Fungsionalisme (hubungan internasional)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Fungsionalisme adalah teori hubungan internasional yang muncul pada masa antarperang (antara Perang Dunia I dan II) setelah ada kekhawatiran bahwa negara sudah tidak layak lagi dijadikan organisasi masyarakat. Alih-alih kepentingan diri negara-bangsa yang dianggap realis sebagai faktor pendorong, para fungsionalis mengutamakan kepentingan bersama dan kebutuhan bersama (baik negara maupun non-negara) dalam proses integrasi global. Integrasi tersebut dipicu oleh memudarnya kedaulatan negara dan banyaknya pengetahuan yang diberikan para ilmuwan dan pakar dalam proses pembuatan kebijakan (Rosamond, 2000). Asal usulnya dapat ditemukan pada tradisi liberal/idealis yang diawali oleh Kant sampai pidato "Empat Belas Poin" oleh Woodrow Wilson (Rosamond, 2000).

Fungsionalisme adalah perintis teori globalisasi dan strategi. Negara telah membangun struktur berwenang di atas prinsip kewilayahan (teritorialisme). Teori negara dibangun dengan asumsi yang menyebut wilayah sebagai cakupan kewenangan (Held 1996, Scholte: 1993, 2000, 2001) yang dibantu oleh kewilayahan metodologis (Scholte 1993). Fungsionalisme hendak menciptakan kewenangan (otoritas) berdasarkan fungsi dan kebutuhan yang dapat menghubungkan kewenangan tersebut dengan kebutuhan, pengetahuan ilmiah, keahlian, dan teknologi. Artinya kewenangan tersebut memiliki konsep suprateritorial. Pendekatan fungsionalis mengecualikan dan membantah ide kekuasaan negara dan pengaruh politik (pendekatan realis) dalam pembentukan organisasi internasional pada masa antarperang (yang penuh konflik negara-bangsa) dan tahun-tahun selanjutnya.[1]

Menurut fungsionalisme, integrasi internasional (pemerintahan bersama dan 'saling ketergantungan material' (Mitrany, 1933:101) antarnegara) memiliki dinamika internalnya sendiri setelah negara-negara semakin terintegrasi di sektor fungsional, teknis, dan/atau ekonomi. Lembaga internasional akan memenuhi kebutuhan manusia berkat bantuan pengetahuan dan keahlian. Manfaat yang didapat dari lembaga fungsional akan menarik perhatian penduduk dunia dan mendorong keterlibatan mereka serta memperluas wilayah integrasi. Ada asumsi kuat mengenai fungsionalisme: 1) bahwa proses integrasi terjadi dalam kerangka kebebasan manusia, 2) bahwa pengetahuan dan keahlian saat ini dapat memenuhi kebutuhan yang menjadi misi lembaga fungsional, dan 3) bahwa negara tidak akan melakukan sabotase terhadap proses tersebut.

Perbandingan[sunting | sunting sumber]

John McCormick membandingkan asas-asas fungsionalisme dengan realisme:[2]

  Realisme Fungsionalisme Penjelasan
Tujuan utama pelaku Keamanan militer Perdamaian dan kesejahteraan Keamanan melalui: kekuasaan vs. kerja sama
Instrumen kebijakan negara Kekuatan militer dan instrumen ekonomi Instrumen ekonomi dan kemauan politik Kebijakan negara: asersi vs. negosiasi
Pendorong pembuatan agenda Potensi pergeseran keseimbangan kekuasaan dan ancaman keamanan Penekanan politik rendah seperti isu-isu ekonomi dan sosial Agenda yang dikejar: mempertahankan posisi vs. mencapai konsensus
Peran organisasi internasional Kecil; dibatasi oleh kekuasaan negara dan pentingnya kekuatan militer Besar; organisasi internasional yang baru dan fungsional akan merumuskan kebijakan dan bertanggung jawab atas penerapannya Keterlibatan internasional: sedikit vs. Banyak

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Caporaso, J. 1998: "Regional integration theory: understanding our past and anticipating our future." Journal of European Public Policy, 5(1):1–16.
  • Claude, Inis L, Jr. The Functional Approach to Peace, in Swords into Plowshares. 4th ed. New York: Random House, 1971. pp. 378–407.
  • Groom, J. R. and Paul Taylor. Functionalism: Theory and Practice in International Relations. London: University of London Press, 1975.
  • Haas, Ernst B. (1958). The Uniting of Europe; Political, Social, and Economic Forces, 1950–1957. Stanford: Stanford University Press.
  • Haas, Ernst B. (1964). Beyond the Nation-State: Functionalism and International Organization. Stanford: Stanford University Press.
  • Held, D. (1996) Models of Democracy, Polity Press, Cambridge.
  • Imber, Mark. F. The U.S.A., ILO, UNESCO, and IAEA: Politicization and Withdrawal in the Specialized Agencies. London: Macmillan, 1989.
  • Keohane, R. O. and S. Hoffmann 1991: The New European Community: Decision-making and Institutional Change. Boulder, Colorado: Westview Press.
  • McCormick, John. The European Union. Westview Press. January 1, 1999. ISBN 0-8133-9032-X
  • Mitrany, D. (1933) The Progress of International Government. New Haven: Yale university press.
  • Mitrany, D. "Functional Approach to World Organization." International Affairs. Vol. 23. (1948)
  • Mitrany, D. (1965) "The Prospect of European Integration: Federal or Functional", Journal of Common Market Studies
  • Mitrany, D. (1966) A Working Peace System. Chicago: Quadrangle Books.
  • Mitrany, D.(1976) The Functional Theory of Politics. New York: St. Martin's Press.
  • Piquet, Howard S. "Functional International Organization." American Academy of Political and Social Science. Vol. 240. (Jul, 1945): pp. 43–50.
  • Rosamond, B. (2000) Theories of European integration, Macmillan ; New York: St. Martin's Press, Basingstoke.
  • Scholte, J. A. (2000) Globalization: a critical introduction, St. Martin's Press Inc., New York.
  • Scholte, J. A. (2001) In The Globalization of World Politics, The globalization of world politics, (Eds, Baylis, J. and Smith, S.) Oxford University Press, New York, pp. 13–34.
  • Scholte, J. A. (1993) International Relations of Social Change, Open University Press, Buckingham.
  • Sewell, James P. Functionalism and World Politics. Princeton: Princeton University Press, 1966.
  • Wallace, William (ed.) 1990: The Dynamics of European Integration. London: Pinter Publishers.
  • Wolf, Peter. "International Organization and Attitude Change: A Re-examination of the Functionalist Approach." International Organization. Vol.27. (July 1973): pp. 347–371.
  • Ziring, Lawrence, Robert E. Riggs, and Jack C. Plano. The United Nations: International Organization and World Politics. California: Thomson Wadsworth, 2005. pp. 397–469.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Wolf, Peter. "International Organization and Attitude Change: A Re-examination of the Functionalist Approach." International Organization. Vol.27. (July 1973): pp. 347–371.
  2. ^ McCormick pp. 13.
  3. ^ McCormick pp. 14.
  4. ^ Mitrany, D. (1966) A Working Peace System. Chicago: Quadrangle books. pp. 35.
  5. ^ Mitrany, A Working Peace System. pp. 35.
  6. ^ Wolf, Peter. "International Organization and Attitude Change: A Re-examination of the Functionalist Approach." International Organization. Vol.27. (July 1973): pp. 347–371
  7. ^ Mitrany, A Working Peace System. pp. 35.
  8. ^ Wolf, Peter., "International Organization and Attitude Change: A Re-examination of the Functionalist Approach." pp. 347–371.
  9. ^ Ziring, Lawrence, Robert E. Riggs, and Jack C. Plano. The United Nations: International Organization and World Politics. California: Thomson Wadsworth, 2005. pp. 398.
  10. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 398.
  11. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 399.
  12. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 400.
  13. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 400.
  14. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 400.
  15. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 401.
  16. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 401–402.
  17. ^ Ziring, Riggs and Plano, pp. 403.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]