Flukonazol

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Fluconazole)
Flukonazol
Nama sistematis (IUPAC)
2-(2,4-Difluorophenyl)-1,3-bis(1H-1,2,4-triazol-1-yl)propan-2-ol
Data klinis
Nama dagang Diflucan, Celozole
AHFS/Drugs.com monograph
MedlinePlus a690002
Data lisensi US FDA:link
Kat. kehamilan D(AU) C(US)
Status hukum ? (AU) POM (UK) -only (US)
Rute Oral, IV, topical
Data farmakokinetik
Bioavailabilitas >90% (oral)
Ikatan protein 11–12%
Metabolisme Hati 11%
Waktu paruh 30 jam (range 20-50 jam)
Ekskresi Ginjal 61–88%
Pengenal
Nomor CAS 86386-73-4 YaY
Kode ATC D01AC15 J02AC01
PubChem CID 3365
DrugBank DB00196
ChemSpider 3248 YaY
UNII 8VZV102JFY YaY
KEGG D00322 YaY
ChEBI CHEBI:46081 YaY
ChEMBL CHEMBL106 YaY
Data kimia
Rumus C13H12F2N6O 
Massa mol. 306.271 g/mol
SMILES eMolecules & PubChem
  • InChI=1S/C13H12F2N6O/c14-10-1-2-11(12(15)3-10)13(22,4-20-8-16-6-18-20)5-21-9-17-7-19-21/h1-3,6-9,22H,4-5H2 YaY
    Key:RFHAOTPXVQNOHP-UHFFFAOYSA-N YaY

Flukonazol adalah obat antijamur yang digunakan untuk sejumlah infeksi jamur. Termasuk kandidiasis, blastomikosis, koksidioidomikosis, kriptokokosis, histoplasmosis, dermatofitosis, dan panau.[1] Obat ini juga digunakan untuk mencegah kandidiasis pada orang berisiko tinggi seperti transplantasi organ, bayi yang lahir dengan berat rendah, dan orang yang neutrofil darahnya rendah.[2]Obat ini baik diberikan melalui mulut atau dengan suntikan ke dalam vena.[2]

Fluconazol dipatenkan pada tahun 1981 dan mulai digunakan secara komersial pada tahun 1988.[3] Obat ini terdapat dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia, obat paling efektif dan aman yang diperlukan dalam sistem kesehatan.[4] Flukonazol tersedia sebagai obat generik.[5] Biaya grosir di negara berkembang adalah sekitar US$ 0,05-0,10 per hari.[6] Di Amerika Serikat harga grosir sekitar US$ 1,14-1,75 per hari pada 2016.[7] Pada 2016 obat ini adalah obat ke-173 yang paling sering diresepkan di Amerika Serikat dengan lebih dari 3 juta resep.[8]

Kelas[sunting | sunting sumber]

Flukonazol merupakan senyawa golongan triazol sintetis yang memiliki aktivitas antijamur. Flukonazol secara umum bekerja dengan menghambat sitokrom P-450 sterol C-14-α-demetilasi pada jamur yang mengakibatkan akumulasi 14-α-metilsterol dan hilangnya sterol jamur normal sehingga menghasilkan aktivitas fungistatik.[9]

Perbedaan flukonazol dengan antibiotik golongan azole sebelumnya terletak pada cincin triazol yang menggantikan cincin imidazol. Hal ini menyebabkan meningkatnya polaritas flukonazol serta kelarutan dan absorpsinya, berkurangnya ikatan dengan protein, dan menyebabkan eliminasinya berlangsung pada ginjal (bukan pada hati). Flukonazol dapat diadministrasikan secara oral maupun intravena[10]

Flukonazol aktif melawan banyak Candida spp. termasuk Candida albicans, Candida parapsilosis, Candida tropicalis, Candida lusitaniae, dan Candida dubliniensis, tetapi tidak aktif terhadap Candida krusei. Flukonazol juga menunjukkan aktivitas yang sangat baik melawan Cryptococcus neoformans, tetapi tidak aktif melawan Aspergillus spp, Fusarium spp, Scedosporium spp, atau Mucorales[11]

Penggunaan Medis[sunting | sunting sumber]

Flukonazol digunakan untuk mengobati infeksi jamur, termasuk infeksi jamur pada vagina, mulut, tenggorokan, esofagus, perut, paru-paru, darah, dan organ lainnya. Flukonazol juga digunakan untuk terapi meningitis (infeksi selaput otak dan tulang belakang) yang disebabkan oleh jamur. Flukonazol juga dapat digunakan untuk mencegah infeksi jamur pada pasien yang kemungkinan besar terinfeksi karena dirawat dengan kemoterapi atau terapi radiasi sebelum transplantasi sumsum tulang [12] Flukonazol digunakan sebagai terapi awal untuk pengobatan pasien dengan kandidiasis mukosa, termasuk mereka yang mengidap human immunodeficiency virus (HIV) [11]

Efek Samping[sunting | sunting sumber]

Efek samping pemakaian flukonazol seperti nausea, sakit perut, diare, kembung; gangguan enzim hati; kadang-kadang ruam (hentikan obat atau awasi secara ketat); angioudem, anafilaksis, lesi bulosa, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson; dan pada pasien AIDS pernah dilaporkan terjadinya reaksi kulit yang hebat[13]

  • Hepatoksisitas

Peningkatan sementara kadar serum aminotransferase pada 5% pasien yang diobati dengan flukonazol dan peningkatan ALT (alanin transaminase) di atas 8 kali batas atas normal pada 1% pasien yang memakai flukonazol pernah dilaporkan. Cedera hati yang bersifat hepatoseluler muncul dalam beberapa minggu pertama terapi dan dapat disertai dengan tanda-tanda hipersensitivitas seperti demam, ruam, dan eosinofilia. Kasus fatal dari kerusakan hati akibat flukonazol pernah dilaporkan, namun kebanyakan kasus sembuh sendiri meskipun pemulihan mungkin tertunda selama beberapa minggu setelah menghentikan flukonazol dan paling lambat membutuhkan 2 sampai 3 bulan. Penyebab hepatotoksisitas flukonazol tidak diketahui, namun, mungkin berhubungan dengan kemampuan flukonazol mengubah sintesis sterol. Inhibisi enzim sitokrom P450 CYP 3A4 dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam kadar plasma dan toksisitas serius dari obat-obatan yang biasanya dimetabolisme oleh CYP3A4, terutama statin dan siklosporin[14] (LiverTox, 2017).

Interaksi[sunting | sunting sumber]

Di antara obat-obat antijamur, golongan triazol memiliki potensi tertinggi untuk mengalami reaksi obat-obat yang serius dan dapat memiliki ratusan interaksi dengan obat lain. Interaksi obat triazol bervariasi sesuai afinitas masing-masing terhadap isoenzim (CYP2C19, CYP3A4, CYP2C9) [11]

Sebagai penghambat Enzim CYP450, triazol dapat mengganggu metabolisme obat yang diberikan bersamaan dan meningkatkan risiko toksisitas. Konsentrasi triazol dapat secara substansial dipengaruhi oleh penggunaan obat yang menghambat atau menginduksi enzim, seperti yang telah diamati untuk itrakonazol dan vorikonazol. Karena triazol dapat menyebabkan perpanjangan interval QT, dapat memberikan efek aditif pada obat yang memperpanjang QT.[11]

Interaksi flukonazol dengan beberapa obat lain adalah sebagai berikut.

  • Zidovudin  : Flukonazol dapat meningkatkan konsentrasi plasma zidovudin sehingga risiko toksisitasnya meningkat
  • Teofilin  : Flukonazol dan ketonazol dapat meningkatkan konsentrasi teofilin dalam plasma
  • Rifampisin  : Flukonazol meningkatkan konsentrasi rifabutin dalam plasma sehingga meningkatkan risiko uveitis. Rifampisin mempercepat metabolisme flukonazol
  • Karbamezapin : Flukonazol, ketokonazol, dan mikonazol dapat meningkatkan konsentrasi plasma karbamazepin
  • Siklosporin  : Flukonazol, itrakonazol, dapat menghambat metabolisme siklosporin
  • Ritonavir  : Flukonazol meningkatkan konsentrasi plasma ritonavir[13]

Kontraindikasi[sunting | sunting sumber]

Flukonazola kontraindikasi untuk pasien berikut:[15]

  • Telah diketahui hipersensitif terhadap obat-obatan azol lainnya seperti ketokonazol
  • Sedang meminum terfenadine, jika dosis flukonazol 400 mg per hari
  • Pemberian bersamaan flukonazol dan quinidin, terutama ketika flukonazol diberikan dalam dosis tinggi
  • Meminum SSRi seperti fluosetin atau sertralin

Farmakodinamik[sunting | sunting sumber]

Obat-obat golongan azole memiliki memiliki mekanisme aktivitas antijamur yang sama, yaitu pengurangan sintesis ergosterol dengan menghambat enzim sitokrom P450 pada jamur. Obat azole merupakan obat yang selektif karena afinitas mereka yang lebih besar untuk enzim sitokrom P450 pada jamur dibandingkan pada manusia. Obat golongan triazol menunjukkan selektivitas yang lebih tinggi daripada imidazol.[16]

Inhibisi enzim sitokrom P450 atau 14-α-demetylase menyebabkan terhambatnya konversi lanosterol menjadi ergosterol yang merupakan komponen esensial dalam membran sitoplasma jamur.[17] Atom nitrogen bebas yang terletak pada cincin azol flukonazol berikatan dengan atom besi tunggal yang terletak pada kelompok heme lanosterol 14-α-demethylase (enzim sitokrom P450).[18] Hal ini menyebabkan aktivasi oksigen dicegah dan sebagai akibatnya demetilasi lanosterol terhenti.[19] Sterol yang termetilasi akan terakumulasi dalam membran sel jamur kemudian menyebabkan perubahan fluiditas membran dan menghambat aktivitas beberapa enzim yang terikat pada membran (contoh: sintase kitin). Efek akhirnya berupa penghambatan pertumbuhan dan replikasi jamur, serta sejumlah efek sekunder seperti penghambatan transformasi morfogenetik ragi menjadi bentuk miselium, penurunan adherensi jamur, dan efek toksik langsung pada membran fosfolipid.[20]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama AHFS2016
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama AHFS20162
  3. ^ Fischer, Janos; Ganellin, C. Robin (2006). Analogue-based Drug Discovery (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. hlm. 503. ISBN 9783527607495. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-10. 
  4. ^ "WHO Model List of Essential Medicines (19th List)" (PDF). World Health Organization. April 2015. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 13 December 2016. Diakses tanggal 8 December 2016. 
  5. ^ "Fluconazole". The American Society of Health-System Pharmacists. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 December 2016. Diakses tanggal 8 December 2016. 
  6. ^ "Fluconazole". International Drug Price Indicator Guide. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-29. Diakses tanggal 8 December 2016. 
  7. ^ "NADAC as of 2016-12-07 | Data.Medicaid.gov". Centers for Medicare and Medicaid Services. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 December 2016. Diakses tanggal 11 December 2016. 
  8. ^ "The Top 300 of 2019". clincalc.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-12. Diakses tanggal 22 December 2018. 
  9. ^ PubChem. "Fluconazole". pubchem.ncbi.nlm.nih.gov (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-10. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  10. ^ Washton, H. (1989-07). "Review of fluconazole: A new triazole antifungal agent". Diagnostic Microbiology and Infectious Disease. 12 (4): 229–233. doi:10.1016/0732-8893(89)90141-7. ISSN 0732-8893. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-22. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  11. ^ a b c d Nett, Jeniel E.; Andes, David R. (2016-03). "Antifungal Agents". Infectious Disease Clinics of North America. 30 (1): 51–83. doi:10.1016/j.idc.2015.10.012. ISSN 0891-5520. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-22. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  12. ^ "Fluconazole: MedlinePlus Drug Information". medlineplus.gov (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-15. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  13. ^ a b "FLUKONAZOL | PIO Nas". pionas.pom.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-02. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  14. ^ LiverTox: Clinical and Research Information on Drug-Induced Liver Injury. Bethesda (MD): National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2012. PMID 31643623. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-16. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  15. ^ Rossi S, editor.
  16. ^ Katzung, B.G. (2018). Basic&Clinical Pharmacology 14th Ed. US: McGraw Hill Education. 
  17. ^ Alshafeiy, Hanan; Ibrahim, Bassant M. M.; Safar, Marwa M.; El-Shenawy, Siham M. A.; Yassin, Nemat A.Z.; Kenawy, Sanaa (2019-04-14). "Fluconazole, a Fungal Cytochrome P450 Enzyme Inhibitor: The Potential Role in Augmenting Hepatotoxicity and Hyperinsulinemia Induced by Dexamethasone in Rats". Egyptian Journal of Chemistry. 0 (0): 0–0. doi:10.21608/ejchem.2019.10531.1692. ISSN 2357-0245. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-22. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  18. ^ Joseph-Horne, Tim; Hollomon, Derek W (2006-01-17). "Molecular mechanisms of azole resistance in fungi". FEMS Microbiology Letters (dalam bahasa Inggris). 149 (2): 141–149. doi:10.1111/j.1574-6968.1997.tb10321.x. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-19. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  19. ^ Sheng, Chunquan; Miao, Zhenyuan; Ji, Haitao; Yao, Jianzhong; Wang, Wenya; Che, Xiaoying; Dong, Guoqiang; Lü, Jiaguo; Guo, Wei (2009-08). "Three-Dimensional Model of Lanosterol 14α-Demethylase from Cryptococcus neoformans: Active-Site Characterization and Insights into Azole Binding". Antimicrobial Agents and Chemotherapy (dalam bahasa Inggris). 53 (8): 3487–3495. doi:10.1128/AAC.01630-08. ISSN 0066-4804. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-13. Diakses tanggal 2020-11-09. 
  20. ^ Maertens, J.A. (2004). "History of the development of azole derivatives". Clinical Microbiology and Infection. 10: 1–10. doi:10.1111/j.1470-9465.2004.00841.x. ISSN 1198-743X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-22. Diakses tanggal 2020-11-09.