Diet karbon

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Diet karbon mengacu kepada pengurangan dampak pada perubahan iklim dengan mengurangi produksi gas rumah kaca khususnya, produksi CO2. Dalam masyarakat dewasa ini, manusia menghasilkan CO2 dalam aktivitas-aktivitas setiap hari seperti mengemudi, memanaskan, pengundulan hutan, dan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas. Telah ditemukan bahwa karbon dioksida dari pembakaran batu bara, gas alam, dan minyak bumi untuk kelistrikan dan panas adalah sumber tunggal terbesar dari emisi gas rumah kaca global.[1]

Selama bertahun-tahun, pemerintah dan korporasi telah berusaha untuk menyeimbangkan emisi mereka dengan berpartisipasi dalam ofset karbon, praktik dengan cara mereka berinvestasi dalam energi terbarukan untuk mengimbangi pencemaran pemanasan global yang mereka hasilkan. Meskipun upaya ini hasilnya masih jauh dan kita terus melihat kenaikan konsentrasi CO2. Sekarang semakin banyak orang yang mencoba mengurangi jumlah CO2 yang dihasilkan dengan berpartisipasi dalam diet rendah karbon. Penyesuaian kecil ini dalam produksi CO2 rumah tangga memiliki potensi untuk mengurangi emisi jauh lebih cepat daripada jenis perubahan lainnya dan layak dipertimbangkan secara eksplisit sebagai bagian dari kebijakan iklim.[2] Diet ini berpotensi membantu menghindari "lewat batas" target konsentrasi gas rumah kaca; memberikan efek demonstrasi; mengurangi emisi dengan biaya rendah; dan membeli waktu untuk mengembangkan teknologi, kebijakan, dan institusi baru untuk mencapai target emisi gas rumah kaca jangka panjang dan untuk mengembangkan strategi adaptasi.[2]

Berpartisipasi dalam diet karbon[sunting | sunting sumber]

Stasiun Pembangkit Kintigh - Somerset, New York

Konsentrasi karbon dioksida global mulai meningkat setiap tahun. Menurut ilmuwan senior NASA Roy Spencer, realitas pemanasan global seharusnya tidak diperdebatkan dan bahwa kita justru seharusnya mengarahkan perhatian kita pada kenaikan per tahun. Dasawarsa terakhir telah menghasilkan sembilan dari sebelas tahun terpanas yang tercatat dalam abad ini.[3]

Penumpukan karbon yang dihasilkan di daerah-daerah seperti atmosfer, lautan, dan tanah mengandung ancaman besar bagi kehidupan. Ancaman pemanasan global telah menjadi isu yang kita pahami karena tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer tetapi belum ditangani sebagai komunitas global. Tidak hanya perubahan iklim yang merupakan masalah lingkungan, itu juga merupakan isu yang bersifat kemanusiaan dan ekonomi serta karena dampak global yang besar yang dimilikinya.[4] Kita terus menjalani hidup kita seolah-olah kita tidak berada di garis depan masalah karena para politisi mengatakan kepada kita bahwa pemanasan global adalah suatu kejadian alami, alih-alih ulah perbuatan manusia. Sebagai manusia, kita merupakan titik fokus masalah ini. Adalah tugas kita untuk menjadi orang yang menyelamatkan sumber daya yang tersisa yang kita miliki untuk generasi mendatang. Suatu gagasan yang telah dikemukakan oleh beberapa lembaga manajemen sumber daya karbon baru-baru ini adalah pemanfaatan sistem pasar perdagangan karbon.[4] Dengan sistem perdagangan karbon, lembaga-lembaga ini dapat memperdagangkan izin untuk sumber-sumber karbon sehingga reservoir dipartisi di antara berbagai kelompok.[5] Menerapkan sistem semacam ini akan menghasilkan penurunan emisi karbon dioksida dari waktu ke waktu asalkan dimanfaatkan secara efektif dari semua pihak yang terlibat. Namun, selama ada pertumbuhan ekonomi, ada kemungkinan lebih kecil untuk lembaga-lembaga pemerintah menyediakan jumlah dana yang cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah diakibatkan oleh pencemaran. Anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk inisiatif pelestarian sumber daya jauh di bawah jumlah yang perlu dialokasikan untuk melihat perubahan nyata. Diperkirakan bahwa nilai izin emisi sekitar $60 miliar per tahun pada tahun 2012 dan akan terus meningkat hingga $113 miliar pada tahun 2025.[4]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ C. (2017, February 14). Global Greenhouse Gas Emissions Data. Retrieved February 26, 2017, from https://www.epa.gov/ghgemissions/global-greenhouse-gas-emissions-data
  2. ^ a b Dietz, T.; Gardner, G. T.; Gilligan, J.; Stern, P. C.; Vandenbergh, M. P. (2009). "Household actions can provide a behavioral wedge to rapidly reduce US carbon emissions". Proceedings of the National Academy of Sciences. 106 (44): 18452. Bibcode:2009PNAS..10618452D. doi:10.1073/pnas.0908738106. PMC 2767367alt=Dapat diakses gratis. 
  3. ^ Spencer, R. (2000). New Study to Help Resolve Global Warming Controversy. (2000). Industrial Environment, 11(3), 1.
  4. ^ a b c Kurtzman, Joel (1 January 2009). "The Low-Carbon Diet: How the Market Can Curb Climate Change". 88 (5): 114–122. JSTOR 20699648. 
  5. ^ Graham, D. M. (1998). Global warming: The controversy. Sea Technology, 39(2), 7. Retrieved from https://search.proquest.com/docview/198563948

Pranala luar[sunting | sunting sumber]