Hubungan Kamboja dengan Malaysia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hubungan Malaysia – Kamboja sangat erat karena kedua negara ini berada dalam kawasan yang sama yaitu di Asia Tenggara dan turut tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Selain itu, Kamboja dan Malaysia juga menggunakan sistem pemerintahan yang sama yaitu kerajaan konstitusional. Bedanya adalah Kamboja termasuk dalam lingkungan Indochina bersama dengan negara Thailand, Myanmar dan Vietnam.

Kamboja terletak dalam subwilayah Mekong Raya yang mencakup gabungan wilayah Myanmar, Laos dan Vietnam. Total penduduk dari keempat negara ini sebanyak 100 juta penduduk. Hal ini membuat pemasaran produk sangat luas.

Bendera Kamboja
Bendera Kamboja
Bendera Malaysia
Bendera Malaysia

Hubungan diplomasi[sunting | sunting sumber]

Negara Malaysia merayakan ulang tahun ke-50 kemerdekaan Malaysia di Dataran Merdeka pada tanggal 31 Agustus 2007. Dalam acara tersebut, hadir para pejabat tinggi dari negara-negara Asia Tenggara yaitu Perdana Menteri Kamboja (Hun Sen), Perdana Menteri Thailand (Surayud Chulanont), Perdana Menteri Singapura (Lee Hsien Loong), Perdana Menteri Laos (Bouasone Bouphavanh), Perdana Menteri Vietnam (Nguyen Tan Dung) dan Wakil Presiden Indonesia (Jusuf Kalla). Ini membuktikan bahwa hubungan antarnegara ini cukup erat.[1]

Perdana Menteri Malaysia yaitu Najib Tun Razak dan 45 orang anggota rombongannya melakukan kunjungan kenegaraan ke Phnom Penh, Kamboja selama tanggal 9-11 Mei 2010. Raja Norodom Sihamoni menemui mereka di Istana Kerajaan Phnom Penh ditemani oleh Hun Sen. Pertemuan tersebut dihadiri pula oleh 117 anggota bisnis Malaysia dalam Forum Bisnis Malaysia – Kamboja.[2]

Perjanjian bisnis antara Malaysia dan Kamboja ini berkaitan dengan pendidikan, keamanan teknologi informasi dan komunikasi, industri halal, pertanian, pelatihan dan penyediaan eceran barang dagangan senilai AS$ 1 miliar atau setara dengan RM 3.3 miliar). Dalam mewujudkan rencana tersebut, Najib mengunjungi Monumen Kemerdekaan, mengunjungi Pusat Operasi Komunikasi Hello Axiata dan mengunjungi situs baru kompleks Kedutaan Malaysia. Najib juga mengadakan pertemuan dengan Presiden Mahkamah Nasional Kamboja (Heng Samrin) dan Presiden Senat, Chea Sim.[3]

Sedangkan ibu negara yaitu Rosmah Mansor melakukan kunjungan ke Rumah sakit Kantha Bopha IV dan Sekolah Tinggi Bun Rany Hun Sen.[4]

Kerja sama ekonomi[sunting | sunting sumber]

Duta Besar Malaysia ke Kamboja yaitu Pengiran Mohd Hussein bin Mohd Tahir Nasruddin menyatakan bahwa pada tahun 2009, Malaysia dan Kamboja melakukan perdagangan senilai AS$ 150 juta. 90% perdagangan merupakan ekspor tekstil, minyak kelapa sawit serta makanan dan minuman. Sedangkan 10% sisanya merupakan kegiatan impor karet, tekstil dan beras.

Malaysia menjadi investor ke-4 terbesar di Kamboja setelah Tiongkok, Korea Selatan dan Vietnam. Nilai investasi yang diberikan adalah AS$ 1,8 miliar. Rencana kerja sama diperluas hingga sektor pendidikan, perawatan kesehatan, konstruksi, industri halal, pariwisata dan minyak dan gas, industri pakaian olahraga, hotel, perbankan dan industri jaringan makanan cepat saji.

Pada tanggal 4 November 2009, Bank Dunia melaporkan bahwa produk domestik bruto Malaysia dan Kamboja menurun, tetapi peningkatan sebesar 4,1% terjadi pada tahun 2010.

Pada 30 Maret 2010, Nazir Razak mengumumkan bahwa CIMB telah mengajukan permohonan untuk memperoleh lisensi perbankan di negara Vietnam dan Kamboja.[5]

Ketua QSR Brands Bhd, Muhammad Ali Hashim menyatakan QSR berencana membuka 70 cabang baru pada tahun 2010. Cabang-cabang ini meliputi Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, RasaMas dan Toko Ayamas di Malaysia, Singapura, Kamboja, Brunei dan India.[6]

Pariwisata[sunting | sunting sumber]

Menteri Pariwisata Malaysia, yaitu Ng Yen Yen mengumumkan bahwa perjalanan menggunakan kereta api akan dapat menghubungkan negara Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar. Ia juga menekankan potensi pengembangan penerbangan hasil tambang dengan harga murah di seluruh negara ASEAN.[7]

Kerjasama kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Di Kamboja terdapat penduduk Melayu beragama Islam yang hidup dalam kondisi miskin dan lemah, khususnya di Chrouk Romiet. Jumlah mereka mencapau setengah juta orang. Bahasa sehari-harinya menggunakan bahasa Cham dengan campuran bahasa Melayu. Penduduk tersebut merupakan keturunan Melayu yang hidup di wilayah Kerajaan Champa pada abad ke-3 hingga abad ke-15 Masehi. Setelah Kerajaan Khmer bangkit pada tahun 1181, Kerajaan Champa mulai runtuh sehingga suku Cham mulai melakukan migrasi ke Kamboja.

Awalnya suku Cham di Kamboja beragama Hindu. Setelah kedatangan saudagar Arab, mereka mulai memeluk agama Islam. Masyarakat Melayu Champa sepenuhnya memeluk agama islam sejak tahun 1675. Jumlah penduduk saat itu mencapai 500 ribu jiwa, sedangkan penduduk Kamboja berjumlah 13 juta orang. Di Kamboja terdapat 370 desa Islam yang sangat miskin. Mereka kekurangan ketersediaan Al-Qur'an dan buku-buku agama, serta kekurangan dana untuk membiayai pembangunan masjid dan sekolah agama .[8]

Pada periode tahun 1975-1979, di Kamboja sering terjadi pembunuhan orang Melayu. Salah satunya adalah ulama dan ketua adat istiadat Melayu serta Ketua Mufti untuk agama Islam di Kamboja yaitu Abdullah bin Idris bin Muhammad Arif bin Muhammad. Ia adalah salah seorang keturunan Ali Nur Alam.

Sejak tahun 1975-1984, para keturunan Abdullah bin Idris melakukan migrasi ke Malaysia. Kedua anaknya melakukan migrasi ke dua tempat yang berbeda. Abdul Bari Abdullah pindah ke Pasir Mas di Kelantan, sedangkan Ariffin Abdullah pindah ke Shah Alam di Selangor.

Peradaban Melayu berkembang khususnya di negara Malaysia. Tiga jenis budaya mempengaruhi perkembangannya, yaitu Hindu, Islam dan Barat. Asal mereka berasal dari tanah besar Asia. Mereka melalui Kamboja, Burma, Thailand, Vietnam, Semenanjung Tanah Melayu dan terus ke daerah kepulauan kawasan ini sehingga ke Kepulauan Pasifik.[9]

Seminar Peradaban Melayu Daerah Timur Laut Ketiga diadakan pada tanggal 23-24 Agustus 2005 di Kota Baru, Kelantan. Pertemuan ini dihadiri oleh 18 sarjana dan peneliti dari Thailand, Kamboja dan Malaysia untuk membahas persamaan kebudayaan. Selama seminar, Kamaruddin Yusof dari Kamboja menjelaskan berbagai hasil penelitian dan penemuan.[10]

Pada tahun 2010 juga diadakan Piala Perdana Menteri di Pusat Konferensi Antarabangsa Putrajaya (PICC). Selama perlombaan, disampaikan Pidato Antarabangsa Bahasa Melayu oleh Chai Lani Sles dari Kamboja.

Referensi[sunting | sunting sumber]