Ekspansi hominini awal keluar Afrika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam paleoantropologi, hominini melakukan beberapa ekspansi awal keluar dari Afrika (yang dikenal sebagai Keluar dari Afrika I) dan menuju ke Eurasia antara 1.8 juta hingga 500,000 tahun yang lalu.[1]

Tidak lama sebelumnya, di Afrika, Homo erectus telah turun dari hutan- pembatasan dengan Homo habilis dan beradaptasi dengan lapangan terbuka dari sabana dan lanskap gersang. Hominid pra-modern ini keluar Afrika dalam setidaknya tiga gelombang. Produsen primitif yang menggunakan alat kerikil untuk memotong (chopper) keluar Afrika pada c. 1.8 Ma, yang diikuti oleh industri Acheulean awal pada c. 1.4 Ma, dan berbagai kelompok Acheulean yang memproduksi golok pemotong pada sekitar 0.8 Ma.[2]

Menurut hipotesis asal-usul manusia moderen dari Afrika baru-baru ini (Out of Africa II), manusia moderen anatomis mulai bergerak ke Eurasia dan menggantikan manusia-manusia sebelumnya, c. 100,000 tahun yang lalu.[3] Ungkapan 'keluar dari Afrika' (out of Africa) yang digunakan sendirian, umumnya mengacu pada keluar dari Afrika II, yakni perluasan manusia modern ke Eurasia.[4][5]

Hingga awal tahun 1980an, hominid diduga hanya terbatas pada benua Afrika di Awal Pleistosen, atau sampai sekitar 0.8 Ma;[3] sehingga, upaya awal arkeologi difokuskan secara tidak proporsional pada (Timur) Afrika saja. Lebih lanjut, hominin yang bermigrasi keluar dari Afrika Timur kemungkinan jarang terjadi di Awal Pleistosen, meninggalkan sebuah catatan tentang peristiwa-peristiwa yang telah rusak dalam ruang dan waktu.[6] Secara umum, bukti arkeologis secara sederhana tidak sesuai dengan teori-teori dimana migrasi berlangsung, dan bukti-bukti tersebut tidak cukup untuk mendukung dugaan yang rumit.[7]

Situs[sunting | sunting sumber]

Situs hominini yang tertua ialah di Afrika Timur. Alat-alat yang digunakan hominini yang diketahui paling awal ditemukan di Lomekwi, Kenya, yang berusia 3.3 Ma, yakni pada masa akhir Pliosen. Alat-alat tersebut mungkin produk dari Australopithecus garhi atau Paranthropus aethiopicus, dua hominid yang dikenal kontemporer dengan alat-alat.[8]

Homo habilis adalah anggota pertama dari garis Homo dan dapat merupakan keturunan dari Australopithecus sedini 2.3 Ma; hal itu pertama kali dibuktikan di Danau Turkana, Kenya. Homo erectus tampaknya muncul kemudian, sisa-sisa yang paling tua dapat ditelusuri hingga ke c. 1.9 – 1.6 Ma di Koobi Fora, Kenya.[9] Dua spesies tersebut dapat hidup dengan saling berhadapan/bertemu di Afrika Timur selama hampir setengah juta tahun.[10]

Tepat sebelum Homo habilis menghilang (c. 1.4 Ma), Homo erectus telah melakukan perjalanan ke Eurasia. Situs paling awal di Eurasia ditemukan di Dmanisi, Georgia, yang menandakan 1.81 Ma.[11] Sebuah tengkorak yang ditemukan di Dmanisi merupakan bukti untuk mengetahui lama waktu mereka. Tengkorak tersebut menunjukkan bahwa Homo erectus tersebut memiliki usia lanjut dan telah kehilangan semua giginya, kecuali satu gigi, bertahun-tahun sebelum kematiannya, dan kemungkinannya hominid ini tidak bertahan sendirian. Hal tersebut masih belum meyakinkan, tetapi hal tersebut merupakan sebuah bukti yang cukup untuk merawat – simpanse di reservasi Gombe yang lumpuh sebagian dapat bertahan selama bertahun-tahun tanpa bantuan.[12]

Situs Awal Pleistosen di Afrika Utara, pertengahan geografis dari Afrika Timur dan Georgia, kurang memiliki konteks stratigrafis. Usia yang paling awal ialah Ain Hanech di utara Aljazair (c. 1.8[13] – 1.2 Ma[14]), suatu lapisan kelas Oldowan. Situs ini membuktikan bahwa hominid awal telah melintasi traktat Afrika Utara, yang biasanya panas dan kering.[6]:2 Hominid adalah bagian dari bioma Afrika Timur, dan fluks dalam iklim dapat secara singkat memperluas lingkungan mereka, memberikan mereka kesempatan untuk bergerak ke utara.

Terdapat sedikit waktu yang jelas mengenai kedatangan Homo erectus di Kaukasus Selatan sekitar 1.81 Ma, dan kemungkinan kedatangan mereka pula di Asia Timur dan Asia Tenggara. Terdapat bukti hominid di Yuanmou, Cina, pada 1.7 Ma dan di Sangiran, Jawa, Indonesia, dari 1.66 Ma.[15] Hominid sepertinya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pindah ke Eropa, situs paling tua di Eropa yakni Barranco León di sebelah tenggara Spanyol pada 1.4 Ma,[16] dan situs kontroversial Pirro Nord di Italia Selatan, yang diduga dari 1.7 – 1.3 Ma.[17]

Dalam kasus apapun, pada 1 Ma, hominid telah hidup di Dunia Lama (Old World). Hal ini sulit untuk dikatakan mengenai, apakah pemukiman berlanjut ke sebelah barat Eropa, ataukah jika gelombang berturut-turut tersebut juga menghuni wilayah pada saat terjadinya selingan glasial. Alat Acheulean awal di Ubeidiya dari 1.4 Ma[18] merupakan beberapa bukti pemukiman berkelanjutan di Barat, seperti gelombang berturut-turut keluar dari Afrika, kemudian setelah itu kemungkinan membawa teknologi Acheulean ke bagian barat Eropa.[butuh rujukan]

Rute keluar Afrika[sunting | sunting sumber]

Semenanjung Sinai[sunting | sunting sumber]

Semenanjung Sinai adalah rute keluar Afrika yang paling sederhana, sudah ada sejak Pliosen merupakan satu-satunya jembatan tanah antara dua benua dari Dunia Lama. Kecuali apabila ada suatu pendapat[butuh rujukan]yang menyatakan bahwa terdapat kapal-kapal yang dapat mengangkut Homo erectus, rute ini pasti merupakan satu-satunya jalan keluar. Namun demikian, rute ini sulit untuk diakses sampai ke masa Pleistosen Tengah. Sungai Nil merupakan sungai yang jauh lebih kecil dan mengikuti jalur yang berbeda.

Terdapat dua jalur masuk ke Eurasia yang mengambil keuntungan dari Sinai. Pertama, koridor Levant, yang bergerak ke utara di sepanjang Mediterania Timur. Kedua, menyusuri tepi timur Laut Merah. Upaya arkeologi di jazirah Arab terbatas, dan perhatian biasanya diberikan pada koridor Levant.

Bab-el-Mandeb[sunting | sunting sumber]

Bab-el-Mandeb ialah selat selebar 30 km antara Afrika Timur dan Jazirah Arab, dengan sebuah pulau kecil, Perim, 3 km dari ujung wilayah perairan Arab (Arab bank). Selat ini memiliki daya tarik utama dalam studi ekspansi ke Eurasia yang membawa Afrika Timur berdekatan langsung dengan Eurasia. Tidak memerlukan lompatan dari satu wilayah perairan ke daratan di depannya dengan melintasi gurun Afrika Utara.[butuh rujukan]

Tanah penghubung dengan wilayah Arab menghilang pada masa Pliosen,[19] dan meskipun tanah penghubung itu mungkin mengalami reformasi,[20] penguapan Laut Merah dan terkait peningkatan salinitas Laut Merah dapat menghilangkan catatan fosil setelah 200 tahun dan penguapan catatan fosil tersebut setelah 600 tahun, sebelum dapat dideteksi.[21] Arus kuat yang mengalir dari Laut Merah ke Samudra Hindia menyebabkan penyeberangan sulit dilakukan tanpa melalui tanah penghubung.

Alat kelas Oldowan dilaporkan dari pulau Perim,[22] menyiratkan bahwa selat bisa saja diseberangi di Awal Pleistosen, tetapi pendapat tersebut belum dapat dikonfirmasi.[23]

Selat Gibraltar[sunting | sunting sumber]

Selat Gibraltar adalah pintu masuk Atlantik ke Mediterania, dimana ujung perairan Spanyol dan Maroko hanya terpisah sejauh 14 km. Penurunan permukaan air laut pada masa Pleistosen karena periode glasial tidak dapat membawa penurunan hingga kurang dari 10 km. Arus dalam mendorong ke arah barat, sedangkan permukaan air mengalir secara kuat kembali ke Mediterania. Arus seperti itu kemungkinan akan menghilangkan perenang atau rakit yang tidak memiliki kendali.[butuh rujukan]

Jalur masuk ke Eurasia melintasi selat Gibraltar dapat menjelaskan hominini tetap tinggal di Barranco León di Spanyol tenggara (1.4 Ma)[16] dan Sima del Elefante di Spanyol utara (1.2 Ma).[24][25] Namun situs Pirro Nord di Italia selatan, yang diduga dari 1.3 – 1.7 Ma,[17] menunjukkan sebuah kemungkinan kedatangan dari Timur, meski resolusi itu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.

Selat Sisilia[sunting | sunting sumber]

Selat Sisilia modern memisahkan Tunisia dan Sisilia sejauh 145 km, tetapi selat ini dangkal dan dapat menjadi jauh lebih sempit di zaman es. Pemahaman yang sangat buruk dimiliki mengenai lempeng tektonik yang memuat daerah ini, untuk bagian yang lebih besar dari masa Pleistosen. Namun, sementara lempeng tektonik dapat membuat selat menjadi lebih sempit dari yang diperkirakan dengan hanya melalui penurunan permukaan air laut saja, kontras dengan fauna Pleistosen, sangat kuat pendapat yang membantah mengenai jembatan tanah yang ada.[6]:3 Karena selat ini hanya berjarak 400 km dari Afrika Utara, situs hominin Ain Hanech di Aljazair (1.8 Ma[13] atau 1.2 Ma[14]), tetap masuk akal bahwa selat Sisilia ini merupakan rute untuk ekspansi Awal Pleistosen ke Eurasia. Namun lebih dekat pada tidak ada bukti untuk jalan lintasan hominini di bagian ini. Alimen mendasarkan sebagian besar argumennya[26] mendukung migrasi yang seperti itu pada penemuan Bianchini[27] yang berupa alat-alat kelas Oldowan yang ditemukan di Sisilia. Penentuan tanggal secara radiometris, tetapi demikian, belum diproduksi, dan artefak yang ditemukan kemungkinan juga berasal dari masa Tengah Pleistosen.[28]

Melintasi selat[sunting | sunting sumber]

Adanya sisa-sisa hominini di kepulauan Indonesia merupakan bukti yang sangat baik mengenai pelayaran Homo erectus akhir pada Awal Pleistosen. Bednarik mengusulkan bahwa navigasi telah muncul pada 1 Ma, sehingga memungkinkan untuk mengeksploitasi ikan/memancing lepas pantai.[29] Bednarik telah memproduksi ulang balon rakit primitif untuk menunjukkan kelayakan melintasi Selat Lombok menggunakan perangkat tersebut, yang ia percayai telah dilakukan sebelum 850 ka. Lebar selat bertahan pada minimal 20 km untuk keseluruhan masa Pleistosen. Pencapaian seperti itu oleh Homo erectus di Awal Pleistosen memberikan beberapa dukungan pada rute air yang disarankan untuk keluar Afrika, seperti Gibraltar, Sisilia, dan Bab-el-Mandeb menjadi lebih sulit dipertimbangkan jika kapal tersebut dianggap melebihi kapasitas Homo erectus.

Tidak mungkin bahwa hominid yang menghuni Eurasia mendapatkan beberapa hominid yang melintasi selat (seperti keluarga Homo erectus yang hanyut dalam puing-puing banjir dan mendarat di ujung wilayah perairan Eurasia). Terdapat kendala biologis untuk ukuran minimum populasi yang harus dijaga untuk menghindari kepunahan. Hal itu digunakan untuk menyatakan bahwa, jika kurang dari 50 hominid dalam sekali waktu yang melakukan perpindahan ke Eurasia dan kehilangan kontak dengan hominid Afrika, jumlah populasi akan cenderung mengalami pusaran kepunahan, sebagian karena terjadinya perkawinan sedarah.[30]

Penyebab bubarnya hominini[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim dan fleksibilitas hominin[sunting | sunting sumber]

Untuk spesies tertentu yang hidup dalam suatu lingkungan, sumber daya yang tersedia akan membatasi jumlah individu yang dapat bertahan hidup tanpa batas. Hal ini yang disebut dengan carrying capacity atau kapasitas yang dapat menampung. Setelah mencapai ambang batas tersebut, individu mungkin lebih mudah mengumpulkan sumber daya dalam lingkungan yang miskin, tetapi pada perifer yang kurang tereksploitasi, dibandingkan dalam habitat yang lebih disukai. Homo habilis dapat mengembangkan beberapa fleksibilitas perilaku dasar sebelum ekspansi mereka ke dalam lingkaran yang sebenarnya (seperti melanggar ke wilayah predator[31][32]). Fleksibilitas itu dapat kemudian secara positif terpilih dan terkuatkan, yang mengarah menuju adaptasi Homo erectus ke perifer habitat terbuka.[33] Populasi hominini baru dan fleksibel terhadap lingkungan dapat kembali ke tempat hidup/niche mereka yang lama dan menggantikan populasi leluhur mereka.[34] Selain itu, beberapa penyusutan hutan dan terkait berkurangnya kapasitas yang dapat menampung hominini di hutan sekitar 1.8 Ma, 1.2 Ma, dan 0.6 Ma dapat menekan terjadinya tekanan untuk beradaptasi dengan lahan terbuka.[35][36]

Dengan fleksibilitas yang baru terhadap lingkungan pada Homo erectus, fluks iklim yang lebih disukai rupanya membuka jalan bagi mereka ke koridor Levant, barangkali secara sporadis, pada Pleistosen awal.[6]

Mengejar hewan[sunting | sunting sumber]

Analisis bebatuan (Lithic analysis) menyiratkan bahwa hominid Oldowan bukan merupakan predator.[37] Namun, Homo erectus diketahui mengikuti migrasi hewan ke utara selama periode yang lebih basah, mungkin sebagai sumber memilah makanan. Kucing Megantereon bergigi pedang (sabre-tooth) adalah puncak predator dari Pleistosen awal dan tengah (sebelum periode MIS/marine isotope stage 12). Kucing tersebut punah di Afrika pada c. 1.5 Ma,[38] tetapi sudah pindah keluar melalui Sinai, dan merupakan salah satu fauna yang tersisa dari situs hominini Levant di Ubeidiya, c. 1.4 Ma. Kucing tersebut tidak bisa mematahkan tulang sumsum dan kemungkinan besar membunuh sumber makanan yang penting bagi hominid,[39] terutama di periode glasial.[40]

Pada masa yang lebih dingin dari Eurasia, makanan hominini harus utamanya berbahan dasar daging dan pemburu Acheulean harus berkompetisi dengan kucing.[butuh rujukan]

Berkembang penyakit zoonosis[sunting | sunting sumber]

Bar-Yosef dan Cohen[2] berpendapat bahwa keberhasilan hominid di Eurasia setelah keluar dari Afrika, sebagian disebabkan karena tidak adanya penyakit zoonosis di luar habitat asli mereka. Penyakit zoonosis merupakan penyakit-penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Sementara penyakit yang spesifik untuk hominid dapat menjaga tubuh hominid tersebut hidup cukup lama sebelum penyakit itu ditularkan kepada individu lain, penyakit zoonosis tidak selalu seperti itu karena penyakit zoonosis dapat menyelesaikan siklus hidup mereka tanpa manusia. Namun demikian, infeksi penyakit zoonosis terbiasa dengan kehadiran manusia, dan telah berkembang bersama mereka. Semakin tinggi kepadatan populasi kera Afrika, semakin baik penyebaran penyakit. 55% simpanse di pusat reservasi Gombe mati karena penyakit, yang hampir semua penyakit tersebut merupakan penyakit zoonosis.[41] Sebagian besar penyakit-penyakit itu masih terbatas pada lingkungan Afrika yang panas dan lembap. Setelah hominid berpindah ke habitat yang lebih kering dan lebih dingin di lintang bumi yang lebih tinggi, salah satu faktor pembatas utama pertumbuhan populasi itu dapat dihilangkan.

Biologi hominini[sunting | sunting sumber]

Homo habilis memiliki dua kaki, lengannya yang panjang adalah indikasi dari adaptasi arboreal.[42] Sementara Homo erectus memiliki kaki yang lebih panjang dan lengan yang lebih pendek, yang menunjukkan transisi dalam kewajiban adaptasi hidup pada lingkungan tertentu, meskipun masih belum jelas bagaimana perubahan pada panjang kaki relatif itu mungkin merupakan suatu keuntungan.[43] Ukuran tubuh, di sisi lain, menyebabkan aktivitas berjalan menjadi lebih baik baik dari segi efisiensi energi dan daya tahan.[44] Homo erectus yang lebih besar juga mengalami dehidrasi secara lebih lambat dan dengan demikian dapat menempuh jarak yang lebih jauh sebelum menghadapi keterbatasan termoregulasi.[45] Kemampuan untuk berjalan dalam jarak yang jauh pada kecepatan normal menjadi faktor yang menentukan keefektifan pendudukan Homo erectus di Eurasia.[46]

Termoregulasi otak[sunting | sunting sumber]

Termoregulasi dan dehidrasi adalah masalah utama yang perlu ditangani saat berpindah ke padang rumput terbuka. Secara khusus, angiogenesis atau vaskularisasi otak sangat penting dalam menjaga agar termoregulasi dan dehidrasi dapat terjadi dalam kerangka yang sempit, pada suhu yang dapat ditoleransi.

Tulang tempurung kepala yang lebih besar tumbuh sebagai respon perluasan massa otak, sedemikian rupa sehingga jaringan otak dan pembuluh darah mencetak bagian dalam otak. Cetakan bagian dalam (endocranial cast) fosil tengkorak memungkinkan mendekati proses pembentukan vaskuler otak.[47] Dean Falk melihat bahwa saluran besar tunggal yang mengangkut fluida, sinus oksipital marjinal (occipital marginal sinus), bertanggung jawab untuk mengairi sebagian besar otak pada australophecine awal (Australopithecus afarensis, Paranthropus robustus dan Paranthropus boisei).[48] Saluran tersebut tumbuh menjadi lebih kecil seiring waktu, untuk secara bertahap digantikan oleh jaringan pembuluh darah kecil pada hominid yang datang kemudian, dimulai dari Homo habilis dan berlanjut ke Eurasia. Ia menafsirkan perubahan tersebut sebagai adaptasi untuk mendinginkan otak,[49] sebagaimana yang ia gunakan untuk mengembangkan teorinya, "teori radiator", untuk mempercepat ensefalisasi dari Homo habilis dan hominini yang datang setelahnya.[50] Menurut Falk, bipedalisme, yang mendahului otak besar, membutuhkan susunan pembuluh darah otak menuju jaringan irigasi yang memerlukan bantuan gravitasi, sehingga memungkinkan pendinginan yang dibutuhkan untuk ensefalisasi.

Cetakan bagian dalam otak (endocranial cast) dari Homo habilis dan Homo erectus berbeda dalam organisasi lobus frontal, khususnya pada bagian korteks prefrontal, dimana fungsi mental kesadaran yang lebih tinggi dan abstraksi terjadi.[51] Dengan sendirinya, kapasitas mental memiliki kemungkinan memainkan peran dalam keberhasilan pendudukan di Eurasia. Kompleksitas sosial yang lebih besar dapat pula terbentuk,[52] predasi dan berbagi mangsa,[53] dan secara keseluruhan kualitas makanan/diet yang lebih baik.[54] Jika mempercayai Bednarik dan perjalanan laut Homo erectus Indonesia, maka otak mereka harus berperan dalam perencanaan melintasi wilayah perairan.

Menurut Wheeler,[55] hilangnya fungsional rambut tubuh dapat membantu mencegah hipertermia, karena rambut dapat menghambat aliran udara di kulit dan membatasi pendinginan melalui penguapan. Lebih lanjut ia mengusulkan bahwa pendinginan tubuh karena kehilangan rambut tubuh telah melenyapkan kendala termal pada ukuran otak (namun dalam menanggapi hipotesis radiator yang diajukan Falk, Ralph Holloway menyatakan bahwa tidak ada bukti untuk kendala temperatur pada ukuran otak[56]). Meski demikian, perbedaan rambut tubuh antara Homo habilis dan Homo erectus mustahil untuk dilakukan pengujian, dan akan tetap tidak jelas apakah hilangnya rambut tubuh pada hominini tersebut merupakan bentuk adaptasi atau preadaptasi di Eurasia.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Dennell, Robin (2010), "'Out of Africa I': Current Problems and Future Prospects", dalam John G. Fleagle et al. (eds), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia, Vertebrate Paleobiology and Paleoanthropology Series, Dordrecht: Springer, hlm. 247–74, doi:10.1007/978-90-481-9036-2_15, ISBN 978-90-481-9035-5. ISBN 978-90-481-9036-2 (online). CS1 maint: Extra text: editors list (link)
  2. ^ a b Bar-Yosef, O.; Belfer-Cohen, A. (2001). "From Africa to Eurasia — early dispersals". Quaternary International. 75 (1): 19–28. doi:10.1016/S1040-6182(00)00074-4. 
  3. ^ a b Zimmer, Carl (September 21, 2016). "How We Got Here: DNA Points to a Single Migration From Africa". New York Times. Diakses tanggal September 22, 2016. 
  4. ^ Hurtley, Stella; Szuromi, Phil (2005). "Out of Africa Revisited". 308 (5724): 922. doi:10.1126/science.308.5724.921g. 
  5. ^ Templeton, A.R. (2016). "Chapter 5 -- World Dispersals and Genetic Diversity of Mankind: The Out-of-Africa Theory and Its Challenges". Dalam Michel Tibayrenc; Francisco J. Ayala. On Human Nature. hlm. 65–83. ISBN 9780124201903. 
  6. ^ a b c d Lahr, M. M. (2010). "Saharan Corridors and Their Role in the Evolutionary Geography of 'Out of Africa I'". Dalam Baden, A.; et al. Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia. Springer Netherlands. hlm. 27–46. ISBN 978-90-481-9035-5. CS1 maint: Explicit use of et al. (link)
  7. ^ Straus, L. G.; Bar-Yosef, O. (2001). "Out of Africa in the Pleistocene: an introduction". Quaternary International. 75 (1): 2–4. 
  8. ^ Semaw, S. (2000). “The World’s Oldest Stone Artefacts from Gona, Ethiopia: Their Implications for Understanding Stone Technology and Patterns of Human Evolution Between 2·6–1·5 Million Years Ago”. Journal of Archaeological Science, 27(12), 1197–1214. doi:10.1006/jasc.1999.0592
  9. ^ Van Arsdale, A. P. (2013) “Homo erectus - A Bigger, Smarter, Faster Hominin Lineage”. Nature Education Knowledge, 4(1):2.
  10. ^ Spoor, F., Leakey, M. G., Gathogo, P. N., Brown, F. H., Antón, S. C., McDougall, I., … Leakey, L. N. (2007). “Implications of new early Homo fossils from Ileret, east of Lake Turkana, Kenya”. Nature, 448(7154), 688–91. doi:10.1038/nature05986
  11. ^ Garcia, T., Féraud, G., Falguères, C., de Lumley, H., Perrenoud, C., & Lordkipanidze, D. (2010). “Earliest human remains in Eurasia: New 40Ar/39Ar dating of the Dmanisi hominid-bearing levels, Georgia”. Quaternary Geochronology, 5(4), 443–451. doi:10.1016/j.quageo.2009.09.012
  12. ^ Bauer, H. R. (1977). “Chimpanzee Bipedal Locomotion in the Gombe National Park, East Africa”. Primates, 18, 913–921.
  13. ^ a b Sahnouni, M., Hadjois, D., van der Made, J., Derradji, A. Canals, A., Medig, M., Belahrech, H., Harichane, Z., and Rabhi, M. (2002). "Further research at the Oldowan site of Ain Hanech, North-eastern Algeria." Journal of Human Evolution 43(6): 925-937.
  14. ^ a b Geraads, D., Raynal, J.-P., Eisenmann, V. (2004). The earliest occupation of North Africa: a reply to Sahnouni et al.(2002). Journal of Human Evolution 46, 751–761.
  15. ^ Rightmire, G. P. (2001). Patterns of hominid evolution and dispersal in the Middle Pleistocene. Quaternary International, 75(1), 77–84. doi:10.1016/S1040-6182(00)00079-3
  16. ^ a b Toro-Moyano, I., Martínez-Navarro, B., Agustí, J., Souday, C., Bermúdez de Castro, J. M., Martinón-Torres, M., … Palmqvist, P. (2013). “The oldest human fossil in Europe, from Orce (Spain)”. Journal of human evolution, 65(1), 1–9. doi:10.1016/j.jhevol.2013.01.012
  17. ^ a b Arzarello, M., Marcolini, F., Pavia, G., Pavia, M., Petronio, C., Petrucci, M., … Sardella, R. (2007). “Evidence of earliest human occurrence in Europe: the site of Pirro Nord (Southern Italy)”. Die Naturwissenschaften, 94(2), 107–12. doi:10.1007/s00114-006-0173-3
  18. ^ Martínez-Navarro, B., Belmaker, M., & Bar-Yosef, O. (2009). “The large carnivores from ’Ubeidiya (early Pleistocene, Israel): biochronological and biogeographical implications”. Journal of human evolution, 56(5), 514–24. doi:10.1016/j.jhevol.2009.02.004
  19. ^ Redfield, T. F., Wheeler, W. H., & Often, M. (2003). "A kinematic model for the development of the Afar depression and its paleogeographic implications". Earth and Planetary Science Letters, 216, 383–398.
  20. ^ Haq, B. U., Hardenbol, J., & Vail, P. R. (1987). "Chronology of fluctuating sea levels since the Triassic". Science, 235(4793), 1156–67. doi:10.1126/science.235.4793.1156
  21. ^ Fernandes, C. a., Rohling, E. J., & Siddall, M. (2006). "Absence of post-Miocene Red Sea land bridges: biogeographic implications". Journal of Biogeography, 33(6), 961–966. doi:10.1111/j.1365-2699.2006.01478.x
  22. ^ Chauhan, P. R. (2009). "Early Homo Occupation Near the Gate of Tears: Examining the Paleoanthropological Records of Djibouti and Yemen", in: E. Hover and D.R. Braun (Eds.) Interdisciplinary Approaches to the Oldowan, Springer Netherlands, 49–59. doi:10.1007/978-1-4020-9059-2
  23. ^ Groucutt, H. S., & Petraglia, M. D. (2012). "The prehistory of the Arabian peninsula: deserts, dispersals, and demography". Evolutionary anthropology, 21(3), 113–25. doi:10.1002/evan.21308
  24. ^ Carbonell, E., J. M. Bermudez de Castro, J. L. A., Allue, E., Bastir, M., Benito, A., Caceres, I., … Verges, J. M. (2005). “An Early Pleistocene hominin mandible from Atapuerca-TD6, Spain”. Proceedings of the National Academy of Sciences, 102(16), 5674–5678.
  25. ^ Carbonell, E., Bermúdez de Castro, J. M., Parés, J. M., Pérez-González, A., Cuenca-Bescós, G., Ollé, A., … Arsuaga, J. L. (2008). “The first hominin of Europe”. Nature, 452(7186), 465–9. doi:10.1038/nature06815
  26. ^ Alimen, H. (1975). "Les 'Isthmes' hispano-marocain et Sicilo-Tunisien aux temps Acheuléens". L'Anthropologie, 79, 399–436.
  27. ^ Bianchini, G. (1973). "Gli 'hacheraux' nei giacimenti paleolitici della Sicilia sud occidentale". Proceedings of the XV Scientific Meeting of the Italian Institute of Prehistory and Protohistory, 11–25 October 1972.
  28. ^ Villa, P. (2001). Early Italy and the colonization of Western Europe. Quaternary International, 75, 113–130.
  29. ^ Bednarik, R. G. (2001). “Replicating the first known sea travel by humans: the Lower Pleistocene crossing of Lombok Strait”. Journal of Human Evolution, 16(3), 229–242.
  30. ^ Traill, L. (2010). Minimum viable population size. Retrieved from http://www.eoearth.org/view/article/154633
  31. ^ Brantingham, P. J. (1998). "Hominid–Carnivore Coevolution and Invasion of the Predatory Guild". Journal of Anthropological Archaeology, 17(4), 327–353. doi:10.1006/jaar.1998.0326
  32. ^ Lewis, M. E., & Werdelin, L. (2007). "Patterns of change in the Plio-Pleistocene carnivorans of eastern Africa: Implications for hominin Evolution". In R. Bobe, Z. Alemseged, & A. K. Behrensmeyer (Eds.), Hominin environments in the East African Pliocene: An assessment of the faunal evidence. Springer, 77–106.
  33. ^ Marean, C. W. (1989). "Sabertooth cats and their relevance for early hominid diet and evolution". Journal of Human Evolution, 18(6), 559–58. doi:10.1016/0047-2484(89)90018-3
  34. ^ Eldredge, N. & Gould, S. J. (1997). "On Punctuated Equilibria". Science. 276(5311), 337–341. doi: 10.1126/science.276.5311.337c
  35. ^ Potts, R. "Evolution and climate variability" (1996), Science, 273, 922–923.
  36. ^ Cerling, T.E., Harris, J.M., MacFadden, B.J., Leakey, M.G., Quade, J., Eisenmann V., Erleringer, J.R. (1997). "Global vegetation change through the Miocene/Pliocene boundary", Nature, 389, 153–158.
  37. ^ Shipman, P. A. T. (1984). Hunting in Early Hominids: Theoretical Framework and Tests, 27–43.
  38. ^ Arribas, A., & Palmqvist, P. (1999). "On the Ecological Connection Between Sabre-tooths and Hominids: Faunal Dispersal Events in the Lower Pleistocene and a Review of the Evidence for the First Human Arrival in Europe". Journal of Archaeological Science, 26(5), 571–585. doi:10.1006/jasc.1998.0346
  39. ^ Lewis, M.E., Werdelin, L. (2010). "Carnivoran Dispersal Out of Africa During the Early Pleistocene: Relevance for Hominins?". In: A. Baden et al. (Eds.), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia. Springer Netherlands, pp. 13-26.
  40. ^ Turner, A. (1999). "Assessing earliest human settlement of Eurasia: Late Pliocene dispersions from Afric. Antiquity, 73, 563–570.
  41. ^ Goodall, J., (1986). The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, MA
  42. ^ Ruff, Christopher (2009-01-01). "Relative limb strength and locomotion in Homo habilis". American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). 138 (1): 90–100. doi:10.1002/ajpa.20907. ISSN 1096-8644. 
  43. ^ Steudel, Karen (1996-02-01). "Limb morphology, bipedal gait, and the energetics of hominid locomotion". American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). 99 (2): 345–355. doi:10.1002/(sici)1096-8644(199602)99:2%3C345::aid-ajpa9%3E3.0.co;2-x. ISSN 1096-8644. 
  44. ^ Steudel, Karen L. (1994-01-01). "Locomotor energetics and hominid evolution". Evolutionary Anthropology: Issues, News, and Reviews (dalam bahasa Inggris). 3 (2): 42–48. doi:10.1002/evan.1360030205. ISSN 1520-6505. 
  45. ^ Wheeler, P. E. (1992). "The thermoragulatory advantages of large body size for hominids foraging in Savannah environments". Journal of Human Evolution, 23(4), 351–362
  46. ^ Klein, R. G. (1999). The human career: Human biological and human origins, (2nd ed.). Chicago: Chicago University Press. 249-250
  47. ^ Bruner, E. (2003). "Fossil traces of the human thought: paleoneurology and the evolution of the genus Homo". Rivista di Antropologia [Journal of Anthropological Sciences], 81, 29–56
  48. ^ Falk, Dean (1986-07-01). "Evolution of cranial blood drainage in hominids: Enlarged occipital/marginal sinuses and emissary foramina". American Journal of Physical Anthropology (dalam bahasa Inggris). 70 (3): 311–324. doi:10.1002/ajpa.1330700306. ISSN 1096-8644. 
  49. ^ Falk, D. (1988). "Enlarged occipital/marginal sinuses and emissary foramina: Their significance in hominid evolution". In: The evolutionary history of the "robust" australopithecines (eds. F. Grine. Aldine)
  50. ^ Falk, Dean (1990/06). "Brain evolution in Homo: The "radiator" theory1". Behavioral and Brain Sciences. 13 (2): 333–344. doi:10.1017/s0140525x00078973. ISSN 1469-1825. 
  51. ^ Holloway, R. L., Sherwood, C. C., Hof, P. R., & Rilling, J. K. (2009). "Evolution of the Brain in Humans – Paleoneurology". In Encyclopedia of Neuroscience, 1326-1338
  52. ^ O'Connell J. F., Hawkes, K., & Jones, N. G. B. (1999). "Grandmothering and the evolution of Homo erectus". Journal of Human Evolution, 36, 461–485
  53. ^ Stanford, C.B., 1998. "The social behavior of chimpanzees and bonobos: empirical evidence and shifting assumptions". Current Anthropology, 39, 399–420
  54. ^ Aiello, L.C., Wheeler, P., 1995. "Expensive-tissue hypothesis: the brain and digestive system in human and primate evolution". Current Anthropology 36, 199}221
  55. ^ Wheeler, P. E. (1985). "The Loss of Functional Body Hair in Man: the Influence of Thermal Environment, Body Form and Bipedality". Journal of Human Evolution, 14(1), 23–28. doi:10.1016/S0047-2484(85)80091-9
  56. ^ Holloway, Ralph L. (1990/06). "Falk's radiator hypothesis". Behavioral and Brain Sciences. 13 (2): 360–360. doi:10.1017/s0140525x00079139. ISSN 1469-1825. 

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Antón, Susan C.; Swisher, Carl C., III (2004), "Early Dispersals of Homo from Africa", Annual Review of Anthropology, 33: 271–96, doi:10.1146/annurev.anthro.33.070203.144024.  * Eudald Carbonell; Marina Mosquera; Xosé Pedro Rodríguez; José María Bermúdez de Castro; Francesc Burjachs; Jordi Rosell; Robert Sala; Josep Vallverdú (2008), (perlu berlangganan), "Eurasian Gates: The Earliest Human Dispersals", Journal of Anthropological Research, 64 (2): 195–228, JSTOR 20371223.  More than one of |JSTOR= dan |jstor= specified (bantuan) * Ciochon, Russell L. (2010), "Divorcing Hominins from the Stegodon–Ailuropoda Fauna: New Views on the Antiquity of Hominins in Asia", dalam John G. Fleagle et al. (eds), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia, Vertebrate Paleobiology and Paleoanthropology Series, Dordrecht: Springer, hlm. 111–26, doi:10.1007/978-90-481-9036-2_8, ISBN 978-90-481-9035-5. ISBN 978-90-481-9036-2 (online).  More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan); More than one of |DOI= dan |doi= specified (bantuan) * Dennell, Robin (2009), The Palaeolithic Settlement of Asia, Cambridge World Archaeology, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-84866-4. ISBN 978-0-521-61310-1 (paperback).  More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan) * Dennell, Robin (2010), "'Out of Africa I': Current Problems and Future Prospects", dalam John G. Fleagle et al. (eds), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia, Vertebrate Paleobiology and Paleoanthropology Series, Dordrecht: Springer, hlm. 247–74, doi:10.1007/978-90-481-9036-2_15, ISBN 978-90-481-9035-5. ISBN 978-90-481-9036-2 (online).  More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan); More than one of |DOI= dan |doi= specified (bantuan) * Rabett, Ryan J. (2012), Human Adaptation in the Asian Palaeolithic: Hominin Dispersal and Behaviour during the Late Quaternary, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-1-107-01829-7.  More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan) * Zaim, Yahdi (2010), "Geological Evidence for the Earliest Appearance of Hominins in Indonesia", dalam John G. Fleagle et al. (eds), Out of Africa I: The First Hominin Colonization of Eurasia, Vertebrate Paleobiology and Paleoanthropology Series, Dordrecht: Springer, hlm. 97–110, doi:10.1007/978-90-481-9036-2_7, ISBN 978-90-481-9035-5. ISBN 978-90-481-9036-2 (online).  More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan); More than one of |DOI= dan |doi= specified (bantuan)