Imperialisme bahasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Imperialisme bahasa atau imperialisme linguistik didefinisikan sebagai "pemindahan bahasa yang paling berpengaruh kepada bangsa lain". Pemindahan bahasa ini dianggap sebagai bukti kekuasaan, tidak hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga kekuatan ekonomi. Aspek-aspek budaya yang paling berpengaruh biasanya turut dipindahkan bersama dengan bahasa itu.[1][2]

Sejak awal 1990-an, imperialisme bahasa telah menarik perhatian dalam kalangan ahli linguistik terapan. Khususnya, buku keluaran tahun 1992 yang berjudul Linguistic Imperialism karya Robert Phillipson telah menimbulkan banyak perbahasan tentang kekurangan dan kelebihannya. Phillipson mendapati pengecaman imperialisme bahasa yang berawal dari kritik Nazi terhadap Dewan Britania dan kupasan Soviet tentang bahasa Inggris sebagai bahasa kapitalisme dan penguasaan dunia.[3] Dalam hal ini, kritik terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa dunia sering kali berakar dari antiglobalisme.

Imperialisme bahasa juga sering dilihat dalam konteks imperialisme budaya.

Definisi[sunting | sunting sumber]

Imperialisme bahasa adalah satu bentuk linguisisme yang menguntungkan dan memberikan kekuatan kepada bahasa yang menguasai atau menindas dan penuturnya. Seperti yang diringkaskan oleh ahli bahasa Heath Rose dan John Conama, Dr. Phillipson berpendapat bahwa ciri-ciri yang menentukan imperialisme bahasa adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai satu bentuk linguisisme, yang menjelma dalam mengutamakan bahasa yang paling berpengaruh di atas yang lain menurut jalur yang sama seperti rasisme dan seksisme.
  2. Sebagai ide yang diwujudkan secara terstruktur, yang lebih banyak memberikan sumber daya dan prasarana kepada bahasa yang paling berpengaruh
  3. Sebagai ideologi, dalam hal ini meyakinkan bahwa bentuk bahasa yang paling berpengaruh lebih bergengsi daripada yang lain. Gagasan-gagasan ini bersifat hegemoni dan dihayati serta diserap sebagai "kebiasaan".
  4. Sebagai sesuatu yang terjalin dengan struktur yang sama dengan imperialisme dalam budaya, pendidikan, media, dan politik.
  5. Sebagai sesuatu yang memiliki intisari yang bersifat mengeksploitasi, yang menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara orang yang menggunakan bahasa yang paling berpengaruh dan orang yang tidak menggunakannya.
  6. Oleh sebab mempunyai pengaruh subtraktif pada bahasa-bahasa lain, dalam mempelajari bahasa yang paling berpengaruh adalah dengan mengorbankan bahasa yang lain.
  7. Sebagai sesuatu yang dipertikaikan dan dipertentangkan karena faktor-faktor tersebut.[4][5]

Walaupun tidak mudah untuk menentukan maksud kebijakan tertentu yang mengarah pada linguisisme, beberapa ahli percaya bahwa maksud tersebut dapat dibuktikan dengan mengamati kelanjutan praktik imperialis setelah kerusakan sosiolinguistik, sosiologis, psikologis, politis, dan pendidikan bahasa lain telah disadari.[6][7][8]

Bahasa Inggris[sunting | sunting sumber]

Dalam buku Linguistic Imperialism, Robert Phillipson mendefinisikan imperialisme bahasa Inggris sebagai

Dominasi bahasa Inggris yang ditegaskan dan dipertahankan oleh pihak berwenang serta penyusunan kembali ketidaksetaraan struktur dan budaya antara bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain secara terus-menerus.

[9] Bahasa Inggris sering disebut "bahasa perantara" (lingua franca) sedunia. Namun, Phillipson berpendapat bahwa ketika dominasinya mengarah pada pembunuhan bahasa atau linguisida, bahasa Inggris lebih tepat disebut "bahasa frankenstein" (lingua frankensteinia)[meragukan] menurut pandangannya.[10]

Teori Phillipson mendukung sejarah penyebaran bahasa Inggris sebagai bahasa antarbangsa dan dominasi bahasa tersebut secara berkelanjutan, tidak hanya di lingkungan pascapenjajahan seperti Wales, Skotlandia, Irlandia, India, Pakistan, Uganda, Zimbabwe, dan lain-lain., tetapi juga semakin meningkat di lingkungan "penjajahan baru" seperti Eropa daratan. Teorinya terutama didasarkan pada teori imperialisme Johan Galtung, teori persekongkolan Antonio Gramsci, dan khususnya pada gagasannya sendiri tentang hegemoni budaya.[10]

Tema utama teori Phillipson adalah proses hegemoni rumit yang menurutnya terus menopang keunggulan bahasa Inggris di dunia saat ini. Bukunya mengupas penggunaan retorika Dewan Britania untuk menggalakkan bahasa Inggris, di samping membahas prinsip-prinsip utama linguistik terapan dan metodologi pengajaran bahasa Inggris. Prinsip-prinsip ini berpendapat bahwa:

  • Bahasa Inggris paling baik diajarkan secara ekabahasa ("kesesatan ekabahasa");
  • Guru terbaik adalah penutur jati ("kesesatan penutur jati");[butuh klarifikasi]
  • Semakin awal bahasa Inggris diajarkan, maka semakin baik hasilnya ("kesesatan permulaan awal");[butuh klarifikasi]
  • Semakin banyak bahasa Inggris diajarkan, maka semakin baik hasilnya ("kesesatan pendedahan maksimum");[butuh klarifikasi]
  • Jika bahasa lain banyak digunakan, baku bahasa Inggris akan menurun ("kesesatan subtraktif").[10]

Menurut Phillipson, pihak-pihak yang menggalakkan bahasa Inggris, termasuk Dewan Britania, IMF, dan Bank Dunia, serta orang-orang seperti operator sekolah berbahasa Inggris menggunakan tiga jenis alasan:

  • Alasan intrinsik menggambarkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang "benar", "kaya", "mulia", dan "menarik". Alasan-alasan seperti ini cenderung menegaskan sifat-sifat bahasa Inggris dan bukan bahasa lain.
  • Alasan ekstrinsik menunjukkan bahwa bahasa Inggris sudah mapan karena banyak penuturnya, terdapat guru terlatih, dan banyak bahan ajar.
  • Alasan fungsian menekankan kegunaan bahasa Inggris sebagai gerbang dunia.[10]

Alasan-alasan lain yang menekankan bahasa Inggris:

  • Kegunaan ekonomi: bahasa Inggris memungkinkan orang menjangkau teknologi
  • Fungsi ideologi: bahasa Inggris dikatakan sebagai lambang kemodernan;
  • Kedudukan bahasa Inggris dapat dilihat sebagai lambang kemajuan dan kedayagunaan bendawi.[10]

Tema lain dalam karya Phillipson ini adalah "linguisisme"—sejenis prasangka yang menyebabkan bahasa terancam menjadi punah atau kehilangan kedudukan tertinggi di tingkat setempat akibat kebangkitan dan persaingan pentingnya bahasa Inggris.[10]

Bahasa lain[sunting | sunting sumber]

Di berbagai waktu, terutama di lingkungan penjajahan atau tempat budaya yang paling berpengaruh berusaha menyatukan wilayah di bawah kendalinya, fenomena yang serupa telah muncul. Di Kekaisaran Romawi, bahasa Latin pada mulanya merupakan bahasa yang terbatas di daerah Italia Tengah yang mula-mula diberlakukan di seluruh Italia. Kemudian, bahasa Latin diberlakukan di beberapa bagian Eropa yang akhirnya banyak menggantikan bahasa setempat, sementara bahasa Latin di Afrika Romawi hanya berpengaruh kuat sampai bahasa Latin dan bahasa asli digantikan melalui pengaraban.

Anatolia mempunyai keanekaragaman bahasa yang serupa ketika diperintah oleh negara pribumi yang kecil. Di bawah Kekaisaran Persia dan Keyunanian, bahasa sang penakluk berfungsi sebagai bahasa perantara sehingga rumpun bahasa Anatolia asli menghilang.

Di Timur Jauh, Afrika dan Amerika Latin, bahasa-bahasa daerah telah menghadapi ancaman digantikan atau diketepikan secara paksa oleh bahasa dan budaya yang paling berpengaruh seperti halnya ragam bahasa daerah Tibet dan Tiongkok lain oleh bahasa Tionghoa Mandarin, bahasa Ainu dan Ryukyu oleh bahasa Jepang, rumpun bahasa Quechua dan Mesoamerika oleh bahasa Spanyol, rumpun bahasa Melayu-Polinesia oleh bahasa Melayu, rumpun bahasa Filipina oleh bahasa Filipino, dan seterusnya. Pengaraban telah menghilangkan banyak rumpun bahasa Berber asli di Afrika Utara dan membatasi penggunaan bahasa Kubti untuk kegunaan kudus oleh Gereja Ortodoks Kristen Kubti.

Bahasa Inggris selama Abad Pertengahan juga terancam oleh imperialisme bahasa Prancis, terutama setelah penaklukan Norman. Selama berabad-abad lamanya, bahasa Prancis atau Anglo-Norman merupakan bahasa penadbiran (Lihat Hukum Prancis). Oleh sebab itu, bahasa tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di Inggris. Bahasa Latin tetap menjadi bahasa gereja dan pembelajaran. Walaupun bagi sebagian besar penutur bahasa Inggris, banyak kata yang diperkenalkan oleh orang Normandia saat ini sulit dibedakan dari perkataan asli Jermanik, kata pinjaman dari bahasa Latin atau Prancis yang dipelajari kemudian mungkin "lebih berbudaya bunyinya" menurut penutur jati bahasa Inggris.

Setelah berdirinya Kekaisaran Romawi Suci di sebagian besar wilayah Jerman dan Eropa Tengah saat ini, bahasa Jerman dan dialek-dialeknya menjadi bahasa pilihan kebanyakan kaum bangsawan Eropa Tengah. Bahasa Jerman berhasil disebarkan di sebagian besar Eropa Timur dan Tengah sebagai bahasa perdagangan dan derajat hingga berakhir setelah Perang Dunia II (Lihat pula Penjermanan.).

Bahasa Prancis juga telah meluas. Bahasa-bahasa seperti bahasa Oksitan, Breton, Basque, Katala, dan Korsika telah diketepikan di Prancis. Proses yang dikenal sebagai pemrancisan ini sering ditentang penutur bahasa setempat tersebut hingga muncul tuntutan kemerdekaan seperti di Breton dan Flandria (Belgia).

Di Italia terdapat keadaan yang mirip dengan Prancis. Bahasa Italia telah meluas dengan mengorbankan bahasa-bahasa seperti bahasa Sardinia, Sisilia, Ladin, Venesia, dan Friuli, sedangkan bahasa-bahasa seperti bahasa Jerman (di Tirol Selatan) atau bahasa Prancis (di Lembah Aosta) ditindas dari segi sejarah. Bahasa Italia kini menjadi bahasa resmi bersama di wilayah tersebut (Lihat pula Pengitaliaan).

Surat perintah untuk segera menghapuskan prasasti bahasa Basque dari batu nisan di Gernika dan menggantikan bahasa tersebut dengan bahasa Spanyol (1949) sesuai dengan peraturan

Penjajahan Spanyol dan sedikit banyak Portugis menjadikan bahasa penjajah tersebut lazim di Amerika Selatan dan beberapa bagian Afrika dan Asia (Filipina, Makau, dan Formosa untuk waktu yang singkat). Di Iberia, bahasa Spanyol Kastila seperti yang dituturkan Kerajaan Kastila menyebar dan dipaksakan pada bangsa dan wilayah lain di Spanyol dan menjadi satu-satunya bahasa resmi negara dari abad ke-18 sampai ke-20. Bahasa tersebut dilabelkan sebagai "pendamping kekaisaran" oleh Antonio de Nebrija (1492) dalam kata pengantar Gramática de la lengua castellana.

Imperialisme bahasa Rusia dapat dilihat di Belarus, baik melalui perselisihan nama negara (Belarus lwn. Belorussia), maupun dalam ejaan umum nama presiden mereka. Transkripsi bahasa Inggris telah melebihi bentuk bahasa Rusia Alexander Lukashenko dan bukannya Alyaksandr Lukashenka dalam bentuk bahasa Belarus.

Contoh lain imperialisme bahasa pernah dilihat di negara India pascakemerdekaan. Upaya menjadikan bahasa Hindi sebagai satu-satunya bahasa resmi mendapat pertentangan keras dari berbagai provinsi, terutama dari negara bagian Tamil Nadu. Di Karnataka, terdapat imperialisme bahasa yang memaksakan bahasa Kannada hampir di mana-mana.[11]

Kritikan[sunting | sunting sumber]

Banyak ahli telah ikut serta dalam perbincangan yang hangat tentang pernyataan Phillipson. Misalnya, Alan Davies membayangkan hantu Phillipson menghantui Departemen Linguistik Terapan di Edinburgh:

'Kumpulkan mereka', serunya, merujuk kepada siapa pun yang selama ini berpura-pura hanya untuk mengajar linguistik terapan, tetapi sebaliknya telah merencanakan dengan Dewan Britania untuk mengambil alih dunia.[12]

Bagi Davies, terdapat dua budaya yang mendiami imperialisme bahasa, yaitu budaya rasa bersalah ("penjajahan tidak seharusnya terjadi") dan budaya putus harapan ("kita tidak seharusnya melakukan apa yang sedang kita lakukan"). Rajagopalan melangkah lebih jauh menyatakan bahwa buku Phillipson telah menyebabkan munculnya kompleks rasa bersalah dalam kalangan para profesional pembelajaran dan pengajaran bahasa Inggris (ELT).[13]

Davies juga berpendapat bahwa pernyataan Phillipson tidak dapat dipalsukan: "Andai bangsa yang dikuasai...ingin menerima bahasa Inggris dan terus ingin mempertahankannya? Jawaban Phillipson yang tidak dapat dipalsukan ini pastilah mereka tidak bisa, karena mereka sudah dibujuk melawan kepentingan mereka yang lebih baik."[14] Dengan demikian, telah dikemukakan bahwa teori Phillipson ini seolah-olah merendahkan kemampuan negara berkembang membuat keputusan secara bebas (untuk menerima atau tidak menerima ELT). Dalam konteks Nigeria, Bisong menyatakan bahwa "golongan terpinggir" menggunakan bahasa Inggris secara pragmatis. Mereka mengantar anak-anak mereka ke sekolah berbahasa Inggris semata-mata karena ingin anak-anak mereka menguasai aneka bahasa ketika besar nanti. Mengenai Phillipson, Bisong menyatakan bahwa "menafsirkan tindakan-tindakan seperti itu sebagai hasil korban-korban imperialisme bahasa pusat adalah memutarbalikkan bukti sosiolinguistik agar sesuai dengan tesis yang telah terbentuk sebelumnya".[15] Seandainya bahasa Inggris harus dihapuskan karena keasingannya, Bisong berpendapat, maka Nigeria sendiri juga harus dibubarkan karena dianggap sebagai struktur jajahan.

Lebih-lebih lagi, anggapan bahwa bahasa Inggris itu bersifat imperialisme telah dikecam. Henry Widdowson berpendapat bahwa "adanya percanggahan mendasar dalam gagasan bahwa bahasa itu sendiri menggunakan kendali hegemoni. Jika begitu, Anda tidak akan pernah bisa menentang kendali semacam itu".[16] Selain itu, gagasan bahwa penggalakan bahasa Inggris seharusnya menyiratkan penurunan taraf bahasa setempat telah ditentang. Holborrow menunjukkan bahwa "tidak semua jenis bahasa Inggris pusat yang berpengaruh kuat, begitu juga tidak semua penutur terpinggir sama-sama didiskriminasi".[17] Misalnya, bahasa Inggris Irlandia, bahasa Inggris Selandia Baru, atau bahkan dialek-dialek kedaerahan Inggris seperti bahasa Inggris Kernowek dapat dianggap sebagai ragam bahasa Inggris pusat yang tidak berpengaruh kuat.

Beberapa ahli percaya bahwa dominasi bahasa Inggris bukan disebabkan oleh kebijakan bahasa tertentu, melainkan sebagai efek samping dari penyebaran jajahan berbahasa Inggris melalui penjajahan dan pengglobalan.[18][19]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pihak yang sependapat dengan Phillipson memandang pemilihan bahasa dipaksakan oleh pengaruh luar, sementara pihak lain memandangnya sebagai pilihan pribadi.[20]

Tanggapan[sunting | sunting sumber]

Pihak-pihak yang mendukung alasan yang mengiakan keberadaan imperialisme bahasa menyatakan bahwa alasan-alasan yang menentang sering diajukan oleh penutur jati bahasa Inggris ekabahasa yang mungkin memandang kedudukan bahasa Inggris saat ini layak untuk dirayakan.[butuh rujukan]

Siapa pun yang melihat peningkatan penyebaran bahasa Inggris di dunia sebagai perkembangan yang mengkhawatirkan (yang menurunkan kedudukan bahasa setempat dan daerah serta mampu merusak atau mengikis nilai-nilai budaya) cenderung lebih menerima pandangan Phillipson. Alastair Pennycook, Suresh Canagarajah, Adrian Holliday, dan Julian Edge termasuk dalam kelompok ini digambarkan sebagai ahli linguistik terapan kritis.

Namun, pernyataan Henry Widdowson tentang kupasan wacana kritis juga dapat diterapkan pada ahli-ahli linguistik terapan kritis tersebut:

Seharusnya dapat dikatakan bahwa suatu alasan dapat membingungkan atau kupasannya cacat, tanpa menyangkal keadilan perjuangan yang didukung. Pada pandangan saya, jika tujuannya adil maka kita harus mencari cara untuk mendukungnya dengan alasan yang koheren...Saya memang berpendapat bahwa berbuat sebaliknya berarti merugikan perjuangan. Untuk langkah-langkah pendedahan ideologis dengan kupasan yang bijaksana...sudah tentu dapat digunakan untuk melanjutkan perjuangan mana pun, baik haluan kanan maupun kiri.... Dengan adanya keyakinan dan komitmen, Anda pasti mencapai sasarannya.[21]

Di Irlandia, masalah menghilangkan pengaruh penginggrisan dari bangsa Inggris telah menjadi topik perbahasan di negara tersebut bahkan sebelum kemerdekaan.[22][23] Sebuah alasan untuk menghilangkan penginggrisan disampaikan di hadapan Perhimpunan Sastra Nasional Irlandia di Dublin pada 25 November 1892; "Ketika kita berbicara tentang perlunya menghilangkan penginggrisan bangsa Irlandia, kita tidak bermaksud untuk menjadikannya protes untuk meniru hal-hal yang baik dari bangsa Inggris. Hal tersebut tidak masuk akal karena menunjukkan kebodohan bangsa Irlandia yang mengabaikan dan menerima segala sesuatu yang berbau Inggris secara sembarangan hanya karena itu Inggris."[22]

Menurut Ghil'ad Zuckermann, "Gelar dan hak berbahasa ibu harus digalakkan. Pemerintah harus mendefinisikan bahasa sehari-hari orang asli dan penduduk kepulauan Selat Torres sebagai bahasa resmi Australia. Kita harus mengubah bentang linguistik Whyalla dan tempat lain. Rambu-rambu harus ada dalam bahasa Inggris dan bahasa asli setempat. Kita harus mengakui kekayaan intelektual pengetahuan pribumi termasuk bahasa, musik, dan tarian."[24]

Penyesuaian[sunting | sunting sumber]

Beberapa orang yang menolak gagasan imperialisme bahasa berpendapat bahwa penyebaran bahasa Inggris ke seluruh dunia lebih baik dipahami dalam kerangka pengambilan manfaat,[25] yaitu bahasa Inggris digunakan di seluruh dunia untuk kegunaan setempat. Selain contoh Nigeria tadi, berikut contoh-contoh lain:

  • Pengunjuk rasa di negara-negara yang tidak berbahasa Inggris sering menggunakan papan tanda berbahasa Inggris untuk menyampaikan tuntutan mereka kepada penonton TV di seluruh dunia. Adakalanya, pengunjuk rasa tidak mengerti apa yang ditulis pada papan tanda yang digunakannya.
  • Bobda menunjukkan cara Kamerun beralih dari cara pengajaran bahasa Inggris secara ekabudaya berpusatkan Inggris dan secara berangsur-angsur menyesuaikan bahan ajar dalam konteks Kamerun, meliputi topik-topik bukan Barat seperti pemerintahan amir, pengobatan tradisional, dan poligami.[26] Bobda mendukung pendidikan dwibudaya, yaitu budaya Kamerun dan Inggris Amerika.[27]
  • Kramsch dan Sullivan menggambarkan cara metodologi dan buku pelajaran Barat dapat disesuaikan dengan budaya Vietnam setempat.[28]
  • Buku pelajaran Bahasa Inggris Tahap Dasar di Pakistan meliputi pelajaran seperti "Pakistan, Negaraku", "Bendera Kita," dan "Pemimpin Hebat Kita",[29] yang mungkin terdengar kejingoan di telinga Barat. Namun, dalam budaya asli, membangun hubungan antara ELT, patriotisme, dan keyakinan Muslim dipandang sebagai tujuan ELT karena ketua Dewan Buku Pelajaran Punjab menyatakan: "Dewan...dengan telitinya, melalui buku-buku ini untuk menanamkan kecintaan terhadap nilai-nilai Islam dalam diri pelajar dan kesadaran untuk menjaga perbatasan ideologi tanah air dalam kalangan [pelajar]."[30]

"Pengantarbangsaan (internationalization) bahasa Inggris semacam itu dapat membuka lembaran baru bagi penutur jati bahasa Inggris. McCabe menjelaskan:

...sedangkan selama dua abad kita mengekspor bahasa dan kebiasaan kita untuk memburu...pasar segar, kini kita mendapati bahwa bahasa dan kebiasaan kita dikembalikan kepada kita tetapi diubah sehingga dapat digunakan oleh orang lain... sehingga bahasa dan budaya kita sendiri menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dan percanggahan segar.[31]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kamusella, Tomasz (2020). "Global Language Politics: Eurasia versus the Rest". Journal of Nationalism, Memory & Language Politics. 14 (2): 118–151. 
  2. ^ Master, Peter (1998). "Positive and Negative Aspects of the Dominance of English". TESOL Quarterly. 32 (4): 716–727. doi:10.2307/3588002. JSTOR 3588002. 
  3. ^ Phillipson, Robert (1992), p36.
  4. ^ Conama, John Bosco; Rose, Heath (2018-08-01). "Linguistic imperialism: still a valid construct in relation to language policy for Irish Sign Language". Language Policy (dalam bahasa Inggris). 17 (3): 385–404. doi:10.1007/s10993-017-9446-2alt=Dapat diakses gratis. ISSN 1573-1863. 
  5. ^ Phillipson, Robert (2012). "Imperialism and Colonialism". Dalam Spolsky, Bernard. www.forskningsdatabasen.dk. Cambridge Handbook of Language Policy. hlm. 203–225. doi:10.1017/CBO9780511979026.013. ISBN 9780511979026. 
  6. ^ Skutnabb-Kangas, T. (2016). "Linguicism". scholar.google.com. Diakses tanggal 2019-01-08. 
  7. ^ Skutnabb-Kangas, Tove (2000-02-01). Linguistic Genocide in Education--or Worldwide Diversity and Human Rights? (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9781135662363. 
  8. ^ Skutnabb-Kangas, Tove; Dunbar, Bob; Peoples, Gáldu-Resource Centre for the Rights of Indigenous (2010). Indigenous children's education as linguistic genocide and a crime against humanity? : a global view (PDF) (dalam bahasa Inggris). Guovdageiadnu / Kautokeino, Norway : Gáldu - Resource Centre for the Rights of Indigenous Peoples. ISBN 9788281440494. 
  9. ^ Phillipson, Robert (1992), p 47.
  10. ^ a b c d e f Phillipson, Robert (2008). "Lingua franca or lingua frankensteinia? English in European integration and globalisation1". World Englishes (dalam bahasa Inggris). 27 (2): 250–267. doi:10.1111/j.1467-971X.2008.00555.x. ISSN 1467-971X. 
  11. ^ "The history of anti-Hindi imposition movements in Tamil Nadu". 4 June 2019. 
  12. ^ Alan Davies (1996), p. 485
  13. ^ Rajagopalan (1999), p. 200.
  14. ^ Davies (1996), p. 488
  15. ^ Bisong (1995 [1994]), p. 125.
  16. ^ Henry Widdowson (1998a), p. 398.
  17. ^ Holborrow (1993), p. 359; see also Bisong (1995 [1994]), p. 124.
  18. ^ Spolsky, Bernard (2004). Language Policy (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 9780521011754. 
  19. ^ Ferguson, Gibson (2006-03-14). Language Planning and Education (dalam bahasa Inggris). Edinburgh University Press. ISBN 9780748626588. 
  20. ^ Davies (1997), p. 248.
  21. ^ Henry Widdowson (1998b), p. 150.
  22. ^ a b Hyde, Douglas (25 November 1892). "The Necessity for De-Anglicising Ireland". Diakses tanggal 2010-08-21. 
  23. ^ "De-Anglicisation - Free Online Dictionary". the elimination of English influence, language, customs, etc. 
  24. ^ Zuckermann, Ghil'ad, "Stop, revive and survive", The Australian Higher Education, June 6, 2012.
  25. ^ E.g. Spichtinger (2000).
  26. ^ Bobda (1997), p. 225.
  27. ^ Bobda (1997), p. 234.
  28. ^ Kramsch and Sullivan (1996).
  29. ^ Malik (1993), pp. 5, 6, 7.
  30. ^ Punjab Text Book Board (1997).
  31. ^ McCabe (1985), p. 45.

Bacaan lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Acar, A. (2006). "Models, Norms and Goals for English as an International Language Pedagogy and Task Based Language Teaching and Learning." The Asian EFL Journal Vol. 8 2006
  • Bisong, Joseph (1995 [1994]) Language Choice and cultural Imperialism: a Nigerian Perspective. ELT Journal 49/2 122–132.
  • Bobda, Augustin Simo (1997) Sociocultural Constraints in EFL Teaching in Cameroon. In: Pütz, Martin (ed.) The cultural Context in Foreign Language Teaching. Frankfurt a.M.: Lang. 221–240.
  • Brutt-Griffler, Janina (2002) World English. Multilingual Matters. ISBN 1-85359-577-2
  • Canagarajah, A. Suresh (1999), Resisting Linguistic Imperialism in English Teaching, Oxford University Press. ISBN 0-19-442154-6
  • Canagarajah, A. Suresh, Thomas Ricento & Terrence G. Wiley [eds.] (2002) Journal of Language, Identity, and Education. Special issue. Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-9629-5
  • Canagarajah, A. Suresh [ed.] (2004) Reclaiming the Local in Language Policy and Practice. Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-4593-3
  • Crystal, David (2003), English as a Global Language, 2nd ed., Cambridge University Press. ISBN 0-521-53032-6
  • Davies, Alan (1996) Review Article: ironising the Myth of Linguicism. Journal of Multilingual and Multicultural Development. 17/6: 485–596.
  • Davies, Alan (1997) Response to a Reply. Journal of Multilingual and Multicultural Development 18/3 248.
  • Edge, Julian [ed.] (2006) (Re-)Locating TESOL in an Age of Empire. Palgrave Macmillan. ISBN 1-4039-8530-8
  • Holborow, Marnie (1999) Politics of English. Sage Publications. ISBN 0-7619-6018-X
  • Holborrow, Marnie (1993) Review Article: linguistic Imperialism. ELT Journal 47/4 358–360.
  • Holliday, Adrian (2005), Struggle to Teach English as an International Language , Oxford University Press. ISBN 0-19-442184-8
  • Kontra, Miklos, Robert Phillipson, Tove Skutnabb-Kangas & Tibor Varady [eds.] (1999), Language: A Right and a Resource, Central European University Press. ISBN 963-9116-64-5
  • Kramsch, Klaire and Patricia Sullivan (1996) Appropriate Pedagogy. ELT Journal 50/3 199–212.
  • Malik, S.A. Primary Stage English (1993). Lahore: Tario Brothers.
  • Master, Peter (1998) Positive and Negative Aspects of the Dominance of English. TESOL Quarterly, 32/4. 716–727. DOI:10.2307/3588002
  • Pennycook, Alastair (1995), The Cultural Politics of English as an International Language, Longman. ISBN 0-582-23473-5
  • Pennycook, Alastair (1998), English and the Discourses of Colonialism, Routledge. ISBN 0-415-17848-7
  • Pennycook, Alastair (2001), Critical Applied Linguistics, Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-3792-2
  • Pennycook, Alastair (2006) Global Englishes and Transcultural Flows. Routledge. ISBN 0-415-37497-9
  • Phillipson, Robert (1992), Linguistic Imperialism, Oxford University Press. ISBN 0-19-437146-8
  • Phillipson, Robert [ed.] (2000), Rights to Language, Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-3835-X
  • Phillipson, Robert (2003) English-Only Europe? Routledge. ISBN 0-415-28807-X
  • Punjab Text Book Board (1997) My English Book Step IV. Lahore: Metro Printers.
  • Rajagopalan, Kanavilli (1999) Of EFL Teachers, Conscience and Cowardice. ELT Journal 53/3 200–206.
  • Ramanathan, Vaidehi (2005) The English-Vernacular Divide. Multilingual Matters. ISBN 1-85359-769-4
  • Rahman, Tariq (1996) Language and Politics in Pakistan Karachi: Oxford University Press
  • Ricento, Thomas [ed.] (2000) Ideology, Politics, and Language Policies. John Benjamins. ISBN 1-55619-670-9
  • Skutnabb-Kangas, Tove & Robert Phillipson [eds.]; Mart Rannut (1995), Linguistic Human Rights, Mouton De Gruyter. ISBN 3-11-014878-1
  • Silva, Diego B. (2019). Language policy in Oceania. Alfa, Rev. Linguíst. 63 (2).
  • Sonntag, Selma K. (2003) The Local Politics of Global English. Lexington Books. ISBN 0-7391-0598-1
  • Spichtinger, Daniel (2000) The Spread of English and its Appropriation. University of Vienna, Vienna.
  • Tsui, Amy B.M. & James W. Tollefson (in press) Language Policy, Culture, and Identity in Asian Contexts. Lawrence Erlbaum Associates. ISBN 0-8058-5694-3
  • Widdowson, H.G. (1998a) EIL: squaring the Circles. A Reply. World Englishes 17/3 397–401.
  • Widdowson, H.G. (1998b) The Theory and Practice of Critical Discourse Analysis. Applied Linguistics 19/1 136–151.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]