Hukum makan Kristen

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Penglihatan Petrus karya Henry Davenport Northrop, 1894.

Dalam Kekristenan Nikea arus utama, tiada batasan terhadap jenis hewan yang dapat disantap.[1][2] Praktek tersebut bermula dari penglihatan Petrus dari sebuah lembar dengan hewan-hewan, yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul, Pasal 10, dimana Santo Petrus "melihat sebuah lembar berisi hewan-hewan yang diturunkan dari langit."[3] Selain itu, Perjanjian Baru hanya memberikan sedikit panduan terhadap konsumsi daging, yang diterapkan oleh Gereja Kristen saat ini; seseorang dilarang menyantap makanan yang diketahui dipersembahkan kepada berhala-berhala pagan,[4] sebuah perintah yang dikotbahkan oleh Bapa-bapa Gereja perdana, seperti Klemens dari Aleksandria dan Origenes.[5] Selain itu, umat Kristen biasanya memberkati makanan apapun sebelum disantap dengan doa makan, sebagai tanda terima kasih kepada Allah atas hidangan yang mereka miliki.

Menjagal hewan untuk dijadikan makanan biasanya dilakukan tanpa rumus Trinitarian,[6][7] meskipun Gereja Apostolik Armenia, di bandingkan Kristen Ortodoks lainnya, memiliki ritual mengikuti shechitah, aturan penjagalan Yahudi.[8] Menurut Norman Geisler, Alkitab memerintahkan seseorang untuk "menjauhi makanan yang dipersembahkan kepada berhala, mengandung darah, mengandung daging dari hewan-hewan yang dicekik".[9]

Terdapat pula sejumlah kelompok yang memiliki pantang makanan tertentu, seperti beberapa biarawan Kristen, seperti Trapis, mengadopsi kewajiban vegetarianisme Kristen.[10] Selain itu, umat Kristen dari tradisi Adventis Hari Ketujuh umumnya "berpantang menyantap daging dan makanan berbumbu pekat".[11] Umat Kristen dalam aliran-aliran Anglikan, Katolik, Lutheran, Methodis dan Ortodoks biasanya menjalankan hari pantang daging, khususnya pada musim liturgi Prapaskah.[12][13][14][15]

Gambaran Umum[sunting | sunting sumber]

Hukum-hukum tentang ketahiran dan kenajisan telah diterapkan dalam mengatur apa yang boleh dimakan, dan apa yang tidak boleh dimakan. Secara umum semua buah dan sayuran adalah tahir. Namun, mengenai makhluk hidup, hukum itu amat ketat. Hukum tersebut termuat dalam Imamat 11.[16] Peraturan tentang hal yang tahir dan yang najis, tentang makanan yang halal dan yang haram menduduki tempat penting dalam hukum Taurat. Tetapi Yesus mengatakan, "Apapun dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya". Dan penginjil menyimpulkan, "Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal" (Markus 7:15,19).[17]

Perjanjian Lama[sunting | sunting sumber]

Di Taman Eden, Tuhan memerintahkan Adam dan Hawa untuk mengikuti bukan hanya pola makan vegetarian, tetapi pola makan vegan yang ketat, yang tidak mengambil apapun dari jiwa yang hidup.[18] Pada Kitab Perjanjian Lama disebutkan bahwa segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon yang buahnya berbiji adalah yang akan menjadi makanan manusia (Kej. 1:29). Segala yang bergerak, yang hidup akan menjadi makananmu, seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau (Kej. 9:3). Hanya daging yang masih ada nyawanya, yakni darahnya, janganlah kamu makan (Kej. 9:4). Pada zaman Nabi Musa, maka Tuhan menegaskan kembali akan batasan hewan halal dan hewan haram (Imamat 11:1-47; Ulangan 14:3-21). Secara terperinci diberikan batasan yang jelas untuk kategori hewan halal dan haram.[19]

Pada zaman Nabi Nuh, semua binatang boleh dimakan, tidak ada batasan binatang yang tahir atau yang najis. Sebab pada zaman ini, Allah belum memilih umat-Nya di bumi ini. Di dalam kitab Imamat dijelaskan bahwa ketika bani Israel keluar dari Mesir dan mereka dipilih sebagai umat Allah, barulah pada saat itu terjadi adanya perbedaan antara umat Allah yaitu orang Yahudi dan yang bukan umat-Nya yaitu orang kafir. Sehingga pada waktu inilah baru ada batasan mengenai binatang yang boleh dimakan (binatang tahir), dan yang tidak boleh dimakan (binatang najis). Makanan telah menjadi perwakilan dari golongan manusia yang diperkenan Allah yang dapat bersekutu, dan golongan yang tidak diperkenankan Allah. Makanan bukan sekedar makanan saja, sebab terdapat prinsip yang terkandung didalamnya. Sesuatu yang boleh dimakan berarti itulah yang Allah kehendaki, dan yang tidak boleh dimakan berarti itulah yang Allah tidak kehendaki .[20]

Di dalam kitab Imamat 11, Allah berkata kepada bani Israel bahwa terdapat sejumlah binatang halal yang boleh dimakan, dan terdapat sejumlah binatang yang haram yang tidak boleh dimakan seperti binatang yang menjalar atau binatang melata yang tidak bertulang belakang. Binatang berkaki empat yang tidak boleh dimakan diantaranya ialah yang memamah biak tetapi tidak terbelah dua kukunya atau berkuku belah tetapi tidak memamah biak. Terdapat beberapa jenis unggas-unggas di udara yang diperbolehkan untuk dimakan, tetapi burung-burung buas yang pemakan daging dan bangkai tidak boleh dimakan. Ikan-ikan yang boleh dimakan adalah jenis ikan yang bersisik dan bersirip, tetapi tidak boleh memakan jenis ikan yang tidak bersisik dan bersirip. Darah, lemak, dan juga bangkai serta binatang halal yang mati dengan darah tertahan/tercekik, dilarang untuk dimakan.[19][20]

Hukum haram dan halal atas makanan di Perjanjian Lama tersebut lebih difokuskan kepada kerohanian umat Israel yang hidup pada saat itu. Misalnya larangan terhadap binatang babi secara spesifik dan hewan lain sebagai makanan, karena jenis hewan tersebut umumnya dipergunakan sebagai sarana untuk ritual keagamaan dalam praktik ibadah oleh kelompok-kelompok penyembah berhala yang marak di sekitar Israel saat itu.[21]

Perjanjian Baru[sunting | sunting sumber]

Menurut Markus 7:18-19, Yesus Kristus menyatakan semua makan halal. Di dalam Kisah Para Rasul 10:9-16 terdapat riwayat tentang mimpi Petrus di atas rumah; langit terbuka dan turunlah suatu benda berbentuk kain lebar yang didalamnya terdapat segala macam binatang, yaitu berbagai jenis binatang yang berkaki empat, binatang menjalar dan burung-burung, terkecuali ikan-ikan. Petrus mendengar suatu suara yang berkata: "Bangunlah, hai Petrus, sembelilah, dan makanlah". Kemudian Petrus mendengar lagi suara itu yang berkata: "apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram".[22] Tetapi Petrus tentulah tidak rela melepaskan begitu saja tradisi bangsa Yahudi yang sudah berabad-abad lamanya senantiasa hidup menurut pengertian-pengertian halal dan haram. Oleh karenanya, terdengarlah perintah sampai tiga kali untuk menyembelih dan makan. Pelajaran yang harus diikuti oleh Petrus ialah, bahwa pengertian-pengertian halal atau haram tidak berlaku lagi bagi perhubungan antara bangsa Yahudi dengan bangsa-bangsa lain. Hukum-hukum Taurat yang bersifat upacara tidak perlu lagi dipaksakan kepada mereka, yang sekarang dari luar bangsa Israel memasuki pesekutuan dengan Allah melalui perantaraan Yesus Kristus sebagai Pembebas bagi semua bangsa di bumi.[23] Dan sejak saat itu dan seterusnya, Allah telah melimpahkan kasih karunia kepada orang-orang kafir yang najis. Dengan demikian, apa yang Allah katakan najis pada Perjanjian Lama, telah dianggap-Nya tahir pada Perjanjian Baru. Sehingga bukan hanya orang Israel saja yang menjadi umat Allah, tetapi orang-orang kafir pun dapat menjadi umat Allah bersama-sama dengan orang Israel.[20]

Pantangan makan darah, lemak, dan makanan haram, juga disebutkan dalam Kitab Perjanjian Baru. Diperintahkan pula (Kisah Para Rasul 15: 20, 28-29) untuk menjauhi makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik, dan dari pencabulan.[19] Dalam Perjanjian Baru, Paulus dari Tarsus menyatakan bahwa beberapa Kristen taat diperintahkan untuk berpantang untuk menyantap daging yang dipersembahkan kepada berhala karena tindakan tersebut dapat menyebabkan "saudaraku menjauhi" imannya sendiri kepada Allah (1 Korintus 8:13).[24]

Konsili Yerusalem[sunting | sunting sumber]

Di Kisah Para Rasul pasal 15, tercatat tentang ketentuan yang dibuat pada tahun 49 M di Mahkamah Yerusalem mengenai hukum Taurat yang tidak sepenuhnya dibatalkan dan hal-hal "'yang perlu" yang harus dijaga secara mutlak. Isi dari hal-hal "yang perlu" adalah menjauhkan diri dari yang dicemarkan berhala, percabulan, daging binatang yang dicekik, dan darahnya'. Ungkapan "telah dicemarkan" dalam bahasa Yunani yang berarti daging dari binatang yang telah digunakan sebagai persembahan kepada berhala kafir. Alasan dari larangan untuk memakan daging binatang yang mati dicekik adalah darah yang ada di dalamnya. Di Alkitab, dilarang dengan keras untuk memakan darah secara langsung. Karena tindakan memakan darah dianggap setara dengan menelan nyawa secara nyata, tindakan yang menodai kedaulatan Tuhan, dan tindakan itu menyerupai kebiasan orang-orang kafir penyembah berhala.[25]

Kata Yunani dari ungkapan "yang mati dicekik" adalah (pniktos), yang mengandung arti "yang dibunuh dengan dicekik hingga kehabisan nafas tanpa dicurahkan darahnya". Sehingga arti perintah tersebut ialah jangan memakan daging yang darahnya tidak dikeluarkan. Daging dari binatang yang mati diterkam binatang buas di padang maupun daging binatang yang mati secara alami juga dilarang untuk dimakan karena darahnya tidak dibuang dengan benar. Di zaman Perjanjian Baru pun hukum Taurat ini dijaga secara ketat dan disepakati di sidang jemaah Yerusalem sebagai prinsip yang tetap.[25]

Pendapat lain[sunting | sunting sumber]

Konfrontasi Yesus dan orang-orang Farisi dan ahli Taurat dalam Markus 7:1-23 sering dijadikan satu alasan bagi sebagian orang untuk berpendapat bahwa Yesus telah membatalkan aturan halal dan haram dalam Perjanjian Lama. Pernyataan tentang apa yang masuk tidak menajiskan orang sering disalah mengerti seakan-akan menunjukkan bahwa Yesus sudah mengijinkan segala sesuatu boleh dimakan. Demikian juga, redaksi tambahan dari Markus "Dengan demikian ia mengatakan semua makanan halal" juga sering dianggap sebagai alasan bahwa aturan halal dan haram dalam Perjanjian Lama sudah dibatalkan. Pada kenyataannya, interpretasi ini diambil dengan tidak melihat konteks dari perikop ini, yaitu tentang makan makanan dengan tangan yang tidak dibasuh dan bukan tentang masalah halal dan haram. Dan lagi, kritikan Yesus menunjukkan bahwa Dia sedang menegur kesalahan dari para pemimpin Yahudi ini yang mengabaikan firman Allah demi tradisi mereka. Itulah sebabnya dalam hal ini, Yesus tidak sedang mengabaikan atau menghapus perintah Allah dalam hal halal dan haram.[26]

Makanan[sunting | sunting sumber]

Klasifikasi Binatang[sunting | sunting sumber]

Daftar binatang yang tidak haram yang boleh dimakan, dan binatang haram yang tidak boleh dimakan, yang juga ditulis dalam Ulangan 14, sebagai berikut:[22]

  • Binatang berkaki empat, yang boleh dimakan adalah lembu, domba, kambing, rusa, kijang, rusa dandi, kambing hutan, kijang gunung, lembu hutan dan domba hutan. Dan jenis yang tidak boleh dimakan seperti unta, pelanduk, kelinci, dan babi hutan.
  • Segala yang hidup di dalam air boleh dimakan adalah segala yang bersirip dan bersisik di dalam air, di dalam lautan, dan di dalam sungai.
  • Jenis burung yang tidak dapat dimakan rupa-rupanya merupakan jenis burung buas, yaitu burung rajawali, ering janggut, elang laut, elang merah dan elang hitam, burung gagak, burung unta, burung hantu, camar, elang sikap, burung pungguk, burung dendang air, burung hantu besar, burung hantu putih, burung undan, burung ering, burung ranggung, bangau, meragai, dan kelelawar.
  • Serangga-serangga serta makhluk-makhluk kecil yang merayap dan bersayap, serta yang juga berjalan dengan empat kaki adalah haram untuk dimakan. Tetapi beberapa jenis belalang boleh dimakan seperti belalang-belalang gambar, belalang-belalang kunyit, dan belalang-belalang padi.
  • Binatang yang merayap dan berkeriapan di atas bumi, segala yang merayap dengan perutnya dan berjalan dengan empat kaki, serta segala yang berkaki banyak adalah haram, diantaranya seperti tikus, tikus buta, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, bunglon, ular, kelabang dan lipan.

Alasan[sunting | sunting sumber]

Ahli-ahli Perjanjian Lama mengemukakan beberapa penjelasan tentang alasan mengapa binatang-binatang tersebut menjadi haram. Pastilah didalam penjelasan tersebut terdapat sesuatu yang benar, dan tidak ada alasan yang berlaku untuk segala binatang. Barangkali seekor binatang dianggap haram karena dua atau tiga alasan berikut. Penjelasan itu ialah:[22]

  • Ada binatang yang menjadi haram karena berperan penting sebagai korban-korban ibadah kepada dewa-dewa kafir. Misalnya orang-orang Arab kuno yang mempersembahkan unta dalam ritus-ritus mereka, dan orang-orang Babel, Siria serta Kanaan yang mengorbankan babi.
  • Kemungkinan beberapa makhluk menjadi haram karena kebiasaan yang tidak enak atau karena penyakit-penyakit menular yang mereka sebarkan.
  • Burung-burung yang dicatat diatas semuanya merupakan burung buas yang menumpahkan dan makan darah mangsanya.
  • Menurut orang Israel, setiap makhluk seharusnya mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan jenisnya, dan seekor makhluk dianggap haram jika tidak mempunyai sifat-sifat itu atau jika mempunyai sifat-sifat berbeda.

Makanan Tertentu[sunting | sunting sumber]

Puasa dalam ajaran Katolik dianjurkan untuk dilakukan ketika perayaan Rabu Abu dan Jumat Agung sebelum Paskah. Peraturan puasa pun sederhana, yaitu "makan sekali kenyang". Sementara itu, setiap Rabu di antara Rabu Abu dan Jumat Agung dilakukan pantang. Pantang artinya menahan diri untuk tidak melakukan hal yang biasanya kita lakukan, baik melalui perbuatan atau menghindari konsumsi makanan atau minuman tertentu. Meskipun tidak ada peraturan khusus mengenai jenis makanan dan minuman yang dipantang. Umumnya, orang Katolik dan Kristen yang sedang menjalani pantang akan mengikuti pola makan vegetarian atau vegan, yaitu menghindari konsumsi produk hewani.[27]

Minuman[sunting | sunting sumber]

Di dalam Bilangan 6:3 diperintahkan untuk menjauhkan diri dari anggur dan minuman yang memabukkan. Kata anggur dalam Ibrani merujuk kepada air anggur, yakni minuman beralkohol yang dihasilkan dari buah anggur dan telah melewati proses peragian. Sedangkan minuman yang memabukkan merujuk kepada minuman beralhokol selain anggur, misalnya bir.[28]

Alkitab tidak melarang meminum anggur, tetapi memperingatkan kita jangan mabuk oleh anggur. Minum anggur akan membuat orang mabuk anggur, karena itu supaya tidak mabuk oleh anggur, sebaiknya tidak minum anggur. Anggur bisa menimbulkan hawa nafsu sehingga tidak terkendali. Sebab itu kita harus menjaga jarak dengan anggur.[29] Anggur dihargai sebagai karunia Allah, baik dalam Perjanjian Lama (Yes. 55:1-5), maupun dalam Perjanjian Baru (1 Tim. 5:23), dan digunakan dalam ibadah keluarga (Ul. 14:26) serta dalam Perjamuan Kudus Kristen (1 Kor. 11:26), akan tetapi kegemaran yang berlebihan terhadapnya dikutuk (Kej. 9:20-27; Gal. 5:21), karena hal itu menyebabkan ketidakadilan dan tindakan tidak bertanggung jawab.[30]

Dalam dunia Perjanjian Baru, ketika terjadi kesulitan air minum atau tidak ada air minum sama sekali, maka anggur merupakan minuman biasa. Meminum anggur dalam jumlah wajar tidak akan membuat seseorang mabuk. Orang menjadi mabuk kalau minum anggur berlebihan. Itulah sebabnya Kitab Suci lebih banyak melarang minum anggur terlalu banyak daripada melarang minum anggur sama sekali.[31]

Walaupun Alkitab tidak secara langsung menyatakan bahwa mengonsumsi minuman keras itu dosa, namun ada sikap dan kerinduan Allah supaya pikiran manusia tidak dikontrol dengan zat-zat berbahaya yang mengganggu pikiran. Beberapa ayat di Alkitab menyejajarkan kecanduan/kemabukan dengan dosa atau hal-hal yang keji bagi Allah seperti percabulan, penyembahan berhala, perzinahan, dan sihir. Dalam hal ini kecanduan atau penyalahgunaan minuman keras (kemabukan) dapat merusak kesehatan dan pikiran manusia. Firman Allah memperingatkan bahwa tubuh adalah bait Allah dan jika diabaikan atau dikotorkan/dihancurkan, maka Allah akan membinasakannya.[32]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Wright, Professor Robin M; Vilaça, Aparecida (28 May 2013). Native Christians: Modes and Effects of Christianity among Indigenous Peoples of the Americas. Ashgate Publishing, Ltd. hlm. 171. ISBN 978-1-4094-7813-3. Before Christianity, they could not eat certain things from certain animals (uumajuit), but after eating they can now do anything they want to. 
  2. ^ Geisler, Norman L. (1 September 1989). Christian Ethics: Contemporary Issues and Options (dalam bahasa English). Baker Books. hlm. 334. ISBN 978-1-58558-053-8. 
  3. ^ Ehrman, Bart D. (1 May 2006). Peter, Paul, and Mary Magdalene: The Followers of Jesus in History and Legend (dalam bahasa English). Oxford University Press. hlm. 60. ISBN 978-0-19-974113-7. Diakses tanggal 2 May 2014. In the meantime, Peter in Joppa has a midday vision in which he sees a sheet containing animals of every description lowered from the sky. He hears a voice from heaven telling him to "kill and eat." Peter is naturally taken aback, because eating some of these animals would mean breaking the Jewish rules about kosher foods. But then he hears a voice that tells him, "What God has cleansed, you must not call common [unclean]" (that is, you do not need to refrain from eating nonkosher foods; 10: 15). The same sequence of events happens three times. 
  4. ^ "The Weaker Brother". Third Way Magazine. 25 (10): 25. December 2002. Christ came for the Gentiles as well as the Jews (the real meaning of that vision in Acts 10:9;16) but he also calls us to look out for each other and not do things that will cause our brothers and sisters to stumble. In Corinthians Paul urges the believers to consider not eating meat when with people who assume that meat must be offered to idols before consumption: 'Food will not bring us close to God,' he writes. 'We are no worse off if we do not eat, and no better off if we do. But take care that this liberty of yours does not somehow become a stumbling block for the weak.' (1 Corinthians 8:8-9) 
  5. ^ Binder, Stephanie E. (2012-11-14). Tertullian, On Idolatry and Mishnah Avodah Zarah (dalam bahasa English). Brill Academic Publishers. hlm. 87. ISBN 978-90-04-23478-9. Clement of Alexandria and Origen also forbid eating meat dedicated to idolatry and partaking in meals with demons, which, by association, are the meals of fornicators and idolatrous adulterers. Marcianus Aristides merely testifies that Christians do not eat what has been sacrificed to idols; and Hippolytus only notes the interdiction against eating such food. 
  6. ^ Salamon, Hagar (7 November 1999). Ethiopian Jews in Christian Ethiopia (dalam bahasa English). University of California Press. hlm. 101. ISBN 978-0-520-92301-0. The Christians do "Basema ab wawald wamanfas qeeus ahadu amlak" [in the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit one God] and then slaughter. The Jews say "Baruch yitharek amlak yisrael" [Blessed is the King (God) of Israel]. 
  7. ^ Efron, John M. (1 October 2008). Medicine and the German Jews: A History (dalam bahasa English). Yale University Press. hlm. 206. ISBN 978-0-300-13359-2. By contrast, the most common mode of slaughtering four-legged animals among Christians in the nineteenth century was through the deliverance of a stunning blow to the head, usually with a mallet or poleax. 
  8. ^ Grumett, David; Muers, Rachel (26 February 2010). Theology on the Menu: Asceticism, Meat and Christian Diet (dalam bahasa English). Routledge. hlm. 121. ISBN 978-1-135-18832-0. The Armenian and other Orthodox rituals of slaughter display obvious links with shechitah, Jewish kosher slaughter. 
  9. ^ Norman L. Geisler (1989). Christian Ethics. Baker Book. hlm. 206. ISBN 978-0-8010-3832-7. 
  10. ^ Walters, Peter; Byl, John (2013). Christian Paths to Health and Wellness (dalam bahasa English). Human Kinetics. hlm. 184. ISBN 978-1-4504-2454-7. Traditional Hindus and Trappist monks adopt vegetarian diets as a practice of their faith. 
  11. ^ Daugherty, Helen Ginn (1995). An Introduction to PopulationPerlu mendaftar (gratis) (dalam bahasa English). Guilford Press. hlm. 150. ISBN 978-0-89862-616-2. Seventh-Day Adventists are also urged, but not required, to avoid eating meat and highly spiced food (Snowdon, 1988). 
  12. ^ "What does The United Methodist Church say about fasting?" (dalam bahasa English). The United Methodist Church. Diakses tanggal 2 May 2014. [pranala nonaktif permanen]
  13. ^ Barrows, Susanna; Room, Robin (1991). Drinking: Behavior and Belief in Modern History (dalam bahasa English). University of California Press. hlm. 340. ISBN 978-0-520-07085-1. Diakses tanggal 2 May 2014. The main legally enforced prohibition in both Catholic and Anglican countries was that against meat. During Lent, the most prominent annual season of fasting in Catholic and Anglican churches, authorities enjoined abstinence from meat and sometimes "white meats" (cheese, milk, and eggs); in sixteenth- and seventeenth-century England butchers and victuallers were bound by heavy recognizances not to slaughter or sell meat on the weekly "fish days," Friday and Saturday. 
  14. ^ Lund, Eric (January 2002). Documents from the History of Lutheranism, 1517-1750. Fortress Press. hlm. 166. ISBN 978-1-4514-0774-7. Of the Eating of Meat: One should abstain from the eating of meat on Fridays and Saturdays, also in fasts, and this should be observed as an external ordinance at the command of his Imperial Majesty. 
  15. ^ Vitz, Evelyn Birge (1991). A Continual Feast (dalam bahasa English). Ignatius Press. hlm. 80. ISBN 978-0-89870-384-9. Diakses tanggal 2 May 2014. In the Orthodox groups, on ordinary Wednesdays and Fridays no meat, olive oil, wine, or fish can be consumed. 
  16. ^ Barclay, William (2009). Pemahaman Alkitab setiap hari: Injil Matius Pasal:11-28. Diterjemahkan oleh Suleeman, Ferdinand. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 178–179. ISBN 978-979-687-236-7. 
  17. ^ Fletcher, Verne H. (2007). Lihatlah Sang Manusia!. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 187. ISBN 978-979-687-397-5. 
  18. ^ Phelps, Norm (2002). The Dominion of Love: Animal Rights According to the Bible (dalam bahasa Inggris). New York: Lantern Books. hlm. 91. ISBN 978-1-59056-009-9. 
  19. ^ a b c Amaliah, Agnes Murdiati (2013-01-01). Panduan Penyiapan Pangan Sehat Untuk Semua. Jakarta: Prenada Media. hlm. 146, 147. ISBN 978-602-7985-43-8. 
  20. ^ a b c Nee, Watchman; Yasperin (2020-06-16). Seri Pembinaan Dasar untuk Kaum Beriman Baru (3) (dalam bahasa Inggris). Surabaya: Yayasan Perpustakaan Injil Indonesia (Yasperin). 
  21. ^ Sitanggang, Vernineto (2020-09-21). Menemukan pesan ilahi prinsip-prinsip pendekatan hermeneutik. Sukabumi: CV Jejak (Jejak Publisher). hlm. 29. ISBN 978-623-247-523-6. 
  22. ^ a b c Paterson, Robert Mackintosh (1994). Taf. Alk. Kitab Imamat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 154, 156, 157, 158, 163, 165, 168. ISBN 978-979-415-760-2. 
  23. ^ Brink, H. v.d. (2008). Taf. Alk. Kisah Para Rasul. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 165. ISBN 978-979-415-354-3. 
  24. ^ Phelps, Norm (2002). The Dominion of Love: Animal Rights According to the Bible (dalam bahasa English). Lantern Books. hlm. 171. ISBN 978-1-59056-009-9. Nevertheless, toward the end of the chapter, Paul suggests that even Christians with strong faith may want to abstain from eating meat offered to pagan deities if any chance that their example will tempt fellow Christians of weaker faith into inadvertent idolatry. He concludes by saying, "Therefore, if food causes my brother to stumble, I will never eat meat again, so that I will not cause my brother to stumble." (1 Corinthians 8:13) 
  25. ^ a b Park, Abraham (2020-09-14). Sepuluh Perintah: Perjanjian Kekal Bagi Seluruh Generasi. Indonesia: Yayasan Damai Sejahtera Utama. ISBN 978-602-74705-9-0. 
  26. ^ Najoan, Jemmy C. (2021-06-14). "Analisa Kontekstual Markus 7:1-23 Dalam Hubungan Dengan Peraturan Makanan Di Perjanjijan Lama". Koinonia Journal. 13 (1): 31–43. ISSN 2338-5960. 
  27. ^ Hartriyanti, Yayuk; Suyoto, Perdana Samekto Tyasnugroho; Sabrini, Irlan Awalina; Wigati, Maria (2020-06-12). Gizi Kerja. Yogyakarta: UGM PRESS. hlm. 119. ISBN 978-602-386-826-1. 
  28. ^ Wendland, Lénart J. de Regt dan Ernst R. (2020-01-08). Pedoman Penafsiran Alkitab Kitab Bilangan. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. hlm. 192, 193. ISBN 978-602-287-148-4. 
  29. ^ Lee, Witness (2019-12-19). Pokok-pokok Penting dalam Alkitab (6) (dalam bahasa Inggris). Surabaya: Yayasan Perpustakaan Injil Indonesia (Yasperin). 
  30. ^ Browning, W. R. F. (2013). Kamus Alkitab (sc). Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 189. ISBN 978-979-687-583-2. 
  31. ^ Arichea, Daniel C.; Hatton, Howard A. (2019-06-11). Pedoman Penafsiran Alkitab: Surat-surat Paulus kepada Timotius dan kepada Titus. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. hlm. 64. ISBN 978-979-463-595-7. 
  32. ^ Hutagalung, Stimson; Nainggolan, Bartholomeus D.; Hendriks, Alvyn Cesarianto; Walukouw, Yane Restuwati; Hutabarat, Reymand; Karosekali, Ester; Manurung, Freddy; Sianipar, Joseph Hamonangan; Simbolon, Mangadar (2021-03-06). Konseling Pastoral. Indonesia: Yayasan Kita Menulis. hlm. 153. ISBN 978-623-6840-94-8. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]