Bias negatif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bias negatif merupakan salah satu dari berbagai bias yang dapat dimiliki oleh manusia

Bias negatif,[1] juga dikenal sebagai efek negatif, adalah gagasan yang menyatakan bahwa ketika dengan intensitas yang sama, hal-hal yang bersifat lebih negatif (misalnya pikiran, emosi, atau interaksi sosial yang buruk; peristiwa yang berbahaya/trauma) memiliki pengaruh yang lebih besar berpengaruh pada keadaan dan proses psikologis seseorang daripada hal-hal yang netral atau positif.[2][3][4] Dengan kata lain, sesuatu yang sangat positif umumnya akan berdampak lebih kecil pada perilaku dan kognisi seseorang daripada sesuatu yang sama-sama emosional tetapi negatif. Bias negatif telah diselidiki dalam banyak bidang yang berbeda, termasuk dalam pembentukan kesan dan evaluasi umum; perhatian, pembelajaran, dan memori; serta dalam pengambilan keputusan dan pertimbangan risiko.

Bias seperti ini memiliki efek yang sangat besar, misalnya, membuat negara saling berperang, membuat ekonomi menjadi stagnan, memberikan tendensi sekolah untuk membuat siswa menjadi gagal. Bias ini juga bisa menghancurkan reputasi dan membuat bangkrut perusahaan, bahkan sampai membuat perpecahan politik.[5]

Studi bias negatif juga telah dikaitkan dengan penelitian dalam bidang pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan dengan penghindaran risiko atau penghindaran kerugian. Ketika dihadapkan pada situasi di mana seseorang berada diantara pilihan untuk mendapatkan sesuatu atau kehilangan sesuatu tergantung pada hasilnya, kerugian potensial dianggap lebih berat daripada keuntungan potensial.[6][1][7] Pertimbangan kerugian yang lebih besar (yaitu hasil negatif) sejalan dengan prinsip potensi negatif seperti yang dikemukakan oleh Rozin dan Royzman.[4]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Bias negatif adalah tendensi bahwa kejadian negatif memilki pengaruh yang lebih besar kepada psikologis seseorang dibanding kejadian positif. Terdapat beberapa penjelasan mengapa manusia memiliki bias seperti ini.

Evolusi[sunting | sunting sumber]

Evolusi dengan seleksi alam merupakan teori dimana sifat yang sesuai dengan lingkungan akan sintas dan menjadi sifat yang mendominasi di generasi selanjutnya.

Evolusi merupakan sebuah teori di mana spesies perlu memiliki sifat yang sesuai dengan lingkungannya agar tetap dapat bertahan hidup. Mamalia, termasuk manusia, berevolusi dalam lingkungan di mana ancaman-ancaman terjadi secara tidak terprediksi.[8] Kemampuan untuk dapat menentukan dan memprediksi ancaman negatif sangatlah penting agar seorang individu tetap dapat sintas. Oleh karena itu, akan sangat menguntungkan bagi manusia untuk dapat fokus pada informasi negatif, karena informasi negatif memiliki potensi pengaruh yang sangat besar terhadap manusia dibandingkan dengan informasi positif.[9] Informasi negatif ini dapat mengorientasikan manusia melakukan respon yang tepat untuk situasi-situasi berbahaya di masa lampau.[10] Karena kemampuan untuk memberi perhatian lebih terhadap informasi negatif sangatlah penting,[11] kemampuan tersebut akhirnya diturunkan kepada keturunan manusianya di zaman sekarang.[12]

Psikis[sunting | sunting sumber]

Penyebab psikis dari bias negatif dapat ditemukan pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah penilaian diri sendiri.[13] Riset yang dilakukan oleh Chang dan Askawa menemukan bahwa orang asia memiliki kecenderungan untuk lebih merasa pesimis. Hal ini mungkin disebabkan oleh peristiwa masa lampau orang asia yang cenderung lebih defensif.[13] Pesimisme seperti ini dapat membentuk pola pikir defensif yang membuat seseorang untuk membuat harapan yang rendah dan menghabiskan banyak waktu untuk merefleksi semua hal yang dapat dibayangkan untuk suatu situasi.[14] Pola pikir seperti itu dapat menghasilkan bias negatif.

Kepercayaan diri juga memengaruhi seberapa besar bias negatif yang dapat dimiliki seseorang. Sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa orang dengan kepercayaan diri yang rendah dapat menilai lebih buruk suatu kejadian dibanding dengan orang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.[15] Artinya, seseorang dengan kepercayaan diri yang rendah cenderung memiliki bias negatif yang lebih tinggi.[16] Perilaku seperti ini konsisten diantara berbagai kebudayaan, sehingga efek ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh norma dan budaya yang berlaku di masyarakat.[17]

Riset sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek yang besar terhadap kejadian dalam hidupnya.[18] Kejadian yang memiliki pengaruh yang besar terhadap seseorang, terutama yang menyebabkan depresi, dapat membuat bias pemrosesan informasi yang terjadi dalam otak seseorang.[19]

Aspek-aspek dari bias negatif[sunting | sunting sumber]

Paul Rozin dan Rozyman membagi bias negatif menjadi empat aspek.[4]

Pengaruh negatif yang kuat[sunting | sunting sumber]

Jika diberikan dua jenis informasi positif dan negatif yang seimbang, pengaruh negatif yang kuat akan membuat seseorang menjadikan informasi negatif lebih berpengaruh dibandingkan dengan informasi yang positif.[20] Salah satu contoh dari pengaruh seperti ini adalah ketika terjadi penurunan ekonomi. Ketika terjadi kejadian dimana kondisi ekonomi sedang menurun, walau hanya dalam jangka pendek, kejadian tersebut akan mengurangi jumlah suara terhadap pemerintahan. Namun, kondisi ekonomi yang sedang baik hampir tidak akan memengaruhi jumlah suara.[21] Namun, efek pengaruh negatif ini tidak memiliki bukti yang banyak karena memerlukan metrik yang sulit untuk dapat mengukur kejadian positif dan negatif (biasanya uang).[4]

Gradien negatif yang lebih curam[sunting | sunting sumber]

Gradien mengasumsikan bahwa semakin dekat seseorang dengan kejadian negatif atau positif, semakin banyak pula persepsi negatif dan positif yang diasosiasikan dari kejadian tersebut. Gradien negatif yang lebih curam menyatakan bahwa untuk kejadian negatif, gradiennya lebih curam,[22] yaitu semakin dekat suatu kejadian negatif, semakin pula kejadian tersebut dilihat dengan tingkatan yang lebih negatif dibanding persepsi positif untuk kejadian yang positif. Misalnya, pengalaman negatif seseorang yang sedang menanti operasi gigi dapat dipersepsikan menjadi lebih negatif seiring dengan semakin dekatnya operasi tersebut dibanding dengan persepsi positif dari pesta yang akan datang (asumsikan bahwa operasi dan pesta ini memiliki kepentingan yang setara).[23] Contoh lainnya adalah ketakutan akan terjun payung dari pesawat yang meningkat dengan tingkatan yang lebih besar seiring dengan semakin dekatnya kejadian tersebut.[24]

Gradien negatif yang lebih curam mungkin saja merupakan manifestasi dari pengaruh negatif yang kuat karena gradien yang curam merupakan turunan dari sebuah fakta bahwa setiap tambahan informasi negatif akan menghasilkan egfek yang lebih besar dibanding informasi positif. Namun, gradien negatif bisa saja berbeda dengan pengaruh negatif karena pengaruh negatif yang kecil nampaknya tidak memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan informasi positif. Sehingga keduanya mungkin memiliki gradien yang sama namun fungsi dari informasi negatif memiliki titik potong yang lebih rendah.[4]

Kasta di India menghasilkan bias negatif terhadap masyarakat dari kelompok kasta yang rendah

Dominansi negatif[sunting | sunting sumber]

Domanansi negatif adalah kejadian di mana kombinasi informasi negatif dan positif akan menghasilkan evaluasi yang negatif dibanding jumlah nilai yang seorang individu berikan secara subjektif kepada kedua informasi tersebut.[25] Dengan kata lain, ketika terdapat dua informasi negatif dan positif, informasi negatif lah yang akan mendominasi. Misalnya, sebuah jus yang sudah dihinggapi kecoa mungkin akan dinilai sangat menjijikan dan seseorang mungkin akan menolak meminumnya walau kontaminasinya rendah dan masih lebih banyak mengandung zat yang bermanfaat (seperti vitamin).[26] Di Hindu India, dominansi negatif seperti ini ditunjukkan oleh sistem kasta, di mana makanan yang dimasak oleh seseorang yang berada di kasta yang rendah akan memiliki efek negatif yang lebih besar terhadap persepsi makanan dibanding yang dimasak oleh kelas atas.

Dominansi negatif ini memiliki pengaruh yang besar terhadap stigma. Salah satu contohnya adalah penolakan masyarakat terhadap proyek pembangunan yang memiliki banyak efek positif, namun ditolak karena kekhawatiran masyarakat akan efek negatifnya (misalnya seperti energi nuklir, pestisida, dan organisme termodifikasi secara genetika).[26]

Diferensiasi negatif[sunting | sunting sumber]

Diferensiasi negatif menyatakan bahwa karena kejadian yang negatif memang lebih kompleks dibanding kejadian positif, maka kita memerlukan sumber daya kognitif yang lebih besar untuk memprosesnya, sehingga kejadian negatif tersebut lebih mudah diingat dan terasa lebih intens.[27] Diferensiasi negatif konsisten dengan sejumlah besar penelitian yang menunjukkan bahwa emosi negatif lebih rumit daripada emosi positif. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sebagai akibat dari kompleksitas ini, kosakata manusia yang menggambarkan emosi dan peristiwa negatif jauh lebih hidup dan deskriptif daripada kosakata positif.[28]

Diferensiasi negatif nampaknya sesuai dengan hipotesis mobilisasi-minimalisasi.[27] Menurut hipotesis ini, ketika seseorang dihadapkan dengan stimuli negatif, kita akan memobilisasi diri kita untuk bertindak.[29] Lalu ketika stimuli negatif sudah hilang, kita akan meminimalisir stimuli tersebut.

Salah satu faktor yang dapat menentukan tercipta nya pertemanan adalah kedekatan lokasi. Namun, kedekatan lokasi juga bisa mendorong terbentuknya bias negatif, seiring dengan informasi negatif menjadi semakin teramplifikasi.

Dari hipotesis ini, terdapat dua mekanisme yang terjadi. Mekanisme pertama adalah mobilisasi dari sumber daya. Ketika terjadi kejadian negatif, manusia akan memobilisasi sumber daya biologis, psikologis, dan sosial untuk dapat menghadapi konsekuensi langsung dari kejadian tersebut.[30] Contohnya, ketika dihadapkan dengan perjalanan 10 jam dari Los Angeles ke Las Vegas yang sangat membosankan, orang mungkin akan meminta tambahan makanan, kursi yang lebih nyaman, berjalan-jalan, dan mobilisasi lainnya yang membuat seseorang melupakan perjalanannya.[31] Namun, manusia juga nampaknya lebih cepat melupakan ingatan negatif dibanding ingatan positif.[32] Hal itulah yang dinamakan sebagai minimalisasi.[31]

Bukti[sunting | sunting sumber]

Pembentukan kesan pertama dan penilaian sosial[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar bukti menunjukkan bias negatif berasal dari penelitian tentang penilaian sosial dan pembentukan kesan pertama, di mana bobot dari informasi negatif menjadi lebih berat ketika peserta ditugaskan untuk membentuk evaluasi komprehensif dan kesan individu target lainnya.[33] Secara umum, ketika seseorang mendapatkan berbagai informasi sifat tentang individu lainnya, sifat-sifat itu tidak dipandang setara untuk mencapai kesan akhir.[34] Ketika sifat-sifat ini berbeda dalam hal positif dan negatifnya, sifat negatif nampaknya lebih mendominasi pembentukan kesan akhir.[35] sifat-sifat negatif akan lebih Ini secara khusus sejalan dengan gagasan negatif.

Sebagai contoh, sebuah studi dilakukan oleh Leon Festinger dan koleganya meneliti tentang faktor penting apa yang dapat memprediksi pembentukan persahabatan.[36] Mereka berkesimpulan bahwa faktor yang paling menentukan adalah kedekatan lokasi diantara dua individu. Hal ini pun masih ditemukan di era media sosial.[37] Namun, Ebbesen, Kjos, dan Konecni mendemonstrasikan bahwa kedekatan lokasi saja tidak cukup untuk memprediksi pembentukan persahabatan.[38] Melainkan, kedekatan lokasi mengamplifikasi informasi yang relevan terhadap keputusan untuk membentuk pertemanan atau tidak. Informasi negatif dan positif sama-sama diamplifikasi. Namun, karena adanya bias negatif, kedekatan lokasi bisa jadi faktor yang menggagalkan pembentukan pertemanan.[2] Karena semakin dekat lokasi seseorang, maka informasi negatif orang tersebut akan semakin tampak.

Salah satu penjelasan mengapa bias negatif dapat ditemukan pada penilaian sosial adalah orang cenderung menilai informasi negatif lebih dapat mengungkap sifat seseorang dibanding informasi positif. Hal ini dilakukan untuk menentukan apakah seseorang mungkin berbahaya dan memiliki kemungkinan menyakiti kita.[39] Penelitian juga menemukan bahwa orang lebih mudah mengenali wajah seseorang apabila wajah yang diingatnya adalah wajah yang sedang marah.[40]

Dalam pemilihan umum, pemilih lebih cenderung untuk tidak memilih seseorang akibat sifat negatifnya dibanding memilihnya karena sifat positifnya.

Namun, terdapat paradoks dalam hal ini. Jika terdapat beberapa sifat yang dikombinasikan menjadi satu kesan umum, dan salah satu sifat tersebut mencerminkan ketidakjujuran atau tindakan yang tidak bermoral, maka sifat negatif tersebut lah yang dinilai.[41] Misalnya, orang yang tidak jujur bisa saja sekali-kali bertindak jujur, tapi tetap dianggap tidak jujur. Begitu pula dengan orang yang jujur walau hanya sekali-sekali bertindak tidak jujur, dia akan tetap dianggap sebagai orang yang tidak jujur. Orang yang mungkin pernah mencuri, walau hanya sekali saja, akan dinilai sebagai orang yang tidak jujur, walau sebenarnya dia adalah orang jujur.[42] Oleh karena itu, kejujuran dapat dengan mudah dihapus oleh tindakan tidak jujur.[43] Karena kejujuran sendiri bukan merupakan hal yang berdiri sendiri, melainkan kejujuran adalah sifat seorang manusia ketika tidak ditemukannya sifat tidak jujur.

Dugaan bahwa informasi negatif merupakan faktor dominan dalam menilai seseorang juga terlihat dalam perilaku pemilih saat pemilu. Perilaku ini menunjukkan bahwa orang cenderung lebih termotivasi untuk tidak memilih seseorang karena sifat negatifnya dibanding memilih seseorang karena sifat positifnya.[44] Seperti yang dikatakan oleh Jill Klein, "Dalam menentukan suara dalam pemilihan umum, kekurangan seseorang lebih penting dibanding kekuatannya."[45]

Menilai niat orang lain[sunting | sunting sumber]

Ketika kalah dalam berjudi, orang cenderung akan melihat ada sesuatu yang curang dalam permainan.

Studi menunjukkan bahwa orang menunjukkan bias negatif ketika mencoba menilai niat seseorang, sehingga orang cenderung lebih sering menggunakan kesan negatif dalam menentukan niat seseorang daripada kesan positif dan kesan netral.[46] Dalam sebuah eksperimen perjudian, Morewedge menemukan bahwa peserta lebih mungkin untuk percaya bahwa lawan mereka melakukan hal yang curang ketika mereka kalah, bahkan ketika kemungkinan menang dan kehilangan uang sama saja. Bias ini tidak terbatas pada orang dewasa. Anak-anak juga tampaknya lebih cenderung mengaitkan peristiwa negatif dengan penyebab yang disengaja daripada peristiwa positif.[47]

Kognisi[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh diferensiasi negatif, informasi negatif nampaknya memerlukan lebih banyak sumber daya kognitif untuk memprosesnya dibanding informasi yang positif. Orang cendrung berpikir dan bernalar lebih untuk informasi yang negatif sehingga orang akan lebih konsisten ketika menceritakannya.[48] Kondisi sistem saraf setiap orang juga dapat menghasilkan pemrosesan informasi yang lebih intensif. Partisipan dalam sebuah riset menunjukkan potensi aliran otak yang yang lebih besar ketika membaca atau melihat foto orang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sifat mereka.[49] Perbedaan pemrosesan informasi ini membuat seseorang memproses informasi negatif dan positif secara berbeda yang berakibat pada perbedaan atensi, memori, dan pembelajaran. Orang yang mengalami depresi memiliki bias negatif yang lebih parah karena sistem kognisinya mengalami gangguan.[50]

Atensi[sunting | sunting sumber]

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kesan negatif akan menarik lebih banyak perhatian. Misalnya, ketika diminta untuk memberikan kesan terhadap target yang disajikan, peserta dalam sebuah penelitian akan menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat foto-foto negatif daripada melihat foto-foto positif.[33] Demikian pula, peserta mencatat lebih banyak kedipan mata saat mempelajari kata-kata negatif daripada kata-kata positif. (tingkat kedipan telah dikaitkan secara positif dengan aktivitas kognitif). Juga, orang-orang ditemukan menunjukkan respons orientasi yang lebih besar setelah hasil negatif daripada positif, termasuk peningkatan diameter pupil, denyut jantung, dan tonus arteri perifer yang lebih besa

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Kanouse, D. E., & Hanson, L. (1972). Negativity in evaluations. In E. E. Jones, D. E. Kanouse, S. Valins, H. H. Kelley, R. E. Nisbett, & B. Weiner (Eds.), Attribution: Perceiving the causes of behavior. Morristown, NJ: General Learning Press.
  2. ^ a b Baumeister, Roy F.; Finkenauer, Catrin; Vohs, Kathleen D. (2001). "Bad is stronger than good" (PDF). Review of General Psychology. 5 (4): 323–370. doi:10.1037/1089-2680.5.4.323. Diakses tanggal 2014-11-19. 
  3. ^ Lewicka, Maria; Czapinski, Janusz; Peeters, Guido (1992). "Positive-negative asymmetry or "When the heart needs a reason"". European Journal of Social Psychology. 22 (5): 425–434. doi:10.1002/ejsp.2420220502. 
  4. ^ a b c d e Rozin, Paul; Royzman, Edward B. (2001). "Negativity bias, negativity dominance, and contagion". Personality and Social Psychology Review. 5 (4): 296–320. doi:10.1207/S15327957PSPR0504_2. 
  5. ^ Tierney, John; Baumeister, Roy F. (2019-12-31). The Power of Bad: How the Negativity Effect Rules Us and How We Can Rule It (dalam bahasa Inggris). Penguin. hlm. 2. ISBN 978-1-101-61646-8. 
  6. ^ Kahneman, D.; Tversky, A. (1979). "Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk". Econometrica. 47 (2): 263–291. CiteSeerX 10.1.1.407.1910alt=Dapat diakses gratis. doi:10.2307/1914185. JSTOR 1914185. 
  7. ^ Wells, Jennifer D.; Hobfoll, Stevan E.; Lavin, Justin (1999). "When it rains, it pours: The greater impact of resource loss compared to gain on psychological distress". Personality and Social Psychology Bulletin. 25 (9): 1172–1182. doi:10.1177/01461672992512010. 
  8. ^ Jones, Kate E.; Safi, Kamran (2011-09-12). "Ecology and evolution of mammalian biodiversity". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 366 (1577): 2452. doi:10.1098/rstb.2011.0090. ISSN 0962-8436. PMC 3138616alt=Dapat diakses gratis. PMID 21807728. 
  9. ^ Soroka, Stuart (25 Mei 2015). "Why do we pay more attention to negative news than to positive news?". British Politics and Policy at LSE. Diakses tanggal 20 Desember 2021. 
  10. ^ Öhman, Arne; Flykt, Anders; Esteves, Francisco (2001). "Emotion drives attention: Detecting the snake in the grass". Journal of Experimental Psychology: General (dalam bahasa Inggris). 130 (3): 466–478. CiteSeerX 10.1.1.640.3659alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1037/0096-3445.130.3.466. ISSN 1939-2222. 
  11. ^ Tooby, John; Cosmides, Leda (Juli 1990). "The past explains the present" (PDF). Ethology and Sociobiology (dalam bahasa Inggris). 11 (4-5): 412. doi:10.1016/0162-3095(90)90017-Z. 
  12. ^ Cherry, Kendra (29 April 2020). "Why Our Brains Are Hardwired to Focus on the Negative". Verywell Mind (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 20 Desember 2021. 
  13. ^ a b Chang, Edward C.; Asakawa, Kiyoshi (2003). "Cultural variations on optimistic and pessimistic bias for self versus a sibling: Is there evidence for self-enhancement in the West and for self-criticism in the East when the referent group is specified?". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 84 (3): 579. CiteSeerX 10.1.1.582.1901alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1037/0022-3514.84.3.569. ISSN 1939-1315. 
  14. ^ Norem, Julie K.; Chang, Edward C. (2002-09). "The positive psychology of negative thinking" (PDF). Journal of Clinical Psychology (dalam bahasa Inggris). 58 (9): 994. doi:10.1002/jclp.10094. ISSN 0021-9762. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-20. Diakses tanggal 2021-12-20. 
  15. ^ Kontributor, WebMD Editorial (23 November 2020). "Signs of Low Self-Esteem". WebMD (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 20 Desember 2021. 
  16. ^ Müller-Pinzler, Laura; Czekalla, Nora; Mayer, Annalina V.; Stolz, David S.; Gazzola, Valeria; Keysers, Christian; Paulus, Frieder M.; Krach, Sören (8 Oktober 2019). "Negativity-bias in forming beliefs about own abilities". Scientific Reports (dalam bahasa Inggris). 9 (14416): 9. doi:10.1038/s41598-019-50821-w. ISSN 2045-2322. Individuals with ... lower self-esteem showed more biases towards negative information 
  17. ^ Brown, Jonathon D.; Huajian Cai; Oakes, Mark A.; Ciping Deng (2009-01). "Cultural Similarities in Self-Esteem Functioning: East is East and West is West, But Sometimes the Twain do Meet". Journal of Cross-Cultural Psychology (dalam bahasa Inggris). 40 (1): 146. CiteSeerX 10.1.1.620.4824alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1177/0022022108326280. ISSN 0022-0221. 
  18. ^ Oishi, Shigehiro; Diener, Ed; Choi, Dong-Won; Kim-Prieto, Chu; Choi, Incheol (2007). "The dynamics of daily events and well-being across cultures: When less is more". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 93 (4): 685–686. doi:10.1037/0022-3514.93.4.685. ISSN 1939-1315. 
  19. ^ Łosiak, Władysław; Blaut, Agata; Kłosowska, Joanna; Łosiak-Pilch, Julia (2019). "Stressful Life Events, Cognitive Biases, and Symptoms of Depression in Young Adults". Frontiers in Psychology. 10 (2165): 2. doi:10.3389/fpsyg.2019.02165. ISSN 1664-1078. 
  20. ^ Lab, The Desicion. "Negativity Bias - Biases & Heuristics". The Decision Lab (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-20. 
  21. ^ Bloom, Howard S.; Price, H. Douglas (1975). "Voter Response to Short-Run Economic Conditions: The Asymmetric Effect of Prosperity and Recession". The American Political Science Review. 69 (4): 1240. doi:10.2307/1955284. ISSN 0003-0554. 
  22. ^ Shah, James Y.; Gardner, Wendi L. (2008-01-01). Handbook of Motivation Science (dalam bahasa Inggris). Guilford Press. hlm. 197–198. ISBN 978-1-59385-568-0. 
  23. ^ RDT, Interact (2015-05-19). "Why Your Customers Have Negativity Bias". Interact RDT (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-20. 
  24. ^ Foran, Caroline (2017-05-11). "4". Owning it: Your Bullsh*t-Free Guide to Living with Anxiety (dalam bahasa Inggris). Hachette Books Ireland. hlm. 32. ISBN 978-1-4736-5759-5. 
  25. ^ LMHC, Dr Silvia Casabianca, MA (2019). Heartminded: Conscious Evolution from Fear to Solidarity (dalam bahasa Inggris). Morrisville: Lulu Press. hlm. 77. ISBN 978-0-359-99891-3. 
  26. ^ a b Slovic, Paul (2013-11-05). Risk, Media and Stigma: Understanding Public Challenges to Modern Science and Technology (dalam bahasa Inggris). New York: Routledge. hlm. 36. ISBN 978-1-134-19966-2. 
  27. ^ a b Taylor, S. E. (1991-07). "Asymmetrical effects of positive and negative events: the mobilization-minimization hypothesis". Psychological Bulletin. 110 (1): 68. CiteSeerX 10.1.1.385.5700alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1037/0033-2909.110.1.67. ISSN 0033-2909. PMID 1891519. 
  28. ^ Vaish, Amrisha; Grossmann, Tobias; Woodward, Amanda (2008-5). "Not all emotions are created equal: The negativity bias in social-emotional development". Psychological bulletin. 134 (3): 386. doi:10.1037/0033-2909.134.3.383. ISSN 0033-2909. PMC 3652533alt=Dapat diakses gratis. PMID 18444702. ...negative stimuli to be more complex than positive ones, and form more complex cognitive representations 
  29. ^ Bechtel, Robert B.; Bechtel, Robert B. (1997-01-06). Environment and Behavior: An Introduction (dalam bahasa Inggris). New York: SAGE. hlm. 67. ISBN 978-0-8039-5795-4. 
  30. ^ Clayton, Susan D. (2012-10-18). The Oxford Handbook of Environmental and Conservation Psychology (dalam bahasa Inggris). Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-973302-6. 
  31. ^ a b Kamins, Michael (2018-07-31). Marketing Manipulation: A Consumer's Survival Manual (dalam bahasa Inggris). Singapura: World Scientific. hlm. 74. ISBN 978-981-323-472-7. 
  32. ^ Walker, W. Richard; Skowronski, John J.; Thompson, Charles P. (2003-06-01). "Life is Pleasant—and Memory Helps to Keep it that Way!" (PDF). Review of General Psychology (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 203–204. doi:10.1037/1089-2680.7.2.203. ISSN 1089-2680. 
  33. ^ a b Fiske, Susan T. (1980-06). "Attention and weight in person perception: The impact of negative and extreme behavior". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 38 (6): 889. doi:10.1037/0022-3514.38.6.889. ISSN 1939-1315. 
  34. ^ Asch, S. E. (1946). "Forming impressions of personality". The Journal of Abnormal and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 41 (3): 276–277. doi:10.1037/h0055756. ISSN 0096-851X. 
  35. ^ Loranger, Hoa (23 Oktober 2016). "The Negativity Bias in User Experience". Nielsen Norman Group (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-20. 
  36. ^ Aronson, Elliot (2016). Social psychology (PDF). Timothy D. Wilson, Robin M. Akert (edisi ke-Ninth edition). Boston: Pearson. hlm. 306. ISBN 978-0-13-393654-4. OCLC 908146206. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-04. Diakses tanggal 2021-12-21. 
  37. ^ Science Faculty, Computer (2019). "Social Media Study Shows Proximity Is Strongest Predictor of Friendship". School of Science, Rensselaer Polytechnic Institute. Diakses tanggal 21-12-2021. 
  38. ^ Ebbesen, Ebbe B.; Kjos, Glenn L.; Konečni, Vladimir J. (1976-11). "Spatial ecology: Its effects on the choice of friends and enemies" (PDF). Journal of Experimental Social Psychology. 12 (6): 516–517. doi:10.1016/0022-1031(76)90030-5. ISSN 0022-1031. many dislike relationship in homogeneous population may be due to environment spoiling 
  39. ^ Jhangiani, Rajiv; Hammond, Dr (2015). "Initial Impression Formation". Principles of Social Psychology : 1st International Edition. BCampus Open Textbook Project. OCLC 1000380252. 
  40. ^ Ackerman, Joshua M.; Shapiro, Jenessa R.; Neuberg, Steven L.; Kenrick, Douglas T.; Becker, D. Vaughn; Griskevicius, Vladas; Maner, Jon K.; Schaller, Mark (2006-10-01). "They All Look the Same to Me (Unless They're Angry): From Out-Group Homogeneity to Out-Group Heterogeneity" (PDF). Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 17 (10): 839–840. doi:10.1111/j.1467-9280.2006.01790.x. ISSN 0956-7976. 
  41. ^ Martijn, Carolien; Spears, Russell; Van Der Pligt, Joop; Jakobs, Esther (1992-09). "Negativity and positivity effects in person perception and inference: Ability versus morality" (PDF). European Journal of Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 22 (5): 462. doi:10.1002/ejsp.2420220504. 
  42. ^ Skowronski, John J.; Carlston, Donal E. (1987). "Social judgment and social memory: The role of cue diagnosticity in negativity, positivity, and extremity biases". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 52 (4): 689. doi:10.1037/0022-3514.52.4.689. ISSN 0022-3514. 
  43. ^ Zimmerman, Jerry J.; Fuhrman, Bradley P. (2011-03-24). Pediatric Critical Care E-Book (dalam bahasa Inggris). Elsevier Health Sciences. hlm. 53. ISBN 978-0-323-08170-2. (an honest work) can seriously tarnished by the act of a few, careless at best, and dishonest at worst. 
  44. ^ Klein, Jill G. (1991-08). "Negativity Effects in Impression Formation: A Test in the Political Arena" (PDF). Personality and Social Psychology Bulletin. 17 (4): 417. doi:10.1177/0146167291174009. ISSN 0146-1672. 
  45. ^ Gabrielle Klein, Jill (1998). "Negativity in Intradimensional Judgments of Presidential Candidates". Advances in Consumer Research. 25 (1): 574–577. Perceived candidate weaknesses were found to be more predictive of overall evaluations and voting than were perceived strengths. 
  46. ^ Morewedge, Carey K. (2009). "Negativity bias in attribution of external agency". Journal of Experimental Psychology: General (dalam bahasa Inggris). 138 (4): 542. CiteSeerX 10.1.1.212.2333alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1037/a0016796. ISSN 1939-2222. 
  47. ^ Hamlin, J. Kiley; Baron, Andrew S. (2014-05-06). Young, Liane, ed. "Agency Attribution in Infancy: Evidence for a Negativity Bias" (PDF). PLoS ONE (dalam bahasa Inggris). 9 (5): 6–7. doi:10.1371/journal.pone.0096112. ISSN 1932-6203. PMC 4011708alt=Dapat diakses gratis. PMID 24801144. 
  48. ^ Carter, Dr Kenneth E.; Seifert, Dr Colleen M. (2012-03-23). Learn Psychology (dalam bahasa Inggris). Burlington: Jones & Bartlett Publishers. hlm. 440. ISBN 978-1-4496-8647-5. 
  49. ^ Ito, Tiffany A.; Cacioppo, John T. (2000-11). "Electrophysiological Evidence of Implicit and Explicit Categorization Processes". Journal of Experimental Social Psychology. 36 (6): 674. CiteSeerX 10.1.1.335.2027alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1006/jesp.2000.1430. ISSN 0022-1031. 
  50. ^ Young, Allan H.; Harmer, Catherine (2020-04-17). Cognition in Mood Disorders (dalam bahasa Inggris). Lausanne: Frontiers Media SA. hlm. 148. ISBN 978-2-88963-666-2. 

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Dong, Guangheng; Zhou, Hui; Zhao, Xuan; Lu, Qilin (2011). "Early Negativity Bias Occurring Prior to Experiencing of Emotion". Journal of Psychophysiology. 25: 9–17. doi:10.1027/0269-8803/a000027. 
  • Sonsino, Doron (2011). "A note on negativity bias and framing response asymmetry". Theory and Decision. 71 (2): 235–250. CiteSeerX 10.1.1.523.5455alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1007/s11238-009-9168-9. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]