Dalem Bekung

Ida Dalem Pemayun atau Dalem Pemayun Bekung atau Sri Aji Pemayun Kepakisan adalah Raja Bali ke-V dari Wangsa Kepakisan yang memerintah Kerajaan Gelgel pada tahun 1551 sampai 1582 Masehi. Beliau adalah putra dari Dalem Waturenggong sekaligus pewaris tahta Kerajaan Gelgel. Ia naik tahta pada usia muda dan awal pemerintahannya dihiasi dengan peristiwa pemberontakan Gusti Batanjeruk yang hampir mengakhiri kekuasaan Wangsa Kepakisan di Bali. Sumber lokal mendeskripsikannya sebagai pemimpin yang kurang cakap daripada adiknya, ia juga dikenal sebagai Bekung (tidak memiliki pewaris). Setelah terjadi huru-hara dan skandal pada masa kepemimpinannya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dan memberikan tahta kepada adiknya yang kemudian bergelar Dalem Seganing.[1]
Ida Dalem Pemayun Bekung | |
---|---|
Ida Dalem Sri Aji Pemayun Kepakisan Ida Dalem Bekung Ida Dalem Pemayun | |
Berkuasa | Tahun Çaka 1473 - 1505 (1551 - 1582 Masehi) |
Pendahulu | Sri Aji Waturenggong Arsa Wijaya Kepakisan |
Penerus | Sri Aji Anom Segening Kepakisan |
Pemakaman | Di dharmakan pada bangunan Meru bertingkat 5 dalam Pura Pedharman Sri Aji Kresna Kepakisan |
Pasangan | Ni Gusti Ayu Samuantiga |
Keturunan | Sri Dewi Pemayun |
Dinasti | Kepakisan |
Ayah | Sri Aji Wijaya Kepakisan |
Ibu | Ni Dewi Ayu Pemayun |
Agama | Hindu - Buddha |
Sejarah Awal
[sunting | sunting sumber]Ida Dalem Pemayun, yang juga dikenal sebagai I Dewa Agung Pemayun, merupakan putra dari pasangan Dalem Waturenggong dan Dewi Ayu Pemayun.[2] Ia diangkat menjadi raja pada usia yang masih sangat muda, tepatnya pada tahun 1551 Masehi, dan menjadi pewaris takhta Kerajaan Gelgel.
Berdasarkan berbagai sumber kronik lokal, termasuk naskah-naskah keraton Bali, masa pemerintahannya berlangsung dalam situasi yang kurang stabil. Berbagai ketegangan politik, konflik internal, dan pemberontakan menandai periode ini. Ia sering dipandang kurang mampu dalam menjalankan roda pemerintahan, sementara adiknya, I Dewa Anom Segening, dinilai memiliki kecakapan yang lebih baik dalam urusan kenegaraan.[3]
Setelah wafatnya Dalem Waturenggong, I Dewa Pemayun secara resmi naik takhta dengan gelar Sri Aji Pemayun Kepakisan. Ia kemudian lebih dikenal dengan gelar Dalem Bekung, yang secara simbolik merujuk pada ketidakhadirannya putra pewaris. Ia mewarisi Kerajaan Gelgel yang kala itu masih dalam keadaan makmur dan kuat sebagai warisan langsung dari kepemimpinan ayahandanya.[4]
Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Dewan Manca Agung, lembaga penasihat tinggi yang dibentuk oleh Dalem Waturenggong. Anggota dewan ini berasal dari keturunan Sri Aji Tegal Besung, yaitu I Dewa Anggunan, Dewa Bangli, Dewa Nusa, Dewa Gedong Artha, dan Dewa Pegedangan. Salah satu dari mereka, yakni I Dewa Anggunan, kelak turut terlibat dalam pemberontakan besar yang terjadi di kemudian hari.[5]
Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Gusti Batan Jeruk, seorang perdana menteri yang sebelumnya diangkat oleh Dalem Waturenggong. Ia merupakan keturunan Arya Kepakisan melalui garis Pangeran Nyuh Aya. Pemberontakan ini juga melibatkan beberapa tokoh istana, termasuk Dewa Anggunan.[6] Peristiwa tersebut menimbulkan gejolak besar dalam pemerintahan Dalem Bekung, hingga mendorong Dalem Bekung membubarkan Dewan Manca Agung dan memerintahkan para pamannya untuk meninggalkan pusat kekuasaan di Gelgel.[7]
Menjelang akhir masa pemerintahannya, muncul sebuah skandal yang mengguncang citra kerajaan dan memperlemah reputasi dan posisi politiknya. Peristiwa ini membuatnya memutuskan untuk turun takhta. Karena tidak memiliki keturunan sebagai penerus, tampuk kekuasaan kemudian diserahkan kepada adiknya, yang selanjutnya dikenal dengan gelar Dalem Segening sedangkan Dalem Bekung memilih tinggal di Istana di sebelah barat Keraton Puri Agung Swecalinggarsapura yang bernama Puri Jro Kapal.[8][9]
Pemberontakan Gusti Batanjeruk
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1556 Masehi, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Gusti Batanjeruk, seorang bangsawan keturunan Arya Kepakisan melalui garis Pangeran Nyuh Aya. Ia sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri pada masa akhir pemerintahan Dalem Waturenggong, dan posisinya tetap kuat di masa pemerintahan Dalem Bekung.[10]
Kedudukan Gusti Batanjeruk yang dominan menimbulkan kegelisahan di kalangan istana. Seorang Bagawanta (pendeta kerajaan) dari aliran Buddha Kasogatan bernama Dang Hyang Astapaka menyadari gelagat mencurigakan dari muridnya itu, yang mulai menyetarakan dirinya dengan sang raja dan bahkan menempatkan Dalem Bekung diposisi yang tidak tepat.[11] Meski telah diberi nasihat, Gusti Batanjeruk mengabaikan peringatan tersebut. Dang Hyang Astapaka kemudian memilih meninggalkan istana dan menetap di wilayah timur yang kelak dikenal sebagai Budha Keling.
Dengan kepergian gurunya, Gusti Batanjeruk merasa tidak ada lagi yang menghalanginya. Ia lalu melancarkan pemberontakan, Dewa Anggunan menahan Dalem Bekung dan adiknya, Dewa Anom Segening, dalam sebuah bangunan bernama Gedong Loji. Dalam aksi kudetanya, ia didukung oleh sejumlah pejabat istana dan Pangeran Dewa Anggunan yang saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Manca Agung.
Pemberontakan ini memicu perlawanan dari kelompok loyalis kerajaan yang dipimpin oleh Kyai Maginte. Pertempuran berlangsung sengit hingga akhirnya pasukan loyalis berhasil menduduki istana dan menjebol tembok Gedong Loji serta membebaskan Dalem Bekung serta adiknya dari tahanan.
Gusti Batanjeruk dan para pengikutnya kemudian mengalami kekalahan. Beberapa di antara mereka terbunuh, melarikan diri, atau bersembunyi. Gusti Batanjeruk sendiri melarikan diri ke wilayah timur untuk mencari perlindungan dari gurunya, tetapi sebelum mencapai kesana ia akhirnya terbunuh oleh pasukan kerajaan di Desa Bungaya disebutkan dalam tahun caka dalam bentuk Candra Sengkala yang berbunyi: Brahmana Nyaritawang Kawahan Wani (1556 Masehi). Keluarganya melarikan diri ke berbagai arah dan beberapa ada yang nyineb wangsa (menutupi gelar kebangsawan) untuk melindungi hidup mereka.
Setelah situasi stabil, diadakan sidang pengadilan terhadap para pemberontak yang tertangkap. Sebagian besar dijatuhi hukuman mati. Namun, Dewa Anggunan yang menyerahkan diri secara sukarela dalam sebuah pembelaaannya ia mengaku mengunci sang raja demi menjaga Dalem Bekung dan Dewa Anom Seganing dari tangan Gusti Batanjeruk, karena hal itu ia diampuni oleh Dalem Bekung juga atas pertimbangan jasa-jasanya di masa lalu. Meski demikian, ia dicabut dari gelar kebangsawanannya dan hanya dikenal sebagai Sang Anggunan, atau Sang Mpu Aji di kalangan rakyat karena peran pentingnya dalam mendukung Dalem Bekung saat masih muda.
Dampak dari pemberontakan ini membuat Dalem Bekung semakin berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan. Ia kemudian membubarkan Dewan Manca Agung, memberikan kompensasi berupa tanah serta pembebasan pajak kepada para anggotanya, tetapi mereka diasingkan dari pusat pemerintahan di Gelgel.
Sebagai penghargaan atas jasanya dalam menumpas pemberontakan, Kyai Maginte diangkat menjadi perdana menteri yang baru. Salah satu tokoh lain yang turut terlibat dalam pemberontakan, Kyai Pande Basa, juga diampuni atas permohonan Kyai Maginte. Ia kemudian diangkat menjadi panglima perang kerajaan dan dengan cepat membuktikan kesetiaannya kepada Dalem Bekung dengan menumpas para bajak laut yang menyerang wilayah Tuban pada tahun 1578 Masehi.
Dalam sebuah legenda, Kyai Pande Basa dikisahkan berhasil menaklukkan salah satu kapal bajak laut seorang diri dan menggugurkan banyak musuh dalam pertempuran tersebut.
Masa Pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Sumber utama untuk mengetahui pemerintahannya adalah Babad Dalem, sebuah kronik istana yang selesai ditulis pada abad ke-18 atau 19.[12] Ia adalah putra dari Dalem Baturenggong, seorang pemimpin Bali yang sukses dan mampu membawa Bali ke masa-masa kejayaan, Dewa Agung Pemayun diangkat ke tahta saat masih kecil.
Ketika sudah cukup untuk memerintah atas namanya sendiri, naskah-naskah Bali menyebutkan Dalem Bekung terbukti menjadi penguasa yang pasif dan pengecut, yang menyebabkan hilangnya prestise kerajaan dan disiplin diantara para pejabat kerajaan, Ia bertanggung jawab atas terhapusnya Lembaga penasehat tertinggi seperti Manca Agung. Dia sering meninggalkan urusan negara pada menteri utamanya, Kyai Maginte, sedangkan adiknya Dewa Anom Seganing dikenal lebih cakap dalam urusan kenegaraan dan kerap membantu Kyai Maginte
Meskipun mewarisi kerajaan yang dalam keadaan unggul berkat warisan Dalem Waturenggong diantara kerajaan di kepulauan nusa tenggara, namun Dalem Bekung gagal dalam memgambil kesempatan untuk menjaga prestise Gelgel dan lebih sering bercengkrama dengan istrinya Gusti Ayu Samuantiga. [13]
Pada masa akhir pemerintahannya, terjadi sebuah konflik kecil bangsawan yang berakhir menjadi sebuah skandal Kerajaan yang menyeret nama Dalem Bekung, masyarakat keturunan trah Pande juga turut menjadi korban fitnah dan mereka pergi meninggalkan Gelgel, hal ini membuat urusan pengrajin bahan dasar logam di ibukota kerajaan terganggu. Atas desakan para pejabat kerajaan beliau menangalkan tahtanya dan memberikannya pada Dewa Anom Segening.
Intrik Kyai Pande Basa
[sunting | sunting sumber]Intrik ini bermula dari perselisihan pribadi antara Kyai Pande Basa, panglima utama kerajaan, dan Kyai Telabah, seorang pejabat tinggi yang dikenal keras terhadap rakyat kecil. Ketegangan memuncak akibat perebutan perhatian seorang pelayan wanita di istana Kyai Pande Basa. Namun, situasi menjadi lebih rumit ketika Kyai Pande Basa mencurigai bahwa Kyai Telabah memiliki hubungan gelap dengan permaisuri Dalem Bekung, Gusti Samuantiga. Dugaan ini diperkuat oleh temuan cincin kerajaan, sebuah hadiah dari Dalem Bekung kepada permaisurinya yang ditemukan di dalam kediaman Kyai Telabah.[14]
Kyai Pande Basa segera memberitahu raja dan mengusulkan agar Kyai Telabah dihukum mati. Namun, Dalem Bekung tidak ingin skandal ini diketahui publik karena akan mencoreng nama istana. Sebagai jalan tengah, mereka bersepakat dan bersumpah menyimpan rahasia ini dan mencari solusi diam-diam.
Atas persetujuan Dalem, Kyai Pande Basa kemudian memerintahkan seorang pelayan dari rumah Telabah untuk membunuh tuannya. Sayangnya, rencana ini berakhir tragis: keduanya justru tewas dalam insiden tersebut. Malam harinya, seorang pelayan kepercayaan Pande Basa bernama Ki Capung mencoba menyampaikan kabar kematian Telabah kepada sang raja dengan memanjat tembok istana. Namun, ia disangka maling oleh para penjaga istana dan ditembak mati.
Keesokan paginya, istri Ki Capung yang menemukan jasad suaminya di luar tembok istana langsung menangis histeris dan mengungkapkan bahwa Ki Capung dibunuh karena terlibat dalam rencana pembunuhan atas perintah Kyai Pande Basa. Skandal ini pun menyebar cepat ke seluruh istana dan masyarakat, menyeret nama Dalem Bekung sebagai pihak yang turut bertanggung jawab.
Keluarga dan pendukung Kyai Telabah menuntut penjelasan kepada raja. Dalam tekanan besar, Dalem Bekung menunjuk Kyai Pande Basa sebagai dalang dari intrik pembunuhan ini dan mengingkari janji diantara keduanya. Para pejabat istana mendesak agar Kyai Pande Basa dijatuhi hukuman setimpal. Karena reputasinya sebagai panglima tertinggi, Kyai Pande Basa memiliki pasukan pribadi yang loyal, sehingga upaya penangkapannya berujung pada pengepungan besar yang berdarah-darah.
Pertempuran antara pasukan kerajaan dan pasukan pribadi Kyai Pande Basa pun pecah. Dalam konflik yang berdarah ini, Kyai Pande Basa tewas pada tahun 1578, dan lebih dari 400 nyawa pengikutnya melayang. Peristiwa ini pun mengguncang reputasi raja dan stabilitas kerajaan.
Setelah insiden tersebut, sejumlah warga dari kalangan pande (pengrajin logam) turut menjadi sasaran penghakiman massal. Banyak dari mereka ditangkap, meskipun tidak terdapat bukti kuat yang mengaitkan mereka langsung dengan intrik huru-hara ini. Dalem Bekung, yang dinilai lemah dan mudah terpengaruh tekanan pejabat, tidak mampu mencegah penindasan tersebut.
Baru setelah naiknya Dalem Seganing, adik Dalem Bekung, para warga Pande mau kembali ke pusat kerajaan dan secara bertahap dipulihkan statusnya.[15]
Kehidupan Selanjutnya dan Kematian
[sunting | sunting sumber]Dalem Pemayun Bekung turun takhta pada tahun 1582 Masehi setelah reputasinya merosot akibat skandal yang menyeret namanya dalam intrik istana. Sebaliknya, adiknya, Dewa Anom Seganing, mulai mendapatkan kepercayaan oleh para petinggi kerajaan Gelgel karena kecakapannya dalam urusan kenegaraan.
Menurut kronik Babad Dalem, Dalem Pemayun Bekung secara sukarela mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan kekuasaan kepada adiknya, yang kemudian dinobatkan dengan gelar Sri Aji Dalem Anom Seganing Kepakisan.[16]
Setelah turun takhta, Dalem Pemayun meninggalkan istana Gelgel dan menetap di kediaman barunya di Puri'Jro Kapal, yang terletak di sebelah barat kompleks istana Puri Agung Sweca Linggarsapura. Ia menjalani masa tuanya dalam pengasingan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk politik kerajaan.
Dalem Pemayun wafat pada usia lanjut. Tidak terdapat dokumentasi yang rinci mengenai penyebab kematiannya. Namun, upacara kematiannya dilaksanakan secara agung sebagaimana layaknya seorang raja besar. Ia didharmakan pada sebuah meru bertingkat lima di Pura Pedharman Sri Aji Kresna Kepakisan yang terletak di kompleks Pura Agung Besakih.[17]
Keluarga
[sunting | sunting sumber]Catatan sejarah tidak menjelaskan secara rinci jumlah istri yang dimiliki Dalem Pemayun Bekung. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa ia memiliki seorang putri bernama Sri Dewi Pemayun, serta seorang permaisuri utama bernama Gusti Ayu Samuantiga.[18]
Terdapat rumor yang berkembang di kalangan masyarakat istana bahwa permaisuri Gusti Ayu Samuantiga menjalin hubungan terlarang dengan seorang pejabat istana bernama Ki Telabah. Namun, kebenaran dari isu ini hanya bersumber dari narasi babad dan tidak didukung oleh bukti historis yang objektif.[19]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Adrian Vickers (1989). Bali, A Paradise Created. Singapore: Periplus. hlm. 41–45. Pemeliharaan CS1: Lokasi penerbit (link)
- ^ Babad Dalem Pemayun, dalam Tjokorda Raka Putra, Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.
- ^ Babad Blahbatuh milik Puri Blahbatuh.
- ^ Babad Dalem Pemayun.
- ^ Babad Blahbatuh.
- ^ Babad Dalem Pemayun.
- ^ Babad Blahbatuh.
- ^ Babad Dalem Pemayun.
- ^ C.C. Berg, De Middeljavaansche Historische Traditie (Santpoort: C.A. Mees, 1927), hlm. 138–139.
- ^ Babad Dalem Pemayun, transliterasi oleh I Made Suatjana, 2007.
- ^ Babad Blahbatuh, ed. I Gusti Ngurah Agung, Denpasar: Dinas Kebudayaan Bali, 1986.
- ^ I Wayan Warna et al. (tr.), Babad Dalem. Teks dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Bali, 1986.
- ^ I B. Rai Putra, Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra 1991, p. 59.
- ^ Babad Kyai Pande Basa, Lontar Dawan, Koleksi Puri Anyar Kusamba.
- ^ Babad Pasek dan Pande, Koleksi Lontar Gunung Raung, Klungkung.
- ^ Babad Dalem, manuskrip lontar koleksi Puri Klungkung.
- ^ Prasasti Meru Pemayun, Pura Pedharman Besakih, registrasi Dinas Kebudayaan Bali.
- ^ Babad Pasek Pemayun, Lontar Puri Kaleran, Gelgel.
- ^ Babad Blahbatuh, Pupuh X, bait 12–15.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Didahului oleh: Dalem Baturenggong |
Raja Bali c. 1558-1580 |
Diteruskan oleh: Dalem Seganing |