Amaluddin II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Amaluddin II dari Deli
Sultan dari Kesultanan Deli
Potret Amaluddin II oleh Tropenmuseum
Sultan Deli VII
Berkuasa22 Oktober 1857 – 25 Oktober 1873
Penobatan22 Oktober 1858
PendahuluOtteman I
PenerusMa’mun Al Rasyid
Informasi pribadi
Kelahiran1831
Labuhan Deli
Kematian25 Oktober 1873
Labuhan Deli
Pemakaman25 Oktober 1873
Nama lengkap
Tengku Amaluddin Mahmud
AyahOtteman I
IbuRaja Siti Asmah
Pasangan
(m. 1852; c. 1862)

Encik Mariam
Anak
Rincian

Amaluddin II (Jawi: أمل الدين محمود; Amaluddin Mahmud; 1829 – 25 Oktober 1873) adalah Sultan dari Kesultanan Deli ke 8 dari 1857 hingga 1873.

Pemerintahannya berlangsung selama 15 tahun. Ia menjadi perintis dan pelopor Perkebunan Tembakau di negeri ini yang ditandai oleh hubungan kerja sama dengan negara–negara Eropa dalam pembukaan lahan perkebunan Tembakau di Deli.

Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]

Amaluddin II lahir di Labuhan Deli pada tahun 1829, anak pertama dari Sultan Deli Otteman I dan Raja Siti Asmah. Sebagai putra tertua dari penguasa Deli, dia secara otomatis menjadi putra mahkota Kesultanan Deli.

Awal Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Ekspedisi Militer Belanda[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1862 Residen Riau Elisa Netscher mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatra Timur. Menurut laporannya, beberapa negeri di Sumatra Timur bersedia dilindungi Belanda dan mengakui Kedaulatan Kesultanan Siak, kecuali Asahan dan negeri lainnya termasuk Deli. Bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris. Maka berangkatlah Netscher beserta asisten residen dan beberapa penguasa Siak untuk berlayar dengan Kapal Reinier Claassen menuju Sumatra Timur.

Rombongan Netscher memasuki Kuala Deli dan disambut oleh Sultan Amaluddin II. Sultan menolak mengakui Kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak pemerintahan ayahnya Sultan Otteman I ketika diserang Aceh pada tahun 1854 dan juga dianggap terlalu lemah. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan untuk tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi "Mengikut pada Negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda". Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah, ipar Sultan. Sultan juga membuat perjanjian politik dengan Belanda dengan menandatangani Acte Van Verband dan Acte Van Bevestiging.

Deli Maatschappij[sunting | sunting sumber]

Tahun 1866 Sultan Amaluddin II memulai kerja sama dengan pihak belanda melalui Acta van Concessie yang diberikan kepada Jacob Nienhuys untuk membuka lahan perkebunan Tembakau pertama dari daerah Mabar hingga Deli Tua yang dikenal dengan Mabar–Deli Toewa Contract. Kontrak ini memberi wewenang independen dari Belanda atas Kesultanan Aceh dan Siak. Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij pada tahun 1869. Perdagangan tembakau yang maju berdampak pada semakin berkembangnya Kota Medan pada saat itu.

Perkebunan Tembakau oleh H. Ernst & Co.

Perang Sunggal[sunting | sunting sumber]

Karena tidak meratanya pembagian lahan antara pemerintah kolonial dan pribumi oleh Sultan membuat seorang Kepala di Timbang Langkat, Sulung Barat geram. Sultan dengan mudahnya memberikan lahan–lahan kepada Pemerintah Kolonial. Sulung Barat beserta Datuk Jalil dan Datuk Kecil mengumpulkan pasukan untuk melakukan perlawanan kepada Belanda.

Para pengikut Datuk Kecil berhasil membakar bangsal–bangsal penyimpanan Tembakau milik Belanda. Ketiga Datuk juga mengumpulkan 6000 lebih pasukan yg terdiri dari orang–orang suku Melayu dan Karo untuk melakukan penyerangan dan mengambil alih perkebunan tembakau.

Sultan meminta bantuan kepada Residen Riau untuk menumpas pemberontakan. Pada Mei 1872 pasukan Belanda datang dengan diperkuat oleh pasukan Kesultanan Deli yang dipimpin oleh Raja Muda Sulaiman beserta pasukan Pangeran Langkat di bawah pimpinan Tengku Hamzah dan Datuk Laksamana berhasil merebut kembali Perkebunan Arensburg.

Untuk menangkap ketiga Datuk dan para pengikutnya, Belanda terus melakukan pemburuan. Tercatat hingga tiga kali Ekspedisi Militer Belanda diturunkan untuk menumpas pemberontakan para Datuk Sunggal namun selalu gagal. Pada akhirnya Belanda mengutus Baginda Marah untuk menemui Datuk Kecil dan mengajaknya melakukan perundingan dengan Belanda. Pada tanggal 20 Oktober 1872 Datuk Kecil dan Sulung Barat menjumpai Mayor H.W.C Van Stuwe dan menyepakati untuk melakukan perundingan ke perkebunan Arensburg tempat tinggal sementara Schiff Residen Riau.

Dalam perundingan Schiff memaksa Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulung Barat untuk meminta maaf kepada Gubernur Jendral Belanda di Batavia karena telah melakukan pemberontakan. Hal ini ditolak keras oleh Datuk Kecil karena yang dia lakukan adalah benar untuk mempertahankan hak tanah mereka. Ketiga Datuk ditahan dan dibawa ke Labuhan Deli untuk dikirim ke Riau.

Menggunakan kapal Den Briel mereka dibawa ke Tanjung Pinang pada 4 November 1872, di tempat itu mereka ditahan dan diinterogasi selama 10 bulan. Akhirnya berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Belanda tanggal 23 Juni 1873 mereka diasingkan ke Cilacap. 6 September 1874, Datuk Jalil meninggal di penjara Cilacap dan dua tahun setelahnya meninggal pula Datuk Kecil. Menurut laporan, Sulung Barat diizinkan kembali ke Sunggal pada 1907 setelah mendapat pengampunan dari Sultan Deli.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]

Sultan Amaluddin II menikah dengan Tengku Zaliha yang merupakan cicit dari Raja Umar Johan Pahlawan Alam Shah dari Serdang. Namun pernikahannya berakhir dengan perceraian. Kemudian dia menikah lagi dengan Encik Mariam.

Wafat[sunting | sunting sumber]

Amaluddin II mangkat pada tahun 1873 dalam usia 44 tahun. Ia dimakamkan di tanah pemakaman Masjid Al Osmani, Labuhan Deli.