Empat Ciri Gereja

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Empat Tanda Gereja)

Empat Ciri Gereja adalah istilah yang terdiri dari empat kata sifat yang menggambarkan Gereja Katolik (Timur maupun Barat) seperti yang didirikan oleh Yesus Kristus. Keempat ciri ini diterima oleh beberapa denominasi Kristen dengan dimasukkannya mereka ke dalam kredo-kredo. Ciri-ciri ini sering kali diurutkan sebagai berikut:

  1. satu,
  2. kudus,
  3. Katolik, dan
  4. apostolik.

Keempatnya merujuk pada empat aspek yang sangat hakiki dari Gereja sejati: persatuan, kesucian, keuniversalan dan kerasulan.

Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan dalam kredo. Ada dua rumusan kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek disebut Syahadat Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para rasul.Yang panjang disebut Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili Nikea (325) yang menekankan keilahian Yesus. Dikemudian hari lazim disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan dengan Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus yang harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera.Syahadat inilah yang lebih banyak digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik.

Di dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan ke empat sifat atau ciri Gereja Katolik: satu, kudus, Katolik dan apostolik. Gereja percaya akan kehendak Allah, sebagaimana tertulis dalam kitab suci, bahwa orang-orang beriman kepada Kristus hendaknya berhimpun menjadi Umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12). Gereja Katolik percaya bahwa kesatuan itu menjadi begitu kokoh dan kuat karena secara historis bertolak dari penetapan Petrus sebagai penerima kunci Kerajaan Surga. Setelah Petrus menyatakan pengakuannya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, maka Yesuspun menyatakan akan mendirikan jemaat-Nya di atas batu karang yang alam maut tidak akan menguasainya (Mt 16:16-19).

Demikianlah Petrus ditugaskan untuk menggembalakan domba-domba dengan cinta sehingga St. Ignatius dari Antiokia menyebut Gereja Roma sebagai “pemimpin cinta kasih”. Memang secara historis juga menjadi bagian dari kepercayaan bahwa para Paus merupakan pengganti Petrus (Paus yang pertama), yang memimpin Gereja bersama semua Uskup seluruh dunia secara kolegial disebut sebagai successio apostolica. Konsili Vatikan II menegaskan corak kolegial tugas penggembalaan ini yang bertanggungjawab bagi pelakasanaan tugas-tugas Gereja: memimpin/melayani, mengajar, dan menguduskan. Akhir-akhir ini dialog ekumenis dengan Gereja-Gereja Angklikan, Ortodoks, dan Protestan menunjukkan semakin dirasakannya kebutuhan membangun kesatuan dalam penghayatan iman dan kerjasama sebagai murid-murid Kristus.

Ciri yang kedua dari Gereja adalah kekudusannya, Gereja itu kudus. Gereja Katolik meyakini diri kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi lebih-lebih karena dipanggil kepada kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempurna sebagaimana Bapamu di surga sempurna adanya.” (Mat 5:48) Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud terutama bukan dalam arti moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya tingkah laku melainkan hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu lebih penting, sebagaimana dinyatakan, “kamu telah memperoleh urapan dari Yang Kudus, (1Yoh 2:20) yakni dari Roh Allah sendiri. (bdk. Kis 10:38) Diharapkan dari diri seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan seperti itu juga menanggapinya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral.

Ciri yang ketiga dari Gereja adalah Katolik (dari kata Latin: catholicus yang berarti universal atau umum). Nama yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M. pada masa St. Ignatius dari Antiokia menjadi Uskup. Ciri ini juga sering berlaku untuk Gereja Angklikan dan Ortodoks. Ciri Katolik ini mengandung arti Gereja yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian dalam mengetrapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya Gereja Katolik itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara Katolik di seluruh dunia di mana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama di manpun berada. Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik. Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti keKatolikan itu: “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena memperoleh warganya dari segala bangsa. Gereja nemajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja yang Katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum seganap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).

Ciri yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup. Dengan demikian juga menjadi jelas mengapa Gereja Katolik tidak hanya mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan eksistensinya pada Kitabsuci melainkan juga kepada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja sepanjang masa.

Yang disebut Tradisi Suci adalah pengajaran yang bersumber pada ajaran lisan sejak zaman Yesus dan para Rasul. Antara keduanya, Tradisi Suci dan Kitabsuci, tidak ada perbedaannya bahkan saling melengkapi karena berasal dari sumber yang sama. Ini juga sesuai dengan yang tertulis pada Injil Yohanes, “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu” (Yoh 21:25). Sedangkan Magisterium Gereja artinya adalah wewenang yang dimiliki sebagai warisan oleh Gereja untuk mengajar dan menafsirkan Kitabsuci.

Sebagaimana diketahui bahwa tak semua ayat pada Kitabsuci mudah untuk dimengerti maka Gereja adalah pihak yang berwewenang untuk menafsirkannya agar umatnya tidak tersesat (bdk. Kis 8:30-31). Wewenang Gereja mengajar juga adalah warisan sebagaimana Kristus telah menyerahkan-Nya kepada Petrus dan para Rasul untuk mengajar atas nama-Nya (bdk. Mt. 16:13-20; Luk 10:16). Dalam praktiknya Gereja selalu dengan saksama menyelenggarakan pengajaran iman atau penafsiran Kitabsuci itu dengan tenaga pengajar yang qualified dan menggunakan buku-buku resmi yang dicetak seizin Uskup (imprimatur) dan sudah dinyatakan isinya tanpa sesat (nihil obstat).

Demikianlah Gereja Katolik dalam meneruskan amanat yang diterima oleh Petrus, karena ia mencintai Kristus maka Kristus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17).

Baca juga[sunting | sunting sumber]

  1. Perumpamaan pohon ara yang tidak berbuah
  2. Refleksi Ad Maiorem Dei Gloriam