Lompat ke isi

Gangguan fisiologi pada tumbuhan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gangguan fisiologi pada tumbuhan adalah gangguan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan kultural yang mempengaruhi perkembangan tumbuhan. Kondisi lingkungan yang sudah dimodifikasi dan tidak sesuai dengan habitat asli menimbulkan gangguan fisiologi pada tumbuhan.[1] Gangguan fisiologi pada tumbuhan berbeda dengan gangguan pada tumbuhan lainnya karena disebabkan oleh patogen, bakteri, jamur dan virus.[2] Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi gangguan fisiologi pada tumbuhan, meliputi radiasi (intensitas, kualitas spektral, dan fotoperiode atau rasio panjang penyinaran pada siang dan malam hari), gas karbondioksida, kelembaban udara, perpindahan udara, suhu media tanam, tingkat kelembaban dan efek mekanis.[3] Pengaruh gangguan fisiologi pada tumbuhan dapat menimbulkan berkurangnya hasil musim akibat adanya gejala yang menghambat pertumbuhan tumbuhan. Adapun dalam beberapa kasus, dapat menghambat proses penelitian dan produksi spesies tertentu.

Diagnosis kelainan

[sunting | sunting sumber]

Proses identifikasi kelainan fisiologi pada tumbuhan umumnya sulit dan tidak sesuai, karena terbatasnya informasi yang memuat hal tersebut. Akan tetapi ada beberapa sumber yang menyediakan tata cara mengidentifikasi gangguan fisiologi pada tumbuhan. Contohnya: "Abiotic plant disorders: Symptoms, signs and solutions";[4] "Georgia Corn Diagnostic Guide";[5] "Diagnosing Plant Problems (Kentucky);[6]; dan "Diagnosing Plant Problems (Virginia).[7]

Beberapa cara untuk mengidentifikasi gangguan pada tumbuhan:

  • Mencari lokasi awal munculnya gejala pada tumbuhan. Apakah terdapat pada batang, daun baru, atau keseluruhannya?
  • Mengamati bagian yang mengalami perubahan warna atau kekuningan, apakah terjadi pada keseluruhan atau hanya pada bagian tepi atau pembuluh/jaringan pengangkut? Apabila hanya terjadi pada jaringan pengangkut maka tidak akan ada defisiensi/kekurangan.
  • Mengutamakan pengamatan pada pola gejala daripada melihat keseluruhan tumbuhan. Sehingga dapat mengetahui apabila gejala sudah menyebar ke kelompok tumbuhan yang lain. Apabila terjadi defisiensi maka dapat diberikan penanganan yang sama.
  • Memastikan adanya gangguan fisiologi dengan mengamati unsur yang terkandung dalam tanah, seperti kandungan pH.
  • Menentukan penyebab gangguan pada tumbuhan dengan mengamati perubahan kondisi yang terjadi, meliputi hujan deras, kekeringan, embun beku, dan sebagainya.

Jenis-jenis kelainan

[sunting | sunting sumber]

Edema adalah kelainan fisiologis yang terjadi ketika akar menyerap air lebih cepat dari skala normal sehingga menimbulkan penumpukan tekanan air pada sel internal daun dan mengakibatkan pecahnya sel. Pecahan sel tersebut meninggalkan sel-sel mati yang terlihat seperti tonjolan yang keluar pada permukaan daun. Ukuran diameter edema berkisar antara 1-3 mm.[1] Gangguan ini sudah diteliti pada berbagai spesies, yaitu tomat,[8] kembang sepatu,[9] tembakau,[10] dan geranium.[11] Adapun faktor yang paling berpengaruh terhadap gangguan ini, yaitu kualitas spektral cahaya. Edema dipicu oleh radiasi sinar inframerah dan diperlambat oleh inframerah jarak jauh sehingga ada peran fitokrom dalam proses ini.[12] Sulitnya membedakan edema dengan gangguan yang disebabkan oleh organisme membuat gangguan ini sering disalah artikan. Adapun beberapa cara untuk mengatasi edema yaitu mengontrol kadar air tumbuhan dengan melakukan penyiraman sesuai kebutuhan, menyediakan sumber radiasi UV yang memadai dengan memodifikasi ruang tumbuh tanaman, mempertahankan kadar nitrogen dan ph tanah pada angka 5.0-5.5 dan menjaga suhu tetap dibawah 27 derajat.[13]

Konsentrasi karbon dioksida tinggi

[sunting | sunting sumber]

Tumbuhan yang hidup di lingkungan dengan karbondioksida yang sudah tercemar oleh etilen akan mengalami kelainan dalam proses pertumbuhannya. Gangguan yang ditimbulkan meliputi deformasi atau kondisi daun yang menggulung pada tumbuhan tomat[14] dan bintil-bintil klorosis pada daun seperti pada tanaman kacang, krisan, mentimun.[15][16]Intensitas cahaya juga dapat memperburuk kerusakan yang disebabkan oleh tingginya karbon dioksida.[1] Karena hal ini berhubungan menurunnya laju fotosintesis karena konsentrasi karbon dioksida yang terlalu tinggi.[15][17]

Retak buah

[sunting | sunting sumber]

Retakan yang muncul pada buah dan lapisan kutikula merupakan kelainan yang disebabkan oleh faktor lingkungan, budaya, genetik dan anatomi.[18] Keretakan terjadi akibat tekanan air yang terlalu besar dengan membawa zat-zat lain ke dalam buah sehingga terjadi penumpukan dan menimbulkan penurunan kekuatan dan elastisitas kulit buah. Faktor-faktor yang memicu gangguan ini meliputi, radiasi dan suhu yang tinggi, penyiraman yang tidak teratur, tingkat kelembaban tinggi, malnutrisi, dan tingginya fotoperiode.[18] Adapun cara untuk mencegah keretakan pada buah yaitu konsistensi dalam penyiraman, pemberian nutrisi dengan baik dan seimbang, dan pemberian asam giberelat atau kalsium melalui penyemprotan.[18]

Hiperhidrosis

[sunting | sunting sumber]

Hiperhidrosis atau vitrifikasi adalah kelainan fisiologi yang mengakibatkan kondisi hidrasi berlebihan, rendahnya lignifikasi dan gangguan fungsi pada stomata. Kelainan ini sering terjadi pada tanaman hasil kultur jaringan. Secara umum, gejala utama hiperhidrosis adalah tumbuhan mengalami kekurangan klorofil dan kadar air yang tinggi. Secara khusus, kelainan ini menyebabkan perubahan anatomi pada tumbuhan, yang meliputi tipisnya lapisan kutikula, berkurangnya jumlah sel palisade, struktur stomata yang tidak teratur, dinding sel yang kurang berkembang dan membesarnya ruang intraseluler pada lapisan sel mesofil.[19] Sebagai tambahan, adanya kecacatan pada daun yang ditunjukkan dengan daun menjadi keriting dan berkerut.[1]

Penyebab utama hiperhidrosis pada tanaman kultur jaringan adalah faktor-faktor yang memicu stres oksidatif, yang meliputi konsentrasi garam yang tinggi, tingkat kelembaban yang tinggi, intensitas cahaya yang rendah, pengumpulan gas pada udara di media penumbuhan, interval waktu yang lama antar subkultur; jumlah subkultur, konsentrasi dan jenis pembentuk gel, jenis eksplan yang digunakan, konsentrasi unsur mikro dan ketidakseimbangan hormon.[19] Metode yang dapat digunakan untuk mencegah hiperhidrosis yaitu dengan mengurangi kadar air pada media kultur jaringan.[20] Adapun dalam penelitian tanaman kultur jaringan Lavandula angustifolia, penambahan kalsium pada media tanam dapat mengurangi hiperhidrosis.[21]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d W., Langhans, Robert W., 1929- Tibbitts, T. (1997). "9". Plant growth chamber handbook. Agriculture Information Services, Iowa State University. hlm. 133. OCLC 668405834. 
  2. ^ Schutzki, R.E.; Cregg, B. (2007). "Abiotic plant disorders: Symptoms, signs and solutions. A diagnostic guide to problem solving" (PDF). Michigan State University Department of Horticulture. Michigan State University. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 September 2015. Diakses tanggal 10 April 2015. 
  3. ^ 1946-, Robinson, J. B. D. Scaife, A. Stille, Mary Turner, (1983). Diagnosis of mineral disorders in plants. 1–5. HMSO. ISBN 0-11-240804-4. OCLC 1107769941. 
  4. ^ Schutzki, R.E.; Cregg, B. (2007). "Abiotic plant disorders: Symptoms, signs and solutions. A diagnostic guide to problem solving" (PDF). Michigan State University Department of Horticulture. Michigan State University. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 September 2015. Diakses tanggal 10 April 2015. 
  5. ^ Lee, R.D. (2012). "Georgia Corn Diagnostic Guide". extension.uga.edu. University of Georgia Cooperative Extension. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-14. Diakses tanggal 10 April 2015. 
  6. ^ Green, J.L.; Maloy, O.; Capizzi, J.; Hartman, J.; Townsend, L. (2011). "Diagnosing Plant Problems: Kentucky Master Gardener Manual Chapter 7" (PDF). www2.ca.uky.edu. Kentucky Cooperative Extension. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2016-03-20. Diakses tanggal 10 April 2015. 
  7. ^ Niemiera, A.X. (2009). "Diagnosing Plant Problems". pubs.ext.vt.edu. Virginia Cooperative Extension. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-18. Diakses tanggal 10 April 2015. 
  8. ^ 1854-1918., Atkinson, George Francis, (1893). Oedema of the tomato. Cornell University. OCLC 761831601. 
  9. ^ Dale, Elizabeth (1901). "Investigations on the Abnormal Outgrowths or Intumescences on Hibiscus vitifolius, Linn. A Study in Experimental Plant Pathology". Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B, Containing Papers of a Biological Character. 194: 163–182. ISSN 0264-3960. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-23. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  10. ^ Kehr, August E. (1951-01). "Genetic Tumors in Nicotiana". The American Naturalist. 85 (820): 51–64. doi:10.1086/281650. ISSN 0003-0147. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  11. ^ Balge RJ, Struckmeyer BE, Beck GE (1969). "Occurrence, severity, and nature of oedema in Pelargonium hortorum Ait". J Am Soc Hortic: 181–183. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-21. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  12. ^ Morrow, Robert C.; Tibbitts, Theodore W. (1988). "Evidence for Involvement of Phytochrome in Tumor Development on Plants". Plant Physiol: 88(4): 1110–1114. doi:10.1104/pp.88.4.1110. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  13. ^ Jay., Mastalerz, John W., 1926- Holcomb, E. (1982). Geraniums : a manual on the culture of geraniums as a greenhouse crop. Pennsylvania Flower Growers. OCLC 1131358839. 
  14. ^ van Berkel, N (1984). "INJURIOUS EFFECTS OF HIGH CO2 CONCENTRATIONS ON CUCUMBER, TOMATO, CHRYSANTHEMUM AND GERBERA". Acta Hortic (162): 101–112. 
  15. ^ a b R. Hicklenton, Peter; A. Jolliffe, Peter (1980). "Alterations in the physiology of CO2 exchange in tomato plants grown in CO2-enriched atmospheres". Canadian Journal of Botany: 58:2181–2189. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  16. ^ Ehret, David L.; Jolliffe, Peter A. (1985-11-01). "Leaf injury to bean plants grown in carbon dioxide enriched atmospheres". Canadian Journal of Botany. 63 (11): 2015–2020. doi:10.1139/b85-281. ISSN 0008-4026. 
  17. ^ Peet, Mary M. (1986-01-01). "Acclimation to High CO2 in Monoecious Cucumbers". Plant Physiology. 80 (1): 59–62. doi:10.1104/pp.80.1.59. ISSN 0032-0889. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  18. ^ a b c Peet, M.M. (1992). "Fruit Cracking in Tomato". HortTechnology. 2 (2): 216–223. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-17. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  19. ^ a b Cassells A and Curry R (2001). Oxidative stress and physiological, epigenetic and genetic variability in plant tissue culture: implications for micropropagators and genetic engineers. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 64(2-3):145-157
  20. ^ Debergh, P.; Harbaoui, Y.; Lemeur, R. (1981-10-XX). "Mass propagation of globe artichoke (Cynara scolymus): Evaluation of different hypotheses to overcome vitrification with special reference to water potential". Physiologia Plantarum. 53 (2): 181–187. doi:10.1111/j.1399-3054.1981.tb04130.x. ISSN 0031-9317. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2021-04-21. 
  21. ^ Machado, Marília Pereira; Silva, André Luís Lopes da; Biasi, Luiz Antonio; Deschamps, Cícero; Bespalhok Filho, João Carlos; Zanette, Flávio (2014-10). "Influence of calcium content of tissue on hyperhydricity and shoot-tip necrosis of in vitro regenerated shoots of Lavandula angustifolia Mill". Brazilian Archives of Biology and Technology. 57 (5): 636–643. doi:10.1590/s1516-8913201402165. ISSN 1516-8913. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2021-04-21.