Djajeng Pratomo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Djajeng Pratomo (22 Februari 1914 – 15 Februari 2018) adalah seorang aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda yang pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen.

Ia lahir dari pasangan Raden Mas Pratomo dan Raden Sujatilah. Lahir dengan nama Amirool Koesnom ayahnya keturunan Keraton Pakualaman Yogyakarta.

Dialah lulusan pertama dokter Jawa dari sekolah bergengsi School toto Opleiding van Inlandsche Artsen-STOVIA, sebuah pendidikan untuk Dokter Pribumi. Dr Pratomo pindah ke Bagansiapiapi untuk memimpin sebuah poliklinik pada 1911 hingga meninggal pada 1939. Namannya diabadikan untuk nama rumah sakit umum daerah di Jalan Pahlawan Nomor 13, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Amirool kecil pindah ke Medan pada usia 7 tahun untuk masuk sekolah dasar. Dia meneruskan sekolah menengah di Yogyakarta dan HBS di Koning Willem School, Jakarta. Semua siswa dan gurunya Belanda tulen atau Indo. “Seingat saya hanya ada satu guru Indo,” ujarnya.

Setelah lulus dia meneruskan pendidikan ke Medische School, sekolah kedokteran di Belanda dan sang ayah mengirimnya ke Leiden. Adiknya, terlebih dulu sudah sampai di Belanda. Hanya setahun di Leiden, dia pindah ke Economische Hogeschool-sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam. Adiknya pun mengikuti jejaknya pada 1940.

Satu hari di toko buku di Rotterdam, Belanda, sepasang mata Djajeng tertarik pada satu sosok gadis yang sedang melihat buku-buku tentang Indonesia. "Kami berdiri bersebelahan di depan etalase yang dipenuhi buku tentang Indonesia," kata Djajeng.

Saat gadis itu berlalu dari toko buku itu, Djajeng mengikuti hingga jembatan dan mengajak berkenalan. Stintje Gret yang saat itu berusia 18 tahun, menyambut perkenalan itu. Stennie, sapaan untuk Stintje Gret, adalah penari balet dan tertarik pada tarian Jawa. Setelah pertemuan itu, hubungan keduanya semakin erat sebagai sepasang kekasih.

Aktivitas Djajeng memperjuangkan kemerdekaan Indonesia mendapat simpati dari koran Partai Komunis Belanda De Waarheid. Stennie mendukung perjuangan Djajeng. Namun, tidak mudah bagi Djajeng dalam menjalankan aktivitasnya. Untuk mengurangi risiko atas aktivitas bawah tanahnya, Djajeng dipindahkan ke Den Haag.

Sayangnya alamatnya diketahui Sicherheits Dienst atau tentara Nazi setelah menangkap Stennie sebelumnya. Rumah Djajeng digerebek pada 18 Januari 1943. Djajeng dan rekannya, Moen Soendaroe ditangkap dan dijebloskan ke Kamp Konsentrasi Vught di Belanda Bagian Selatan.

Djajeng kemudian dipindahkan ke Dachau, Moen ke Kamp Neuengamme di Hamburg. Stennie ditahan di Vught lalu dipindah ke Kamp Ravensbruck. Tak lama kemudian Stennie dibebaskan. Begitu juga dengan Djajeng.

Djajeng kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Indonesia, sementara Stennie membentuk sebuah komite melawan pendudukan Belanda atas Indonesia. Dia tetap tinggal di Belanda dan diperbantukan di Kementerian Penerangan. Mereka berdua banyak terlibat dalam demonstrasi melawan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia.

Pada 1947, keduanya menghadiri Wereldjeugfestival, Festival Pemuda Sedunia, di Praha. Mereka membawa bendera Indonesia yang baru dua tahun merdeka. Mereka pun melanjutkan perjalanan diplomasi budaya ke beberapa kota di Yugoslavia.

Dibalik aktivitas politik yang penuh risiko, Djajeng Pratomo punya bakat seni yang baik. Ia pandai menari dan bergamin gamelan. "Saya juga main musik keroncong," kata Djajeng. Ia mengatakan semua bakat seninya diasah sejak tinggal di Belanda.

Mantan pemimpin Redaksi Indonesia yang aktif mensosialisasikan kemerdekaan Indonesia di Eropa bercerita keterlibatannya di Perhimpunan Indonesia justru berawal dari kegiatan seni. Dia menari dan menabuh gamelan di kelompok musik Insulinde milik Kaoem Muda Indonesia- organisasi pekerja Indonesia di Belanda.Pendapatan dari Insulinde ini menyumbang banyak untuk kegiatan Perhimpunan Indonesia.

Djajeng sering terlibat program Roekoen Peladjar Indonesia. Organisasi ini bekerja sama dengan para pekerja kapal, pekerja restoran bahkan para jongos dan babu asal Indonesia.

Bersama Roekoen Pelajar Indonesia, Djajeng memamerkan tarian di London, Inggris, pada 1939. Kegiatan ini untuk mendanai rakyat Cina melawan fasisme Jepang. Mereka juga dikontrak Institut Kolonial-cikal bakalah Yayasan Tropen. Penontonnya bisa menembus angka seribu. Acara seni yang mereka gelar dapat menghasilkan pendapatan yang lumayan besar hingga institut itu mendapat keuntungan 500 gulden.

Setelah Jerman berkuasa di Belanda, Djajeng terus bergerak dengan menyebarkan penerbitan bawah tanah.Sedangkan aktivitas Insulinde terpaksa dihentikan.

Pada 18 Januari 1943, rumah Djajeng Pratomo dan rekannya sesama mahasiswa Moen Soendaroe digerebek oleh Sicherheits Dients (tentara Nazi). Kekasihnya Stintje Gret atau Stennie sudah lebih dulu ditangkap. Djajeng diangkut dengan truk ke Kamp Vaught. Ia kemudian dijebloskan ke Kamp Konsentrasi Dachau. Saat itu musim dingin mengamuk menebarkan dingin yang menggigit tulang.

Djajeng tahanan Kamp Dachau bernomor 69053. Di kamp, Djajeng tak hanya menjalani kerja paksa, tapi juga dipaksa melihat cara Tentara Nazi-Schutztaffel (SS)--Satuan Keamanan Nazi—menggantung para tahanan. Sejak didirikan pada 1933, kamp ini dipakai sebagai sarana proyek pelatihan mental tentara SS untuk menjadi SS-Totenkopverbände (SS-TV) atau Satuan Tengkorak. “Saya diwajibkan bekerja di pabrik pesawat terbang Messerschmit, tapi kemudian saya dipindah ke bagian lain,” ujarnya tentang pekerjaannya di kamp.

Djajeng yang berlatar belakang pendidikan ilmu kedokteran dijadikan perawat para tahanan di Blok 7 bagian barak rumah sakit. Barak-barak kayu dibikin panjang berjajar tanpa pemanas ruangan. Setiap kali masuk barak, para tahanan diharuskan bertelanjang kaki.

Di dalam kamp ini, tak kurang dari 200 ribu orang dari pelbagai penjuru Eropa pernah ditahan—31 ribu di antaranya tewas. Dari 2.068 orang yang berasal dari Belanda, 477 orang di antaranya meninggal.

Bersama seorang dokter dari Prancis, Djajeng menangani para tahanan yang terkena penyakit menular. Ketika epidemi tifus terjadi, awalnya hanya Blok 7 yang digunakan untuk merawat para pasien. Namun, saking banyaknya orang yang sakit, akhirnya barak-barak lain pun digunakan Untunglah datang seorang dokter lain yang sangat berpengalaman dengan penyakit tifus, Dr Kovalenko. Kovalenko adalah dokter tentara Rusia yang menjadi tawanan.

Selain merawat tahanan, Djajeng juga harus mengangkut mayat ke totenkamer, kamar mayat. Djajeng melakukan bersama seorang pemuda Rusia berusia 15 tahun. Setiap hari semakin banyak yang diangkut.“ Kami harus terus mengangkat mayat itu satu per satu. Akhirnya kami terpaksa menumpuknya di jalanan,” ujarnya. “Tumpukan mayat itu semakin hari semakin tinggi. Sampai-sampai kami harus memakai tangga.”

Mayat-mayat tersebut kemudian dibawa untuk dibakar di krematorium yang letaknya terpencil dari lokasi barak dan sel tahanan. Tubuh-tubuh itu dibakar di atas tungku dengan cerobong asap yang tidak pernah berhenti mengepulkan bau manusia. Di lokasi tersebut dibangun juga kamar gas yang digunakan untuk mengeksekusi para tahanan secara massal. Mereka juga mati karena menjadi korban kelinci percobaan dari pelbagai penelitian bakteri para ilmuwan Nazi dan korban latihan tembak Tentara SS-TV.

Tak mudah bagi Djajeng dan para perawat lain bertahan hidup dari eksekusi tentara Nazi. Mereka harus pintar-pintar mencari akal lolos dari maut. Djajeng memanipulasi nomor kartu identitas tahanan miliknya.Ketika seorang tahanan harus menjalani eksekusi, para perawat akan mengambil nomor kartu identitas yang tergantung di kaki tubuh tahanan yang sudah jadi mayat. Lalu, Djajeng dan teman-teman sesama tahanan menukar kartu identitas mayat dengan kartu identitas mereka.“Jika tentara SS datang, kami serahkan kartu yang sudah ditukar itu dan mengatakan dia sudah mati,” kata Djajeng.

Nasib baik berpihak pada Djajeng dan tahanan lainnya. Malam 28 April 1945 terdengar dentuman meriam yang suaranya semakin lama semakin dekat ke arah Kamp Dachau. Djajeng Pratomo mendengar bocoran informasi bahwa 32 ribu orang yang masih berada di kamp Dachau tak boleh seorang pun dibiarkan hidup bila pasukan Amerika datang.

Keesokan harinya, Djajeng bersama sejumlah tahanan lainnya berlari menyelamatkan diri ke lapangan tempat apel meski masih terdengar bunyi tembakan dimana-mana. Tentara Amerika Serikat menyelamatkannya para tahanan termasuk Djajeng.

Belakangan,seorang tahanan Kamp Dachau bernama Mirdamat Seidov asal Baku, Azerbaizan, mencarinya. Pada 1958, Seidov mengirim surat ke Majalah Negeri Sovjet, majalah berbahasa Indonesia di Rusia. Dalam surat yang dimuat pada edisi 22 November 1958 Seidov mengucapkan terima kasih kepada Djajeng yang pernah menyelamatkan hidupnya di Kamp Dachau.

Ceritanya, pada saat pembebasan para tahanan oleh pasukan Amerika, komite-komite nasional didirikan untuk mencatat para tahanan yang masih hidup. Sedangkan yang sakit masuk ke kamp karatina Palang Merah. Seidov masuk ke kamp karatina. Saat itu, Djajeng yang fasih berbahasa Inggris ikut dalam komite mengkoordinasi persediaan makanan, obat-obatan, pakaian, dan barang-barang yang dibutuhkan kamp karantina.

Di usianya yang telah lebih dari seabad, Djajeng hidup mandiri di apartemennya di Belanda. Istrinya, Stennie telah meninggal pada tahun 2010 lalu. Kendati dirinya tidak diingat oleh publik dan tidak mampu lagi berbahasa Indonesia, Djajeng tetap mencintai Indonesia. Dengan semangat internasionalnya, idealisme kepatriotan dan aksi-aksi perjuangannya, Djajeng Pratomo adalah salah satu patriot istimewa Indonesia.

Djajeng wafat pada tanggal 15 Februari 2018, satu minggu sebelum ulang tahunnya yang ke 104.

Referensi[sunting | sunting sumber]