Ideokrasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ideokrasi (gabungan dari kata "ideologi" dengan kata "kekuasaan" dalam bahasa Yunani Kuno: kratos) adalah pemerintahan suatu daerah berdasarkan sebuah ideologi tertentu.[1] Pemerintahan ideokrasi merupakan pemerintahan yang didasarkan pada sebuah ideologi tunggal. Negara ideokrasi berbeda dengan negara otoriter seperti Turki dan Rusia—yang pemerintahannya berada di bawah kekuasaan pusat yang kuat dengan kebebasan politik yang terbatas—dan berbeda pula dengan sebuah negara demokrasi.[2][3] Pemerintahan ideokrasi dapat memiliki sifat seperti pemerintahan totaliter jika warga dipaksa untuk menganut sebuah ideologi, atau seperti pemerintahan populis jika warganya secara sukarela menganut sebuah ideologi tertentu.[4] Penggunaan pertama istilah "totalitarianisme" salah satunya berasal dari tulisan penulis Austria yaitu Franz Borkenau pada tahun 1938 yang membahas mengenai kediktatoran di Uni Soviet dan Jerman.[5] Ekonom dan sosiolog Britania Raya yaitu Sidney dan Beatrice Webb menggunakan istilah ideocracy pada tahun 1936 yang kemudian disebutkan kembali oleh filsuf Rusia yaitu Nicholas Berdyaev pada tahun 1947.[6]

Setiap pemerintah memiliki landasan ideologi dalam menentukan kebijakan mereka. Akan tetapi, di dalam pemerintahan ideokrasi, satu ideologi dominan telah tertanam dalam di perpolitikan negara dan kehidupan masyarakat. Ideologi dari sebuah ideokrasi ditampilkan sebagai sistem yang agung, absolut, dan universal dalam kehidupan layaknya Tuhan dalam agama monoteis.

Analisis[sunting | sunting sumber]

Sebuah ideokrasi dapat berupa negara yang totaliter yang mengandalkan kekuatan fisik ataupun berupa negara populis yang mengandalkan dukungan penganut ideologi sejati. Bentuk ideokrasi yang totaliter memiliki enam komposisi yaitu 1) ideologi, 2) sistem satu partai umumnya dengan satu pemimpin, 3) teror polisi, 4) monopoli komunikasi, 5) monopoli senjata, dan 6) ekonomi yang terencana dan terpusat.[7] Selain itu, sebuah ideokrasi seperti sebuah negara Islam yang keras ataupun negara seperti Jerman Nazi akan mengekang penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan jika bertentangan dengan ideologi negara[8] (walaupun kondisi yang serupa dapat juga ditemukan di negara-negara demokrasi).[9][10] Piekalkiewicz dan Penn (2005) menyatakan bahwa setiap negara bersifat organik (ungkapan terorganisasi dari sebuah masyarakat yang di dalamnya semua individu merupakan anggota dependen seperti jari terhadap tangan) atau bersifat mekanis/pragmatis (konsep bahwa individu memiliki hak di depan negara dan setara dengan negara). Politikus Amerika Serikat yaitu Adlai Stevenson II mengatakan bahwa, "Sepanjang sejarah, pemerintah terus menendang warga. Pencapaian yang menakjubkan di zaman modern adalah bahwa warga yang sekarang menendang (pemerintah)".[11]

Piekalkiewicz dan Penn lebih lanjut menyatakan bahwa pemerintahan ideokrasi mendapatkan legitimasi politik dari suatu sumber seperti bangsa, ras, kelas sosial, atau budaya.[12] Mereka juga meyakini bahwa pejabat-pejabat ideokrat akan mengkambinghitamkan dan menumpahkan kesalahannya kepada orang lain, misalnya kepada orang Yahudi, komunis, kapitalis, atau kafir sebagai kelompok-kelompok yang memusuhi negara. Kesalahan dalam melaksanakan kebijakan ditumpahkan dari diri-diri para pejabat ke kambing-kambing hitam tersebut yang pada akhirnya menjadi sasaran serangan, ancaman, terorisme, dan penghukuman.[13] Pada masa Jerman Nazi misalnya, dorongan untuk membasmi orang Yahudi pada akhirnya menjadi prioritas ketimbang kebijakan-kebijakan lain.[14]

Warga dari negara-negara pluralis dapat bermigrasi ke negara lain secara bebas namun bagi warga negara ideokrasi yang pindah ke negara lain dapat memperoleh julukan sebagai "pengkhianat".[15]

Psikologi[sunting | sunting sumber]

Warga-warga di dalam negara ideokrasi dapat mengembangkan sebuah kepribadian otoriter agar dapat bertahan hidup dan berhasil. Setelah negara ideokrasi tersebut bubar pun, warga-warga ini cenderung segan terhadap demokratisasi.[16] Mereka memiliki pikiran yang tertutup dengan mengunggulkan pandangan mereka terhadap kondisi di dalam negara ideokrasi mereka sendiri dibandingkan dengan dunia luar yang "sesat". Slogan-slogan sederhana digunakan berulang-ulang sebagai tanda kepatuhan dan loyalitas terhadap ideologi.[17] Menurut Piekalkiewicz dan Penn, kemunculan warga yang kemudian tidak menganut ideologi ideokrasi adalah fatalis. Mereka dapat berlanjut untuk mendukung sistem yang ada tersebut karena mereka merasa tidak dapat mengubahnya atau menjadi Machiavellianis dengan memanfaatkan sistem tersebut untuk keinginan mereka sendiri. Penulis Britania Raya yaitu George Orwell menyebut sikap-sikap tersebut sebagai doublethink.[18]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Oxford English Dictionary.
  2. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 4, 148.
  3. ^ Uwe & Steffen 2013.
  4. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 22.
  5. ^ Nemoianu, Virgil (1982). "Review of End and Beginnings". MLN. 97 (5): 1235–1238. 
  6. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 20, 182.
  7. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 8.
  8. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 182.
  9. ^ Irfan, Umair. "Anxiety Mounts at National Labs Over Future of Climate Research". Scientific American. 
  10. ^ Zhang, Sarah (2017-01-26). "Looking Back at Canada's Political Fight Over Science". The Atlantic. 
  11. ^ Teks asli dalam bahasa Inggris: "Since the beginning of time governments have been engaged in kicking people around. The astonishing achievement in modern times is the idea that citizens should do the kicking." dikutip dalam Rupert Emerson, From Empire to Nation, Beacon Press, 1963, p. 292.
  12. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 39.
  13. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 49-50.
  14. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 217.
  15. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 189.
  16. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 190-191.
  17. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 44-45.
  18. ^ Piekalkiewicz & Penn 1995, hlm. 52-55.