Waduk Jatiluhur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Danau Waduk Jatiluhur)
Waduk Jatiluhur
Pemandangan lain dari Waduk Jatiluhur dilihat dari Gunung Parang
Pemandangan lain dari Waduk Jatiluhur dilihat dari Gunung Parang
NamaWaduk Ir. H. Juanda
LokasiJatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat
Koordinat6°32′26″S 7°20′28″E / 6.5406617°S 07.34104°E / -6.5406617; 07.34104Koordinat: 6°32′26″S 7°20′28″E / 6.5406617°S 07.34104°E / -6.5406617; 07.34104
KegunaanSerbaguna
StatusDigunakan
Mulai dibangun1957
Mulai dioperasikan1967
Biaya konstruksiUS$230 juta
PemilikKementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Kontraktor
PerancangCoyne et Bellier
Bendungan dan saluran pelimpah
Tipe bendunganUrugan
Tinggi96 m
Panjang1.220 m
Lebar puncak10 m
Volume bendungan9.100.000 m3
Ketinggian di puncak114,5 mdpl
MembendungSungai Citarum
Jumlah pelimpah1
Tipe pelimpahCorong
Kapasitas pelimpah3.000 mm3 / detik
Waduk
Kapasitas normal2.448.000.000 m3
Kapasitas aktif1.790.000.000 m3
Kapasitas nonaktif960.000.000 m3
Luas tangkapan4.500 km2
Luas genangan7.780 hektar[1]
PLTA Jatiluhur
PengelolaJasa Tirta II
JenisKonvensional
Jumlah turbin6
Kapasitas terpasang187 MW
Peta
Waduk Saguling (Hijau), Waduk Cirata (Biru), Waduk Jatiluhur (Kuning).

Waduk Ir. H. Juanda atau biasa disebut sebagai Waduk Jatiluhur (Aksara Sunda Baku: ᮝᮓᮥᮊ᮪ ᮏᮒᮤᮜᮥᮠᮥᮁ), adalah sebuah waduk yang terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Waduk ini diberi nama sesuai nama seorang pahlawan nasional, yakni Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, yang bersama Ir. Sedijatmo, gigih memperjuangkan terwujudnya pembangunan waduk ini di internal pemerintah Indonesia maupun di forum internasional.[2] Waduk ini adalah waduk terbesar di Indonesia, dengan potensi air sebesar 12,9 miliar m3/tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Waduk ini dapat dikunjungi melalui Jalan Tol Purbaleunyi (Purwakarta-Bandung-Cileunyi) dengan keluar di Gerbang Tol Jatiluhur.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pembangunan waduk ini telah digagas sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia oleh W.J. van Blommestein, seorang ahli pengairan asal Belanda, guna memanfaatkan derasnya aliran Sungai Citarum untuk mengairi lahan pertanian. Pada saat itu, di musim hujan, Sungai Citarum kerap meluap dan menyebabkan banjir di Bekasi dan Karawang, sehingga menyulitkan kegiatan pertanian. Selain itu, banjir juga kerap menggenangi jalan raya Jakarta - Cirebon, sehingga terkadang membuat para pelintas harus berhenti dan menginap di Karawang atau Cikampek.

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1957, pemerintah pun menugaskan PLN untuk membangun bendungan dari waduk ini. PLN kemudian menunjuk Coyne et Bellier asal Prancis untuk merancang bendungan. Karena dibangun oleh PLN, maka waduk ini awalnya dirancang untuk membangkitkan listrik melalui PLTA.[3] Pembangunan PLTA tersebut pun awalnya mendapat banyak kritik, karena kapasitas terpasangnya direncanakan mencapai 125 MW, padahal kebutuhan listrik di Jakarta saat itu sebenarnya sudah dapat dipenuhi hanya dengan kapasitas terpasang sebesar 50 MW.[2]

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pengairan kemudian juga ingin memanfaatkan air yang tertampung di waduk ini untuk mengairi lahan pertanian yang ada di hilir waduk dengan cara membangun Bendung Curug untuk membagi air yang keluar dari waduk ini ke tiga saluran irigasi, yakni Tarum Timur, Tarum Barat, dan Tarum Utara, yang masing-masing dapat difungsikan untuk mengairi lahan pertanian seluas sekitar 80.000 hektar.[2]

Departemen Pekerjaan Umum akhirnya menetapkan bahwa waduk ini terutama akan difungsikan untuk mengairi lahan pertanian, karena berdasarkan perhitungan yang dilakukan saat itu, air yang tertampung di waduk ini akan lebih ekonomis jika digunakan untuk mengairi lahan pertanian daripada untuk membangkitkan listrik, sebab kepala hidraulik dari waduk ini tidak terlalu besar.[3]

Waduk ini kemudian mulai dibangun pada tahun 1957 dengan batu pertamanya diletakkan oleh Presiden Ir Soekarno. Waduk ini lalu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 26 Agustus 1967. Pembangunan waduk ini menelan biaya sebesar US$ 230 juta. Waduk ini membuat 4 desa tergenang penuh dan 11 desa lainnya tergenang sebagian, sehingga 5.004 orang penduduk harus dipindahkan ke lokasi lain. Sebagian dipindahkan ke sekitar bendungan dan sebagian lainnya dipindahkan ke Kabupaten Karawang. Sebagian besar penduduk yang dipindahkan saat itu bekerja sebagai petani.[2][4]

Waduk ini dirancang berumur layanan sampai 200 tahun, tetapi dengan selesainya pembangunan Waduk Cirata dan Waduk Saguling, umur layanan waduk ini diperkirakan mencapai 276 tahun dari tahun 1987.

Setelah selesai dibangun, waduk ini dikelola oleh sebuah perusahaan negara (PN) yang diberi nama PN Jatiluhur, yang kemudian diubah statusnya menjadi sebuah perusahaan umum (Perum) dengan nama Perum Otorita Jatiluhur pada tahun 1970, dan kemudian diubah namanya menjadi Perum Jasa Tirta II pada tahun 1999.[2]

Bendungan Jatiluhur dilihat dari Jembatan Oranye di bawah bendungan

Pemanfaatan[sunting | sunting sumber]

Di dalam Waduk Jatiluhur, terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Selain dari itu, Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk 240.000 hektar sawah (dua kali tanam setahun), air baku, air minum, budi daya perikanan, dan pengendali banjir, yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.

Selain berfungsi sebagai PLTA dengan sistem limpasan terbesar di dunia, kawasan Waduk Jatiluhur memiliki banyak fasilitas rekreasi yang memadai, seperti hotel dan bungalow, bar dan restaurant, lapangan tenis, bilyard, perkemahan, kolam renang dengan water slide, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air, playground dan fasilitas lainnya. Sarana olahraga dan rekreasi air misalnya mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air, boating dan lainnya.

Di perairan Waduk Jatiluhur juga terdapat kegiatan budidaya ikan keramba jaring apung, yang menjadi daya tarik tersendiri. Di waktu siang atau dalam keheningan malam, pengunjung dapat memancing penuh ketenangan sambil menikmati ikan bakar. Di kawasan ini pula, pengunjung dapat melihat Stasiun Satelit Bumi milik PT Indosat Tbk. (±7 km dari pusat Kota Purwakarta), yang difungsikan sebagai alat komunikasi internasional. Jenis layanan yang disediakan antara lain international toll free service (ITFS), Indosat Calling Card (ICC), international direct dan lainnya.

Panorama[sunting | sunting sumber]

Waduk Jatiluhur

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia (PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 26. 
  2. ^ a b c d e Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1. 
  3. ^ a b Angoedi, Abdullah (1984). Sejarah Irigasi di Indonesia. Bandung: Komite Nasional Indonesia untuk ICID. 
  4. ^ Sejarah Bendungan Jatiluhur

Pranala luar[sunting | sunting sumber]