Angklung buncis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Angklung Buncis dalam acara seren taun.

Angklung buncis adalah salah satu jenis variasi kesenian dari alat musik angklung.[1] Nama kesenian buncis berasal dari satu teks lagu yang terdapat dalam kesenian buncis dan memiliki lirik cis kacang buncis nyengcle.....,seterusnya.[1] Berdasarkan hal tersebut masyarakat menyebut kesenian ini buncis.[1] Kesenian ini menjadi ciri khas Jawa Barat terutama daerah yang memiliki pola kehidupan agraria (seperti baduy, cigugur kuningan, baros arjasari),[1][2][3][4] karena pada awalnya angklung buncis ini digunakan sebagai salah satu pertunjukan petani untuk persembahan upacara menghormati padi (Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Sri) saat panen tiba.[1] Tapi, mulai tahun 1940-an fungsi ritual angklung buncis dalam penghormatan padi mulai ditinggalkan, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Faktor ini seiring dengan adanya perubahan zaman dan menghilangnya lumbung dari masyarakat Sunda membuat persembahan ini mulai ditinggalkan.[1] Sebab, pada hakikatnya kegiatan ini digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) hasil panen dari sawah atau huma ke lumbung sebagai tempat penyimpanan padi sebelum digunakan.[5] Pada tahun 1982, kesenian Angklung Buncis sempat terhenti sebagai akibat pelarangan upacara Seren Taun yang ditentang oleh pemerintah kabupaten Kuningan.[4]

Bentuk[sunting | sunting sumber]

Angklung buncis berwarna hitam karena terbuat dari bambu hitam yang merupakan ciri khas daerah Cigugur Kabupaten Kuningan. Umur bambu yang digunakan adalah 3-4 tahun. Berdasarkan ketebalan bambu, bagian bawah sampai tengah biasa digunakan sebagai rangka. Bambu bagian tengah sampai atas biasanya digunakan sebagai bahan utama membuat angklung.[6]

Angklung buncis ada yang terdiri dari tiga tabung (nada), ada pula yang terdiri dari empat tabung.[3] Angklung yang terdiri dari tiga tabung dapat menghasilkan satu nada dengan dua nada oktafnya.[3] Angklung yang terdiri dari empat tabung selain dapat menghasilkan satu nada dengan dua nada oktafnya, juga ditambah dengan nada lain sehingga membentuk akor.[3] Selain itu, ada hiasannya yang terbuat dari kain yang dibentuk sedemikian rupa yang berfungsi sebagai penutup ujung rangka.[3] Bagian atasnya dililit oleh ijuk dan membentuk setengah lingkaran.[6]

Kelengkapan[sunting | sunting sumber]

Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok.[1] Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag.[1] Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan terompet, kecrek, dan gong.[1] Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung.[1]

Lagu[sunting | sunting sumber]

Lagu yang dimainkan dalam kesenian angklung buncis di antaranya adalah badud, buncis, renggong, senggot, jalantir, jangjalik, ela-ela, dan mega beureum.[1] Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan dengan wanita sebagai penyanyi dan laki-laki sebagai pemain angklungnya.[1]

Perubahan[sunting | sunting sumber]

1999-2000

Pada tahun ini angklung buncis mulai mengalami pergeseran, yaitu selain bersifat sakral dan fungsi ritual pertanian atau panen padi juga bertambah menjadi fungsi hiburan dan bersifat terbatas.[2] Artinya, angklung buncis sudah bisa dipentaskan di luar kegiatan upacara panen padi.[4] Walaupun belum dijadikan diburan di acara umum masyarakat, tapi sudah bisa dipentaskan alam acara resmi pemerintah dengan skala tertentu.[4]

2010

Pertunjukan angklung buncis mulai tahun 2010 mengalami perubahan yang sangat menonjol, karena kesenian tradisional ini pada pertunjukan dari tahun 1999 hingga 2010, tidak bisa terlepas dari keceriaan atau suka cita atas berkah hasil bertani yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.[4] Tapi pada tahun 2010, pertunjukan angklung buncis menjadi lebih diam dan penuh dengan penghayatan.[4] Dalam memainkan angklung buncis dilakukan dengan penuh perasaan dan tenang, meskipun tidak mengubah nilai terdahulu sebagai simbol luapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[4] Hal tersebut dipertegas bahwa dalam pertunjukan angklung buncis yang dulu bisa diatraksikan dengan gerakan jongkok, duduk, dan tidur, tetapi mulai tahun 2010 tidak lagi dengan gerakan-gerakan seperti itu, tapi dengan penuh penghayatan yang disebut lenyepan.[4]

Perubahan yang terjadi pada pertunjukan angklung buncis selanjutnya diikuti oleh lagu yang ditampilkan dan laras atau nada yang digunakan.[4] Sebelum tahun 2010, lagu angklung buncis diambil dari awal mula lahirnya kesenian tersebut, yakni dengan judul lagu buncis.[4] Saat ini, setelah tahun 2010, lagu yang dimainkan dan ditampilkan lebih bervariasi dan banyak.[4] Hal tersebut membuat perubahan laras yang tadinya dikenal dengan salendro (pentatonis rendah) berubah menjadi pelog (pentatonis tinggi).[4] Lagu yang semakin bervariasi menuntut terjadinya perubahan tersebut. [4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l "Angklung Buncis-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diakses tanggal 2019-02-21. [pranala nonaktif permanen] Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":0" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b Diah Rizky Kartika Putri. PEMBELAJARAN ANGKLUNG MENGGUNAKAN METODE BELAJAR SAMBIL BERMAIN. HARMONIA, Volume 12, No. 2 / Desember 2012, Hal 116-124. Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang.
  3. ^ a b c d e Deni Hermawan, dkk. Angklung Sunda Sebagai Wahana Industri Kreatif dan Pembentukan Karakter Bangsa. Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 23, No. 2, Juni 2013: 109 - 209. STSI Bandung.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m Pratama, Rinaldo Adi; Saputra, Muhammad Adi (2018-03-29). "Dari Sakral Menuju Profan: Pasang-Surut Kesenian Angklung Buncis di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Tahun 1980-2010". MIMBAR PENDIDIKAN. 3 (1): 57–70. doi:10.17509/mimbardik.v3i1.10638. ISSN 2503-457X. 
  5. ^ "SIPAKU - SIM PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN". sipaku.disparbud.garutkab.go.id. Diakses tanggal 2020-09-09. 
  6. ^ a b Agustiningsih, Dheka Dwi (2020-06-01). Seren Taun: Merawat Tradisi di Cigugur-Kuningan. Deepublish. hlm. 74. ISBN 978-623-02-1267-3. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]