Ibnu Lahi'ah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Abdullah bin Lahi’ah (Arab: ابن لهيعة) adalah salah seorang periwayat hadits yang dikategorikan sebagai perawi yang lemah hapalannya dan riwayat yang berasal darinya ditinggalkan. Kisahnya dikenal karena rumahnya terbakar dan membakar habis semua kitab catatannya. Sebagian ulama menerima riwayatnya sebelum buku-bukunya terbakar, terutama yang diriwayatkan oleh Al-Abadillah (Para Abdullah). Sebagian lagi menganggapnya memang lemah pada asalnya, dan kebakaran rumahnya menambah kelemahan periwayatannya sehingga tidak dapat diterima riwayatnya.

Biografinya[sunting | sunting sumber]

Ia lahir tahun 96/97 H dan wafat tahun 174 H. Ia menerima hadis dari 65 orang dan memiliki 45 orang. Ia termasuk salah seorang rijal Al-Bukhari dan Muslim yang tsiqah namun hapalannya pernah terganggu, sehingga perlu syahid atau tabi’ (riwayat penguat dan pendukung lain) agar riwayatnya dapat dipakai. Empat tahun sebelum meninggal rumah dan kitab-kitabnya terbakar, kemudian terjadi ikhtilat pada hafalannya.[1] Telah berkata Muhammad bin Ismail al-Bukhari dalam kitabnya, "Tarikh al-Kabir" yang menulis sejumlah rijal hadits, bahwa antara 169 H/170 H, rumahnya terbakar. Adapun, 4 orang yang meriwayatkan haditsnya yang paling "lurus" -yaitu, orang-orang yg meriwayatkan darinya sebelum dia ikhtilath- adalah Abdullah bin Maslamah Al-Qa'nabi, Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Yazid Al-Muqri'. Ishaq bin Isa berkata, "4 tahun sebelum kematiannya, rumah Ibnu Lahi'ah terbakar yang menyebabkan dia ikhtilath." Bahkan, sebelum mengalami ikhtilath, dia "shaduq" (jujur) atau bahkan "tsiqah" (tepercaya).[2]

Perkataan para ulama[sunting | sunting sumber]

Imam Muslim berkata tentangnya dalam kitabnya Al-Kuno: “Ibnu Mahdi, Yahya bin Sa’id dan Waki’ meninggalkannya (riwayatnya dalam ilmu hadits)."

Imam Ibnu Abdul Barr berkata dalam kitabnya At-Tamhid: "Dan Ibnu Lahi'ah dan Yahya bin Azhar adalah dua orang yang lemah (Dhaif), tidak ada yang mendukung (periwayatan) keduanya.[3]

Al-Hakim dikatakan menyatakan: “Ia bukan sengaja berdusta, akan tetapi ia meriwayatkan dari ingatannya setelah buku-bukunya terbakar, jadilah ia berbuat banyak kesalahan.”

Ibnu Ma’in berkata: “Ia lemah (baik) sebelum kitab-kitabnya terbakar maupun setelah terbakarnya[4]

Ibnu Hibban berkata, “Teman-teman kita (ahli-hadits) berkata, Jika periwayat mendengar darinya sebelum buku-bukunya terbakar, seperti para Abdullah, maka riwayat darinya sah, dan siapapun yang meriwayatkan darinya setelah terbakarnya buku-bukunya, maka mendengar darinya tidak ada apa-apanya (tidak dianggap).

Ibnul Qayyim berkata, “Ada penguat dari riwayatnya apabila para Abdullah meriwayatkan darinya.[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani menyatakan dalam kitab Taqribnya, “Orang yang jujur, (namun) riwayatnya kacau setelah buku-bukunya terbakar. Riwayat darinya yang diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahb adalah yang paling baik ('adal) daripada selainnya." Akan tetapi perlu diingat bahwa Ibnu Hajar lebih dari 13 tempat menyatakan kelemahannya dalam kitabnya At-Talkhis Al-Habir.

Para Abdullah[sunting | sunting sumber]

Al-Abadillah (Para Abdullah) adalah istilah yang digunakan sebagian ulama hadits dalam menyebut tiga orang Abdullah yaitu: Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid al-Muqri, and Abdullah bin Mubarak.” Riwayat dari Ibnu Lahi’ah hanya dianggap dapat diterima apabila diriwayatkan oleh para Abdullah. Para Abdullah telah mendengar riwayat dari Ibnu Lahiah sebelum terjadinya kebakaran. Imam Ahmad bin Hanbal berkata “Ketika para Abdullah mendengar dari Ibnu Lahi'ah, maka bagi kami itu salih (baik riwayatnya).[6]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Tahdzibul kamal
  2. ^ Tarikh al-Kabir
  3. ^ At-Tamhid 5/244
  4. ^ Mizan Al-’Itidaal no.4530
  5. ^ I'lam al-Muwaqi'in
  6. ^ Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi