kabel serat optik digunakan untuk mentransmisikan layanan hingga ke wilayah pemukiman yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kabel koaksial untuk didistribusikan ke rumah-rumah.

Infrastruktur nirkabel[sunting | sunting sumber]

Kebutuhan akan infrastruktur nirkabel muncul saat telegraf nirkabel ditemukan oleh Guilelmo Marconi yang kemudian diikuti dengan penemuan radio sebagai media komunikasi dan penyiaran, serta televisi, yang kemudian disusulkan dengan booming penggunaan telepon seluler.

Telegraf nirkabel ini ditemukan pada tahun 1896 dengan dimana pesan ditransmisikan melalui gelombang elektromagnetik. Straubhaar, J., LaRose, R.& Davenport R dalam bukunya juga menggambarkan gelombang radio sebagai rangkaian yang terdiri dari energi elektromagnetik yang dapat naik dan turun pada siklus yang teratur.[13] Marconi berhasil menemukan metode mentransmisikan suara tanpa menggunakan kabel melalui berbagai inovasi dari peralatan yang dibuat oleh Heinrich Hertz dimana ia berhasil meningkatkan jarak pancaran gelombang elektromagnetik dan mengisinya dengan informasi. Peralatan transmitter dan receiver ciptaan Marconi tersebut mampu menyampaikan informasi dari satu tempat ke tempat lain secara nirkabel. Sejarah mencatat pada tahun 1912 Marconi menggunakan bakat bisnisnya untuk mendirikan perusahaannya sendiri yang diberi nama Marconi Wireless Telegraph Company, yang membangun stasiun radio yang berlokasi di tepi pantai untuk menerima dan mentransmisikan sinyal telegraf ke kapal-kapal yang sedang berlayar di tengah samudera, lokasi dimana kabel atau kawat telegraf tidak dapat menjangkaunya. Perusahaannya juga memproduksi dan mengoperasikan peralatan radio dan mendominasi radio di Eropa dan Amerika Serikat.

Setelah berkembang di Eropa dan Amerika pada tahun 1920-an, radio mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1925 yang dibawa oleh Belanda saat masih menduduki Indonesia. Bataviase Radio Vereenigning (BRV) merupakan stasiun radio pertama yang resmi mengudara di Indonesia. Stasiun radio ini didirikan dengan tujuan untuk menyampaikan siaran propaganda terkait perusahaan dan perdagangan saat itu. Kemudian diikuti dengan berdirinya stasiun radio yang dipelopori oleh para pemuda Indonesia di Solo pada tahun 1933 dengan nama Solosche Radio Vereenigning (SRV). Hingga akhirnya Belanda menyerah dan kekuasaan Belanda saat itu diambil alih oleh Jepang dan berdampak pada stasiun radio yang ada saat itu. Stasiun radio dibawah penguasaan Jepang saat ini telah membawa dampak pada penyiaran program-program radio, yakni memihak kepentingan militer Jepang. Radio terus berkembang hingga tahun 1960-an banyak radio amatir bermunculan dan menjadi cikal bakal kemunculan radio siaran swasta di Indonesia.[14]

Pada bulan Maret 1925, John Logie Baird melakukan demo pertunjukan gambar siluet bergerak untuk pertama kali di hadapan publik yang dikenal sebagai televisi mekanik. Pada bulan Oktober 1925, Baird kembali melakukan demo pertunjukan gambar bergerak yang dianggap sebagai gambar televisi pertama. Televisi berfungsi menerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik monokrom (hitam-putih) maupun berwarna dengan mengunakan sistem peralatan yang mengubah cahaya dan suara menjadi suatu gelombang elektronik yang mengubahnya kembali ke dalam cahaya yang dapat dilihat dan suara yang dapat didengar.

Sejarah pertelevisian Indonesia dimulai sejak stasiun televisi milik pemerintah, Televisi Republik Indonesia atau TVRI mulai mengudara pada tahun 1962 dan menjadi satu-satunya saluran televisi di Indonesia. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan informasi dan hiburan, muncul berbagai saluran televisi baru milik swasta seperti Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan Surya Citra Televisi (SCTV) pada tahun 1989 dan tahun 1990 yang kemudian diikuti oleh pendirian Indosiar dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Semenjak masa itu, semakin banyak saluran televisi bermunculan dengan berbagai program informasi yang ditawarkan.

Dalam mendukung berbagai teknologi nirkabel, diperlukan infrastruktur nirkabel di antaranya:

Satelit[sunting | sunting sumber]

Satelit Geostasioner digunakan untuk keperluan telekomunikasi, peramalan cuaca, televisi satelit, radio satelit dan segala hal yang berhubungan dengan komunikasi global yang mengorbit di ketinggian sekitar 40ribu km di atas bumi dan mengelilingi bumi sebanyak 1x dalam 24 jam. Satelit ini membutuhkan sinyal uplink yang besar, downlink lemah. Setiaup unitnya mampu mencakup sekitar 42% wilayah permukaan bumi, sehingga hanya dengan 3 satelit sudah mencukupi untuk mengcover seluruh permukaan bumi namun tidak termasuk wilayah kutub. Satelit ini sangat mahal untuk ditempatkan di luar angkasa tetapi idel untuk komunikasi

Satelit Polar digunakan dalam pemantauan lingkungan global seperti satelit penginderaan jarak jauh dan satelit cuaca dengan biaya yang lebih murah serta membutuhkan sinyak uplink yang mebih kecil. Mengingat satelit mengorbit dalam arah utara-selatan dan bumi berputar dalam arah timur-barat, maka satelit berorbit polar ini akan dapat “menyapu” seluruh permukaan bumi.

Teknologi seluler[sunting | sunting sumber]

Teknologi telekomunikasi seluler ditentukan berdasarkan perkembangan Generasi Jaringan, dimulai dari Generasi 1 sampai dengan Generasi 4 atau lebih dikenal dengan singkatan 1G sampai dengan 4G. Angka di depan huruf G merupakan tingkatan dari kualitas jaringan nirkabel yang dikembangkan. Berikut ini adalah perkembangan teknologi 1G sampai 4G:

1G: Generasi pertama teknologi seluler hanya menawarkan layanan suara. Teknologi ini merupakan sinyal radio yang ditransmisikan dalam bentuk Analog. 1G dapat mengirim pesan teks dan membuat panggilan, namun 1G memiliki kelemahan terbesar, yaitu ketersediaan jaringan yang terbatas. Perbedaan utama antara dua sistem jaringan 1G dan 2G adalah sinyal radio yang digunakan oleh jaringan 1G adalah analog, sedangkan 2G adalah digital.

2G: Layanan suara dan data dengan bandwith 14,4Kb/detik. Jaringan 2G merupakan jaringan yang pertama menawarkan layanan data dan pesan teks SMS. Jaringan 2G didasarkan pada jaringan digital, mampu meningkatkan kualitas panggilan dan juga mengurangi transmisi data yang kompleks. Keuntungan dari jaringan 2G memungkinkan konektivitas di seluruh dunia, dalam bentuk Semi Global Roaming.

2.5G: Tambahan layanan SMS, dan transfer data melalui jaringan GPRS. GPRS adalah singkatan dari General Packet Radio Service (GPRS). Secara teori memiliki kemampuan transfer data hingga 50Kb/detik.

2.75G: Penggunaan layanan transfer data melalui jaringan EDGE yang merupakan singkatan dari Enhanced Data Rates for GSM Evolution, memiliki kecepatan transfer teoretis maksimum 1 Mbit/detik (dalam praktiknya 500 kbit/detik).

3G: Memberi layanan suara dan data secara simultan, dengan data hingga 1Mb/detik. Jaringan 3G menawarkan kecepatan transfer data yang lebih cepat dari 2G dan yang pertama untuk memungkinkan panggilan video. 3G, memiliki kecepatan transmisi yang berkisar antara 384Kbps - 2Mbps

4G: Memiliki kemampuan layanan data mobile hingga 100Mb/detik. Selain memiliki semua fasilitas 3G, transmisi data 4G diyakini mempunyai kecepatan transmisi berkisar antara 100Mbps - 1Gbps. Percakapan, internet, chatting, jejaring, permainan, video atau apa pun fitur yang ada di dalamnya dapat dinikmati lebih baik dari 3G.

5G: Memiliki kapasitas hingga 1000 kali lebih besar dari 4G pada tahun 2020 [15]

Bluetooth[sunting | sunting sumber]

Bluetooth merupakan teknologi nirkabel yang memungkinkan beberapa perangkat elektronik untuk terhubung dalam jarak dekat. Teknologi ini biasa digunakan sebagai jaringan nirkabel dalam rumah yang menghubungkan laptop, tablet, speaker musik, mobile phone dan lain sebagainya.[1]

RFID[sunting | sunting sumber]

Radio Frequency Identification merupakan teknologi transfer data secara nirkabel yang memungkikan untuk dilakukan pengidentifikasian atau tracking terhadap suatu objek. Teknologi ini biasa digunakan untuk absensi, penelitian hewan atau tracking suatu benda atau ternak.[1]

Infrastruktur telekomunikasi Indonesia menurut tinjauan McCalfe’s Law[sunting | sunting sumber]

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan luas wilayah yang mencapai hampir sekitar 2 juta km persegi dengan lebih dari 17,500 pulau [16] dengan populasi sekitar 250 juta jiwa dan 80% di antaranya berada di pulau Jawa dan Sumatra. Kondisi geografis dan demografis tersebut menjadi salah satu tantangan dalam melaksanakan program pengembangan serta pemerataan pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Tidak dapat dimungkiri faktor terkait investasi menjadi salah satu isu utama dalam mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur. Saat ini, pembangunan infrastruktur yang berjalan cenderung berfokus pada wilayah-wilayah yang dipandang memiliki skala ekonomis tinggi.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan bahwa secara nasional penetrasi infrastruktur telekomunikasi telepon kabel hanya 5,8%. Pulau Jawa memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 8,4% diikuti oleh pulau Bali dan Nusa Tenggara sebesar 8,1%. Sedangkan pulau Papua dan Maluku hanya 2,2%. Untuk telepon genggam, secara nasional penetrasi terhadap telepon genggam mencapai sebesar 83,2%. Pulau Sumatra memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 89,3% diikuti oleh pulau Jawa sebesar 88,6%. Sedangkan pulau Papua dan Maluku hanya 65,2%. Penetrasi infrastruktur telekomunikasi berupa Internet secara nasional sebesar 22,2%. Pulau Jawa memliki persentase tertinggi yaitu sebesar 28,3%,selanjutnya pulau Sumatra sebesar 26,2%, lalu pulau Sulawesi sebesar 17,1%, pulau Kalimantan sebesar 16,5%, pulau Bali dan Nusa Tenggara sebesar 16,2%, dan pulau Papua dan Maluku sebesar 14,1%.[17]

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penetrasi infrastruktur telekomunikasi di berbagai pulau utama di Indonesia berbanding lurus dengan tingkat populasinya. Wilayah dengan populasi lebih tinggi memiliki penetrasi infrastruktur telekomunikasi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah dengan populasi yang lebih kecil.

Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Robert Metcalfe yang mengatakan bahwa nilai suatu jaringan telekomunikasi akan bertambah secara eksponensial sesuai dengan pertambahan jumlah pengguna yang terhubung di dalam jaringan tersebut. Adapun nilai jaringan telekomunikasi yang dimaksudkan dalam pernyataan ini adalah besaran nilai ekonomisnya. Semakin banyak pengguna atau jumlah node yang terhubung dalam jaringan, maka nilai ekonomisnya akan semakin besar.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press
  2. ^ Bateson, G. (1972). Steps to Ecology of Mind (Paladin edition). Chandler Publishing Company, London
  3. ^ http://www.indians.org/articles/smoke-signals.html diakses 25 September 2015
  4. ^ http://streamafrica.com/culture/culture-of-africa/ Diarsipkan 2015-09-28 di Wayback Machine. diakses 25 September 2015
  5. ^ Lahanas, Michael, Ancient Greek Communication Methods, www.mlahanas.de diakses 25 September 2015
  6. ^ David Ross, The Spanish Armada, Britain Express, http://www.britainexpress.com/History/tudor/armada.htm diakses 25 September 2015
  7. ^ R. Victor Jones, Optical telegraphy, www.people.seas.harvard.edu/~jones/cscie129/images/history/chappe.html diakses 25 September 2015
  8. ^ Rose Melikan, The Semaphore Telegraph, www.rosemelikan.com/factoid/mistaken-wife/semaphore-telegraph, diakses 25 September 2015
  9. ^ J. B. Calvert, The Electromagnetic Telegraph, http://mysite.du.edu/~jcalvert/tel/morse/morse.htm diakses 25 September 2015
  10. ^ Marry Bellis, History of the Fax Machine & Alexander Bain, http://inventors.about.com/od/bstartinventors/a/fax_machine.htm Diarsipkan 2009-03-15 di Archive-It, diakses 25 September 2015
  11. ^ http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/13779/1866Penyelesaian-Kabel-Telegrafi-Trans-Atlantik/2015/07/28 diakses 25 September 2015
  12. ^ David Barnett, David Groth and Jim McBee. (2004). Cabling:The Complete Guideto Network Wiring, Third Edition, SYBEX
  13. ^ Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R., (2011). Media Now: Understanding Media, Culture and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
  14. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-03. Diakses tanggal 2015-10-02. 
  15. ^ Time Magazine, 10 March 2015
  16. ^ BPS – Statistics Indonesia. (2014). Statistik Indonesia 2014. Badan Pusat Statistik: Jakarta
  17. ^ Puslitbang PPI-Kominfo. (2014). Indikator Teknologi Informasi dan Komunikasi 2014. Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia: Jakarta