Etika lingkungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etika Lingkungan atau keberlanjutan ekologi yang luas merupakan alternatif wacana menyelamatkan lingkungan, sumber daya alam, dan ekosistem.[1] Paradigma ini memberikan gagasan terhadap pemahaman pertumbuhan ekonomi dengan berbasis ekologi yang sekaligus memberikan peningkatan kualitas dan standar hidup. Tidak hanya pada faktor ekonomi, tetapi juga aspek sosial. Paradigma keberlanjutan kelestarian ekologi dan sosial budaya masyarakat, demi menjamin kualitas kehidupan yang lebih baik dalam arti luas.[2]

Etika lingkungan hidup adalah sebagai refleksi kritis tentang norma dan nilai atau prinsip moral yang erat kaitannya dengan lingkungan hidup. Di samping itu juga erat kaitannya dengan refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam, dan hubungan antara manusia dengan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Refleksi kritis ini lalu ditawarkan cara pandang dan perilaku baru yang dianggap lebih tepat dalam kerangka menyelamatkan krisis lingkungan hidup dari perspektif folkloristik, yakni meng­gali dan mengeksplorasi etika lingkungan hidup yang secara potensial termuat dalam folklor masyarakat. Etika lingkungan dalam suatu masyarakat tertentu sangat berpengaruh pada kepribadian masyarakat tersebut.[3]

Etika memiliki hubungan langsung dengan perilaku manusia yang dapat dicapai melalui pendidikan.[4] Materi etika lingkungan dapat diajarkan melalui pembelajaran dengan menggunakan budaya masyarakat adat sebagai sumber belajarnya. Pemahaman nilai-nilai kearifan lokal dapat menanamkan kepedulian pelajar/mahasiswa terhadap lingkungan.[5] Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi, etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya. Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Istilah ekologi berasal dari kata Yunani "oikos", artinya "rumah" kediaman atau rumah tangga. Kata oikos dipakai dalam kata "ekonomi", artinya nomoi (hukum-hukum tentang oikos). Ekonomi membicarakan hubungan antara orang, tetapi terbatas pada hubungan mereka demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan praktis, dan demi pertukaran dan pembagian "barang-benda" di dalam masyarakat. Kata lain ialah "ekumene" dihubungkan dengan seluruh bumi (ge) he oikoumene (ge), lalu berarti: "seluruh bumi yang didiami". Ekunene menunjukkan usaha untuk mempersatukan semua orang di seluruh bumi, terutama dalam konteks agama. Akhirnya juga dipakai istilah cukup baru "ekologi", artinya logos (ilmu) tentang oikos. Jadi ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup. Tetapi lepas dari manusia mesti ekologi tidak berarti banyak. Oleh karena itu akhirnya ekologi berusaha melindungi dan melestarikan alam dunia kita sebagai lingkungan manusia.[6]

Menurut Sumartana (1994) bisa dikatakan bahwa visi ekologi memiliki basis etika yang mendalam. Menghadapi destruksi alam dan destruksi kemanusiaan di masyarakat, maka pendekatan etika ekologis bermula dari asumsi mengenai keterikatan yang menyatu antara semua unsur kehidupan di muka bumi.[7] Ekologi diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan timbal balik antara organisme dengan tempat tinggalnya, antara anggota dan antara sesama komponen atau unsur habitat. Hubungan antara organisme dengan lingkungan tempat tinggalnya itu saling menguntungkan. Apabila saling ketergantungan itu menjadi penyebab yang merugikan bagi salah satu pihak terjadilah krisis ekologi.[8]

Etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan, kita tidak saja mengimbangi hak dan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan hidup juga membatasi perilaku, tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas kewajaran lingkungan hidup.[9] Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam secara keseluruhan termasuk di dalamnya berbagai kebijakan yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam. Untuk menuju kepada etika lingkungan hidup tersebut, diperlukan pemahaman tentang perubahan pandangan terhadap lingkungan hidup itu sendiri. Jadi, etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya. Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Di samping itu, etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Etika dalam konsep lingkungan hidup sangat penting karena berkaitan dengan perilaku manusia agar dengan etika orang dapat mengenal dan memahami nilai dan norma-norma yang membimbing perilaku proses individual dan sosial terhadap alam dan lingkungan hidupnya. Artinya dasar etika ini adalah tindakan yang ditujukan kepada alam atau lingkungan hidup. Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi.

Prinsip-prinsip[sunting | sunting sumber]

Unsur pokok dalam prinsip etika lingkungan hidup ada dua, yang pertama komunitas moral tidak hanya dibatasi pada komunitas sosial, melainkan mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Kedua, hakikat manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, melainkan juga makhluk ekologis. Prinsip-prinsip ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi untuk lebih berpihak pada lingkungan hidup dan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi pada lingkungan sekarang ini. Semua teori etika lingkungan hidup mengakui bahwa alam semesta perlu dihormati. Pada teori antroposentrisme menghormati alam karena kepentingan manusia bergantung pada kelestarian dan integritas alam. Sedangkan pada teori bio-sentrisme dan eko-sentrisme beranggapan bahwa. Manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta dengan segala isinya karena manusia adalah bagian dari alam dan karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri.[10]

Secara khusus, sebagai pelaku moral, manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghormati kehidupan, baik pada manusia maupun pada makhluk lain dalam komunitas ekologis seluruhnya. Menurut teori DE dalam buku A. Sonny Keraf, manusia dituntut untuk menghargai dan menghormati benda-benda non-hayati karena semua benda di alam semesta mempunyai hak yang sama untuk berada, hidup, dan berkembang. Alam mempunyai hak untuk dihormati, bukan hanya karena kehidupan manusia bergantung pada alam, tetapi karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral alam dan sebagai anggota komunitas ekologis. Sikap hormat terhadap alam lahir dari relasi kontekstual manusia dengan alam dalam komunitas ekologis. Manusia berkewajiban menghargai hak semua makhluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah. Sebagai perwujudan nyata, manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh isinya. Manusia tidak boleh merusak dan menghancurkan alam beserta seluruh isinya tanpa alasan yang benar. Alam dan seluruh isinya juga berhak untuk dicintai, disayangi, dan mendapat kepedulian dari manusia. Kasih sayang dan kepedulian muncul dari kenyataan bahwa semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.[10]

Terkait dengan prinsip hormat kepada alam merupakan tanggung jawab moral terhadap alam. Setiap bagian dan benda di alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya masing-masing terlepas dari untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh sebab itu, manusia sebagai bagian dari alam semesta bertanggungjawab pula untuk menjaga alam. Tanggung jawab ini bukan saja bersifat individual melainkan kolektif. Tanggung jawab moral menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya. Hal ini berarti, kelestarian dan kerusakan alam merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Tanggung jawab ini juga terwujud dalam bentuk mengingatkan, melarang dan menghukum yang merusak dan membahayakan alam.

Unsur Etika atau Moral Lingkungan[sunting | sunting sumber]

Beberapa unsur etika atau moral lingkungan yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:[11]

  1. Pertama, etika lingkungan hidup sebaiknya etika keutamaan atau kewajiban? Etika keutamaan itu perlu karena yang kita butuh kan adalah manusia-manusia yang punya keunggulan perilaku. Sementara itu etika kewajiban, dalam arti pelaksanaan kewajiban moral, tidak bisa diabaikan begitu saja. Idealnya ialah, bahwa pelaksanaan keutamaan manusia Indonesia, bukan hanya demi kewajiban semata-mata, apalagi sesuai kewajiban. Rumusan-rumusan moral itu di satu pihak memang penting, namun di lain pihak yang lebih penting lagi ialah bahwa orang mengikutinya karena keunggulan perilaku.
  2. Kedua, bila etika lingkungan hidup adalah etika normatif plus etika terapan, maka ada faktor lain yang mesti ikut dipertimbangkan, yaitu sikap awal orang terhadap lingkungan hidup, informasi, termasuk kerja sama multidisipliner dan norma-norma moral lingkungan hidup yang sudah diterima masyarakat (ingat akan berbagai) kearifan lingkungan hidup dalam masyarakat kita, yang dapat dikatakan sebagai “moral lingkungan hidup” (Bertens, 2000:295-300).
  3. Ketiga, etika lingkungan hidup tidak bertujuan menciptakan apa yang disebut sebagai eco-fascism (fasis lingkungan, pinjam istilah Ton Dietz, 1996). Artinya, dengan dan atas nama etika seolah-olah lingkungan hidup adalah demi lingkungan hidup itu sendiri. Dengan risiko apa pun lingkungan hidup perlu dilindungi. Dari segi etika yang bertujuan melindungi lingkungan dari semua malapetaka bikinan manusia, hal itu tentu saja baik. Namun buruk secara etis, bila akibatnya membuat manusia tidak dapat menggunakan lingkungan hidup itu lagi karena serba dilarang. Etika lingkungan tidak hanya mengijinkan suatu perbuatan yang secara moral baik, melainkan juga melarang setiap akibat buruknya terhadap manusia.
  4. Keempat, ciri-ciri etika lingkungan hidup yang perlu diperhatikan adalah sikap dasar menguasai secara berpartisipasi, menggunakan sambil memelihara, belajar menghormati lingkungan hidup dan kehidupan, kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan hati nurani yang bersih, baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Yang juga penting adalah soal orientasi dalam pembangunan, yakni tidak hanya bersifat homosentri, yang sering tidak memperhitungkan ecological externalities, melainkan juga ekosentris. Pembangunan tidak hanya mementingkan manusia, melainkan kesatuan antara manusia dengan keseluruhan ekosistem atau kosmos.

Jenis-Jenis Etika Lingkungan[sunting | sunting sumber]

Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan dan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua makhluk.[12]

  1. Ekologi dangkal (Shallaw ecology) merupakan paradigma yang menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan manusia. Konsep ini mendudukkan lingkungan sebagai sarana yang dimanfaatkan demi kebutuhan manusia. Dengan demikian, ekologi dangkal bersifat antroposentris dalam artian mendudukkan manusia sebagai makhluk superior yang punya wewenang bebas dalam melakukan eksploitasi dan pemanfaatan lingkungan demi kebutuhannya.
  2. Ekologi dalam (Deep ecology) merupakan etika yang memandang bahwa manusia merupakan bagian integral dari lingkungannya. Konsep ini menempatkan sistem etika baru dan memiliki implikasi positif dalam kelestarian alam. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas di sini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.

Undang-Undang[sunting | sunting sumber]

Undang-undang tentang lingkungan hidup terdapat pada “UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP”.[13]

Pada bab X dibahas tentang hak, kewajiban, dan larangan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

  • Pasal 67. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
  • Pasal 68. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: (a) Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu, (b) Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, dan (c) Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
  • Pasal 69. Setiap orang dilarang: (a) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, (b) Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, (c) Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, (d) Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, (e) Membuang limbah ke media lingkungan hidup, (f) Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup, (g) Melepaskan produk rekayasa genetic ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan, (h) Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, (i) Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, (j) Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Pada bab XII dibahas tentang pengawasan dan sanksi administratif. Pada bagian pertama dibahas tentang pengawasannya. Kemudian pada bagian kedua dibahas tentang sanksi administratif yaitu:

  • Pasal 76.
    • (1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
    • (2) Sanksi administratif terdiri atas: a) Teguran tertulis, b) Paksaan pemerintah, c) Pembekuan izin lingkungan, dan d) Pencabutan izin lingkungan.
  • Pasal 77. Menteri dapat menerapkan sanksi administrative terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
  • Pasal 78. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
  • Pasal 79. Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
  • Pasal 80.
    • (1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: a) Penghentian sementara kegiatan produksi, b) Pemindahan sarana produksi, c) Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi, d) Pembongkaran, e) Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran, f) Penghentian sementara seluruh kegiatan, dan g) Tindakan yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
    • (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a) Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup, b) Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran atau perusakannya, dan c) Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
  • Pasal 81. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
  • Pasal 82
    • (1) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
    • (2) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
  • Pasal 83. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Hubungan dengan Partisipasi dalam Pelestarian Lingkungan[sunting | sunting sumber]

Adanya upaya untuk mendasarkan diri pada teori etika biosentrisme, ekosentrisme, teori mengenai hak asasi alam, dan ekofeminisme, manusia sebagai anggota masyarakat harus berpartisipasi menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam atau alam semesta seluruhnya. Dalam hal ini, yang berperan serta untuk melestarikan lingkungan tersebut bukan hanya pemerintah tetapi juga anggota masyarakat Barurambat kabupaten Pamekasan ikut serta menentukan kebijakan publik dan memanfaatkan lingkungan tersebut bagi kepentingan vital manusia. Alasannya, karena secara proporsional anggota masyarakat menanggung beban yang disebabkan oleh rusaknya alam semesta atau lingkungan yang ada.[14]

Oleh sebab itu, masyarakat mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta dengan segala isinya karena alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Berlandaskan pada nila tersebut, manusia pun dituntut untuk menghargai dan menghormati benda-benda yang non hayati, karena benda di alam lingkungannya mempunyai “hak yang sama untuk berada, hidup dan berkembang”.

Dengan kata lain, alam mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung pada alam. Tetapi terutama secara ontologis bahwa manusia anggota komunitas ekologis. Bahkan dalam perspektif ekofeminisme, sikap hormat terhadap alam tersebut lahir dari relasi kontekstual manusia dengan alam dalam komunitas ekologis yang dimaksud. Maka sebagai perwujudan nyata dari sikap hormat tersebut, manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan memelihara alam beserta seluruh isinya. Secara negatif itu berarti, manusia tidak boleh merusak dan menghancurkan alam beserta seluruh isinya, tanpa alasan yang bisa dibenarkan secara moral.[14]

Manusia harus melakukan penanaman moral atau etika dalam dirinya karena dengan memiliki etika yang baik terhadap lingkungan akan menumbuhkan partisipasi dalam pemeliharaan lingkungan di mana pun berada. Dari analisis uraian tersebut dapat diduga bahwa terdapat hubungan positif antara etika lingkungan dengan partisipasi dalam pelestarian lingkungan.

Penerapan[sunting | sunting sumber]

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan etika lingkungan sebagai berikut:[15]

a. Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehingga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri.

b. Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk menjaga terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam.

c. Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan energi.

d. Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk hidup yang lain.

Di samping itu, etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan.

Sikap ramah terhadap lingkungan hidup harus bisa menjadi sesuatu kebiasaan yang dilakukan oleh setiap manusia dalam menjalankan kehidupan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.[15]

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membudayakan sikap tersebut antara lain:

  • Lingkungan Keluarga. Salah satu tempat yang sangat efektif menanamkan nilai-nilai etika adalah lingkungan keluarga. Hal itu dapat dilakukan dengan cara seperti menanam pohon dan memelihara bunga di pekarangan rumah. Setiap orang tua memberi tanggung jawab kepada anak-anak secara rutin untuk merawatnya dengan menyiram dan memberi pupuk. Anak-anak juga dibiasakan untuk membuang sampah pada tempatnya. Secara bergantian, setiap anggota keluarga mempunyai kebiasaan untuk menjaga kebersihan dan merasa malu jika membuang sampah sembarang tempat. Orang tua juga dapat memberikan tanggung jawab kepada anggota keluarga untuk menyapu rumah dan pekarangan rumah secara rutin.
  • Lingkungan Sekolah. Kesadaran mengenai etika lingkungan hidup dapat dilakukan di lingkungan sekolah dengan memberikan pelajaran mengenai lingkungan hidup dan etika lingkungan, melalui kegiatan ekstrakurikuler sebagai wujud kegiatan yang konkret dengan mengarahkan pada pembentukan sikap yang berwawasan lingkungan seperti pembahasan atau diskusi mengenai isu lingkungan hidup, pengelolaan sampah, penanaman pohon, penyuluhan kepada siswa, dan kegiatan piket serta jumat bersih.
  • Lingkungan Masyarakat. Pada lingkungan masyarakat , kebiasaan yang berdasarkan pada etika lingkungan dapat diterapkan dengan cara membuang sampah secara berkala ke tempat pembuangan sampah, kesiapan untuk memisahkan antara sampah organik dan sampah nonorganik, melakukan kegiatan gotong - royong atau kerja bakti secara berkala dilingkungan tempat tinggal, menggunakan kembali dan mendaur ulang bahan-bahan yang masih diperbaharui.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Marfai, Muh Aris. (2019). Pengantar Etika Lingkungan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 4. ISBN 978-979-420-789-5. 
  2. ^ Marfai, Muh Aris. (2005). Moralitas Lingkungan, Refleksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kreasi Wacana dan Wahana Hijau. 
  3. ^ Sukmawan, Sony dan, Nurmansyarh, M. Andhy. (2012). "Etika Lingkungan dalam Folklor Masyarakat Desa Tengger". 
  4. ^ Taneja, N. dan Gupta, K. 2015. Environmental Ethics and Education- A Necessity to Inculcate Environment Oriented Cognizance. International Advanced Research Journal in Science, Engineering and Technology (IARJSET), National Conference on Renewable Energy and Environment (NCREE-2015). 2(1), 398-400.
  5. ^ Sukmawati, Utaya, S. Susilo, S. 2015. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dalam Pelestarian Hutan Sebagai Sumber Belajar Geografi. Jurnal Pendidikan Humaniora. 3(3), 202-208.
  6. ^ Bakker, A. (1995). Kosmologi & Ekologi, Fikafat tentang kosmos sebagai rumah tangga manusia. Yogyakarta: Kanisius. 
  7. ^ Sumartana. (1994). Ekonomi, Ekologi dan Etika: Seminar Krisis Ekologi. Yogyakarta: GMKI. 
  8. ^ Tanjung, S. D. (1994). Ekologi, Lingkungan dan Sumber daya: Seminar Krisis Ekologi. Yogyakarta: GMKI. 
  9. ^ dindaq (2014). "Etika Lingkungan Hidup". Materi Etika Lingkungan Hidup-Dindaq. Diakses tanggal 27 Oktober 2019. 
  10. ^ a b Keraf, A. Sonny (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. hlm. 167. 
  11. ^ Barus, Elvina. 2016. Etika Lingkungan.
  12. ^ Sulistiono, Rovi (2013). "Etika Lingkungan". Etika Lingkungan. Diakses tanggal 27 Oktober 2019. 
  13. ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  14. ^ a b Ariwidodo, Eko (2014). "Relevansi Pengetahuan Masyarakat tentang Lingkungan dan Etika Lingkungan dengan Parsipasinya dalam Pelestarian Lingkungan". Nuansa. 11 (1): 6. 
  15. ^ a b Barus, Elvina (2015). "Etika Lingkungan". Makalah Etika Lingkungan. Diakses tanggal 27 Oktober 2019.