Indonesia dan Persetujuan Paris

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Persetujuan Paris atau Paris Agreement adalah dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan. Diharapkan persetujuan ini efektif tahun 2020. Persetujuan ini dinegosiasikan oleh 195 (seratus sembilan puluh lima) perwakilan negara-negara pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis. Setelah proses negosiasi, persetujuan ini ditandatangani tepat pada peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat. Hingga Maret 2017, 194 negara telah menandatangani perjanjian ini dan 141 diantaranya telah meratifikasi perjanjian tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016. Persentase gas rumah kaca yang diratifikasi oleh Indonesia adalah sebesar 1,49%.[1]

Tujuan Perjanjian Paris[sunting | sunting sumber]

Tujuan dibentuknya Perjanjian Paris tertuang dalam pasal 2, yaitu:

  1. Menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1.5 derajat Celcius, karena memahami bahwa pembatasan ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari perubahan iklim.
  2. Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.
  3. Membuat aliran finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.[2]

Indonesia dan Persetujuan Paris[sunting | sunting sumber]

Dampak merugikan perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi kehidupan manusia dan lingkungan, untuk itu sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk melindungi segenap warga negaranya. Selaras dengan tujuan Negara Republik Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum 2 sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tersebut, Pemerintah merasa perlu untuk ikut serta dalam upaya pengendalian dan perlindungan dampak perubahan iklim.[3]

Manfaat Persetujuan Paris[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) pada tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat.

Manfaat Persetujuan Paris untuk Indonesia adalah.

  1. Peningkatan perlindungan wilayah Indonesia yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
  2. Peningkatan pengakuan atas komitmen nasional dalam menurunkan emisi dari berbagai sektor, pelestarian hutan, peningkatan energi terbarukan dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.
  3. Menjadi para pihak yang dapat berpera serta (memiliki hak suara) dalam pengambilan keputusan terkait Persetujuan Paris, termasuk dalam pengembangan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaan Persetujuan Paris.
  4. Memperoleh kemudahan untuk mengakses sumber pendanaan, teknologi transfer, peningkatan kapasitas bagi implementasi aksi mitigasi dan adaptasi.

Pengendalian dan Perlindungan Dampak Perubahan Iklim[sunting | sunting sumber]

Dalam rangka melakukan upaya pengendalian dan perlindungan dampak perubahan iklim yang telah menjadi agenda global tersebut, diperlukan suatu bentuk kerangka kerja kerja sama internasional untuk mengatasi persoalan global perubahan iklim.[4] Persetujuan Paris merupakan suatu bentuk kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim yang menjadi komitmen terkini negara-negara di dunia. Selaras dengan Sila Kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mengamanatkan bahwa bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia dan bangsa Indonesia mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain, maka bangsa Indonesia perlu ikut serta dalam agenda global perubahan iklim, dalam hal ini ikut serta dalam Persetujuan Paris tersebut. Dalam tataran nasional dengan keikutsertaan dalam Paris Agreement tersebut akan mendorong perubahan gaya hidup masyarakat menjadi ramah lingkungan serta menciptakan pola-pola kehidupan yang adaptif terhadap dampak perubahan iklim.[5] Sedangkan dalam tataran global, kerja sama internasional dalam kerangka Paris Agreement kiranya dapat meningkatkan efektivitas penanganan perubahan iklim secara global.

Paris Agreement Efektif Berlaku[sunting | sunting sumber]

Paris Agreement akan efektif berlaku (entry into force) apabila sedikitnya 55 (lima puluh lima) negara yang sekurang-kurangnya merepresentasikan 55% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global telah menyampaikan instrumen ratifikasi kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia sebagai negara yang memiliki kerentanan terhadap dampak 3 merugikan perubahan iklim sangat berkepentingan untuk mendorong pemberlakuan Persetujuan Paris. Komitmen Indonesia dalam hal ini telah ditunjukkan melalui penandatanganan Paris Agreement pada tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat yang sekaligus menyatakan kesediaannya untuk meratifikasi Paris Agreeement. Saat ini status ratifikasi memberikan optimisme akan berlakunya segera Persetujuan Paris mengingat hingga 4 September 2016 sudah tercapai 39,06% Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diratifikasi oleh 26 (dua puluh enam) negara. Sebagai catatan, berdasarkan data UNFCCC, besaran emisi GRK Indonesia adalah 0,554 Gt CO2eq setara dengan 1,49% total emisi global.

Presiden Joko Widodo pada COP 21 UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change/COP 21) di Paris menyatakan bahwa Persetujuan Paris harus mencerminkan keseimbangan, keadilan serta sesuai dengan prioritas dan kemampuan nasional sehingga perlu mengikat, jangka panjang, ambisius namun tidak menghambat pembangunan negara berkembang. Untuk itu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% di bawah upaya apapun atau business as usual (BAU) pada tahun 2030 dan dapat dinaikkan sampai 41% dengan kerja sama internasional.[6]

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar sebagai Ketua Delegasi RI pada COP 21 UNFCCC menyatakan bahwa ini langkah bersejarah untuk menciptakan planet bumi yang lebih aman dan berkelanjutan untuk kehidupan kini dan generasi mendatang. Persetujuan Paris sebagai komitmen global dalam mengantisipasi perubahan iklim adalah sejatinya mealam Perjanjian menerjemahkan semangat dari konstitusi dan peraturan perundangan-undangan yang sudah ada. Seluruh pemangku kepentingan di Indonesia harus bekerja bersama untuk melindungi rakyat dari dampak perubahan iklim dan pada saat yang bersamaan memberi contoh komitmen bersama yang tinggi kepada masyarakat internasional.

Keikutsertaan Indonesia dalam Perjanjian Paris[sunting | sunting sumber]

Keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan Paris merupakan salah satu wujud pelaksanaan Nawa Cita yang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo yaitu bentuk peningkatan peran global yang mengamanatkan untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat manusia termasuk perubahan iklim. Dengan meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia akan menjadi bagian dari Konferensi. Para Pihak (Conference of Parties) yang akan memiliki suara dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait dengan segala bentuk kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Indonesia sebelumnya sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan Protokol Kyoto melalui Undang Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto. Dalam rangka memberikan landasan hukum bagi komitmen pemerintah dan pengakuan hukum atas keikutsertaan dalam perjanjian internasional dalam hal ini Persetujuan Paris, maka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa pengesahan Persetujuan Paris harus ditetapkan dalam suatu Undang-Undang. Hal ini terkait dengan substansi dalam Persetujuan Paris yang mengatur tentang norma lingkungan hidup.

Menimbang berbagai uraian di atas mengenai permasalahan terkait dengan perubahan iklim dan perlunya peran negara Republik Indonesia dalam perubahan iklim tersebut maka perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nation Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Kesimpulan[sunting | sunting sumber]

Perjanjian Paris memberikan kebijakan alternatif kepada dunia, khususnya pemerintah Indonesia untuk menjalankan pembangunan sembari menekan perubahan iklim dengan menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Perjanjian Paris telah mengalami berbagai proses perundingan dan melibatkan banyak aktor. Namun, pada perjalanannya Perjanjian Paris menghadapi tantangan dari negara-negara industri minyak bumi. Sebagian kalangan menduga, Perjanjian Paris hanya mementingkan kepentingan negara-negara maju melalui penawaran mekanisme pasar karbon yang diperuntukkan bagi negara-negara miskin maupun berkembang yang terkena dampak lingkungan akibat kegiatan industri negaranegara maju.

Indonesia sebagai negara pinggiran (periphery) dan subordinan negara-negara maju (center) dalam geopolitik, meratifikasi Perjanjian Paris agar kepentingan Indonesia di bidang pembangunan yang berawawasan lingkungan tidak terhambat dan mendapatkan dukungan serta kepercayaan dunia internasional dari sisi pendanaan. Kepentingan tersebut dapat terlihat dari program-program pembangunan ambisus yang direncanakan oleh pemerintah salah satunya dengan memanfaatkan lahan gambut.[7]

Indonesia dapat mengimplementasikan kepentingannya di bawah payung Perjanjian Paris. Sehingga, Indonesia sebagai salah satu negara dengan kepemilikan salah satu lahan gambut terluas di dunia, meningkatkan posisi tawar dalam setiap perundingan maupun keputusan politik luar negeri yang dibuat secara global oleh setiap aktor yang terlibat. Untuk mengejar kepentingan nasional, pemerintah Indonesia hendaknya mengerahkan sumber daya yang terdapat di luar negeri sebagai modalitas untuk pembangunan nasional. T

Keterlibatan dan peranan aktor-aktor non-negara dalam aksi perubahan iklim terutama keberlangsungan dan restorasi lahan gambut sangatlah penting. Aktor-aktor yang dapat dilibatkan meliputi : swasta, masyarakat sipil dan adat, media, akademisi dan LSM. Di pihak swasata, pemerintah sebaiknya mengambil sikap tegas dengan menekan perusahaan apabila perusahaan tersebut belum bersedia untuk mengubah fungsi lahannya yang merupakan kawasan gambut menjadi fungsi pelindungi, penyangga dan menyimpan karbon. Perempuan yang merupakan bagian masyarakat lokal, dapat dilibatkan dan berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lahan gambut agar berkontribusi bagi kesejahteraan keluarga mereka. Karena, ketika perempuan dilibatkan dalam upaya restorasi maka hasilnya akan menjadi lebih baik dan mereka dapat mendidik anak-anak mereka untuk menjaga ekosistem lahan gambut. Selain itu, pemerintah dapat menghidupkan kembali Jambore Masyarakat Gambut dengan mengadakan program-program di tingkat berskala lokal dan internasional yang melibatkan negara-negara lahan gambut dan mempromosikannya melalui media-media. Yang terakhir, para akedemisi dan lembaga pendidikan dapat berkerjasama dengan membentuk laboratorium gambut untuk mengedukasi masyarakat sekitar mengenai pentingnya lahan gambut bagi kehidupan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Paris Agreement". www.ojk.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-22. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  2. ^ "Paris Agreement". www.ojk.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-22. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  3. ^ "RI Pengemisi Gas Rumah Kaca Ketiga Terbesar". detiknews. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  4. ^ "Knowledge Centre Perubahan Iklim - Mengenai Perubahan Iklim". ditjenppi.menlhk.go.id. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  5. ^ "Seputar Perubahan Iklim | WWF Indonesia". www.wwf.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-22. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  6. ^ antaranews.com (2016-10-20). "Ratifikasi persetujuan Paris kado dua tahun Jokowi-JK". Antara News. Diakses tanggal 2019-10-22. 
  7. ^ "Opini : Indonesia di COP22: Global Climate Fund Untuk Siapa?". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). 2016-12-05. Diakses tanggal 2019-10-22.