Gedangrejo, Karangmojo, Gunungkidul

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gedangrejo
Negara Indonesia
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta
KabupatenGunungkidul
KecamatanKarangmojo
Kode pos
55891
Kode Kemendagri34.03.09.2007
Luas7065,200 km²
Jumlah penduduk6286 jiwa

Gedangrejo (Jawa: Gedhangreja) adalah kalurahan di kapanewon Karangmojo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. dengan gambaran secara umum adalah sebagai berikut:

Batas Wilayah :

Sebelah Utara : Kalurahan Jatiayu Kapanewon Karangmojo

Sebelah Selatan : Kalurahan Ngipak Kapanewon Karangmojo

Sebelah Barat : Kalurahan Ngawis Kapanewon Karangmojo

Sebelah Timur : Kalurahan Karangmojo Kapanewon Karangmojo

Terdiri dari 12 Padukuhan :

1) Padukuhan Plumbungan

2) Padukuhan Tenggaran

3) Padukuhan Gedangan 1

4) Padukuhan Gedangan 2

5) Padukuhan Gedangan 3

6) Padukuhan Jlantir 1

7) Padukuhan Jlantir 2

8) Padukuhan Pangkah

9) Padukuhan Warung

10) Padukuhan Banjardowo

11) Padukuhan Karangwetan 1

12) Padukuhan Karangwetan 2

Kondisi Geografis

a. Ketinggian tanah dari permukaan laut : 200 – 300 M

b. Banyaknya curah hujan : 27 – 30 mm/thn

c. Topografi : Dataran rendah

d. Suhu udara (rata-rata) : 27 derajat C

Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan kalurahan)

a. Jarak dari kota Kecamatan : 0 Km

b. Jarak dari Ibukota Kabupaten : 10 Km

c. Jarak dari Ibukota Propinsi : 49 Km

Lahan pekarangan dan tegal umumnya diusahakan untuk kegiatan tani padi-polowijo dengan pola tumpang sari / tumpang gilir.Terdapat pula lahan tegal yang dipergunakan untuk usaha tanaman perkebunan/tanaman jangka panjang.

Salah satu versi sejarah berdirinya Gedangrejo :

Dituturkan setelah peperangan antara Demak dan Majapahit, dan kekalahan pada pihak Majapahit, maka banyak keluarga kraton kerajaan Majapahit yang melarikan diri. Diantaranya Ki Wisang Sanjaya beserta istri, para abdi dalem yaitu Ki Tropoyo, Ki Honggonolo dan Ki Nolodongso (Pada beberapa versi menyebutkan bahwa Ki Honggonolo dan Ki Nolodongso adalah warga pribumi (bukan abdi dalem) yang menyambut kedatangan Ki Wisang Sanjaya, ada pula yang menyebutkan keduanya adalah gaman/senjata atau perbekalan yang melindungi Ki Wisang Sanjaya selama dalam pelarian.) Dalam perjalanan melarikan diri, banyak sekali gangguan yang didapat rombongan pelarian ini. Salah satunya dikarenakan oleh kecantikan istri dari Ki Wisang Sanjaya yang mengundang perhatian banyak orang. Saat melarikan diri itu pula, istri Ki Wisang Sanjaya mengangkat kain jarit yang dipakainya, untuk mempermudah dalam berlari (Jawa: Cincing) sehingga terlihat betisnya. Melihat Nyi Wisang Sanjaya "cincing", membuat pikiran para pengejar semakin "goling" (tidak bisa berpikir jernih) dikarenakan terangsang sangat hebat. Melihat mereka terus mengejar, Ki Tropoyo menggunakan cambuk atau cemeti pusaka yang mampu menghalau mereka.

Sehingga akhirnya mereka sampai di sebuah dusun kecil (sekarang bernama Gedangan) dan diterima oleh sesepuh dusun yang bernama Ki Brojonolo. Setelah menceritakan kisah pelariannya kepada para warga dusun tersebut dan memperoleh sambutan baik, rombongan Ki Wisang Sanjaya diijinkan menetap di dusun tersebut. Untuk membalas kebaikan penduduk, Ki Wisang Sanjaya memerintahkan Ki Tropoyo memimpin masyarakat untuk mencari lokasi pembendungan sungai supaya airnya dapat digunakan untuk pengairan tanah garapan petani. Setelah bendungan selesai dibangun,dan air sudah memenuhi bendungan, ada 1 (satu) masalah yang timbul yaitu air belum bisa mengalir ke tanah garapan para petani. Untung saja ada 1 (satu) lokasi yang bernama "Pawonan" sebagai saluran pembuangan air. Untuk memperlancar saluran tersebut, Ki Tropoyo meminta sahabatnya Ki Udopati, sesama pelarian Majapahit, yang menetap di daerah Ponjong. Dengan pusaka yang berbentuk keris, Ki Udopati membuat garis pada tanah sehingga tanah tersebut terbelah ke arah barat. Setelah sampai di sebuah pohon Kluweh yang besar, Ki Udopati berhenti membuat garis ditanah dan berujar, "Luweh-luweh sopo sing arep neruske..." (selanjutnya siapa yang akan meneruskan). Melihat keberhasilan tersebut, Ki Wisang Sanjaya sangatlah senang dan ingin melihat bendungan tersebut. Beliau berpesan untuk menyambut keberhasilan tersebut, warga dusun untuk menarikan fragmen pelariannya dari Majapahit. Warga berlarian kesana kemari, tak memperdulikan keadaan tanah yang dipijak, tak menghiraukan duri atau kotoran manusia sekalipun. Selain itu, ada juga nyanyian/pantun yang berbunyi "Cing Goling Tak, Cing Goling Jur... Tai Dampak, Pidak Ajur". Tarian tersebut sampai sekarang ditarikan penari berjumlah 25 orang, 2 orang berperan sebagai Ki Wisang Sanjaya beserta istri, 1 orang berperan sebagai Ki Tropoyo dan sisanya berperan sebagai pengejar mereka. Menurut cerita versi ini, Ki Wisang Sanjaya moksa (menghilang misterius tak tentu rimbanya) saat menunggui bendungan. Hingga sekarang, sebagian masyarakat masih mempercayai bahwa Ki Wisang Sanjaya masih hidup dan masih mengawasi bendungan yang sekarang diberi nama DAM Gedangan Kali Kedung Dawang ini.

Begitulah penuturan dari Mbah Suyitno (83), salah seorang warga dusun Gedangan 1. Benar tidaknya cerita atau manakah cerita yang paling benar dari banyak versi cerita yang beredar, penulis tidak bisa memastikan. Penuturan para sesepuh desa terkadang berbeda, kemungkinan hal ini terjadi karena dulu hanya cerita dari mulut ke mulut. Tidak adanya literatur tertulis mengenai sejarah Cing Cing Goling khususnya, dan sejarah Desa Gedangrejo pada umumnya, membuat penelusuran sejarah ini seakan tidak ada titik terang.

Artikel ini telah melalui proses penyuntingan. Rekaman asli percakapan kontributor dengan Mbah Suyitno.

Referensi:

- https://www.gedangrejo-karangmojo.desa.id Diarsipkan 2021-05-15 di Wayback Machine.