Hak para penyintas anak jalanan di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anak Jalanan di Simpang Lima , Semarang Karya Supriadi Pangkapi TAhun 21 november 2021

Menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar aktivitas hidupnya berada di jalanan, pusat kota dan fasilitas umum lainnya. [1] Diarsipkan 2019-11-01 di Wayback Machine. Sedangkan menurut UNICEF anak jalanan adalah anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun yang telah meninggalkan dan melepaskan diri dari orang tuanya, keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang disebabkan oleh bebarapa faktor.[1]

Indonesia telah banyak mengeluarkan sederet undang-undang yang melindungi hak-hak anak untuk memenuhi dan mensehjaterakan kehidupan hak Anak jalanan. didalam UU nomor 4 tahun 1979[2] sebelum meratifikasi Konvensi international Hak anak tahun 1990 namun semua upaya yang dilkakukan pemerintah Indonesia gagal dalam menerapakan dan merealisasikan undang-undang tersebut baik dalam UU nomor 3 tahun 1997[3] tentang peradilan anak dan undang-undang no 23 tahun 2002[4] tentang perlindungan anak, dimana kedua undang tersebut telah di ratifikasi dalam prinsip-prinsip yang menyambung dengan convention of the right the children dimana prinsipn dasar dari konvensi internasional hak anak memuat prinsip non diskriminasi perlindungan, pengembangan, keberlangsungan hidup sejahtera untuk anak. Dan seluruh kerangka undang-udndang yang di ratifikasi dengan prinsip KIHA telah menjadi landasan pokok bagi peraturan undang-undang pemerintahan RI dalam hal penyelanggaraan perlindungan Anak.

Indonesia menerapkan konsep sistem pertahanan sosial-ekonomi yaitu negara kesehjteraaan (welfare state ) yang mana konsep ini pertama kalinya dipergunakan oleh system kerajaan inggris dan bagian Negara eropa barat lainya, yang kemudian diperkembang dan diperkuat dengan adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002, salah satunya yang termaktub pada bunyi pasal 34. Ayat (2) [5] yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sisitem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.[5]

secara umum welfare state diartikan sebagai negara kesehjateraan. Jadi welfare state lebih  mencangkup suatu Negara yang mmencita-citakan pembangunan manusia seutuhnya, baik kemakmuran material maupun spritiual.
 welfare state  merupakan suatu Negara yang dalam melakukan campur tangan terhadap kehidupan sosio-ekonomi ditunjukan agar setiap warga negaranya dapat menikmati demokrasi ekonomi, yaitu demokrasi senyata-nyatanya dan seluas-luasnya, termasuk kesempatan dalam memilih dan mendapatkan lapangan pekerjaaan, memperoleh pendidikan yang baik serta kesempatan mendapatkan acces kesehatan yang memadai.

Factor-faktor Internal dan Eksternal kemunculan anak jalanan.[sunting | sunting sumber]

faktor internal[6] yang mendorong anak untuk keluar dari rumah dan menjadi anak jalanan sebagai berikut

 a.kekerasan dalam rumah tangga (broken home)  terjadi percekcokan dan menyebabkan anak kabur  ke jalanan
 b.paksaan dari orang tua untuk mengerjakan anak mereka untuk memenuhi kehidupan keluaraga
 c.menjadikan tujuan hidup untuk memenuhi  kebutuhan sehari-hari sih anak jalanan tersebut
 d.tidak mempunyai orang tua kandung dan hidup sendiri ditengah jalanan.

e.pembangunan tidak merata yang di akbitakan banyak pendatang dari desa ke kota (urbanisasi)

selain factor internal yang mendorong anak jalanan, factor eksternal[7] mendorong anak jalanan muncul turun ke jalanan menurut Andriyani Mustika[8] (2012;2011) mengunkapkan ada tiga factor eksternal di antaranya :

1.Tingkat Mikro (immediate causes Diarsipkan 2021-07-30 di Wayback Machine.)

 factor yang disebabkan antara anak dengan keluarga sehingga anak lari dari rumahnya seperti contoh: anak yang selalu ditimpa oleh kekerasan baik itu dengan skala kecil lama kelamaan akan menimbulkan batas toleransi  melampaui hak anak  maka anak akan cenderung kabur  dari rumahnya dan hidup di jalanan yang didasari oleh ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan dasar.

2.tingkat meso (underlying cause Diarsipkan 2021-07-30 di Wayback Machine. )

 factor antar agama  yang berhubungan dengan masyarakat yang mana dasar agama mendorong anak-anak untuk bekerja meningkatakan taraf perekonomian keluarga denan mengajarkan dari budaya yang selalu di terapkan oleh keluarga

3.tingkat makro (basic cause Diarsipkan 2021-07-30 di Wayback Machine. )

 tingkatan yang didorong oleh pengaruh dan anekdot  kehidupan masyarakat yang mana berhubungan langsung dengan konsep dan struktur masyarakat memunculkan sebab akibat ketika anak jalan meluangkan waktunya di jalanan maka anak jalan tersebut mendapatkan hasil akan banyak uang. Awal dari kemunculan Anjal (anak jalanan) yang menjajak dan mengai rezeki dengan cara menjadi pengemis dan gelandangan  yang selalu identik dengan munculnya  kriminalitas dan diskriminasi yang  sering dianggap menjadi biang masalah di jantung pusat kota-kota besar  oleh sebagian banyak pihak, sering  diberi label  sebagai ‘sampah masyarakat’ tak luput juga  dari sorotan mata  pemerintah seharusnya  telah mengetahui dari tahun ke tahun kesenjangan sosial terhadap masyarakat kelas bawah ini harus lebih focus dalam rehabilitas dan pembinaan untuk menuju jenjang kehidupan  lebih sejahtera agar memberikan keamanan dan ketertiban bagi segenap pengguna jalan

Anak Jalanan dibagi dalam tiga Kelompok[sunting | sunting sumber]

 terkadang Anak jalanan sering juga di sebut secara eufemistis sebagai anak mandiri adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perilkau kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relative dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, bahkan tidak bersahabat (B.suyanto 2010:199)[9]
   Dalam buku sosiologi anak prof.Dr.Bagong Suyanto menjelasakan bahwa secara garis besar anak jalanan di bedakan dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.

1). Children on the street

         yakni anak-anak yang mempuyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah diaman untuk membantu menopang ekonmi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

2). Children of the street

    yakni anak-anak yang berpartisips penuh dijalankan, baik secara sosial maupun ekonomi.beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetap frekeunsi pertemuan mereka tidak menentu atau jarang. Banyak diantara merka adalah anak-anak yang karena sebab biasanya kekerasan atau lari dari rumah.

3). children from of the family

     yakni anak-anak yang berasal dari keluaraga yang hidup di jalanan. Meski anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat ,tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya (blanck associate 1990: Irwanto dkk 1995 :Taylor & veale 1996)[10]


    Anak adalah aset pewaris bangsa di negeri ini dan sebagai ujung tonggak melahirkan bibit  regenarasi yang gemilang dan berpotensi memajukan Negara ini menjadi kondisi yang lebih baik  ketika kita melihat dari perspektif   sosial dan hukum maka saling berkolerasi satu sama lain dimana ia mampu membangun kondusifitas kemanan Negara dan mempunyai subyek posisi yang strategis terhadap kemajuan mampu menjadi daya saing kedepanya, di depan Hukum tidak juga sebagai penerus ahli waris keluarga, namun menjadi bagian dari subyek hukum dan segala hak dan kewajiban yang mendapat jaminan hukum.

Negara menjamin hak dan kewajiban warga negaranya , sesuai dengan UUD NKRI 1945, yaitu dalam pasasl 34 ayat (1) yang berbunyi “fakir misikin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara” dalam hal ini Negara jelas sebagai pengayom dan pelindung serta harus bertanggung jawab langsung dalam penanganan dan pembinaan terhadap anak-anak terlantar.[5]

       di pusat kota besar kasus tindakan kriminalitas kian melonjak, masyarakat sangat terganggu impact partial yang di lahirkan oleh  anak jalanan dan kaum tunawisma yang berlalu-lalang mengais kehidupan di tengah Mobilitas kota yang padat akan penduduk  menjadi semerawut tidak terkendali akibat salah satu contohnya  gepeng (gelandangan dan pengemis) dari sejumlah anak dan tunawisma yang bertebaran ditengah jalan dan fasilitas ruang publik lainya yang semakin padat, aparat penegak Hukum dan dinas instansi pemerintahan yang terkait   harusnya  menanggap permasalahan ini dengan serius jangan melepas dan melempar tanggung jawab kasus kian  pelik ini,
  permasalahan Anjal(anak jalanan) dan tunawisma (tunakarya)  hanya bagian dari titik temu yang tidak pernah usai, selalu komplek dan sistemik lintas daerah permasalahan ini membutuhkan penanganan  dengan  solusi yang cepat dan berkelanjutan, akibat dari  regulasi yang saling tumpang tindih dan menjadi kabur  dari pemerintah,  terkait permasalahan Anak terlantar dan kaum tunawisma Negara harus concern  terhadap pembenahan dan perbaikan kebijakan  implementasi di lapangan  bukan sekedar tindakan hanya sebatas  bantuan materil melainkan harus ada bantuan fisik yang berkelanjutan yang seharusnya masalah ini sudah dapat  terurai secepatnya.
   sekarang kita melihat melalui jendela media massa yang selalu di publish dan menjadi tajuk yang sering   diberitakan menjadi highline media ternama, bahkan  menjadi santapan sehari-hari bagi  kita semua dari deretan penyimpangan dan problema Anak terlantar dan  tunawisma  di ibu kota-kota besar di Indonesia para sejumlah penyintas anak jalanan dan tunawsima menjadikan  tempat  arena hidup untuk bertahan hidup seperti bawah langit  kolong jembatan, pasar, trotoar atau pun ruang publik yang ada. Anak terlantar juga sering dimanfaatkan oleh kelompok yang rapi dan professional yang saat ini sering disebut mafia jalanan, anak jalan dan tunawisma tersebut  di pelihara sebagai budak pengemis jalanan dan juga sebagai korban sodomi dan bahkan hingga menjadi korban  mutilasi. Ini sungguh tragis bila Anak jalanan dan kaum tunawisma selalu di jadikan playing victim  korban ekploitasi dan kerawanan pelecehan seksual  oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mungkin akan timbul masalah lagi seperti kasus  human trafficking di massa  yang akan datang menjadi sebuah  kejahatan nasional dan internasional  di kancah dunia disitulah  Indonesia tingkat kasus penelantaran anak dan tunawisma menjadi nilai negative dan dapat menjatuhkan harkat martabat  wibawa bangsa ini dari yang namanya para Anak terlantar dan kaum tunawisma di segi  sosial dan ekonomi.

Data Badan pusat Statistik (BPS) (2019-2021) dan Pusdatim Kementerian Sosial RI mencatat dari tahun ke tahun,[sunting | sunting sumber]

Jumlah Anak dengan berbagai persoalan dan permasalahannya semakin meningkat pada tahun 2019-2021 mengalami indeks peningkataan secara massif tercatat sebanyak183.104 anak dengan rincian 6.572 AMPK (Anak Memerlukan Perlindungan Khusus[11] ) 8.320 Anak Jalan, 8.507 Balita,92.861 AMPFS (Anak yang Memerlukan Pengembangan Fungsi Sosisal Khusus[12]) 64.053 Anak Terlantar Diarsipkan 2022-07-30 di Wayback Machine. keberadaanya dari 183.104 anak tersebut. terdiri dari 106.406 Anak di Dalam Lembaga Kesehjateraan Sosial Anak (LKSA) dan 76.698 Anak di dalam keluarga.[12]

    sedangkan indeks tunawisma atau tunakarya pada maret 2020 sebesar 9,78 persen , meningkat 0,56 % poin terhadap September 2019 dan jumlah penduduk miskin pada maret 2020 sebesar 26,42 juta orang meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019.
    dampak seiring waktu akan terus membuat permasalahan hak-hak para anak jalan dan tunawisma dari garis kemiskinan di Indonesia saat ini tidak diberinya ruang berpartisipasi dalam lingkup inklusi sosial  acces pendidikan menuju jenjang formal perguruan tinggi dan  akses kesehatan yang layak dan ikut berpartisipasi dalam hal segala sektoral.
     program yang dijadikan  implementor kebijakan dan diterapkan di Negara ini   termaksud memahami maksud dan tujuan untuk menanangani permasalahan anak jalanan dan tunawisma  melaui program dan penanganan Anak jalanan untuk mencapai taraf hidup sejahtera kembali kekhidupan bermasyarakat secara penuh tanpa adanya intervensi dan diksriminasi rasial dalam hal verbal  stigma dan stereotip negative tentang para penyintas tunawisma dan anak jalanan

Penanganan Anak Jalan[sunting | sunting sumber]

 model penanganan anak jalanan mengarah kepada jenis model yaitu family base, institional base dan multi-system base [2] Diarsipkan 2021-08-02 di Wayback Machine. .

family base , adalah model penanganan anak jalanan dengan memberdayakan kekeluargaan dari anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian model usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan tentang keberfungsian keluarga model ini yang berperan aktif adalah keluarga sangat dominan mempengaruhi dalam menumbuh kembangkan anak jalanan.

    institional base, adalah model penanganan anak melaui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat denan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintah maupun  lembaga sosial masyarakat.
     multi system base ,adalah model penanganan anak melalui pemberdayaan melalui jaringan system yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri ,keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak,akademisi, dan para aparat penegak hukum dan instasi lainya.
     melalui solusi dan program di atas  mampu membuat perubahan secara signifikan untuk perbaikan permasalahan yang berada di kota-kota besar mengenai permasalahan Anak Jalanan (tunawisma )

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Says, Weblink (2018-10-25). "Street Children – Statistics, Their Lives And Why We Have To Care". Breakthrough (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-10. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  2. ^ "UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak [JDIH BPK RI]". peraturan.bpk.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-29. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  3. ^ "UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak [JDIH BPK RI]". peraturan.bpk.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-11. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  4. ^ "UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [JDIH BPK RI]". peraturan.bpk.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-26. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  5. ^ a b c Cg, Eka (2020-09-14). "Bunyi UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1, 2, 3, 4 dan Penjelasannya | Petikanhidup.Com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-30. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  6. ^ Pamuchtia, Yunda; K. Pandjaitan, Nurmala (2010-05-06). "Konsep Diri Anak Jalanan : Kasus Anak Jalanan di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat". Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. 4 (2). doi:10.22500/sodality.v4i2.5844. ISSN 2302-7525. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-08-02. 
  7. ^ Rosihan, Amha (2015-06-15). "Faktor Internal Yaitu Faktor Yang Berasal Dari Dalam Diri Seseorang Sebagai Subjek Antara Lain - ASTALOG". ASTALOG.COM (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-03. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  8. ^ mustika, andriyani (2 0 1 2/1). "EKSPLOITASI ANAK: PERLINDUNGAN HUKUM ANAK JALANAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DI DAERAH YOGYAKARTA" (PDF). 1: 4. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-07-30. Diakses tanggal 2021-07-30.  line feed character di |title= pada posisi 43 (bantuan);
  9. ^ suyanto, bagong (2010). "studi anak jalanan": 199. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  10. ^ "University College Cork". UCC (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-09. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  11. ^ "KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK". www.kemenpppa.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-29. Diakses tanggal 2021-08-02. 
  12. ^ a b "Komitmen Kemensos Bantu Anak-anak di Kondisi COVID-19 | Kementerian Sosial Republik Indonesia". kemensos.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-30. Diakses tanggal 2021-08-02. 

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]